TUTUP BUKU UNTUK HTI ”Tutup buku untuk HTI di Desa Teluk Binjai”, potong Bustami. Pernyataan ini disampaikan Bustami menjawab pertanyaan kami tentang peluang kolaborasi masyarakat dengan perusahaan dalam bentuk HTI. Siang yang terik di pertengahan Februari lalu, serasa memanggang semua benda yang tak beratap di Desa Teluk Binjai, menyebabkan kami harus lebih sering mengipaskan potongan kardus dan membuka kancing baju teratas. Hidangan air minum dalam kemasan gelas sedikit menyegarkan tenggorokan. Hari itu, kami bertamu di rumah Kepala Desa Teluk Binjai Kecamatan Teluk Meranti, salah satu desa yang terletak di Kawasan Semenanjung Kampar, untuk menyampaikan rencana kegiatan bersama masyarakat di desa ini. Pertemuan siang itu berlangsung di rumah Kades, dihadiri oleh Bustami, ketua BPD. Pertemuan itu membahas tentang potensi desa, termasuk ’hutan seberang’, istilah masyarakat desa untuk hutan rawa gambut Semenanjung Kampar, yang memang terletak di seberang dari letak desa. Potensi hutan, karakteristik gambut, fungsi hidrologi, dan interaksi masyarakat di ‘hutan seberang’ menjadi topik menarik dalam pertemuan siang itu. Resistensi Masyarakat terhadap HTI ”Tutup buku untuk HTI di Desa Teluk Binjai”, potong Bustami. Pernyataan ini disampaikan Bustami menjawab pertanyaan kami tentang peluang kolaborasi masyarakat dengan perusahaan dalam bentuk HTI. Kemudian mengalir cerita Bustami tentang susahnya masyarakat akibat kerjasama dengan PT SAU. Seluas sekitar seribu hektar diserahkan masyarakat untuk ditanami akasia sebagai HTI, dengan perjanjian selama 7 masa tanam (=49 tahun), dan masyarakat mendapatkan fee dari kayu alam dan hasil panen akasia. Perusahaan memberikan dana talangan terlebih dahulu untuk masyarakat sebesar sekitar Rp300 juta dan Rp500 juta. Jumlah dana ini akan diperhitungkan kemudian dari hasil fee di atas. Dana ini kemudian dibagi rata untuk setiap KK yang ada di desa. Tersebutlah bahwa setiap KK mendapat sekitar Rp1,5 juta dan Rp2,5 juta. Masalahnya sekarang, hingga saat ini tidak ada kejelasan tentang berapa fee masyarakat dari kayu alam, jika berlebih berapa lebihnya, dan jika kurang berapa kurangnya. Belum lagi soal dipersulitnya pencairan dana ini. “Saya seperti pengemis saja dibuatnya,” ujar Bustami yang mengurus pencairan fee tahap kedua. “Masyarakat sebenarnya lebih banyak menyorot soal kejelasan tentang kerjasama ini, apalagi masyarakat merasa tidak mendapatkan keuntungan berarti dari dana kerjasama ini,” tukas Bustami. Kesan kapok dan jera terhadap HTI terlihat jelas dalam diskusi ini. ”Tidak ada kompromi dengan HTI untuk Desa Teluk Binjai,” pungkas Kades. Rencana Perdes Aliran diskusi siang itu berlanjut pada keesokan harinya. Kades dan BPD rupanya masih memendam keresahan tentang kebutuhan masyarakat terhadap hutan. “Apa yang harus kami lakukan agar masyarakat desa dapat
terjamin kebutuhannya akan kayu? Karena kami pasti butuh kayu untuk membuat rumah, membuat perahu dan kebutuhan lainnya,” demikian pertanyaan Kades membuka diskusi lanjutan ini. Diskusi kemudian berkembang. Peta konsesi HPH dan HTI di Kawasan Semenanjung Kampar dibuka bersama. Dari sini masyarakat lebih memahami bahwa lokasi mereka di seberang telah diperuntukkan untuk HPH. Persoalan hak masyarakat, siapa sebenarnya penerima keuntungan terbesar dari pemanfaatan hutan, program pengembangan masyarakat (CD) perusahaan, dan aturan pemanfaatan lahan gambut, hingga pada prediksi kebutuhan masyarakat jangka panjang terhadap lahan dan hutan. ”Bisa bantu kami untuk membuat aturan desa terkait hutan dan lahan?,” Sang Kades meminta kesediaan kami untuk membantu menyiapkan peraturan desa. Soal Dukungan Lima Ribu Masyarakat Proses konsultasi dengan desa-desa yang ada di Kawasan Semenanjung Kampar juga membawa misi melakukan klarifikasi terhadap informasi tentang dukungan sebanyak lima ribu masyarakat terhadap rencana sebuah perusahaan kertas besar di Kawasan Semenanjung Kampar. Informasi ini diperoleh Jikalahari terkait dengan rencana pengelolaan Kawasan Semenanjung Kampar. Dari empat desa yang kami datangi (Teluk Binjai, Teluk Meranti, Pulau Muda, Segamai), tak satupun diperoleh informasi tentang ini. “Lima ribu masyarakat itu banyak, Pak! Masyarakat sebanyak itu haruslah berasal dari tiga sampai empat desa jika benar berasal dari Kecamatan Teluk Meranti ini,” kata Syamsuir, Kades Teluk Binjai. “Apalagi, informasi semacam itu haruslah cepat tersebar, baik di masyarakat maupun di aparat desa,” sambung Sang Kades. Seorang masyarakat Teluk Meranti menyampaikan dugaan bahwa boleh jadi dukungan itu berasal dari masyarakat Desa Rimba Piatu. Pernyataan ini disampaikannya sambil tertawa saat kami berbincang di warung kopi di dekat pasar desa. Ya, Desa Rimba Piatu, lebih tepatnya masyarakat menyebutnya Dusun Rimbo Piatu, sebuah dusun tak berpenduduk di seberang Desa Teluk Meranti. Si masyarakat tadi menyebut bahwa dirinya pernah mendapati dokumen perusahaan yang menyebutkan dusun itu, lengkap dengan jumlah penduduk dan nama kepala desanya, serta stempel desa. =o0o=