Tutklin.docx

  • Uploaded by: niajaplani
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tutklin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,877
  • Pages: 13
 

  



Empedu yang dihasilkan hepatosit akan diekskresikan ke dalam kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak di dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi. Saluran empedu intrahepatik secara perlahan menyatu membentuk saluran yang lebih besar yang bisa menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan posterior yang kemudian bergabung membentuk ductus hepatikus kanan. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi ductus hepatikus komunis. Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus menjadi ductus koledokus. Fungsi primer kandung empedu  memekatkan empedu  cairan empedu dalam kandung empedu lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati  Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Fungsi cairan empedu a. Emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak b. mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin

HEPATITIS A Hepatitis A adalah infeksi akut di liver yang disebabkan oleh hepatitis A virus (HAV), sebuah virus RNA yang disebarkan melalui rute fekal oral. Lebih dari 75% orang dewasa simtomatik, sedangkan pada anak < 6 tahun 70% asimtomatik. Kurang dari 1% penderita hepatitis A dewasa berkembang menjadi hepatitis A fulminan. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Demam 2. Mata dan kulit kuning 3. Penurunan nafsu makan 4. Nyeri otot dan sendi 5. Lemah, letih, dan lesu. 6. Mual dan muntah 7. Warna urine seperti teh 8. Tinja seperti dempul Faktor Risiko 1. Sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang tidak terjaga sanitasinya. 2. Menggunakan alat makan dan minum dari penderita hepatitis. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Febris 2. Sklera ikterik 3. Hepatomegali 4. Warna urin seperti teh Pemeriksaan Penunjang 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin) 2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih lengkap. 3. IgM anti HAV (di layanan sekunder) Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding Ikterus obstruktif, Hepatitis B dan C akut, Sirosis hepatis Komplikasi Hepatitis A fulminan, Ensefalopati hepatikum, Koagulopati Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Penatalaksanaan 1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat 2. Tirah baring 3. Pengobatan simptomatik a. Demam: Ibuprofen 2x400mg/hari. b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3x10 mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari. c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari). 4. Keluarga ikut menjaga asupan kalori dancairan yang adekuat, dan membatasi aktivitas fisik pasien selama fase akAsut. Kriteria Rujukan 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang laboratorium 2. Penderita Hepatitis A dengan keluhan ikterik yang menetap disertai keluhan yang lain. 3. Penderita Hepatitis A dengan penurunan kesadaran dengan kemungkinan ke arah ensefalopati hepatik. Rencana Tindak Lanjut Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan. Konseling dan Edukasi 1. Sanitasi dan higiene mampu mencegah penularan virus. 2. Vaksinasi Hepatitis A diberikan kepada orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi.

HEPATITIS B Masalah Kesehatan Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda. Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai 25,61% di Kupang, sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi. Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut dengan gejala yang berlangsung kurang dari 6 bulan. Apabila perjalanan penyakit berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut sebagai hepatitis kronik (5%). Hepatitis B kronik dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% dari penderita sirosis hepatis akan berkembang menjadi hepatoma. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan 1. Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama pada anak-anak. 2. Gejala timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu, antara lain: a gangguan gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual dan muntah; b gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, mialgia. 3. Gejala prodromal seperti diatas akan menghilang pada saat timbul kuning, tetapi keluhan anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap. 4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap. Pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul fase resolusi. Faktor Risiko 1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak aman dengan orang yang sudah terinfeksi hepatitis B. 2. Memakai jarum suntik secara bergantian terutama kepada penyalahgunaan obat suntik. 3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai bersama-sama dengan penderita hepatitis B. 4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat yang terpapar dengan darah manusia. 5. Orang yang pernah mendapat transfusi darah sebelum dilakukan pemilahan terhadap donor. 6. Penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis. 7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita hepatitis B. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Konjungtiva ikterik 2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati 3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-20% pasien Pemeriksaan Penunjang 1. Tes laboratorium urin (bilirubin di dalam urin)

2. Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah, kadar SGOT dan SGPT ≥ 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas primer yang lebih lengkap. 3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder) Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis Banding Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis alkoholik, obstruksi akut traktus biliaris Komplikasi Sirosis hepar, Hepatoma Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat 2. Tirah baring 3. Pengobatan simptomatik a Demam: Ibuprofen 2x400mg/hari. b Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3x10 mg/hari atau Domperidon 3x10mg/hari. c Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3x200 mg/hari atau Ranitidin 2x 150mg/hari) atau Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari). Rencana Tindak Lanjut Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan. Kriteria Rujukan 1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang laboratorium di pelayanan kesehatan sekunder 2. Penderita hepatitis B dengan keluhan ikterik yang menetap disertai keluhan yang lain. Konseling dan Edukasi 1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien agar teratur minum obat karena pengobatan jangka panjang. 2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan membatasi aktivitas fisik pasien. 3. Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi pola hidup untuk pencegahan transmisi dan imunisasi Peralatan Laboratorium darah rutin, urin rutin dan pemeriksaan fungsi hati Prognosis

Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan pengobatannya. Pada umumnya, prognosis pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam dan sanationam dubia ad malam.

KOLESISTITIS   

Kolelitiasis  gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada duaduanya Kolesistitis  peradangan saluran empedu.Kedua penyakit di atas dapat terjadi sendiri saja, tetapi sering dijumpai bersamaan karena keduanya saling berkaitan. KLASIFIKASI a. Batu kolesterol Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. b. Batu pigmen  Batu pigmen kalsium bilirubinat (pigmen coklat) Disebut juga batu lumpur atau batu pigmen, komponen utama kalsium bilirubinat Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan. Umumnya batu terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.  Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. terdiri dari derivat polymerized bilirubin.  Batu campuran Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.

Masalah Kesehatan Kolesistitis adalah reaksi inflamasi akut atau kronis dinding kandung empedu. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu. Hasil Anamnesis (Subjective) Keluhan Kolesistitis akut: 1. Demam 2. Kolik perut di sebelah kanan atas atau epigastrium dan teralihkan ke bawah angulus scapula dexter, bahu kanan atau yang ke sisi kiri, kadang meniru nyeri angina pektoris, berlangsung 30-60 menit tanpa peredaan, berbeda dengan spasme yang cuma berlangsung singkat pada kolik bilier. 3. Serangan muncul setelah konsumsi makanan besar atau makanan berlemak di malam hari. 4. Flatulens dan mual Kolesistitis kronik

1. 2. 3. 4.

Gangguan pencernaan menahun Serangan berulang namun tidak mencolok. Mual, muntah dan tidak tahan makanan berlemak Nyeri perut yang tidak jelas disertai dengan sendawa.

Faktor Risiko 1. Wanita 2. Usia >40 tahun 3. Sering mengkonsumsi makanan berlemak 4. Adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya. Hasil Pemeriksaan dan Penunjang Sederhana (Objective) Pemeriksaan Fisik 1. Ikterik bila penyebab adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik 2. Teraba massa kandung empedu 3. Nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal, tanda Murphy positif Pemeriksaan Penunjang Laboratorium darah menunjukkan adanya leukositosis Penegakan Diagnostik (Assessment) Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis Banding Angina pektoris, Apendisitis akut, Ulkus peptikum perforasi, Pankreatitis akut Komplikasi Gangren atau empiema kandung empedu, Perforasi kandung empedu, Peritonitis umum, Abses hepar Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) Penatalaksanaan 1. Tirah baring 2. Puasa 3. Pemasangan infus 4. Pemberian anti nyeri dan anti mual 5. Pemberian antibiotik: Golongan penisilin: Ampisilin injeksi 500mg/6jam dan Amoksilin 500mg/8jam IV, atau Sefalosporin: Seftriakson 1 gram/ 12 jam, Sefotaksim 1 gram/8jam, atau Metronidazol 500mg/8jam Konseling dan Edukasi Keluarga diminta untuk mendukung pasien untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan. Rencana Tindak Lanjut

1. Pada pasien yang pernah mengalami serangan kolesistitis akut dan kandung empedunya belum diangkat kemudian mengurangi asupan lemak dan menurunkan berat badannya harus dilihat apakah terjadi kolesistitis akut berulang. 2. Perlu dilihat ada tidak indikasi untuk dilakukan pembedahan. Kriteria rujukan Pasien yang telah terdiagnosis kolesistitis dirujuk ke layanan sekunder (spesialis penyakit dalam) sedangkan bila terdapat indikasi untuk pembedahan pasien dirujuk pula ke spesialis bedah. Peralatan Laboratorium untuk pemeriksaan darah rutin Prognosis Prognosis umumnya dubia ad bonam, tergantung komplikasi dan beratnya penyakit.

LEPTOSPIROSIS Leptospirosis Ikterik (Penyakit Weil) Penyakit Weil merujuk pada leptospirosis berat dan mengancam nyawa, dicirikan oleh ikterus, disfungsi ginjal, dan perdarahan. Meskipun ikterus merupakan tanda utama, kematian bukan disebabkan oleh gagal hati. Prognosis tidak ditentukan oleh derajat ikterus, namun oleh adanya ikterus karena semua kematian pada leptospirosis terjadi pada kasus ikterik. Ikterus tampak pertama kali antara hari kelima hingga kesembilan, intensitas maksimum 4 atau 5 hari kemudian dan terus berlanjut selama rata-rata 1 bulan. Mayoritas pasien memiliki hepatomegali dan nyeri ketok pada perkusi hati menunjukkan penyakit masih aktif.1 Perdarahan kadang terjadi pada kasus anikterik tetapi paling sering pada penyakit yang berat. Manifestasi perdarahan yang paling sering adalah purpura, petekie, epistaksis, perdarahan gusi, dan hemoptisis minor. Kematian dapat terjadi akibat perdarahan subaraknoid dan perdarahan masif saluran cerna. Adanya perdarahan konjungtiva sangat berguna untuk diagnostik, dan jika disertai sklera ikterik dan injeksi konjungtiva, merupakan temuan yang sangat sugestif untuk leptospirosis.1 Semua bentuk leptospirosis dapat menyebabkan disfungsi ginjal. Gambaran mulai dari yang ringan berupa proteinuria ringan dan abnormalitas sedimen urin hingga berat berupa cedera ginjal akut. Yang sering ditemukan adalah gagal ginjal non-oliguria dengan hipokalemia ringan (41-45% kasus). Anuria total dengan hiperkalemia merupakan tanda prognostik buruk.3 Gangguan kesadaran pada leptospirosis berat biasanya disebabkan oleh ensefalopati uremikum, pada kasus anikterik biasanya disebabkan ensefalitis aseptik. Pada pasien penyakit Weil yang berhasil bertahan, fungsi ginjal akan kembali normal. Faktor utama penyebab cedera ginjal akut pada leptospirosis adalah nefrotoksisitas langsung dari leptospira dan respons imun yang diinduksi toksin. Adanya leptospira di jaringan ginjal akan memicu proses nefritis interstisial dan nekrosis tubular akut. Pada leptospirosis berat akan dijumpai perubahan status hemodinamik seperti sepsis. Akibat vasodilatasi sistemik, kadar aldosterone dan hormon antidiuretik akan meningkat, sehingga terjadi vasokonstriksi ginjal dan penurunan diuresis. Bilirubin yang tinggi juga menurunkan filtrasi glomerulus dan kemampuan pemekatan urin. Rabdomiolisis yang sering terjadi pada leptospirosis juga dapat menyebabkan cedera ginjal melalui vasokonstriksi ginjal, obstruksi tubulus, dan toksisitas langsung myoglobin. Komplikasi paru yang paling sering pada leptospirosis adalah sindrom perdarahan paru berat terkait leptospirosis (severe pulmonary hemorrhagic syndrome/ SPHS) dan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Komplikasi ini dapat terjadi dengan atau tanpa ikterus ataupun gagal ginjal. Hemoptisis merupakan tanda utama, namun biasanya tidak jelas hingga pasien diintubasi. Faktor risiko komplikasi paru adalah keterlambatan pemberian antibiotik dan trombositopenia pada awitan penyakit.1,3 Perdarahan paru terjadi akibat vaskulitis, juga dapat dikaitkan dengan trombositopenia dan koagulopati konsumtif.7 Kematian akibat leptospirosis terjadi pada 10-15% kasus, biasanya akibat perdarahan paru, gagal ginjal, atau gagal jantung dan aritmia akibat miokarditis. Pemeriksaan laboratorium dapat menemukan leukositosis (15000-30000), neutrofilia, trombositopenia, dan creatinine phosphokinase yang tinggi. Bilirubin dapat sangat meningkat (predominasi fraksi direk), tetapi transaminase jarang melebihi 3 kali batas atas. Pemanjangan

prothrombin time sering terjadi namun mudah dikoreksi dengan vitamin K. Pada gangguan fungsi ginjal ureum dan kreatinin akan meningkat, didapatkan hematuria, piuria, proteinuria (biasanya kurang dari 1 g/24 jam), dan berat jenis urin tinggi. Dapat ditemukan jugahipokalemia akibat kebocoran melalui ginjal dan hipomagnesemia.1 Neutrophil gelatinase associated lipocain (NGAL) akan meningkat pada nekrosis tubular akut dan membantu membedakan dari azotemia prerenal. Rontgen toraks dapat menunjukkan infiltrat paru, efusi pleura, atau pneumonitis difus.5,6 DIAGNOSIS Setiap pasien demam akut mempunyai riwayat, setidaknya 2 hari, tinggal di daerah banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar (berjalan kaki di banjir atau air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan dari hewan, berenang di air banjir atau menelan air yang terkontaminasi dengan atau tanpa luka) dan menunjukkan setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, nyeri tekan betis, injeksi konjungtiva, menggigil, nyeri perut, sakit kepala, ikterus, atau oliguria. Pasien dengan gejala tersebut hendaknya dipertimbangkan sebagai tersangka kasus leptospirosis. Setiap kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital stabil, sklera anikterik, keluaran urin yang baik, tidak ada meningismus/ iritasi meningen; sepsis/syok sepsis; sulit bernapas; atau ikterus, dan bisa mengonsumsi obat per oral dianggap leptospirosis ringan dan dapat ditatalaksana dengan rawat jalan. Kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital tidak stabil, ikterus atau sklera ikterik, nyeri perut, mual, muntah dan diare, oliguria/ anuria, meningismus/ iritasi meninges, sepsis/syok sepsis, perubahan status mental atau sulit bernapas dan hemoptisis dianggap leptospirosis sedang – berat dan perlu dirawat inap. Diagnosis Laboratorium Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal pada hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggu kedua dan ketiga. Kultur dan isolasi masih menjadi baku emas, dapat mengidentifikasi serovar, tetapi membutuhkan media khusus dengan waktu inkubasi beberapa minggu, dan membutuhkan mikroskop lapangan gelap, sehingga tidak sesuai untuk perawatan individual. Sejumlah metode deteksi DNA leptospira dengan reaksi rantai polymerase lebih sensitif daripada kultur, dan dapat memberikan konfirmasi diagnosis lebih awal pada fase akut, namun belum menjadi standar rutin. Respons antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah awitan gejala, dapat dideteksi menggunakan beberapa uji komersial berbasis ELISA, aglutinasi latex dan teknologi uji cepat imunokromatografik. Uji serologi ini mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap genus Leptospira. Tetapi uji ini sensitivitasnya rendah (63-72%) pada sampel fase akut (penyakit kurang dari 7 hari). Jika sampel serum diambil setelah hari ketujuh, sensitivitas meningkat menjadi >90%. Oleh karena itu, sampel kedua hendaknya diambil pada kasus tersangka leptospirosis dengan hasil awal negatif atau meragukan. Antibiotik yang diberikan sejak awal penyakit mungkin menyebabkan respons imun dan antibodi tertunda. IgM positif menunjukkan leptospirosis saat ini atau baru terjadi, namun antibodi IgM dapat tetap terdeteksi selama beberapa tahun. Pada uji aglutinasi mikroskopik, peningkatan titer empat kali lipat dari serum akut ke konvalesens merupakan konfirmasi diagnosis. Akan tetapi metode ini kompleks, deteksi antibodi terhadap suspensi antigen hidup dengan cara serum pasien diencerkan lalu diletakkan pada panel leptospira patogenik hidup. Hasilnya dilihat pada mikroskop lapangan gelap dan diekspresikan sebagai

persentase organisme yang dibersihkan dari lapang pandang melalui aglutinasi. Uji hanya dilakukan di laboratorium rujukan, dapat memberikan informasi mengenai serovar yang diduga menginfeksi, sehingga memiliki nilai epidemiologis. Di daerah endemis, titer yang meningkat hanya sekali harus diinterpretasikan secara hati-hati karena antibodi bertahan selama bertahuntahun setelah infeksi akut. Reaksi silang juga dapat terjadi pada sifilis, hepatitis virus, HIV, relapsing fever, penyakit Lyme, legionellosis, dan penyakit autoimun. Pemeriksaan mikroskopik langsung dari sampel klinis bernilai diagnostic kecil, pewarnaan imunohistokimia dari spesimen otopsi sangat berguna.

TATALAKSANA Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada fase penyakit mana pun. Pada kasus ringan obat terpilih adalah doksisiklin.1 Obat alternatif adalah amoksisilin dan azitromisin dihidrat. Pasien sakit berat hendaknya dirawat inap. Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-berat adalah penicillin G. Obat alternatif di antaranya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) dan azitromisin dihidrat parenteral. Antibiotik harus diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama 3 hari (Tabel 2). Pada leptospirosis sedang berat, terapi suportif dengan perhatian pada keseimbangan cairan dan elektrolit serta fungsi paru dan jantung sangat penting. Pasien yang menderita gagal ginjal diterapi dengan hemodialisis atau hemodiafiltrasi jika tersedia. Transfusi darah dan produk darah mungkin diperlukan pada perdarahan berat. Transfusi trombosit dini dianjurkan jika trombosit kurang dari 50 ribu /mm3 atau pada turun bermakna dalam waktu singkat. Perdarahan paru sering membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik segera. Pasien SPHS memiliki bukti fisiologis dan patologis untuk ARDS, sehingga ventilasi dengan volume tidal rendah dan post-expiratory end pressure tinggi. Dukungan pernapasan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat sangat penting karena pada kasus tidak fatal fungsi paru dapat sembuh sempurna. Penggunaan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan, beberapa studi menunjukkan manfaat jika diberikan pada awal ARDS. Metilprednisolon diberikan dalam 12 jam pertama awitan keterlibatan paru dengan dosis 1 g iv/hari selama 3 hari dilanjutkan prednisolon oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Plasmaferesis dosis rendah (25 mL/kg) juga bermanfaat pada perdarahan paru ringan.11 Dua siklus plasmaferesis berjarak 24 jam disertai siklofosfamid 20 mg/ kg setelah siklus pertama plasmaferesis dapat meningkatkan ketahanan hidup.

More Documents from "niajaplani"

Diary.doc
December 2019 0
Tutklin.docx
October 2019 2
Tht Jurnal.docx
December 2019 18