Semakin banyaknya pengemis dan pengamen jalanan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 5 tahun Oleh : Joko Setiawan A. Identifikasi Masalah Di zaman era modern ini, seharusnya kita hidup dalam keadaan yang sejahtera dan makmur. Namun pada kenyataannya, semakin banyak kita lihat di jalanan, khususnya di perempatan-perempatan kota besar yang ramai, banyak para pengemis dan pengamen di jalanan. Entah itu karena mereka kesusahan bekerja di tempat lain atau bahkan mereka sudah menjadikan pengemis dan pengamen itu sebagai profesi pekerjaan. Lebih lajut lagi, yang lebih menyesakkan dada kita, para pengemis dan pengamen jalanan ini sekarang banyak sekali kita temui dilakukan oleh anak berusia dibawah 5 tahun, masih sangat kecil, ditambah lagi mereka adalah seorang perempuan. Untuk tindakan mengemis memang sudah agak ditinggalkan oleh mereka, kebanyakan mengamen namun itu juga dilakukan dengan seadanya saja, tanpa alat bantu dan cara menyanyi yang benar. Tentu saja hal ini merupakan suatu kenyataan yang sangat memprihatinkan di kalangan semua pihak. Dengan maraknya anak di bawah usia 5 tahun yang turun d jalanan, maka hal-hal yang berbahaya akan menghampiri mereka, belum lagi anak-anak seusia mereka seharusnya adalah mendapatkan perlindungan dan pengasuhan dari kedua orang tuanya, bukan malah di eksploitasi di jalanan seperti itu. Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah
mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anakanak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection). Ditambah lagi seperti tertuang dalam UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 13 ayat(1) : Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.
Nah, di sana terlihat jelas bahwa anak seusia mereka tidak sepantasnya berada di jalanan, mereka adalah masih tanggung jawab pengasuhan dari orang tuanya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan semakin meningkatnya kuantitas anak jalanan di bawah usia 5 tahun ini juga sangat erat kaitannya dengan orang tua. Kebanyakan dari mereka berada di jalanan bukan kemauan sendiri namun juga karena adanya tuntutan dari orang tua yang menyuruh mereka turun di jalanan jika ingin bisa memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
B. Faktor-faktor Penyebab Perlu kita ketahui terlebih dahulu fungsi-fungsi dalam keluarga secara normal untuk menginjak pada faktor-faktor penhyebab mengapa seorang anak bisa terjuan di jalanan. Fungsi keluarga tersebut adalah : Fungsi Ekonomis Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa salah satu fungsi keluarga adalah memenuhi kebutuhan nafkah atau ekonomi anggota keluarganya. Kebutuhan ekonomi ini seringkali dioperasionalkan ke dalam kebutuhan sosial dasar, seperti kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tidak semua keluarga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya disebabkan oleh berbagai
faktor.
Dalam
upaya
keluar
dari
masalah,
keluarga
mengembangkan suatu strategi atau coping strategy dari kondisi tersebut. Dimana keluarga tersebut memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk melaksanakan kegiatan ekonomi informal. Jenis kegiatan ekonomi informal dimaksud seperti pemulung, menyemir sepatu, mengamen, mengemis dan asongan serta melakukan pelacuran. Karena itu, meskipun mereka sebagian besar termasuk keluarga kecil, namun terdapat keluarga yang persentasenya cukup besar berpotensi memiliki permasalahan dalam mengembangkan hubungan sosial, pembagian kerja dan pemenuhan kebutuhan sosial dasar. Karena peranan ayah sebagai kepala keluarga dan
bertugas mencari nafkah, secara konvensional ayah memposisikan dirinya sebagai orang yang paling dominan memegang kendali keluarga. Dalam penelitian ini diketahui, bahwa sebanyak 40% ayah mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan keluarga. Sebagimana dikemukakan terdahulu, bahwa perubahan sosial budaya telah merubah pola-pola manajemen keluarga. Karena itu, dominasi ayah dalam mengelola keluarga menjadi tidak mutlak. Sebagaimana hasil penelitian ini, bahwa sebanyak 30% keluarga tidak ada yang memiliki posisi dominan. Artinya, dalam keluarga ini segala kegiatan dan keputusan sudah dilaksanakan secara kolektif antara ayah, ibu dan anak-anak. Fungsi Sosial-Psikologis Di dalam fungsi sosial-psikologis ini ada sejumlah peranan dan tugastugas yang perlu dilaksanakan oleh orang tua. Fungsi sosial-psikologis ini lebih diarahkan pada pengembangan komunikasi atau hubungan sosial yang hangat antara orang tua dengan anak, dan antara anak dengan anak dalam upaya membentuk kepribadian anak. Hasil penelitian mengenai tindakan pembentukan kepribadian orang tua kepada anak, dari 7 (tujuh) jenis tindakan dalam rangka pembentukan kepribadian anak, yaitu pengembangan komunikasi antar anak, memberi peran dan tanggung jawab, memberikan pujian/penghargaan, mengembangkan kerja sama, menanamkan saling mengasihi dan hormat, pemberian contoh dan memelihara keakraban dalam keluarga; Secara ideal, kepribadian seseorang ditampilkan dalam bentuk perilaku sosial yang teramati. Untuk mengembangkan perilaku yang positif diperlukan tindakan dari orang tua, sehingga nilai yang sudah tertanam dalam pribadi remaja, dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan standar sosial dalam keluarga maupun dalam masyarakat luas. Ada sejumlah jenis tindakan yang dilakukan orang tua dalam pembentukan kepribadian, yaitu protektif, memberikan kebebasan pada anak, terlalu menurut anak, penolakan terhadap anak, penerimaan terhadap anak, dominasi orang tua, mengajarkan kepatuhan, tidak adil, ambisi orang tua, mendengarkan
keluhan anak, dan mengatasi masalah bersama. Setelah proses pembentukan sikap dan pola tingkah laku remaja, selanjutnya perlu ditelusuri bagaimana hubungan sosial antara anggota keluarga, sebagai hasil dari pelaksanaan fungsi sosial. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya pola hubungan antara anggota keluarga berada pada kategori biasa-biasa. Batasan konsep “biasa-biasa” ini, bahwa dalam keluarga pernah terjadi perselisihan antara orang tua – anak atau antar anak dalam frekuensi kadang-kadang, dan diselesaikan secara baik-baik. Kekurang-harmonisan antara anggota keluarga tentu saja ada faktor penyebabnya. Berbagai alasan yang dikemukakan responden terjadinya kekurang harmonisan dalam keluarga, yaitu (1) anak tidak menurut pada orang tua, (2) anak jarang pulang atau bertemu dengan anggota keluarga, dan (3) terjadinya komunikasi yang buruk antara orang tua dengan anak. Kemudian dalam kaitannya dengan tindak tuna sosial remaja atau secara lebih spesifik kenakalan remaja, digali pandangan orang tua. Pada umumnya orang tua sepakat bahwa jenis tindakan berikut merupakan bentuk kenakalan, yaitu berbohong, merokok, membolos, melawan guru, mejeng di mall, begadang dijalanan, pulang larut, tidak/jarang pulang, berkelahi/tawuran, minum minuman keras, mengkonsumsi napza, seks bebas, mencuri, memeras/memalak dan merampok (53 – 100 %). Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan pada remaja, menurut orang tua, yaitu (1) pengaruh teman sebaya, (2) lingkungan sosial, (3) pola asuh dalam keluarga, dan (4) pengaruh nonton flim/TV. Meskipun menurut orang tua, penyebab kenakalan remaja yang dominan berasal dari lingkungan sosial, namun pada umumnya orang tua berpendapat bahwa pencegahan terjadinya kenakalan remaja perlu dimulai dari dalam keluarga, antara lain dengan mengembangkan hubungan sosial yang hangat, menanamkan disiplin, pemberian contoh dan pendidikan mental spiritual. Setelah kita melihat fungsi keluarga tersebut di atas, maka bisa dirumuskan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan seorang anak berada di jalanan.
Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga yang berada di lingkungannya yang biasanya keluarganya adalah keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi sesungguhnya peran orang tua anak jalanan tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja. Berdasarkan dari peta permasalahan anak jalanan yang telah diketahui, maka faktor-faktor yang menyebabkan anak turun dijalanan adalah didasari permasalahan-permasalahan sebagai berikut : - Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidak berfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga. - Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan. - Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak. - Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial. - Belum optimalnya social control di dalam masyarakat - Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base. Pada kondisi di lapangan, kebanyakan mereka yang berusia di bawah 5 tahun ini banyak yang turun di jalanan disebabkan oleh hal-hal berikut ini : a. Karena anak kecil lebih dikasihani oleh para pengguna jalan daripada
pengemis atau pengamen yang sudah berusia lebih tua.
b. Ternyata penghasilan ketika seorang anak turun ke jalan untuk mengemis atau mengamen lebih banyak daripada ibu-ibu atau bapakbapak. c. Perilaku orang tua yang mengharuskan seorang anak turun di jalanan karena alasan ekonomi keluarga yang semakin sempit, hal ini mendorong anak mau atau tidak mau untuk turun di jalan. d. Masih jarangnya penegakan hukum yang ada dalam upaya ikut mengayomi hak-hak anak di jalanan, jadi orang tua dapat dengan leluasa mengeksploitasi anaknya. e. Kurangnya kesadaran orang tua akan bahaya yang dapat ditimbulkan, ketika seorang anak di bawah usia 5 tahun dibiarkan berkeliaran di jalan besar guna mengemis dan mengamen.
C. Dampak-dampak Masalah Karena yang berada di jalanan ini adalah anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun, maka akan berdampak buruk baik bagi pengguna jalan, orang tua maupun bagi anak sendiri. Dampak-dampak permasalahan tersebut dapat kita identifikasi sebagai berikut : a. Dampak bagi pengguna jalan : Jalan bertambah menjadi macet,
pengendara harus ekstra hati-hati karena kebanyakan anak ini kurang memperhatikan jalan ketika sedang bercanda, lebih jauh lagi akan terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan yang mengharuskan pengguna jalan menanggungnya. b. Dampak bagi orang tua : Krisis kasih sayang kepada anaknya, terlibat
kasus
eksploitasi
terhadap
anak,
secara
tidak
sadar
telah
menjerumuskan anak kepada tindakan yang melanggar hak asasi. c. Dampak bagi anak itu sendiri : Rawan terjadi kecelakaan, tidak bisa
menikmati masa-masa bermain secara normal, kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, emosi terpengaruh kepada kehidupan liar di
jalanan, rawan menjadi objek-objek menyimpang dari anak-anak jalan lainnya yang lebih tua, tidak bisa menjalankan fungsi sosialnya secara normal, dan rawan menajadi anak jalan hingga besar nanti. Dampak-dampak terbebut akan semakin meluas seiring dengan lama “jam terbang” di lapangan dan bertambahnya usia, karena jika dari sejak kecil sudah hidup di jalanan, maka seorang anak besar kemungkinan akan menganggap bahwa hidupnya memang berada di jalanan.
D. Program Pelayanan Program pelayanan adalah bermacam-macam, di sini saya paparkan alternatif model penanganan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base. - Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan. - Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. - Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.
Secara umum terdapat dua tujuan dalam penanganan anak jalanan: Pertama, melepaskan anak jalanan untuk dikembalikan kepada keluarga asli, keluarga pengganti, ataupun panti. Kedua, penguatan anak di jalanan dengan memberikan alternatif pekerjaan dan ketrampilan. Kedua tujuan tersebut tampak saling melengkapi, yakni memperkuat anak di jalan dan kemudian mencarikan peluang untuk mengembalikan anak kepada keluarganya atau pihak-pihak yang bersedia menanganinya. Sedangkan Irwanto (dalam Depsos, 2001:9) mengemukakan asumsiasumsi dasar penanganan (intervensi) terhadap permasalahan anak jalanan. Menurutnya pemahaman terhadap situasi anak jalanan saja tidak akan memberikan jalan keluar yang efektif. Agar sebuah intervensi efektif, maka diperlukan pemahaman yang menyeluruh mengenai masyarakat dan keluarga-keluarga anak jalanan. Pemahaman makro (struktural) dan mikro (dinamika keluarga) sangat dibutuhkan. Dari asumsi tersebut menurut Sudrajat (dalam Depsos, 2001:9) ada tiga model penanganan anak jalanan yaitu street based, centre based, dan community based. Community based adalah model penanganan anak yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhir adalah anak tidak menjadi anak jalanan atau sekalipun di jalan, mereka tetap berada di lingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi: peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang dan lain sebagainya. Street based adalah kegiatan di jalan, tempat dimana anak-anak jalanan beroperasi. Pekerja sosial datang mengunjungi, menciptakan perkawanan, mendampingi dan menjadi sahabat untuk keluh kesah mereka. Anak-anak
yang sudah tidak teratur berhubungan dengan keluarga, memperoleh kakak atau orang tua pengganti dengan adanya pekerja sosial. Centre based yaitu kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah putus dengan keluarga. Panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk anak dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, ketrampilan, waktu luang, makan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya. Model penanganan Open house (rumah singgah/rumah terbuka) mulai berkembang akhir-akhir ini di berbagai negara untuk melengkapi pendekatan yang sudah ada, termasuk di Indonesia. Model open house memperkuat ketiga pendekatan diatas (community based, street based, dan centre based). Jika ditempatkan di wilayah yang dekat dengan banyak anak jalanan, dapat dipandang sebagai street based yang menjadi pusat kegiatan anak jalanan. Jika di suatu wilayah dimana banyak anak warga tersebut menjadi anak jalanan, dapat dipandang sebagai pusat kegiatan pula atau pintu masuk menangani anak jalanan dengan melibatkan warga masyarakat. Rumah singgah yang umumnya berupa rumah yang dikontrak juga dipandang sebagai panti (centre) baik untuk berlindung maupun sebagai pusat kegiatan. Sehubungan dengan masalah anak jalanan, Lusk (dalam Depsos, 2001:11) mengemukakan empat pendekatan atau strategi dalam mengintervensi kasus anak jalanan: a.
Pendekatan koreksional (corectional) Fenomena anak jalanan dalam pandangan ini didominasi oleh pemikiran sebagian besar polisi dan pengadilan anak yang memang banyak berurusan dengan anak-anak jalanan. Pemikiran inilah yang mempengaruhi pandangan masyarakat untuk melihat anak jalanan sebagai perilaku kenakalan. Sebab itu intervensi yang cocok adalah dengan memindahkan anak dari jalanan dan memperbaiki perilaku mereka. Pendekatan ini menempatkan pentingnya mendidik kembali
agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Kelemahan pendekatan ini adalah adanya kenyataan bahwa petugas dipandang oleh anak sebagai musuh ketimbang mitra, juga fakta kekerasan dan pelecehan seksual tetap berkembang. b.
Pendekatan rehabilitasi (rehabilitatif) Para profesional memperdebatkan bahwa anak jalanan bukanlah perilaku menyimpang karena banyak dari mereka justru merupakan korban penganiayaan dan penelantaran, dampak kemiskinan, dan kondisi rumah yang tidak tetap. Anak jalanan dilihat sebagai anak yang dirugikan oleh lingkungan sehingga mengakibatkan banyak program-program untuk mereka muncul. Pendekatan rehabilitatif memandang anak jalanan sebagai anak yang berada dalam kondisi ketidakmampuan, membutuhkan, diterlentarkan, dirugikan, sehingga intervensi
yang
dilakukan
adalah
dengan
melindungi
dan
merehabilitasi. Pada saat ini kegiatan dari pendekatan rehabilitatif ini lebih dikenal dengan centre based program. c.
Pendidikan yang dilakukan di jalan (street education) Pendekatan ini mengasumsikan bahwa cara terbaik menanggulangi masalah anak jalanan adalah dengan mendidik dan memberdayakan anak. Para pendidik jalanan yakin kesenjangan struktur sosial merupakan penyebab dari masalah ini. Menurut mereka anak merupakan individu normal yang didorong oleh kesenjangan kondisi masyarakat yang hidup dibawah keadaan yang sulit. Dengan melibatkan partisipasi anak, maka dapat dipelajari tentang situasi mereka dan mengikutsertakan dalam aksi bersama. Bentuk kegiatan dari pandangan pendidikan jalanan pada saat ini lebih dikenal dengan nama program yang berpusat di jalanan atau street based program.
d.
Pencegahan (preventif) Pendekatan ini memandang penyebab dari masalah anak jalanan adalah dorongan dari masyarakat itu sendiri. Strategi pencegahan berusaha memberikan pendidikan dan pembelaan serta mencoba menemukan penyelesaian dari apa yang diperkirakan menjadi penyebab permasalahan, yaitu dengan cara berusaha menghentikan kemunculan anak jalanan. Mengatasi masalah anak jalanan, bukan hanya anak di jalanan yang dijadikan fokus untuk dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat, mengingat masyarakat sendiri terus mengalami perubahan sesuai dengan pembangunan yang berlangsung. Bentuk kegiatan dari pandangan preventif dikenal dengan community based program.
E. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas diajukan rekomendasi sebagai berikut : - Mengingat bahwa fenomena masalah anak jalanan berada dalam kompleksitas persoalan yang luas dan tidak berdiri sendiri, maka berbagai pihak perlu melaksanakan program integratif yang diarahkan tidak saja bagi anak jalanan, tetapi juga keluarga dan lingkungan di mana mereka tinggal. Bagi anak jalanan, mereka perlu dilibatkan dalam program pendidikan khusus yang dapat membuka wawasan mereka mengenai masa depan. Bagi keluarga, terutama orang tua, perlu diberikan penyuluhan yang dapat meluruskan persepsi mereka mengenai kedudukan anak di dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat. Di samping itu program pengembangan sentra ekonomi di daerah asal mereka perlu dikembangkan
agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan tidak memposisikan kota sebagai satu-satunya tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. - Potensi dana masyarakat seperti zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) juga dapat digunakan untuk menangani masalah anak jalanan. Pengelolaannya perlu melibatkan organisasi sosial keagamaan. Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan life skill, modal usaha industri rumah tangga, beasiswa, dan program-program pemberdayaan lainnya melalui manajemen ZIS yang modern, profesional dan terbuka. - Untuk memberikan payung hukum penanganan anak jalanan perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai implementasi Undang-undang tentang penggelandangan, yang mengatur teknis pelaksanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi penanganan anak jalanan serta tanggung jawab keluarga dan masyarakat. - Perlu dikembangkan model pengembangan penanganan anak jalanan yang terkoordinasi, jelas tujuannya, dan tepat sasarannya dengan melibatkan berbagai lembaga pemerintah maupun masyarakat, serta memaksimalkan sumber-sumber yang ada. - Perlu dilakukan uji coba salah satu dari ketiga model tersebut yang telah dikemukakan dengan membentuk pilot project yang bersifat lintas sektoral.