TUGAS PENDIDIKAN DAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Di Susun Oleh : Kelompok 1
1. Ni Putu Mellinea Dewi
(P07120018009)
2. Komang Aditya Wedayana
(P07120018022)
3. Putu Shintia Putri
(P07120018034)
4. Komang Intan Setyawati
(P07120018035)
5. I Putu Artha Wiguna
(P07120018038)
KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR D3 KEPERAWATAN TAHUN 2018/2019
Kata Pengantar
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan paper Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi “ Pengertian Korupsi, Ciri, Pola dan Modus Korupsi” Paper ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan paper ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki paper ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi “ Pengertian Korupsi, Ciri, Pola dan Modus Korupsi” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Denpasar, 7 Februari 2019
Penyusun
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL……………………………………….……….i KATA PENGANTAR…………………………………………..…..ii DAFTAR ISI………………………………………………………..iii BAB I PENDAHULUAN……………………………......................1 A. Latar Belakang………………………….……………….…….…2 B. Rumusan Masalah………………………....…………….…….…3 C. Tujuan Penulisan…………………………....……….....….……..3 D. Manfaat Penulisan……………………….....………….….…......4 BAB II PEMBAHASAN……………………………...................... .5 A. Pengertian Korupsi.........……………………………….………...5 B. Ciri-ciri Korupsi………………………………………................5 C. Pola Korupsi……………......................………………….……....6 D. Modus Korupsi………………………………...............................9 E. Korupsi Dalam Berbagai Perspektif…………………………......11 BAB III PENUTUP…………………………………........................27 A. Kesimpulan…………………………………………………........27 B. Saran……………………………………………..........................27 DAFTAR PUSTAKA………………………………........................28
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG Sebagai salah satu jenis kejahatan, korupsi memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan jenis kejahatan yang lain. Salah satu karakteristik tindak pidana korupsi adalah bahwa korupsi tindak pidana yang selalu berkorelasi dengan uang dan kekuasaan. Pelakunya biasanya mimiliki kekuasaan, baik itu politik, ekonomi, birokrasi, hukum maupun kekuasaan yang lain. Karna memiliki kekuasaan, maka pelakunya biasanya termasuk orang-orang yang dikenal oleh publik atau Politically Exposed Person (PEP). Di sisi lain, apapun jenis tindak pidana korupsinya , entah itu korupsi berupa penyalahggunaan kekuasaan, korupsi penyuapan baik pemberi maupun penerima, maka ujung-ujungnya akan berakhir pada persoalan uang. Dengan kekhususan karakteristik kejahatan korupsi, yangselalu berkorelasi dengan uang dan kekuasaan tersebut, maka upaya pengungkapannya juga memerlukan tenik tersendiri. Bahwa benar , secara umum pengungkapan kejahatan korupsi tidak berbeda jauh dengan pengungkapan kejahatan yang lain, namun demikian itu, membawa pada pendekatan yang khas dalam pengungkapannya. Upaya untuk mengungkap kejahatan biasanya dikenal dengan istilah investigasi , atau dengan bahasa lain berupa penyelidikan.Namun nampaknya ada bias pemahaman sejalan dengan lahirnya KUHP, dimana KUHP mengitroduksi istilah baru yang seolah-olah membedakan antara apa yang disebut dengan penyelidikan dan penyidikan , sedangkan pre-investigasi sebagai penyelidikan.
Meskipun ada kesenjangan pemahaman dalam referensi hukum antara investigasi yang seharusnya diartikan sebagai penyelidikan. Namun karena KUHAP memisahkan antara fungsi penyelidikan dan penyidikan ,maka dalam pembahasan buku ini ,akan mengikuti pola hukum positf ,dimana investigasi itu terbagi menjadi dua yaitu penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan belum bersifat projustisia dengan segala konsekuensi hukumnya. Sejalan dengan karakteristik kekhususan kejahatan korupsi dibandingkan dengan kejahatan yang lain,maka buku ini akan membahas bagaimana teknik investigasi yang dielaborasi menjadi teknik penyelidikan dan tehnik penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Meningkat dalam praktek sering dijumpai bahwa korupsi menjadi salah satu kejahatan asal atau predicate crime dari tindak pidana pencurian uang,maka buku ini juga akan membahas tehnik penyidikan terhadap tindak pidana pencucuian uang dengan predicate crime korupsi. Pembahasan tidak hanya terhenti pada persoalan tehnik penyelidikan,penyidikan tindak pidana korupsi maupun pencucian uang saja, tetapi juga dilengkapi dengan tehnik pemberkasan hasil penyidikan seupaya penjadi berkas perkara yang memenuhi syarat baik formail maupun material sehingga siap untuk disidangkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke pengadilan.
2. RUMUSAN MASALAH 1. Pengertian Korupsi 2. Ciri, pola dan modus korupsi 3. Korupsi dalam berbagai persepektif 3.TUJUAN 1. Untuk mengetahui pengertian korupsi 2. Untuk mengetahui ciri dan modus korupsi 3. Untuk mengetahui korupsi dalam berbagai persepektif
4. MANFAAT Manfaat Umum : Memberikan serta menambah pengetahuan atau informasi mengenai pendidikan anti korupsi terutama dalam hal penerapannya atau implementasinya. Manfaat Khusus: Manfaat materi ini dalam keperawatan adalah untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya dalam mengetahui perkembangan terhadap tindak pidana korupsi dalam dunia kesehatan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi Kata korupsi berasal dari kata Bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang berarti “ kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. “Kata corruptio atau corruptus yang berasal dari kata Bahasa Latin ini turun ke banyak Bahasa Eropa, seperti Bahasa Inggris yaitu corruption, corrupt, Bahasa Perancis yaitu corruptionn dan Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie). Pengertian korupsi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, diartikan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. B. Ciri, Pola dan Modus Korupsi I.
Ciri Korupsi Ada bermacam- macam ciri korupsi. Menurut ahli sosiologi dalam bukunya menerangkan beberapa ciri koruptor, yaitu : a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan. c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungann timbal balik. d. Berusaha
menyelubungi
perbuatannya
dengan
berlindung
dibalik
perlindungan hukum. e. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. f.
Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
g. Perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
Ciri Ciri Korupsi : Mengenai ciri-ciri korupsi, menurut Syed Hussein Alatas ( seorang pakar sosiologi) menjelaskan ciri-ciri korupsi sebagai berikut : a. Ciri korupsi selalu melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan antara korupsi dengan pencurian atau penggelapan. b. Ciri korupsi pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang melatarbelakangi perbuan korupsi tersebut. c. Ciri korupsi yaitu melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan tersebut tidaklah selalu berbentuk uang. d. Ciri korupsi yaitu berusaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum. e. Ciri korupsi yaitu mereka yang terlibat korupsi ialah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang serta mempengaruhi keputusankeputusan itu. f. Ciri korupsi yaitu pada setiap tindakan mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau pada masyarakat umum. g. Ciri korupsi yaitu setiap bentuknya melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan tersebut. h. Ciri korupsi yaitu dilandaskan dengan niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi. II.
Pola Korupsi Dalam menjalankan misinya tindak pidana korupsi dapat berlangsung dengan menggunakan beberapa pola. Beberapa pola korupsi antara lain, yaitu : Pola dari korupsi bisa di kelompokkan dalam tujuh pola sebagai berikut : a. pola konvensional b. pola kuitansi fiktif c. pola komisi d. pola upeti e. pola menjegal order f. pola perusahaan rekanan g. pola penyalahgunaan jabatan/wewenang. 1. Pola Konvensional Pola pertama, yakni sebagai pola konvensional yaitu adalah menggunakan uang kantor atau negara secara langsung untuk keperluan pribadi. Karena pola konvensional ini justru sudah jarang dilakukan orang karena risikonya tinggi.
2. Pola Kuintansi fiktif Pola ini lebih dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah manipulasi alias penyelewengan. Sesuatu yang kecil dibikin jadi besar. Yang besar dijadikan kecil. Yang ada dibuat tidak ada. Yang tidak ada diadakan, dan sebagainya. Tapi karena pola ini lebih banyak mengandalkan pada buku kuitansi dalam rangka menghadapi petugas inspektorat, audit, maupun pajak, maka cenderung menamakannya sebagai pola kuitansi fiktif. Disebut kuitansi fiktif karena kuitansinya memang terbukti ada. Tapi barang atau jasa atau kegiatan yang dibeli/diselenggarakan justru lain dengan bukti kuitansinya, atau malah sama sekali tidak ada. Kasus seperti ini boleh dibilang umum dilakukan oleh kantor-kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN. 3. Pola Komisi Sebuah kantor pemerintah, swasta, maupun BUMN pasti sering belanja barang dalam jumlah besar, baik untuk kegiatan rutin maupun untuk menunjang proyek-proyeknya. Sebagai contohnya sebuah kantor perlu 200 baju seragam untuk karyawannya. Harga baju di toko per lembar Rp 10.000. Tapi karena membeli di pengusaha konfeksi, pihak yang curang bisa memperoleh potongan harga sampai 20 persen. Kalau manajemen di kantor tersebut tidak baik, dengan mudah seluruh komisi itu disalahgunakan oleh puhak yang tidak bertanggung jawab 4. Pola Upeti Komisi meskipun berupa hadiah barang, termasuk Hadiah lebaran, Natal dan Tahun Baru asalnya selalu dari relasi dan selalu dihitung sesuai dengan persentase nilai transaksi yang telah atau akan dilakukan. Upeti meski juga bisa berupa uang maupun barang yang datangnya dari bawahan untuk atasan. Tujuannya bisa macam-macam. Misalnya saja agar kondite tetap terjaga baik. Supaya kedudukan aman, tidak digeser. Agar yang dilakukannya tetap berlangsung dengan selamat dan lain-lain.Dalam kondisi tertentu, bisa terjadi tawar-menawar antara atasan dengan bawahan tentang jumlah upeti yang mesti disetor. Dalam kondisi yang sudah cukup gawat seorang atasan bisa langsung memotong upeti yang sudah menjadi kesepakatan bersama itu. Jadi sifatnya sudah sangat mirip dengan pola komisi perbedaanya hanya terletak pada siapa yang melakukan. Jika komisi adalah antara oknum pembelian dengan relasi, sedang upeti adalah antara bawahan dengan atasan. Dalam bentuk kecil, upeti ini bisa berupa makanan atau cenderamata untuk si pengambil keputusan atau si penandatangan SPJ (Surat Perintah Jalan) manakala seseorang akan bertugas keluar kota atau keluar negeri.
5. Pola Menjegal Order Contohnya seperti seseorang bekerja sebagai tenaga sales di sebuah perusahaan konfeksi. Dengan gaji Rp 300.000 ditambah persentase dari transaksi yang berhasil saya dapatkan. Tiba-tiba orang tersebut mendapatkan order senilai 500 juta rupiah. Persentase yang ia dapat dari kantor sesuai dengan peraturan pastilah kecil sekali. Jadi lebih baik orderan ini ia lempar ke pengusaha konfeksi lain hingga saya menerima komisi yang lebih besar. Jikalau orderan ini datangnya dari relasi baru, kemungkinan terbongkarnya kasus ini akan jadi kecil sekali. Tapi yang lebih menguntungkan lagi adalah kalau order tadi ia garap sendiri. Itulah sebabnya kita lalu sering melihat adanya tenaga sales di sebuah perusahaan percetakan yang di rumah juga punya mesin cetak sendiri. Ada pegawai konfeksi yang di rumah punya usaha jahit sendiri. Ada pegawai bengkel yang di rumah juga punya usaha perbengkelan dan sebagainya. Order-order yang dijegal ini sebenarnya secara hukum adalah milik perusahaan. Jadi karena pembuktian kasus seperti ini tidak sulit, penindakannya secara administratif maupun hukum juga paling mudah untuk dilakukan. Penjegalan order seperti ini tidak hanya jadi monopoli para tenaga sales. Tetapi resepsionis, penjaga toko, tenaga administratif bagian pembuka surat, bahkan juga satpam penjaga pintu gerbang pun bisa saja melakukan penjagalan order. Resepsionis menguasai relasi yang datang lewat telepon, tenaga administrasi menguasai pesanan lewat surat/wesel, dan satpam selalu bisa menyongsong relasi yang datang langsung lewat pintu gerbang. 6. Pola Perusahaan Rekanan Apabila seorang pimpinan proyek atau pejabat pengambil keputusan, tentu akan terlalu kentara manakala punya perusahaan yang bisa menangkap order-order dari kantor sendiri. Jadi jika seorang bekerja di sebuah kantor penerbitan lalu di rumah pihak tersebut mempunyai perusahaan percetakan untuk menampung order dari kantor, tentu pihak dari rekan lain akan ribut lantaran hal tersebut. Itulah sebabnya lalu banyak oknum pejabat yang memberi modal pada kerabat dekat lain untuk membuat perusahaan rekanan. Kepadanyalah kemudian segala macam order mengalir. Di kalangan elite di negeri ini, gejala demikian sebenarnya sudah bukan merupakan barang baru lagi. Sebenarnya, sejauh perusahaan rekanan yang dikelola oleh sanak keluarga tadi kualitasnya sama dengan perusahaan rekanan yang asli,hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan masalah. Tapi biasanya, karena pemberi order itu masih dari sanak keluarga sendiri, maka hukum bisnis jadi sering tersendat untuk diterapkan secara
lugas. Terjadilah kemudian penyimpangan kualitas, waktu, anggaran dan sebagainya. 7. Pola Penyalahgunaan wewenang Pola inilah yang sering disebut masyarakat kebanyakan dengan sebutan pungli, uang semir, pelicin, sogok, suap dan lain-lain. Memang selalu ada anjuran untuk tidak memberi iming-iming pungli kepada para petugas, agar mereka tidak tergoda. Anjuran ini mirip sekali dengan imbauan untuk beli karcis di loket stasiun dan bukan di calo. Tetapi karena permintaan jauh lebih besar dari penawaran, jadi tetap saja banyak orang yang memilih calo terutama di saat-saat ramai. Di kalangan para petugas/pegawai negeri masalahnya tetap sama . Selama mereka diberi gaji kecil, padahal wewenangnya begitu besar, maka pungli pasti akan jalan terus. Karena pada dasarnya masyarakat memang perlu pelayanan dan tidak direpotkan. Mereka cenderung berpikirlebih baik keluar uang sedikit asalkan urusan tersebut cepat selesai. III.
Modus Korupsi Modus korupsi ialah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Lebih jauh lagi, modus korupsi menjelaskan apa saja cara yang dilakukan oleh seseorang dalam melakukan tindak kejahatan korupsi dalam melakukan rekayasa / penipuan / penyelewangan suatu hal tertentu (khususnya keuangan) milik Negara atau suatu lembaga tertentu demi keuntungan pribadi atau orang lain Macam-macam modus korupsi antara lain, yaitu : 1. Markup Anggaran Bagian ini adalah yang paling populer dan paling sering terjadi. Dana anggaran digelembungkan dari kebutuhan sebenarnya. Lebih parahnya, terkadang penggelembungannya sampai berlipat-lipat dari anggaran sebenarnya. Sebagian besar para koruptor di Indonesia memakai modus ini. 2. Markdown Pendapatan/Pemasukan Markdown sering terjadi pada petugas lapangan. Misalkan para petugas parkir, penarik iuran, penarik pajak dan sebagainya. Misalkan pemasukan sebenarnya hanya 1 juta rupiah, tapi yang dilaporkan hanya 900 ribu. Sisa uang 100 ribu ditilep masuk kantong pribadi. Polantas yang sering melakukan tindakan penilangan terhadap pengendara yang terbukti tidak mentaati aturan lalu lintas, sebagian besar memakai modus ini. Menurut
UU yang berlaku, uang denda tersebut seharusnya masuk Kas Negara, bukan masuk kantong pribadi dari Polantas yang bersangkutan tersebut. 3. Pungutan Diluar Aturan UU. Sering terdapat di kantor-kantor kecamatan, desa, kepolisian, kantor swasta, pasar dan sebagainya. oknumnya bisa berseragam atau non seragam. Jika yang berseragam, dari pembuatan KTP, KK dan sebagainya biasanya pungutan ini tidak ada ketetapan UU pasti tentang berapa besarnya. Misalkan ketika ingin membuat surat kehilangan, lalu orang yang kehilangan tersebut mengatakan: "berapa pak?" lalu petugas kepolisian mengatakan: "Seiklasnya". Ini sebenarnya juga pungutan liar. Jika benar memang ada peraturan resminya, pasti terdapat keterangan seperti contoh "membuat surat kehilangan akan dikenakan tarif sebesar 10.000 rupiah, beradasarkan UU no sekian tahun sekian.” 4. Pemberian Hadiah Hampir sama dengan suap pasif, yakni pihak pejabat diberikan hadiah seperti mobil, tiket, hotel, atau fasilitas lainnya yang sebenarnya tidak ada aturannya. Tentunya si pemberi hadiah mempunyai maksud agar urusannya dapat dimudahkan. 5. Memotong Bantuan Sering dilakukan oleh para pejabat penyalur bantuan. Dari pejabat dinas, petugas lapangan, aparat desa bahkan sampai RT/RW sering terjadi. Alasannya untuk alasan administrasi. 6. Menaikan Biaya dari yang Sebenarnya Termasuk pada pembagian modus korupsi ini adalah petugas parkir, biasaya 1000, mintanya 2000. Termasuk para penjaga toko, warnet dan sebagainya yang melakukan pembulatan keatas. misal biaya warnet hanya 1800, tapi operator bilang 2000. 7. Pemerasan Pajak Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa karena kesengajaan wajib pajak dan bisa juga bukan karena kesengajaan. Kekurangan tersebut dianggap tidak ada dan imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk ke kantong pemeriksa pajak. 8. Manipulasi Tanah Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan tanah termasuk, memanipulasi tanah negara menjadi milik perorangan/badan,
merendahkan pembebasan tanah dan meninggikan pertanggungjawaban, membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena proyek dengan harga murah. 9. Jalur Cepat Pembuatan KTP Dalam Pembuatan KTP dikenal ‘jalur biasa’ dan ‘jalur cepat’. Jalur biasa adalah jalur prosedural biasa, yang mungkin waktunya lebih lama tapi biayanya lebih murah. Sedangkan ‘jalur cepat’ adalah proses pembuatanya lebih capat dan harganya lebih mahal. 10. SIM Jalur Cepat Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian/tes tertulis dan praktek yang dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir akan mempersulit pembuatan SIM Untuk mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biaya tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang terlibat dalam praktek ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani kepengurusan SIM. 11. Proses Tender Dalam proses tender pengerjaan tender seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan seringkali terjadi penyelewengan. Pihak yanag sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang tidak memenangkan tender karena telah dimenangkan oleh pihak yang mampu ‘main belakang’ dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini telah terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang sebenarnya tidak qualified 12. Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak) pasal-pasal yang ada untuk meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada penegak hukum. Praktek ini melibatkan terdakwa/tersangka, penegak hukum (hakim/jaksa) dan pengacara.
IV.
Korupsi Dalam Berbagai Perspektif Istilah korupsi dapat dilihat dari berbagai konteks seperti sejarah, budaya dan hukum. Masing-masing konteks memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan ruang lingkupnya. Konteks sejarah cenderung melihat korupsi dari sudut pandang kesinambungan historisnya. Sementara dalam konteks budaya, hukum, sosial, teknologi, politik ekonomi, Agama dan nilai-nilai pancasila.
1.
Korupsi dalam Presfektif Sejarah Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan penggelapan uang atau
barang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara. Korupsi memiliki sejarah panjang dalam kehidupan manusia didunia. Prilaku koruptif telah ada sejak dahulu dengan modus bervariasi disetiap zamannya. Pada tahun 1970 di era pemerintahan Soeharto, Muhamaan Hatta ditunjuk sebagai Penasihat Presiden dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa jejak-jejak korupsi sebenarnya telah ada sejak dahulu, paska Negara Indonesia mulai merdeka. Pernyataan Hatta bahwa korupsi telah membudaya di bangsa Indonesia menunjukkan pengertian bahwa Indonesia telah memiliki reputasi sebagai negara yang korup (Margana, dalam Wijayanto, 2009:417). Jika ditelusuri lebih jauh lagi, maka praktekpraktek tindakan korupsi dan penyelewengan telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, ketika Indonesia masih dalam bentuk kerajaan dan masa kolonial.Praktek-praktek korupsi yang marak terjadi di Indonesia pada zaman sekarang merupakan wujud kesinambungan historis. Kesinambungan historis ini merupakan legacy (warisan) dari sistem pemerintahan yang korup yang ada pada sistem pemerintahan sebelumnya dalam sejarah Indonesia, yaitu Sistem pemerintahan feodal Jawa ala Mataram dan kombinasi Pemerintahan ala VOC yang kemudian dipertahankan pada masa kolonial Hindia-Belanda (Margana, dalam Wijayanto, 2009:424). Seperti diatakan oleh W.F. Wertheim bahwa meluasnya korupsi dan penyelewengan di Indonesia memiliki hubungan dengan feodalisme. Dalam bukunya berjudul Indonesian
Society in Transition, Weirtheim menyatakan bahwa Korupsi di Indonesia antara lain bersumber pada peninggalan pandangan Feodal, yang sekarang menimbulkan “Conflicting Loyalities” antara kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban untuk Negara (Soedarso, 2009:13). Sementara, Kebangkrutan VOC di Indonesia menimbulkan perdebatan panjang dikalangan sejarawan yang memiliki spekulasi bahwa Korupsi dan penyelewengan sebagai penyebab kebangkrutan VOC tersebut. Lemahnya Integritas para pejabat VOC membuat tindakan penyelewengan dan korupsi terus menggerogoti dan menciptakan kehancuran di tubuh VOC pada akhir abad kedelapan belas. Di Jawa, VOC dipandang sebagai penerus Patrimonialisme yang dipraktekkan oleh Kerajaan-kerajaan di Jawa pada abad ketujuh belas (Margana, dalam Wijayanto ,2009:245). Sistem patrimonial ini sebagai sistem pemerintahan yang dominan di Indonesia sejak dahulu, seperti apa yang disebut Max Weber sebagai Patrimonial Bureaucratic State (Negara Patrimonial Birokrasi.) Sistem pemerintahan yang patrimonial telah menjadikan praktik-praktik penyelewengan dan korupi di tubuh pemerintahan menjadi tindakan/prilaku yang masif. Prilaku koruptif sebagai warisan yang diberikan dari sistem pemerintahan sebelumnya, menjadikan korupsi berakar kuat dan sulit diberantas. Sistem pemerintahan patrimonial yang dominan pada zaman kerajaan jawa, kemudian pada masa pemerintahan Kolonial VOC, dan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, telah mempengaruhi kehidupan dan sistem pemerintahan zaman sekarang. Dimana praktek-praktek korupsi dan penyelewengan yang mengikuti sistem patrimonial tersebut mewariskan perilaku korup kepada manusia di zaman modern ini. Dinasti Ratu Atut di Banten merupakan contoh nyata dari sistem patrimonial yang masih hidup dalam Pemerintahan di Indonesia saat ini. Korupsi dan penyelewengan dalam tubuh dinasti Atut menunjukkan bahwa praktek korupsi memiliki kesinambungan historis yang panjang dalam bentuk sistem patrimonial. Sistem patrimonial ini marak terjadi di berbagai pemerintahan di seluruh Indonesia, dan dalam berbagai tingkatan.
Sejarah panjang dari praktek korupsi dan penyelewengan di Indonesia telah berdampak besar bagi stabilitas kehidupan bangsa. Warisan sejarah berupa sistem pemerintahan yang korup telah berpengaruh besar dan menyebar luas dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga sekarang dapat dilihat bagaimana tindakan penyelewengan dan korupsi tidak hanya terjadi di lingkungan pemerintahan saja, namun di kalangan swasta atau masyarakat sipil, praktek korupsi dan penyelewengan menjadi sesuatu yang masif terjadi. Seperti halnya penyelewengan atau korupsi dana bantuan bencana alam, telah banyak terjadi di bangsa Indonesia saat ini. Tidak hanya korupsi dana pemerintahan, namun di sektor dana sosial yang notabene sebagai dana bantuan musibah yang bernilai simpati dan empati juga tidak luput dari tindakan korupsi. Telah banyak kasus yang terungkap dan telah dipidanakan berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana di Indonesia. Kasus yang terungkap tersebut misalnya; korupsi dan penyelewengan dana bantuan Bencana Tsunami Aceh 2004, penyelewengan dana bantuan bencana Gempa di Bantul 2006, penyelewengan bantuan bencana di Garut dari 2008, Penyelewengan Beras bantuan Bencana Alam di Jember 2010, korupsi dana bancana alam di kantor Bakesbangpol Dagri di Madiun 2014,dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya. Sejarah panjang praktek korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia masih menimbulkan pertanyaan besar bagi bangsa ini. Pertanyaan itu berkaitan dengan tindakan korupsi dan penyelewengan sebagai kesinambungan historis sebagai warisan tradisi sejak zaman kerajaan dan kolonial. Atau bahwa tindakan korupsi dan penyelewengan merupakan suatu fenomena baru sebagai bentuk perubahan sosial berkaitan dengan moral, nilai dan mental masyarakat, yang juga dipengaruhi oleh kehidupan masalalu dalam bingkaian sejarah. Tentu hal ini masih menjadi perdebatan panjang dan menarik untuk terus dikaji berkaitan dengan fenomena korupsi dan penyelewengan bantuan bencana alam di Indonesia.
2. Korupsi Dalam Perspektif Pancasila a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini jelas perilaku tindak pidana korupsi ini
tidak
mencerminkan perilaku tersebut karena perilaku tindak pidana korupsi adalah perilaku yang tidak percaya dan taqwa kepada Tuhan. Dia menafikan bahwa Tuhan itu Maha Melihat lagi Maha Mendengar. b. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam sila ini perilaku tindak pidana korupsi sangat melanggar bahkan sama sekali tidak mencerminkan perilaku ini, seperti mengakui persamaan derajat, saling mencintai, sikap tenggang rasa, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan serta membela kebenaran dan keadilan. c. Sila persatuan Indonesia Tindak pidana dan tipikor bila dilihat dalam sila ini, pelakunya itu hanya mementingkan pribadi, tidak ada rasa rela berkorban untuk bangsa dan Negara, bahkan bisa dibilang tidak cinta tanah air karena perilakunya cenderung mementingkan nafsu, kepentingan pribadi atau kasarnya kepentingan perutnya saja. d. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyarawatan perwakilan. Dalam sila ini perilaku yang mencerminkannya seperti, mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak, keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan keadilannya. Sangat jelaslah bahwa tindak pidana korupsi tidak pernah ada rasa dalam sila ini. e. Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia Rata-rata bahkan sebagian besar pelaku tindak pidana korupsi itu, tidak ada perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana gotong royong, adil, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidak
melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, serta tidak ada rasa bersama-sama untuk berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial. Jadi semua perilaku tindak pidana dan tipikor itu semuanya melanggar dan tidak mencerminkan sama sekali perilaku pancasila yang katanya ideologi bangsa ini. Selain bersifat mengutamakan kepentingan pribadi, juga tidak adanya rasa kemanusiaan, keadilan, saling menghormati, saling mencintai sesama manusia, dan yang paling riskan adalah tidak ada rasa ‘percaya dan taqwa’ kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Korupsi dalam Prespektif Budaya Korupsi
sebagai
kejahatan
pencurian
uang
dalam
bentuk
penyalahgunaan wewenang, memiliki arti yang sangat luas. Jika korupsi dilihat dari sudut pandang budaya, maka pengertian korupsi memiliki dimensi tradisi atau kebudayaan. Beberpa ahli mengemukakan pendapat bahwa tindakan korupsi sekarang ini bukan sebagi fenomena penyimpangan, namun telah manjadi tindakan yang masif terjadi dan telah menjadi budaya. Pengertian “membudaya” dalam konteks korupsi memberikan pengertian bahwa prilaku koruptif telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tak terbantahkan dalam relasi sosial, politik, dan ekonomi. Hal tersebut seperti pernyataan Mohammad Hatta (wakil presiden RI pertama) bahwa “prilaku korupsi telah membudaya dalam masyarakat Indonesia”. Pernyataan hatta tersebut di lontarkannya pada tahun 1970an, ketika ia menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam upaya pemberantasan korupsi saat itu (Margana, dalam Wijayanto, 2009:415-416). Melabel
korupsi
sebagai
tindakan
yang
membudaya
akan
menghubungkan korupsi dengan konsep “determinisme kultural” (cultural determinism). Determinisme kultural ini merupakan konsep yang sering menjadikan acuan beberapa ahli dalam mengamati dan mempelajari korupsi yang semakin tumbuh meluas dalam masyarakat. Dimana determinisme kultural
memberikan pengertian bahwa kebudayaan tertentu
dalam
masyarakat tertentu telah memberikan landasan mentalitas menguatnya tindakan korupsi dan penyelewengan. Dalam sejumlah kebudayaan, terdapat nilai-nilai yang sedemikian berbeda sehingga korupsi kurang dituntut kepengadilan, lebih dapat diterima, atau bahkan merupakan bagian dari adat istiadat itu (Klitgaard, 2001:82). Nillai-nilai dan adat-istiadat yang sedemikian itu telah menjadikan praktek tindakan korupsi dan penyelewengan semakin masif terjadi di masyarakat. Perbedaan adat-istiadat, kebiasaan, dan pedoman berperilaku masyarakat satu dengan masyarakat lain, pada gilirannya, dapat menjelaskan bagaimana berbagai macam jenis serta tingkat korupsi terjadi. Perbedaan-perbedaan “budaya” disalahgunakan untuk mendukung tindakan korupsi. Banyak teori dapat digunakan untuk menjelaskan korupsi sebagai persoalan budaya. Diantaranya adalah teori dari Emile Durkheim (185-1917). Sosiolog Prancis ini memandang bahwa watak manusia sebenarnya bersifat pasif dipengaruhi dan dikendalikan oleh struktur dalam masyarakatnya. Individu secara moral, netral, dan masyarakatlah yang menciptakan kepribadiannya (Kamil, 2009:848). Dalam konteks prilaku koruptif dan penyelewengan bantuan bencana, berarti bahwa sistem budaya dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang membentuk prilaku individu. Ketika individu berada dalam struktur kelembagaan yang korup, maka struktur yang korup tersebut akan membentuk individu yang korup pula. Sebesar apapun sifat baik yang dimiliki seorang individu, ketika ia masuk dalam lembaga yang korup maka lama kelamaan akan masuk dalam pusaran hitam prilaku korupsi. Sistem budaya yang korup akan mempengaruhi dan membentuk prilaku individu. Ketika suatu lembaga memiliki sistem budaya yang korup, nilai dan moral telah bergeser dan membentuk nilai baru, yang selanjutnya dipegang bersama oleh anggotanya sebagai pedoman berperilaku. Nilai baru inilah yang dianggap sebagai nilai yang benar walaupun dalam ukuran nilai yang sebelumnya merupakan nilai yang menyimpang. Sehingga ketika ada seorang Indvidu yang memiliki kepribadian yang baik dengan pegangan
moral dan nilai yang kuat akan dianggap menyimpang ketika ia berada dalam lembaga yang korup tersebut. Sementara Gabriel Almond, seorang ahli teori kebudayaan politik yang banyak dipengaruhi oleh teori Sosiologi Fungsionalisme struktural Talcot Parson dan Behavioral Science dari disiplin Psikologi, memiliki pengertian yang lain mengenai tindakan korupsi dan penyelewengan berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Almond, yang banyak dipengaruhi fungsionalisme struktural, memahami kebudayaan dan masyarakat dengan pengertian yang luas, dimana masyarakat dipandang sebagai suatu sistem dengan bagian-bagian yang saling bergatung (interdeoendensi). Baginya praktik politik dalam bntuk tindakan korupsi tidak bisa dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, namun saling berkaitan dan berinteraksi dengan struktur lain seperti ekonomi, dan budaya (Kamil,2009:848-850). Dalam perspektif budaya, korupsi menjadi sesuatu yang dianggap biasa karena telah dilakukan, baik secara sadar maupun tidak sadar dalam sikap hidup sehari-hari. Jika dikategorikan secara berjenjang perilaku seseorang terhadap praktik korupsi dimulai dari sangat permisif, permisif, antikorupsi, dan sangat antikorupsi. Dalam hal ini pelaku sadar bahwa tindakannya akan merugikan suatu pihak dan akan ada konsekuensi yang dihadapinya apabila kecurangan itu diketahui.Fenomena kasus koruptif yang sering terjadi dalam dunia kesehatan dan dianggap sebagai suatu kebiasaan yaitu: a. Kebiasaan masyarakat memberikan uang pelicin atau tips kepada petugas kesehatan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kesehatan. b. Seorang petugas kesehatan merekomendasikan obat pesanan sponsor karena ia telah menerima gratifikasi dari produsen obat tersebut. c. Penyalahgunaan kartu miskin/Jamkesmas/Jamkesda untuk mendapatkan fasilitas kesehatan gratis yang dilakukan masyarakat dalam golongan mampu.
d. Manipulasi data pelaporan tindakan medis yang berdampak pada besarnya klaim pada asuransi kesehatan atau sejenisnya. Dalam dunia pendidikan perilaku yang bersifat permisif (menganggap sebagai
hal
biasa),
tetapi
sebenarnya
merupakan
praktik
korupsi
yaitu:Orangtua siswa memberikan uang atau hadiah kepada guru sebagai ucapan terima kasih saat menerima rapor kenaikan kelas anaknya.Mahasiswa memberikan parsel atau uang kepada dosen pembimbing dan dosen penguji sebagai ucapan terima kasih menjelang dilaksanakannya seminar proposal atau ujian karya tulis ilmiah.Orangtua calon mahasiswa memberikan sejumlah uang kepada panitia penerima mahasiswa baru agar anaknya dapat diterima di perguruan tinggi negeri. Almarhum Dr. Mohammad Hatta yang ahli ekonomi pernah mengatakan bahwa korupsi adalah masalah budaya. Pernyataan bung Hatta tersebut dapat diartikan bahwa korupsi di Indonesia tidak mungkin diberantas kalau
masyarakat
secara
keseluruhan
tidak
bertekad
untuk
memberantasnya.Apakah kita dapat mengenali secara lebih konkrit kepercayaan, moralitas dan kebiasaan bangsa kita yang tidak memberikan perangsang pada pemberantasan korupsi? jawabannya memang ada, yaitu sisa – sisa sistem feodal kita. Dalam sistem ini, menerima sesuatu dari rakyat, walaupun untuk itu rakyat sendiri harus berkorban dan menderita, tidaklah merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas tidak dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi. Sisa – sisa sistem feodal rupanya masih ada praktek – praktek dan tradisi yang dianggap ”wajar ”. Artinya, kebudayaan bangsa Indonesia dewasa ini masih belum berubah ke arah menolak sama sekali moral dan tradisi sistem feodal. Inilah salah satu kesulitan berat yang selalu dihadapi oleh hakim yang bertugas mengadili tindak pidana korupsi. Kalau pengadilan tidak berhasil membuktikan secara hitam diatas putih atau kalau tidak ada saksi – saksi yang dengan menganut sistem nilai baru yang anti feodal, yang benar – benar bersedia untuk membantu memperkuat tuduhan korupsi maka niscaya hakim tidak mempunyai alasan kuat untuk menghukum tertuduh. Jika masyarakat secara
keseluruhan sudah menganut ukuran yang sama dalam hal rasa keadilan, maka usaha pengenalan dan pengendalian korupsi akan jauh lebih mudah. Di negara kita perubahan dari ” Orde Lama ” ke ” Orde Baru ” kemudian di ikuti dengan masa reformasi, bukannya tanpa pengorbanan yang besar. Barangkali karena masalah korupsi belum berkembang menjadi masalah yang benar – benar menggerogoti kelangsungan hidup bangsa Indonesia, maka penanggulangannya belum perlu dilakukan dengan revolusi. Demikianlah dengan memahami kaitan – kaitan faktor budaya, maka kita bisa mengerti mengapa usaha – usaha pemberantasan korupsi di Indonesia jarang mencapai hasil yang memuaskan.
4. Korupsi dalam Presfektif Hukum Jika dilihat dalam konteks hukum, Korupsi tergolong sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum dan dapat dipidanakan. Dalam konteks hukum, setiap tindakan yang melanggar peraturan Perundang-Undangan maka dapat dipidanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan penyelewengan bantuan bencana alam, maka Undang-undang yang dapat menjerat pelaku yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi. UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi, memuat 29 pasal berkaitan dengan tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Sebagai persoalan hukum dan telah diatur dalam perundang-undangan, maka segala bentuk tindakan individu ataupun kelompok yang melanggar UU tersebut dapat dipidanakan dan dikenakan sanksi yang berat. Adapun pemberatan pidana menurut Undang-undang ini selain ancaman pidana yang lebih berat dari UU sebelumnya (UU No.3 Th.1971), UU ini juga memberikan pemberatan terhadap hal-hal sebagai berikut: (Wijayanto: 573-575)
Terhadap perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, ancamannya dapat berupa pidanan mati. Adapun yang dimaksud dengan keadaan tertentu yaitu keadaan saat negara ditetapkan dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku; Terjadi Bencana Alam Nasional; Pengulangan tindak pidana korupsi; dan dalam keadaan krisis moneter. Apabila oleh UU yang lain dikatakan sebagi perbuatan Korupsi, maka diberlakukan UU ini;Percobaan, upaya membantu atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama; Orang diluar negeri yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidanan korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan pelaku;Dilakukan dalam hal ini tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam perkara pidana korupsi sealain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, juga dapat dijatuhkan sebagai pidana tambahan berupa: pertama, Perampasan barang bergerak yang berwujud dan tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Kedua, pembayaran uang Penganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan apabila dalam tenggang waktu satu bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak membayar uang pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Namun jika terpidana tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesudah putusan pengadilan. Ketiga, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun. Keempat, pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
Jika melihat konteks hukum dan perundang-undangan yang berlaku, maka tidakan individu atau kelompok dalam menyelewengkan bantuan bencana Alam juga tergolong sebagai tindak pidana korupsi. Sesuai UU no.31 tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001, pelaku penyelewengan bantuan menurut UU tersebut dapat menerima pemberatan pidana yaitu pidana mati. Pidana mati ini dapat dijatuhkan karena perbuatan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, yaitu ketika negara sedang menghadapi Bencana alam Nasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999. Ancaman pidana mati yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 sesuai dengan pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawatimur yang memberikan warning kepada pelaku penyelewengan bantuan bancana alam meletusnya gunung kelud februari 2014 (EncietyNews, 2014). Pemberantasan korupsi sebagai persoalan hukum dilakukan sebagai upaya yang lebih bersifat represif dari pada upaya yang bersifat preventif. Upaya pemberntasan ini dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK sebagai lembaga yang bertugas untuk membernatas kasus korupsi di Indonesia dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002. Sementara untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi dilakukan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan umum dan berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri bersangkutan. Demikian pula ditingkat Banding, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Ibu kota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Pengadilan
Tindak
Pidana
Korupsi
iniberwewenang
memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang berkaitan dengan korupsi (Isra & Eddy, dalam Wijayanto, 2009:575). Korupsi Dalam Perspektif Hukum Korupsi harus dipahami sebagai tindakan melawan hukum dan ada pandangan sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime). KPK mengungkap tiga sebab mengapa korupsi di Indonesia menjadi kejahatan luar biasa yaitu: Korupsi di Indonesia sifatnya transnasional sehingga beberapa koruptor Indonesia mengirimkan uang ke luar negeri. Hasil pendataan KPK menunjukkan bahwa 40 persen saham di Singapura adalah milik orang Indonesia. Oleh sebab itu, Singapura hingga saat ini tak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Tujuan dari perjanjian ini adalah meminta buron dari suatu negara yang lari ke negara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Pembuktian korupsi di Indonesia itu super. Artinya, membutuhkan usaha ekstrakeras. Seperti diketahui, 50 persen kasus korupsi bentuknya penyuapan. Koruptor yang menyuap tidak mungkin menggunakan tanda terima atau kuitansi. Secara hukum, pembuktiannya cukup sulit. Dampak korupsi memang luar biasa. Contohnya, dari sektor ekonomi, utang Indonesia di luar negeri mencapai Rp1.227 triliun. Utang ini dibayar tiga tahap, 2011–2016, 2016–2021, dan 2021–2042. Permasalahan yang muncul apakah kita dapat melunasinya pada 2042? Di sisi lain, menjelang tahun itu banyak timbul utang-utang baru dari korupsi baru. (Republika, 2014) Pandangan lain berpendapat bahwa tindak pidana korupsi itu hanya dianggap sebagai tindak pidana biasa dan bukan merupakan extraordinary crime. Para ahli hukum tersebut merujuk pada Statuta Roma tahun 2002, yang dalam hal ini statuta tersebut menggolongkan korupsi bukan suatu kejahatan luar biasa yang tergolong extraordinary crime, yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Namun, Indonesia sendiri bukanlah negara yang ikut meratifikasi Statuta Roma tersebut. Seluruh negara telah menyatakan perang terhadap korupsi dan koruptor, bahkan sebagai anggapan kejahatan luar biasa maka ada negara yang memberlakukan hukuman mati untuk para koruptor. Indonesia telah
membuat undang-undang tersendiri untuk mencegah dan memberantas korupsi. Beberapa Undang – Undang dan peraturan pemerintah yang erat kaitannya untuk mencegah dan memberantas korupsi yaitu: a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi; d. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; e. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; g. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
5. Korupsi Dalam Perspektif Agama Agama sebagai dasar dari segala kepercayaan dan keyakinan tiap individu berperan penting. Dalam semua ajaran agama, tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk berlaku atau melakukan tindakan korupsi. Namun, pada kenyataannya praktik korupsi sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan orang-orang beragama. Agama memang mengajarkan dan mengarahkan para penganutnya untuk hidup jujur, lurus, dan benar. Korupsi termasuk kategori perilaku mencuri yang diharamkan agama dan tindakan pendosa. Logikanya seseorang yang beragama atau memegang teguh ajaran agamanya tidak akan melakukan korupsi. Penyebabnya tentu dapat dilihat dari berbagai perspektif. Harus
disadari bahwa kelakuan seseorang tidak hanya ditentukan oleh agamanya. Ada banyak faktor yang memengaruhi orang untuk bertindak atau berperilaku koruptif, antara lain faktor genetik, faktor neurologis, faktor psikologis, faktor sosiologis, faktor pendidikan dan pengasuhan. Ada faktor lain yang bisa mengalahkan pengaruh ajaran agama sebagai godaan manusiawi, yaitu 1. Nilai – nilai agama tidak menjadi pedoman dalam tindak perilaku di masyarakat 2. Ketiadaan apresiasi terhadap nilai-nilai kemuliaan disertai dengan lemahnya disiplin diri dan etika dalam bekerja 3. adanya sifat tamak dan egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Dengan gaya hidup modern sekarang ini, orang dengan mudah melupakan atau dengan sengaja mengabaikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya, lalu melakukan tindak pidana korupsi. Ada kalanya uang hasil tindak pidana korupsi itu digunakan untuk hal-hal yang berbau religi. Dalam hal ini tentu harus ada introspeksi diri dari kita semua, termasuk dari para pemuka agama.
6. Korupsi Dalam Prespektif Sosial Dalam perspektif sosial korupsi dipandang suatu perbuatan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan, perusakan moral bangsa, hilangnya rasa percaya terhadap pemerintah, akan timbul kesenjangan dalam pelayanan umum dan menurunnya kepercayaan pemerintah dalam pandangan masyarakat. Dalam sistem ini, menerima sesuatu dari rakyat, walaupun untuk rakyat itu sendiri harus berkorban dan menderita, tanpa diketahui oleh rakyat itu sendiri mereka telah diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum korupsi yang tidak bertanggung jawab, merupakan perbuatan tercela dan penerimaan itu jelas dapat dimasukkan sebagai perbuatan korupsi.
7. Korupsi Dalam Prespektif Teknologi Dalam perspektif teknologi korupsi dipandang sebagai sesuatu yang dapat menghambat perkembangan teknologi yang ada, penyalahgunaan tindakan yang merugikan negara, dan terorisme yang terus merajalela.
8. Korupsi Dalam Prespektif Politik Dalam perspektif politik korupsi dapat mempersulit demokrasi dan tata cara pemerintahan yang baik dengan cara menghancurkan proses formal, sistem politik akan terganggu cenderung tidak dipercaya oleh masyarakat, akan timbul aklamasi-aklamasi untuk menguatkan kekuatan politik (menjaga keberlangsungan korupsi) dan akan timbul ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga politik.
9. Korupsi Dalam Prespektif Ekonomi Dalam perspektif ekonomi korupsi berdampak pada pembangunan infrastruktur yang tidak merata, tidak sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya. Pemerataan pendapatan yang buruk, membuat pengusaha asing takut untuk berinvestasi di Indonesia, pendapatan negara mengalami penurunan dan membuat beban lebih berat pada masyarakat.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kata korupsi berasal dari kata Bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang berarti “ kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Ciri-ciri yang mendasar dari ciriciri korupsi adalah Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Ada beberapa Pola dari korupsi antara lain pola konvensional dan pola kuintansi fiktif Modus korupsi ialah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Lebih jauh lagi, modus korupsi menjelaskan apa saja cara yang dilakukan oleh seseorang dalam melakukan tindak kejahatan korupsi dalam melakukan rekayasa / penipuan / penyelewangan suatu hal tertentu (khususnya keuangan) milik Negara atau suatu lembaga tertentu demi keuntungan pribadi atau orang lain . Korupsi Dalam Berbagai Perspektif Istilah korupsi dapat dilihat dari berbagai konteks seperti sejarah, budaya dan hukum. B. Saran Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil
DAFTAR PUSTAKA Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Soedarso, Boesono. 2009. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Wijayanto dkk.2009. Korupsi Mengkorupsi Indonesia: sebab, akibat, dan prospek pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Departemen Pendidikan Nasional,2016, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.736. Sutedi,Adrian. 2008. Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta : Sinar Grafika. Dr. Yudi Kristiana S.H., M.Hum. Teknik Penyidikan dan Pemberkasan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Penerbit Thafa Medika Prof.Dr.Maidin Gultom, S.H.,M.Hum. Suatu Analisis tentang Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Bandung : Refika Aditama Andrea dalam Andi Hamah,2015, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.4. https://nasional.kompas.com/read/2008/08/22/19465330/inilah.18.modus.operandi .korupsi.di.daerah.