TUGAS MAKALAH ORMAS ISLAM DI INDONESIA
oleh
Rita Aryanti 30101206832
1. Nahdlatul Ulama (NU) 1.1. Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidangpendidikan, sosial, dan ekonomi. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentukjam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah(community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri (Ridwan, 2004: hal.169). Dalam Anggaran Dasar hasil Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928 M, secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan membentengi artikulasi fiqh empat madzhab di tanah air. Sebagaimana tercantum pada pasal 2 Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdhatul al-Ulama (Anggaran Dasar NU), yaitu : a.
Memegang teguh pada salah satu dari madzhab empat (yaitu
madzhabnya Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu’man, dan Imam Ahmad bin Hanbal); b. Islam.
Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama
1.2. Aliran yang dianut Nahdlatul Ulama menganut aliran Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: )أهل السنة atau Sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
1.3. Pemikiran Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj Ahlis Sunnah WalJama’ah sebagai berikut : 1. Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti Manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. 2. Dalam bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzahib al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) 3. Dalam Bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al-Junaid alBaghdadi (w.297H) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M). (Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2012: 161-169). 1.4. Tokoh 1. KH. Mohammad Hasyim Asy’arie
2. KH. Abdul Wahab Chasbullah 3. KH. Bisri Syansuri 4. KH. Muhammad Ali Maksum 5. KH. Achmad Muhammad Hasan Siddiq 6. KH. Ali Yafie 7. KH. Mohammad Ilyas Ruhiat 8. DR (HC). KH. Mohammad Ahmad Sahal mAHFUDZ 9. KH. Ahmad Mustofa Bisri 10. KH. Hasan Gipo 11. KH. Idham Chalid 12. DR (HC). KH. Abdurrahman Wahid 13. KH. Hasyim Muzadi 14. Prof. Dr.KH. Sais Aqil Siradj, M.A.
2.
Muhammadiyah (MD)
2.1. Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah (MD) Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi Islam modern yang berdiri di Yogyakarta pada 18 November 1912. Organisasi ini terbentuk karena masyarakat islam yang berpandangan maju menginginkan terbentuknya sebuah organisasi yang menampung aspirasi mereka dan menjadi sarana bagi kemajuan umat islam. Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan maju tersebut terbentuk karena pendidikan serta pergaulan dengan kalangan Islam di seluruh dunia melalui ibadah haji. Salah seorang tokoh tersebut ialah KH. Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi ini.
Muhammadiyah didirikan atas dasar agama dan bertujuan untuk melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan yang jelek yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul (Nana Supriatna, Jil.2, 2008: 171-172).
2.2. Aliran yang dianut Muhammadiyah menganut aliran Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: )أهل السنة atau Sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
2.3. Pemikiran Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
‘Aqidah; untuk menegakkan aqidah Islam yang murni, bersih dari
a)
gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam; b)
Akhlaq; untuk menegakkan nilai-nilai akhlaq mulia dengan
berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia; ‘Ibadah; untuk menegakkan ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah
c)
S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia; d)
Mu’amalah dunyawiyat; untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat
(pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah SWT. (MKCH, butir ke-4). 2.4. Tokoh 1. K.H. Ahmad Dahlan 2. K.H. Ibrahim 3. K.H. Hisyam 4. K.H. Mas Mansur 5. Ki Bagoes Hadikoesoemo 6. Buya A.R. Sutan Mansur 7. K.H.M. Yunus Anis 8. K.H. Ahmad Badawi 9. K.H. Fawih Usman 10. K.H.A.R. Fachruddin 11. K.H. Ahmad Azhar Basyir 12. Prof. Dr.H. Amien Rais
13. Prof. Dr. KH. Ahmad Syafi’I Ma’arif 14. Prof. Dr. KH. Din Syamsuddin, M.A. 15. Dr. Kh. Haedar Nashir, M.Si
3. MUI 3.1. Latar Belakang MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya,
selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
3.2. Pemikiran Dalam khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah) 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid 5. Sebagai penegak amar ma'ruf nahi munkar
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili
kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)
3.3. Tokoh 1. Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah 2. KH. Syukuri Ghozali 3. KH. Hasan Basri 4. Dr. KH. Muhammad Ali Yafie 5. Dr (HC). KH. Mohammad Achmad Sahal Mahfudz 6. Prof. Dr. KH. Din Syamsuddin, M.A.