Tugas Kelompok - Hubungan Antara Politik Dan Pembentukan Hukum.docx

  • Uploaded by: Florence Klaody
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Kelompok - Hubungan Antara Politik Dan Pembentukan Hukum.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,346
  • Pages: 13
TUGAS KELOMPOK Mata Kuliah : Bahasa Indonesia Hukum Dosen : Reni Suryani

Disusun oleh : Hayati Dwi Yulianty / 171010250013 Klaody Novenari

/ 171010250163

Suci Semester / Ruang : II / 303

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG Jalan Saurya Kencana nomor 1, Pamulang

HUBUNGAN ANTARA POLITIK DAN PEMBENTUKAN HUKUM Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar. Dapat dikatakan bahwa struktur hukum dapat berkembang dalam segala konfigurasi politik. Kerapkali hukum itu tidak ditegakkan seperti sebagaimana mestinya karena adanya intervensi politik. Sistem politik yang demikian ternyata menyebabkan lahirnya hukum-hukum yang memiliki karakter tersendiri. Sistem hukum tercermin dari politik yang berkembang. Tentu saja hukum tidak bisa dipisahkan dengan politik. Bahwa pada kenyataannya keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi suatu produk hukum. Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Disini kita akan membahas mengenai hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Sejauh mana hubungan antara hukum dan politik tersebut. A. Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan Hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk mengatur, akan tetapi lebih dari itu untuk menciptakan adanya kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Maka hukum itu terus mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Secara empiris hukum dipandang sebagai bagian dari fenomena sosial. Pada awalnya tidak ada keragu-raguan mengenai kemampuan negara untuk secara otonom dan mutlak mengatur serta menata kehidupan masyarakat. Hukum menjadi semacam alat di tangan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang dikehendaki. Negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat,melainkan democratic rechtsstaat (negara hukum yang demokratis). Konsekuensi negara hukum yang demokratis adalah adanya supremasi konstitusi sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi. Demokrasi yangworkable dapat berfungsi dan mampu memelihara stabilitas politik nasional serta menciptakan pemerintahan yang efektif, kuat, acountableyang dibangun dalam sebuah masyarakat yang tingkat pemilahan sosialnya sangat tinggi. Socrates menyatakan bahwa hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan. Plato mencanangkan suatu tatanan di mana hanya kepentingan umum yang diutamakan, yakni partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan. Lebih tepatnya ia mencanangkan suatu negara dimana keadilan akan dicapai secara sempurna. Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan

perlindungan hukum. Dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembagalembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun hukum yang berkeadilan. Sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor masa lalu (pengaruh penjajahan), faktor-faktor adat istiadat serta budaya bangsa serta faktor agama yang berpengaruh kuat di Indonesia. Kesemua faktor itulah yang melahirkan sistem hukum Indonesia melalui proses legislasi maupun praktik hukum. Pembangunan sering diartikan sebagai penyelenggaraan perubahan tertentu terhadap suatu masyarakat. Sering pula ditegaskan bahwa hakikat pembangunan adalah pembangunan terhadap manusianya. Kenyataannya, pembangunan bukan sekedar perubahan terhadap suatu masyarakat, melainkan juga perubahan terhadap lingkungannya. Pembangunan hukum ditujukan pada masyarakat dan lingkungan untuk membangun hukum yang berkeadilan. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dalam arti bahwa mungkin dipergunakan sebagai suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang ang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. B.

Hukum sebagai produk politik

Dalam studi tentang hukum banyak identitifikasi yang diberikan sebagai suatu sifat atau karakter hukum seperti memaksa, tidak berlaku surut, dan umum. Dalam berbagai studi hukum dikemukakan bahwasanya hukum mempunyai sifat umum sehingga peraturan hukum tidak ditujukan kepada seseorang dan tidak akn kehilangan kekuasaannya jika telah berlaku terhadap suatu peristiwa konkret. Peraturan hukum juga mempunyai sifat abstrak, yakni mengatur hal-hal yang belum terkait dengan kasus-kasus konkret. Selain itu juga ada yang mengidentifikasikan hukum bersifat imperatif dan fakultatif. Dengan sifat imperatif yaitu peraturan hukum bersifat apriori harus ditaati, mengikat, dan memaksa. Sedangkan hukum bersifat fakultatif yaitu peraturan hukum tidak secara apriori mengikat, melainkan sekedar melengkapi, subsidair, dan dispositif. Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan dan nilai-nilai generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap dan dilakukan oleh berbagai macam agent. Dalam berpolitik kita juga dihadapkan dengan hukum. Hukum merupakan refleksi dari budaya hukum pada suatu tatanan masyarakat. Hukum merupakan produk politik sehingga setiap produk hukum akan sangat ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi. Jika melihat fenomena yang telah terjadi, hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak rakyat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong keseweang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang harusnya bisa dijawab oleh hukum. Banyak produk hukum yang lebih diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan.

Ternyata hukum itu tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Disini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin sangat di tentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya, maupun dalam implementasi penegakkannya. Politik itu selalu berbicara mengenai kepentingan. Semua pemain politik selalu membawa kepentingan yang kadang-kadang dan bahkan selalu bertubrukan atau saling bertentangan. Karena muara kepentingan politik adalah kekuasaan dan pengaruh, maka konflik kepentingan politik menjadi lebih keras dari konflik lainnya. Karena itulah politik harus diikat dengan norma-norma hukum dan tata cara yang disepakati bersama diantara para pemain politik. Fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, manusia, bangsa-bangsa, provinsi-provinsi, dan kelompok lainnya. Struktur politik adalah pengelompokan sosial yang berbeda-beda. Elite politik memainkan sejumlah skenario yang mengarah kepada kepentingan diri, partai, atau golongannya sendiri. Politics for itself menjadi sesuatu yang lazim dan mengobsesi pikiran banyak politikus. Politikus yang di parlemen, yang tengah menjalankan fungsi legislasi, dalam menjalankan tugasnya tidak berorientasi kepada upaya memecahkan problema konstitusional, melainkan didasarkan pada upaya menutup kepentingan dan kelemahan pribadi masing-masing elite politik. Melihat logika berpikir para politikus, maka nyata benar bahwa aroma politics for itself sangat kental. Praktik politik demikian tentu tidak dapat terlalu diharapkan untuk bisa membangun pemerintahan yang memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa. Akan sulit membangun sebuah pemerintahan yang memiliki state capacity yang jelas dalam menyelesaikan krisis, karena elite politik yang tengah memegang kekuasaan itu sendiri ternyata menjadi sumber dan biang krisis. Politik memiliki unsur dominan dan mengintimidasi hukum. Para pembuat hukum adalah orang-orang politik yang memegang kekuasaan dan berwenang untuk menentukan hukum. Maka hukum yang ada adalah cerminan dari politik. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan politik. Sudah dibenarkan bahwa hukum merupakan produk politik. Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karateristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe None dan Philip Selznick pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya. Maka masyarakat harus menunjukan dan membuktikan bahwa dirinya mampu menguasai keadaan. Hukum yang di lahirkan dari politik sudah seharusnya dapat memberikan perlindungan bagi warga negara dan seluruh lapisan masyarakat, sehingga semua orang sama kedudukan di muka hukum itu dapat berjalan dengan baik dan sempurna. Namun karena yang berpolitik itu adalah manusia yang memiliki nafsu akan kekuasaan maka hukum di bentuk dan di buat atas dasar

kepentingan kelompok atau golongan mereka dalam rangka melanggengkan kekuasaan atau melindungi diri mereka. Realita ini tidak dapat di pungkiri, bahwa siapapun yang berkuasa maka mereka akan membentuk peraturan perundang-undangan itu atas dasar sikap egoistik pada perlindungan kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat pemilik kedaulatan negara. Produk hukum yang berlaku di indonesia didasari dengan suatu kekuatan politik yang mengatur hukum yang direkomendasikan oleh pemangku jabatan sehingga produk-produk hukum yang berlaku bukan menjadi suatu proyek dasar yang berdasarkan penghayatan pengamalan pancasila, hingga tak jarang mendengar kebijakan yang tak berpihak kepada masyarakat dalam budaya dan etika moral kekuasaan yang diamanatkan kepada seorang presiden dan di koordinasikan ke DPR sebagai pemangku amanat rakyat. Peradaban yang menjunjung tinggi atas keadilan sosial bagi masyarakat yang mengartikan bahwa masyarakat memiliki kebijakan secara sosial dan politik akan menciptakan sistem hukum yang tetap menjunjung norma-norma produk hukum yang berlaku tanpa mengesampingkan moralitas peradaban tersebut. Politik sebagai subsistem kemasyarakatan senantiasa mempengaruhi produk hukum sehingga muncul paham baku bahwa “hukum adalah produk politik”. C. Determinasi Politik atas Hukum Berangkat dari asumsi bahwasanya hukum merupakan produk politik, sehingga hukum merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik. Eksistensi hukum dan kinerja hukum sangat dipengaruhi dengan konfigurasi politik yang sedang terjadi pada periode tertentu. Sepanjang perjalanan sejarah negara Republik Indonesia telah terjadi tolak dan tarik atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan politik yang otoriter. Jika konfigurasi politik tersebut dimulai dari proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, periode perjalanan konfigurasi politik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. 1.

2. 3.

4.

5.

Pada awal kemerdekaan (18 Agustus – 16 Oktober 1945) melalui pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 secara formal negara tersusun dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden sebelum lembagalembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah komite nasional. Melalui maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem kabinet konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959). Konfigurasi politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966). Ketika orde baru lahir pada bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser ke arah yang demokratis. Semboyan yang banyak dikumandangkan ketika itu adalah menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, membangun supremasi hukum dan sebagainya (19661969/1971). Keadaan demokratis hanya berlangsung selama 3 tahun pada awal Orde Baru sebab setelah seminar AD II memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi maka format baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis, format yang

memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-tangannya di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang dapat melancarkan jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu dituangkan di dalam dua UU politik yang diundangkan pada tahun 1969 yakni UU No. 15 Tahun 1969 (tentang Pemilu) dan UU No. 16 Tahun 1969 (tentang Susduk MPR/DPR/DPRD). Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua UU ini secara substansial tetap berlaku sampai sekarang. Penetapan demokrasi dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu sebab kedua istilah tersebut ambigu. Indikator-indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberpa hal yang juga tampak dari hasil studi tersebut adalah: 1.

Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD. UUD yang sama pada periode ynag berbeda (seperti UUD 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1961/1971) dan konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1966 dan 1969/1971-sekarang); sebaliknya UUD yang berbeda pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang sama yakni demokratis. Dengan demikian, demokratis atau tidaknya suatu sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain politiknya. 2. Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan, ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni “konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Karakter responsif dan konservatif ditandai, antara lain oleh hal-hal :  Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).  Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan kehendak dan aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan progam pemerintah.  Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan hukum konservatif memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peraturan pelaksanaan (interpretatif). Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum. Pernyataan tersebut bisa dilihat dari bagan berikut ini. Variabel Bebas

Variabel Terpengaruh

Konfigurasi Politik

Karakter Produk Hukum

Demokratis

Responsif/Populistik

Otoriter

Konservatif/ Elitis

Ortodoks/

D. Hubungan Kausalitas antara Politik dan Hukum di Indonesia Persoalan hukum sangat kompleks, karena itu pendekatannya bisa dari multi disiplin ilmu baik sosiologi, filsafat, sejarah, agama, psikologi, antropologi, politik dan lain-lain. Politik dan hukum tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan satu kesatuan. Dalam kaitannya dengan hubungan keduanya, ada beberapa pendapat :  

Menurut Arbi Sanit, bahwa hubungan antara hukum dengan politik memang berjalan dalam dua arah sehingga kedua aspek kehidupan ini saling mempengaruhi. Menurut Soeharjo SS, bahwa politik dan hukum merupakan pasangan. Politik membentuk hukum dan hukumlah yang memberikan wujud pada politik.

Dari kedua pendapat diatas, dapat dilihat bahwa hukum dan politik berhubungan sangat erat dikarenakan: 1. Hukum merupakan produk politik. 2. Hukum merupakan salah satu alat politik, dimana penguasa dapat mewujudkan kebijakannya. 3. Jika sudah menjadi hukum, maka politik harus tunduk pada hukum. Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Politik sangat menentukan bekerjanya hukum. Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan menjadi relevan. Tetapi kaum realis pada sudut pandang das sein mengatakan bahwa “hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya”. Ini berarti hukum, mau tidak mau menjadi independent variabel atas keadilan di luarnya, terutama keadaan politiknya. Untuk kasus Indonesia, kita dapat melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989 (tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda. UU No. 1/1974

lahir dalam keadaan politik konflik dan saling curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam sedang melakukan akomodasi. Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: 1. Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. 2. Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. 3. Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi bahwa, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh. Di indonesia jika dilihat secara realitanya maka akan cenderung bahwa politik determinan atas hukum. Seperti yang telah diasumsikan penulis bahwasanya politiklah yang berperan aktif dalam mengendalikan hukum. Dimana pada keadaan politik tertentu hukum yang dihasilkan juga berjalan sesuai keadaan politik tersebut. Maka hukum di pandang sebagai dependent variabel (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakkan sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa pada kenyataannnya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan kontesasi agar kepentingan dan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi UU. UU yang lahir dari kontesasi tersebut dengan mudah dapat dipandang sebagai produk dari adegan politik. Berangkat dari studi mengenai hubungan antara politik dan hukum kemudian lahir sebuah teori “politik hukum”. Politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Jadi politik hukum adalah bagaimana hukum akan atau seharusnya dibuat dan ditentukan arahnya dalam kondisi politik nasional serta bagaimana hukum difungsikan. Hukum menghadirkan sistem politik sebagai variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Studi teoritis tentang politik dan produk hukum dilakukan secara lebih mendalam akan terbukti bahwa “aksioma” tersebut berlaku pada produk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Hubungan kausalitas yang yang perangkat teorinya menggunakan dikotomi

tentang sistem politik demokratis dan otoriter serta dikotomi antara hukum responsif dan ortodoks/konservatif. Secara garis besar pencirian dan pengukuran ata konsep-konsep tersebut dapat dilihat dalam identifikasi sebagai berikut : Sistem Politik

Produk Hukum

Demokratis

Otoriter/Non demokratis

Responsif

Ortodoks/ Konservatif

Peranan lembaga perwakilan rakyat menonjol ; berada pada posisi tidak di bawah kekuatan politik pemerintah dan dapat menentukan garis politik nasional. Kebebasan pers relatif terjamin dan partaipartai dapat aktif berperan melalui lembaga perwakilan.

Lembaga perwakilan secara praktis ada pada kondisi kalah kuat dari pengaruh politik pemerintahan sehingga penentu agenda dan arah politik nasional lebih di dominasi oleh pemerintah. Kehidupan pers berada di bawah bayang-bayang kontrol ketat pemerintah. Hal yang sama terjadi pada partai-partai yang lebih menjadi asesoris daripada demokrasi formal.

Pembuatannya melalui proses yang partisipatif, menyerap aspirasi kelompokkelompok sosial dan individu-individu di dalam masyarakat serta melibatkan lembagalembaga kenegaraan. Oleh karenanya ia menggambarkan muatan yang aspiratif dan hanya memberikanspace yang sempit bagi pemerintah untuk membuat interpretasi.

Pembuatannya lebih banyak di dominasi oleh lembaga-lembaga negara dan isinya lebih bersifat “positivis instrumentalis” artinya menggambarkan visi dan kemauan politik pemerintah. Materi muatannya banyak memberikanspace kepada pemerintah untuk membuat interpretasi melalui delegasi perundang-undangan dandroit function.

Mengacu hal tersebut, maka sejarah politik dan hukum di Indonesia di bagi dalam tiga periode yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1966, dan periode 1966-sampai sekarang; sedangkan produk-produk hukum diarahkan pada hukum-hukum publik. Hasil studi tersebut memperlihatkan secara signifikan bahwa sistem politik yang demokrasi dapat melahirkan hukumhukum yang responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter dan non demokratis melahirkan hukum-hukum yang memiliki karater konservatif/ortodoks. Jadi, ada hubungan kausalitas antara politik dan hukum, dimana hukum itu begitu dependent terhadap politik yang melahirkannya.

Harus dipisahkan antara demokrasi sebagai sistem politik dengan way of life masyarakat. Oleh karena demokrasi adalah sistem tang memberi kebebasan dan partisipasi masyarakat, apa yang tampil di publik sangat tergantung dari kecenderungan populasi. Demokrasi adalah cara yang efektif untuk mengontrol operasi kekuasaan agar tidak menghasilkan penyalahgunaan wewenang. Hal yang lazim jika pembela demokrasi adalah lapisan masyarakat yang terdidik, sedangkan penentangnya adalah mereka yang sedang mengendalikan pemerintahan. Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik. Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Perubahan karakter produk hukum juga terjadi secara tolak-tarik dengan senantiasa mengikuti konfigurasi politik yang melatar belakanginya. Oleh karena itu, jika masyarakat mendambakan lahirnya hukum-hukum yang berkarakter responsif, yaitu produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Maka yang lebih dulu diupayakan adalah menata kehidupan politiknya agar menjadi demokratis. Sebab bagaimanapun juga hukum terus mengikuti arus politik.

Pengertian Penemuan Hukum Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum. Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta

tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum.Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya. Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu: 



Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, citacita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur halhal tertentu secara umum saja. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.

POLITIK HUKUM NERKAITAN DENGAN PENERAPAN HUKUM HUKUM berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dimana tujuan sistem hukum mensyaratkan terpenuhinya tiga unsur yang selalu menjadi tumpuan hukum, yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigket). Hukum dalam pengertiannya yang umum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang berfungsi sebagai alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Adapun hukum pidana dan penegakannya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal policy), politik kriminal merupakan bagian dari politik penegakan hukum (law enforcement policy). Politik penegakan hukum merupakan bagian bagian politik sosial (social policy) yang merupakan usaha setiap masyarakat dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Dalam diskursus pengaruh politik terhadap hukum, selalu dipertanyakan determinannya politik terhadap hukum. Menurut pandangan Critical Legal Studies (CLS), batas pemisah antara

hukum dan politik sebenarnya tidak pernah ada. Hukum bekerja sebagai “agenda politik” atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan agenda politik. CLS berpandangan bahwa doktrin hukum yang selama ini terbentuk, sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan (power), baik itu kekuatan ekonomi, politik ataupun militer. Oleh karena itulah, maka dalam memahami masalah hukum juga harus selalu dilihat dari konteks power-relations. Roberto Unger menunjukkan bahwa betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik. Analisis hukum yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata dengan demikian mengisolasi hukum dari konteksnya. Secara normatif (doktrinal), kekuasaan dan hukum merupakan dua sisi mata uang yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan adalah konsep politik, sedangkan hukum adalah konsep tentang keadilan, sehingga keduanya saling membutuhkan dan memerlukan. Namun, telah menjadi kenyataan, bahwa hukum dalam praktik - ketika dalam tahap penerapannya sebagai hukum in concreto - selalu saja merupakan hasil dari proses yang amat sarat dengan muatan motif-motif politik yang tersembunyi. Terkait dengan hal ini, dalam berbagai penerapan hukum terhadap ulama dan aktivis, khususnya terhadap HRS, disangkakan telah melakukan perbuatan pidana tidak dapat dilepaskan dari kepentingan (motif) politik yang melingkupinya. Pendapat ini didasarkan pada berbagai indikasi dalam proses penerapan hukum yang dilakukan, semenjak suatu kelakuan dinyatakan sebagai perbuatan pidana dan penetapan status tersangka yang dilekatkan. Sebagai contoh, pada penegakan hukum terhadap HRS ternyata pula didasarkan dari adanya pembentukan opini sebelumnya di masyarakat tentang adanya kejahatan berbentuk konten pornografi melalui mass media secara luas yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Pihak Kepolisian kemudian melalui penyidik menggunakan sarana penal berupa proses kriminalisasi. Kemudian, dalam perkara dugaan tindak pidana penodaan Lambang Negara pada Polda Jabar, juga telah terjadi ‘penyelundupan hukum’. Dimaksudkan disini, perkataan HRS dinyatakan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 154 a KUHP dan/atau Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.Menurut prinsip hukum pidana, jika terjadi suatu perubahan terhadap peraturan perundang-undangan, maka yang berlaku adalah peraturan yang belakangan atau yang baru, dengan demikian peraturan yang lama dinyatakan tidak berlaku (lex posterior derogat legi priori). Prinsip demikian, dalam syariat Islam dikenal dengan nasikh-mansukh. Oleh karena itu penerapan sangkaan dengan mengacu kepada Pasal 154 a KUHP tidaklah dapat dibenarkan. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 57 huruf a yakni : mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara, tidaklah dapat diterapkan pada perkataan HRS yang hanya berbicara tentang rumusan Pancasila pada sidang BPUPKI. Jelasnya, perkataan tersebut tidak dapat dipersamakan dengan perbuatan mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara. Pada perkara ini, terlihat penyidik telah melampui kewenangannya (ultra vires) dengan menggunakan penafsiran hukum yang sejatinya kewenangan tersebut milik Pengadilan.

Mendukung pernyataan sebelumnya, penulis mengutip teori Sibenertika yang dikemukakan oleh Talcott Parsons. Pada intinya mengemukakan bahwa hukum dalam masyarakat itu tidaklah otonom karena penegakannya selalu dipengaruhi oleh faktor non-hukum yaitu faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dalam interaksi antara politik dengan hukum, ternyata “politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar,” sehingga hukum berada pada posisi yang lemah. Teori Talcott Parsons ini sejalan dengan fenomena hukum yang dialami oleh HRS, bahwa penegakan hukum tidaklah berjalan sebagaimana mestinya, hukum dalam penegakannya selalu dipengaruhi oleh faktor non hukum utamanya politik.

Related Documents


More Documents from "meri fitri yanti"