TUGAS FILOSOFI AGAMA
Oleh : Antonio Hazman/24412074
UNIVERSITAS KRISTEN PETRA SURABAYA 2013
BUKU 1: BUDDHA oleh Karen Armstrong Pada tulisan ini, sang penulis ingin menceritakan mengenai perjalanan hidup Siddhatta Gotama atau sang Buddha. Sang penulis ingin mengulas mengenai kronologis perjalan hidup Siddhatta Gotama dan membahas berbagai alasan dan ajaran filosofi dibalik semua tindakan dan ajaran Siddhatta Gotama. Sang penulis menggunakan sumber referensi tulisan bersejarah sebuah kanon yang ditulis dalam bahasa Pali, dan dari berbagai narasumber seperti para bikkhu dan bikkhuni serta kitab suci Tipitaka sendiri. Tulisan-tulisan bersejarah tersebut didapat berdasarkan keputusan dari para murid-murid Buddha yang merasa perlu melestarikan ajaran Sang Buddha setelah Sang Buddha parinibana. Seiring berjalannya waktu akhirnya ajaran-ajaran Sang Buddha ditulis dan menjadi sebuah Tipitaka. Namun sang penulis sempat mengalami kesulitan ketika ia mencari sejarah mengenai awal kehidupan Siddhattaa Gotama. Untungnya saja para penganut agama Buddha dahulu menuliskan biografi Sang Buddha yang berdasarkan dari ingatan para biarawan yang diturunkan dari ingatan biarawan pertama yang merupakan murid-murid Sang Buddha dan beberapa literature di Tipitaka. Tulisan tersebut pertama bernama Lalita-Vistara dan Nidana Katha. Sehingga akhirnya sang penulis bisa mendapatkan jejak sejarah dari Siddhatta Gotama. Siddhatta Gotama diketahui meninggalkan rumahnya yang mewah di daerah Kapilavatthu di lembah Himalaya, waktu itu umur Beliau diperkirakan 29. Sidhatta Gotama memiliki seorang istri dan seorang anak serta istana yang mewah dan ayahnya merupakan seorang raja. Namun Ia merasa tinggal seperti itu sangatlah tidak nyaman dan tidak bebas. Ia merasa kertikatannya dengan duniawi membuat-Nya terperosok kedalam kedukaan dan kesakitan. Beliau melihat bahwa semuanya tidak ada yang abadi, semua orang akan menjadi tua, sakit dan mati, namun jika hidup ini tidak abadi lalu apa tujuan dari hidup ini? Apakah ada suatu cara untuk mengakhiri penderitaan itu? Atas dasar pertanyaan tersebut akhirnya Beliau berpikir bahwa “pencerahan spiritual” merupakan solusinya. Sehingga berangkatlah Beliau meninggalkan istananya yang nyaman untuk mencari pencerahan ini. Berdasarkan referensi yang didapat oleh penulis Siddhatta Gotama sempat berguru pertama kali kepada Alara Kalama seorang pengajar dhamma. Sidhatta Gotama belajar mengenai tahap-tahap dan cara bermeditasi dan pengertian tentang Hukum Kamma dari Alara Kalama. Namun Beliau merasa ajaran Alara Kalama masih belum bisa menjelaskan bagaimana cara mengakhiri penderitaan akibat usia tua, penyakit dan kematian, maka Beliau memutuskan untuk mengundurkan diri. Kemudian Beliau berguru kepada Uddaka Ramaputta
seorang pertapa yang hebat pada jaman itu. Bersama Uddaka Ramaputta, Siddhatta Gotama mengembangkan cara bermeditasi yang paling tinggi, dan dalam waktu singkat, Petapa Gotama berhasil mencapai tingkat kemampuan tinggi itu. Ketika diminta untuk menjadi mitra untuk mengajar murid-murid Uddaka Ramaputta, Beliau menolak karena ajaran itu masih belum bisa mengakhiri penderitaan akibat ketidakabadian, Petapa Gotama pun mohon diri dan meneruskan pengembaraannya. Petapa Gotama berpikir bahwa cara meditasinya salah. Mnegingat masa lalunya dulu, sewaktu masih kecil, Beliau sempat bermeditasi hingga mencapai tingkat yang lumayan tinggi tanpa adanya latihan setelah ia merasakan perasaan sedih ketika mengamati serangga dan telur-telur yang ada dikebunnya dihancurkan oleh pengurus kebun itu. Akhirnya Petapa Gotama menyimpulkan apabila kita merasakan kebahagian atau kesedihan akibat empati, maka kita akan meninggalkan seluruh ego kita dan berada pada keadaan yang “bersih”, sayangnya keadaan ini hanya sesaat, namun keadaan ini sangat diperlukan sewaktu bermeditasi agar bisa mencapai tingkat meditasi yang tinggi. Petapa Gotama kemudian berpendapat apabila sesorang bermeditasi dengan ”berkesadaran” yang dilatih dengan cara menyadari setiap gerak-gerik, pikiran dan tingkah laku serta apa yang terjadi disekitar, maka sesorang bisa mencapai tingkat meditasi yang tinggi pula. Stelah berlatih dengan teknik meditasi seperti ini, akhirnya Petapa Gotama mencari sebuah lokasi yang tenang untuk bermeditasi, dan dipilihlah sebuah tempat di bawah Pohon Bodhi untuk bermeditasi, dan ditempat inilah Petapa Gotama mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha. Pada intinya yang membuat sengsara adalah kemelekatan pikiran kita kepada objek, sehingga pikiran yang tidak melekat pada objeklah yang merupakan Sumber Kebahagiaan dan akarnya adalah kebijaksanaan demikianlah dhamma(hokum dan aturan) yang didapat oleh sang Buddha. Setelah mencapai Penerangan Sempurna. Beliau sempat ragu untuk membeberkan dhamma ini, karena dhamma ini sangat sulit untuk dimengerti dan jika salah dimengerti pembabaran ini bisa tidak diterima oleh masyarakat, namun setelah mendapat pencerahan secara situasional akhirnya Beliau memutuskan untuk membabarkan ajaran ini kepada khalayak. Beliau tidak memaksakan agar semua orang mendengarkan Dhamma, Beliau hanya akan mencari orang-orang yang mau melihat, mendengar dan mempraktikan Dhamma saja.
BUKU 2: BUDDHA oleh Deepak Chopra Pada buku kedua ini, penulis ingin mencerita mengenai kisah hidup Siddharta Gotama. Dimulai sejak Siddharta Gotama sewaktu semasi kecil, remaja, dewasa hingga saat Beliau bertapa dan mencapai Penerangan Sempurna. Namun semua ini bukanlah hanya sekadar kisah, didalamnya terdapat pesan moral yang secara implisit tertulis dalam kisah ini. Semua kisah ini bermula pada saat Putri Maya, istri dari Raja Suddhodana mendapat mimpi akan melahikan seorang anak yang sangat istimewa. Kemudian kejadian itu benarbenar nyata, dan akhirnya Putri Maya mengandung dan melahirkan Sidatta Gotama di Hutan Lumbini. Ketika sang raja pulang dari perang, Beliau sangat senang karena telah melahirkan anak lelaki yang ia pikir akan menjadi penerus takhta, namun semuanya berubah ketika sang raja memanggil para brahmana(pendeta) untuk meramal nasib anakanya. Berdasarkan apa yang mereka lihat sang anak memiliki 32 tanda istimewa yang mana artinya anak ini akan menjadi Sang Buddha. Hal ini membuat raja sangat marah karena ia ingin anaknya menjadi seorang penguasa kerajaan, bukan menjadi semacam “pertapa”. Semenjak masa kecil Sidatta Gotama, Ia dikekang terus dalam benteng Kota, dan ayahnya tidak mengijinkan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang asing tanpa seijinnya. Misalnya saja, ayahnya mengijinkan ia berteman dengan Channa seorang penjaga istal dan raja sempat memanggil sodara Gotama bernama Devadatta untuk menemaninya. Namun ada maksud dibalik sang raja memanggil Devadatta adalah untuk menjadikan Sidatta Gotama menjadi seorang yang memiliki pola pikir tentara dan akan melupakan jalan menjadi seorang petapa. Seringkali Devadatta menggoda Siddhatta untuk melakukan kekerasan dan memancing amarah dan karena memang pikiran Devadatta telah dikuasai oleh Dewa Mara (seorang dewa penguasa kejahatan, kematian dan kegelapan). Dewa Mara merupakan tokoh yang akan terus menerus menggoda Siddatta Gotama dalam perjalanannya menuju pencapaian pencerahan sempurna Sidatta Gotama sempat mengikuti jalan menjadi tentara selama masa remajanya, dan ayahnya sangat senang akan hal itu, karna ia berpikir ia telah sukses akan menjadikan anaknya seorang pewaris takhta. Siddatta Gotama menikah dengan Yasodhara dan akhirnya memiliki seorang anak. Kelihatannya ramalan mengenai Sidatta Gotama terlihat semakin menyimpang, namun tidak begitu. Dikatakan pada ramalan, Siddatta Gotama akan menjadi seorang Buddha apabila Ia melihat 4 hal: Orang yang tua, Orang yang sakit, Orang yang meninggal, dan seorang pertapa. Memang sesuai takdir, pada akhirnya Siddatta Gotama bertemu dengan 4 kejadian tersebut. Semuanya membuat Siddarta Gotama berpikir apabila hidup ini akan berakhir sebagai orang yang tua, sakit-sakitan dan pada akhirnya meninggal
maka sebenarny apakah tujuan dari hidup ini dan bagaimanakah kita bisa lepas dari penderitaan akibat 3 situasi itu? Beliau berpikir jika hanya berada di istannya saja, ia tidak akan bisa mendapatkan jawaban, ia harus berkelana untuk menemukan jawabannya secara spiritual. Akhirnya pada suatu malam, Siddatta Gotama melarikan diri dari istananya. Beliau kemudian memakai nama Gotama saja smenjak kabur dari istana, karena pada waktu itu nama belakang Gotama banyak digunakan sebagai marga, seperti penamaan marga di negri Cina, sehingga tidak ada yang mengenalinya. Beliau sempat berguru dari Alara Kalama dan Uddakka Ramaputta, Beliau menguasiai semua ilmu meditasi tingkat tinggi dengan cepat, sehingga orang-orang sering memanggilnya sebagai petapa Gotama. Namun Petapa Gotama tidak ingin melanjutkan berguru kepada kedua guru tersebut karena menurut Beliau, ajaran kedua gurunya tersebut masih belum memberikan jawaban akan pembebasan dari penderitaan 3 situasional tersebut. Akhirnya Beliau memutuskan untuk bermeditasi dengan caranya sendiri, pada percobaan pertama, Beliau mengalami kesalahan dalam bermeditasi yang hamper membunuhnya, namun setelah teringat mengenai masa kecilnya dimana Beliau bisa bermeditasi hingga tingkat tertinggi setelah mengalami kesenangan dan kesdihan secara empati, dan dengan menggunakan metode meditasi berkesadaran Beliau akhirnya bisa mencapai tingkat yang sama. Akhirnya Beliau mencari tempat dimana ia bisa bermeditasi dengan tenang yaitu dibawah pohon Boddhi, selama Beliau bermeditasi, Beliau terus diganggu oleh Mara, namun Beliau bisa menghilangkan gangguan tersebut dan bisa mencapai penerangan sempurna. Akhirnya dalam upayanya mencapai penerangan sempurna, Sang Buddha mengajarkan dhammanya pertama kali kepada 5 murid pertamanya yang merupakan rekan bertapa dahulu. Beliau menyampaikan bahwa sumber penderitaan manusia adalah kemelkatan diri manusia terhadap kesenangan. Beliau menjelaskan bahwa kesenangan tidak abadi, dan jika terlalu terpikat, maka akan menimbulkan penderitaan. Namun seseorang bisa melepaskan diri dari penderitaan tersebut apabila sesorang menjalankan Jalan Utama Berunsur Delapan.
Kedua buku ini sama-sama menceritakan mengenai kronologis hidup Siddatta Gotama dari kecil hingga mencapai Penerangan Sempurna. Pesan yang disampaikan oleh kedua penulis ini juga sama, yaitu kesenangan yang dialami oleh manusia itu bisa menjadi sumber penderitaan karena tidak ada kesenangan yang abadi, dan besarnya penderitaan yang dialami tergantung dari kemelkatan diri seseorang terhadapa kesenangan itu. Pada saat Beliau berupaya untuk mencapai penerangan sempurna, Beliau menemukan 4 kebenaran mulia yaitu: kehidupan mengandung penderitaan, penderitaan memiliki sebab, dan sebabnya dapat diketahui, penderitaan dapat diakhiri, dan jalan untuk mengakhirinya adalah Jalan Utama Berunsur Delapan. Jalan Utama Berunsur Delapan tersebut diantaranya adalah: Pengertian Benar, Pikiran Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Pencaharian Benar. Dayaupaya Benar, Perhatian Benar, dan Konsentrasi Benar. Dengan mengacu pada kedelapan jalan ini maka sesorang bisa mengakhiri penderitaan. Harus diakui detil yang diberikan oleh kedua buku ini sangatlah luar biasa, saya sebagai pnganut Agama Buddha merasa banyak mendapat informasi dan tambahan ilmu yang berguna, seperti diantaranya cara-cara bermeditasi yang baik, kehidupan dan struktur social di India pada jaman itu yang sangat ketat sekali dengan peraturan kasta-nya, dan sebagainya. Kedua buku juga sama-sama menggunakan bukti historis yang kuat seperti wawancara dengan para biarwan, tokoh agama, dan tulisan-tulisan literature Agama Buddha lainnya. Namun pada buku Karen Armstrong, bukti-bukti tersebut dilampirkan dan dijelaskan secara filosofis, sedangkan pada buku Deepak Chopra, semuanya disusun menjadi sebuah bentuk cerita narasi yang membuat buku kedua lebih mudah dibaca dan dimengerti. Demikian hasil rangkuman dan opini saya mengenai kedua buku yang saya baca.