RUAYA IKAN SIDAT DI S U S U N OLEH NAMA: ARNATI NIM: 16160003
FAKULTAS PERIKANAN JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN UNIVERSITAS ABULYATAMA 2018
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji dan syukur atas ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan karunianya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Makalah yang kami buat ini berjudul “RUAYA IKAN SIDAT” Adapun tujuan saya membuat makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah Mikrobiologi yang di bimbing oleh bapak dr. Izidin Fadil. Semoga makalah yang saya susun ini dapat bermanfaat dan berguna, khususnya bagi saya dan umumnya bagi pembaca. Demikian makalah ini dibuat saya menyadari di dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan maka dari pada itu kritik dan saran sangat saya harapkan untuk mencapai kesempurnaan makalah ini agar lebih baik lagi, dan atas kritik dan saran saya ucapkan terima kasih.
Lampoeh Keude, 21 april 2018 Penyusun
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan Dan Manfaat II. PEMBAHASAN 3.1 Migrasi Atau Ruaya Ikan Sidat (Anguilla bicolor) 3.1.1 Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi 3.2 Cara Reproduksi Ikan Sidat 3.3 Siklus Hidup Ikan Sidat 3.4 Mengetahui Potensi Bisnis Ikan Sidat III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi atau dalam dunia perikanan lebih dikenal juga dengan istilah ruaya merupakan suatu proses perpindahan ikan ke tempat yang memungkinkan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak. Heape (1931) dalam Lucas & Baras (2001) menyebutkan migrasi adalah sebuah proses siklus yang “mendorong” migran (hewan yang melakukan migrasi) untuk kembali ke wilayah di mana migrasi dimulai, tempat untuk bereproduksi, menemukan makanan serta tempat yang memiliki iklim tepat untuk sintasannya. Lucas & Baras (2001) menyebutkan secara umum migrasi merupakan pergerakan suatu spesies pada stadia tertentu dalam jumlah banyak ke suatu wilayah. Perubahan iklim akan memacu ikan untuk melakukan proses migrasi atau perpindahan (Nikolsky, 1963; Harden Jones, 1968 dalam Lucas & Baras 2001) namun kondisi ini tidak ditemukan di daerah yang beriklim tropis dan subtropis Northcote (1978). Northcote (1978) menyebutkan bahwa ada tiga habitat sebagai tempat yang menjadi tujuan saat melakukan migrasi, yaitu tempat untuk reproduksi, tempat untuk makan dan tempat untuk berlindung dari serangan predator di mana ketiga habitat tersebut tidak selalu sama dan akan dikunjungi oleh ikan pada stadia tertentu. Setiap ikan yang melakukan kegiatan migrasi selalu berangkat dari dan menuju suatu lokasi yang sama atau hampir sama dengan tempat di mana dilahirkan. Migrasi menuju tempat reproduksi umumnya dilakukan setiap tahun atau setiap musim pemijahan. Namun migrasi yang dilakukan oleh ikan yang masih kecil (juvenile) untuk mencari makan dapat dilakukan berulang kali hingga masa pemijahan dimulai. Ikan yang dapat melakukan pemijahan lebih dari satu kali akan melakukan ruaya pemijahan kedua tidak selalu sama dengan ruaya yang pertama namun karakter lokasi yang menjadi tujuan tetap sama (Mc Keown, 1984). Hal ini juga ditemukan pada ikan yang melakukan migrasi untuk mencari makanan, di mana area kedua dan sebelumnya tidak selalu sama namun memiliki karakter sumberdaya yang hampir sama. Lebih dari seratus tahun yang lalu di perairan Lofoten, New Foundland banyak ditemukan ikan cod ( Gadus sp.) pada musim-musim tertentu. Para nelayan waktu itu menduga bahwa ikan tersebut berasal dari Atlantik Utara, namun tidak ada bukti yang menunjukkan pergerakan ikan tersebut. Setelah ditemukannya metoda tagging maka pada tahun 1913 misteri keberadaan ikan cod ini pun mulai diketahui, bahwa ikan tersebut merupakan stok yang bergerak dari Bear Island menuju perairan Lofoten untuk melakukan pemijahan (Woodhead, 1963 dalam Gunarso, 1988). Fenomena lain dalam migrasi ikan adalah perpindahan ikan Sidat ( Anguilla sp.) dari air tawar menuju laut untuk melakukan pemijahan (katadromus). Matsui (1993) menduga lokasi pemijahan ikan sidat berada pada kedalaman lebih dari 500 m. Leptochephalus yang baru menetas bergerak kearah permukaan laut dan berenang secara diurnal. Leptochephalus mengalami metamorfosis menjadi glass eel yang ditandai dengan terbentuknya sirip dan panjang
badan mulai memendek selanjutnya glass eel tersebut berenang mengikuti arah arus hingga mencapai air tawar. 1.2 Tujuan Dan Manfaat Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Untuk mengetahui proses migrasi ikan Sidat Mengetahui cara reproduksi ikan Sidat Mengetahui siklus hidup ikan Sidat Untuk mengetahui potensi bisnis ikan Sidat
Dan manfaat yang di dapat ialah menjadi sumber informasi kepada teman-teman mahasiswa akan bagusnya komoditas ikan Sidat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Dan Morfologi 2.1.1 Klasifikasi Menurut Nelson (1994) ikan sidat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Subkelas
: Neopterygii
Division
: Teleostei
Ordo
: Anguilliformes
Famili
: Anguillidae
Genus Species
: Anguilla : Anguilla spp.
Nama spesies : Anguilla bicolor Sidat (Anguilla spp.) merupakan ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting baik untuk pasar lokal maupun luar negeri. Permintaan pasar akan ikan sidat sangat tinggi mencapai 500.000 ton per tahun terutama dari Jepang dan Korea, pemasok utama sidat adalah China dan Taiwan (Anonim, 2006). Sidat yang dikenal dengan ’unagi’ di Jepang sangat mahal harganya karena memiliki kandungan protein 16,4% dan vitamin A yang tinggi sebesar 4700IU (Pratiwi, 1998). 2.1.2 Morfologi Tubuh sidat berbentuk bulat memanjang, sekilas mirip dengan belut yang biasa dijumpai di areal persawahan. Salah satu karakter/bagian tubuh sidat yang membedakannya dari belut adalah keberadaan sirip dada yang relatif kecil dan terletak tepat di belakang kepala sehingga mirip seperti daun telinga sehingga dinamakan pula belut bertelinga. Bentuk tubuh yang memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan. Panjang tubuh ikan sidat bervariasi tergantung jenisnya yaitu antara 50-125 cm. Ketiga siripnya yang meliputi sirip punggung, sirip dubur dan sirip ekor menyatu. Selain itu terdapat sisik sangat kecil yang terletak di bawah kulit pada sisi lateral. Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat dilihat antara lain dari perbandingan antara panjang preanal (sebelum sirip dubur) dan predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang atas, bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.
2.2 Kebiasaan Makan Ikan Sidat Berdasarkan analisis isi lambung ikan sidat dewasa didapatkan jenis makanannya adalah kepiting, udang dan keong. Sedangkan pada elver dan glass eel, jenis makanannya tidak teridentifikasi. Berdasarkan penelitian Pirzan dan Wardoyo (1979) ikan sidat pada stadia elver memakan plankton, ikan kecil, udang-udangan dan insekta. Sedangkan glass eel yang baru masuk ke cabang sungai isi lambungnya kosong. Menurut Sutardjo dan Mahfudz (1971) ikan sidat yang berukuran 14,5 B 66,3 cm sebagian besar makanannya berupa udang. Jenis-jenis makanan ikan sidat tersebut sesuai dengan keberadaan jenis-jenis organism yang tersedia di habitatnya. Oleh karena itu pertumbuhan dan kehidupan ikan sidat sangat tergantung pada kehidupan organism bentik baik insekta, moluska maupun dekapoda. Di alam ikan sidat memakan bermacam-macam insekta, cacing dan ikan kecil. Ikan sidat jantan akan matang gonad pada umur 3-4 tahun, sedangkan sidat betina 4-5 tahun. Setelah ikan dewasa akan kembali ke laut dan mencari spawning ground lalu mati setelah memijah (spawn). 2.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik panjang volume atau berat dalam satu waktu tertentu (Effendie, 1997). Weatherley (1972) dalam Sriati (1998) mengemukakan bahwa pada stadia juvenil, ikan sidat mempunyai laju pertumbuhan yang cepat, di mana panjang berat bersifat linier. Hal ini disebabkan karena pada stadia juvenil belum terjadi perkembangan gonad, sehingga kelebihan energi yang masuk seluruhnya digunakan untuk pertumbuhan. Umumnya di daerah tropis makanan merupakan faktor yang sangat berpengaruh demi pertumbuhan ikan sidat. Pada keadaan normal, ikan akan mengkonsumsi makanan relatif lebih banyak sehingga pertumbuhannya sangat cepat. Selain itu keberhasilan dalam mendapatkan makanan akan menentukan pertumbuhan ikan tersebut (Affandi dan Riani ; 1994). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa khusus untuk daerah tropis, pertumbuhan terjadi pada bulan April hingga September, dan pada periode tersebut ikan sidat aktif dalam mencari makan. Beberapa penyebab pertumbuhan larva lambat adalah nafsu makan kurang, kualitas pakan tambahan rendah dan jumlah pakan yang kurang, serta padat penebaran yang terlalu tinggi. Selain itu faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya kelangsungan hidup benih ikan sidat, adalah persiapan bak atau wadah pemeliharaan benih yang kurang sempurna, padat penebaran yang terlalu tinggi, adanya serangan penyakit ekor putih (Sasongko dkk., 2007). 2.4 Aspek Budidaya Budidaya sidat sudah dilakukan di beberapa negara (Jepang, China, Taiwan, dan Itali) sejak awal abad 20 (Matsui, 1982); sedangkan di Indonesia baru dirintis sekitar tahun 1995-1997 namun kurang berkembang karena tidak terjaminnya pasokan benih yang siap tebar (Herianti, 2005). Hal ini sejalan dengan pendapat Setiadi dkk.(2006) dan Prahyudi (Pers Com) yang mengatakan bahwa kendala utama dalam budidaya sidat yang dihadapi adalah tingginya mortalitas pada saat glass eel sampai elver yang mencapai 70-80%. Begitu pula dengan Peni (1993) dan Keni (1993)
yang menyatakan bahwa pemeliharaan benih sidat pada tahap awal merupakan masa yang paling sulit dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 30-50%. Selain mortalitas yang tinggi, masalah lain dalam budidaya sidat adalah laju pertumbuhannya yang lambat yaitu kurang dari 3,1% (Bromage et al.,1992). Kepadatan tebar juga perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap mortalitas dan pertumbuhannya. Degani dan Lavenon dalam Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa kelangsungan hidup elver dalam pemeliharaan berkisar antara 37-55% yang tergantung pada padat penebarannya. Matsui (1982) menambahkan bahwa kepadatan yang optimal pada pemeliharaan sidat adalah 1,1-1,9 kg per 3,3 meter persegi. Untuk memacu pertumbuhan ikan sidat perlu disediakan pakan berprotein hewani yang tinggi karena sifatnya yang karnivora (Peni, 1993; Sarwono, 1999; Kamil dkk., 2000). Aktivitas makan sidat paling tinggi terjadi pada malam hari karena sifatnya nokturnal (Matsui, 1982; Sarwono, 1999). Dengan demikian manipulasi penetrasi cahaya diduga akan mempengaruhi aktivitas makan yang secara tidak langsung akan berdampak pula pada meningkatnya pertumbuhan. Dalam masa awal pemeliharaan salinitas juga perlu diperhatikan, Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa saat kritis pemeliharaan benih sidat yang ditangkap dari alam adalah pada pemeliharaan larvanya (glass eel-elver), kisaran salinitas air yang baik untuk pemeliharaan diperkirakan antara 0-7‰. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah proses dan cara pengangkutan. Penanganan yang baik pada saat di lapangan maupun pengangkutan akan menekan tingkat mortalitas. Matsui (1982) melaporkan bahwa benih sidat yang berasal dari Selandia Baru yang sebelumnya diberok selama dua hari pada air mengalir bersuhu 14 oC dan pada saat pengangkutan dipacking dalam box bersuhu 5-8oC ternyata tidak ada kematian dalam pengangkutan selama 32 jam. Suhu dalam box pengangkutan terkait dengan tingkat metabolisme tubuh dan aktivitas glass eel, dimana pada suhu rendah metabolisme dan aktivitasnya akan menurun sehingga pengeluaran bahan beracun terutama CO2 dan amoniak akan berkurang begitu pula dengan konsumsi oksigen akan lebih rendah. Kegiatan budidaya sidat tahap pembesaran dilakukan mulai tahap elver (sebesar pensil) sampai ukuran konsumsi yang beratnya sekitar 250-300 gr/ekor. Salah satu cara/tempat pemeliharaan adalah menggunakan jaring apung yang ditempatkan pada situ, danau, atau kolam ukuran besar (Gambar 2). Pakan yang diberikan biasanya berupa pellet dengan kandungan protein di atas 30%.
BAB III PEMBAHASAN 3.1Migrasi Atau Ruaya Ikan Sidat (Anguilla bicolor) Ikan sidat ketika sudah dewasa dan siap untuk kawin biasanya mereka akan mencari jalan ke laut dalam atau samudera untuk berpijah, perjalanan ikan sidat dari air tawar ke air laut biasa disebut sebagai ruaya ikan sidat, sedangkan arti ruaya secara luas adalah merupakan satu mata rantai daur hidup bagi ikan untuk menentukan habitat dengan kondisi yang sesuai bagi keberlangsungan. Studi mengenai ruaya ikan menurut Cushing(1968) merupakan hal yang fundamen tal untuk dunia perikanan karena dengan mengetahui lingkaran ruaya ikan akan diketahui daerah dimana stok atau sub populasi itu hidup. Ruaya ini mempunyai arti penyesuaian, peyakinan terhadap kondisi yang menguntungkan untuk eksistensi dan untuk reproduksi spesies seperti ikan sidat. Pergerakan ruaya ikan ke daerah pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. Sejak telur dibuahi sampai menetas. Terus menjadi larva meruapakan saat yang kritis karena mereka tidak dapat menghindarkan diri dari serangan predator. 3.1.1 Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. Pada ikan sidat perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga fase silver eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-organ tertentu. Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat memasuki fase pemijahan atau perkembangan organ reproduksi dan pada saat memasuki perairan yang memiliki karakter fisika dan kimia berbeda. Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan fisika. 1)
Adaptasi Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara adaptasi
morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna kulit, organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi bentuk badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase leptocephalus, yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat penting dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif ( pasif transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai upaya adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu ikan sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan predator. Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan, sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan preda- tor. Seiring dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat mulai muncul, hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin terang untuk mengikat pasangan. Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi kelemahan penglihatannya. Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut dalam air. Untuk mempertahankan kelembaban dalam rongga branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa organ yang sangat kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit dilihat (Tesch, 2003). Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. Pankhrust (1982) menyatakan pada saat memasuki perairan laut dalam komposisi sel retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas cahaya. 2)
Adaptasi Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar 3.000 km terjadi perubahan pada badan yaitu diameter mata membesar. Pankhrust (1982) menyatakan bahwa membesarnya mata saat memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain mata, perubahan badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip pektoral yang makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina, perubahan warna badan menjadi silver, sisik membesar, dermis menebal, densitas sel mukus meningkat terutama pada betina, bentuk kepala agak pipih, adanya peningkatan panjang dan diameter kapiler pada gelembung renang, peningkatan aktivitas Na+/K+-ATP ase pada insang, usus mengalami peningkatan bobot namun jumlah lipatannya menurun, serat otot tonus
meningkat, penumpukan glikogen dalam hati dan lain- lain. Mekanisme perubahan badan tersebut banyak melibatkan hormon-hormon dalam badan, karena perubahan lingkungan akan mempengaruhi hipotalamus, yang seterusnya mempengaruhi hipofisa dan organ-organ target di bawahnya. Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad sidat terbagi menjadi delapan tingkatan mulai dari gonad berbentuk benang tipis hingga berupa pita berwarna putih. Scott (1979) mengemukakan faktor lingkungan yang dominan yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim. Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin. Pada keadaan temperatur sedang (20°C–23°C) akan menghasilkan lebih banyak jantan sedangkan pada temperatur rendah dan tinggi akan didominasi oleh betina. Perkembangan gonad sangat terkait dengan ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi malnutrisi ini dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat pada penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan memanfaatkan energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan perkembangan gonad. Simpanan energi dalam badan ikan berasal dari konsumsi pakan dengan kadar lemak tinggi. Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Untuk spesies tropik musim hujan dan banjir sangat mempengaruhi kematangan gonad hal ini disebabkan oleh perubahan konsentrasi garam-garam dalam air, dan pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan gonad. Querat et al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat, dengan cara menstimulasi ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat telah diteliti oleh Herianti (2005) dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa cahaya dan salinitas mempengaruhi perkembangan ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu yang lebih tinggi berkaitan Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Pada kondisi “ apnoea”, yaitu keadaan di mana otot-otot pernafasan dan alat pernafasan lainnya (insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat) mampu bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa mengambil oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen). Ikan sidat mampu bernafas melalui permukaan kulit dan pada kondisi tertentu insang ikan sidat juga mampu mengambil oksigen langsung dari udara (Tesch, 2003). Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan mengkompensasi oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi karbondioksida yang tinggi ( hypercapnia). Daya tahan yang tinggi terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g diduga mengurangi daya tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100–300 g, kemampun bertahan pada kondisi
hypoxia juga diimbangi dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan karena secara alami ikan yang melakukan aktivitas migrasi memiliki toleransi yang luas terhadap suhu dan salinitas. Daya toleransi terhadap suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran badan ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup pada suhu 28°C, elver 30,5°C– 38,1°C dan sidat dewasa 39,7°C. Ikan sidat tropis ( A. bicolor, A. marmorata ) kemungkinan besar mempunyai toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. austra- lis . Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat) yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan tawar. Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari. Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang bermetamorfosa ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses metabolisme. 3.2 Cara Reproduksi Ikan Sidat Perkembangan gonad sidat sangat unik dan jenis kelaminnya berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat anakan kondisi seksualnya berganda sehingga tidak mempunyai jaringan yang jelas antara jantan dan betinanya. Pada tahap selanjutnya sebagian gonad akan berkembang menjadi ovari (indung telur) dan sebagian lagi menjadi testis dengan perbandingan separuh dari populasinya adalah jantan dan separuh lagi betina. Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar, sidat dewasa yang lebih dikenal dengan yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) yang akan bermigrasi ke laut untuk memijah (Rovara dkk., 2007). Sidat termasuk hewan yang bersifat katadormus karena pada ukuran anakan sampai dewasa tinggal di perairan tawar namun ketika akan memijah beruaya ke laut dalam. Pemijahan diperkirakan berlangsung pada kedalaman 400-500 meter dengan suhu 16-17 oC dan salinitas 35 permill. Jumlah telur yang dihasilkan (fekunditas) setiap individu betina berkisar antara 7juta13 juta butir dengan diameter sekitar 1 mm (Matsui, 1982). Telur akan menetas dalam waktu 45 hari. Setelah memijah induk sidat biasanya akan mati. Benih sidat yang baru menetas berbentuk lebar seperti daun yang dinamakan leptocephalus yang memiliki pola migrasi vertikal, yaitu cenderung naik ke permukaan pada malam hari dan siang hari turun ke perairan yang lebih dalam. Selanjutnya benih akan berkembang dalam beberapa tahapan menjadi agak silindris dengan warna agak buram yang dikenal dengan nama glass eel (Gambar 1). Pada tahap glass eel biasanya sudah mulai terdapat pigmentasi pada bagian ekor
dan kepala bagian atas (Tesch, 1977). Umur glass eel yang tertangkap di muara sungai diperkirakan antara 118-262 hari dengan umur rata-rata 182,8 hari (Setiawan dalam Rovara, 2007). Panjang tubuh glass eel antara 5 – 6 cm dengan berat sekitar 0,2 gram. Gambar 1. Benih sidat (glass eel) pada kotak penampungan Keberadaan glass eel sangat tergantung pada musim. Hal ini lebih dipertegas lagi dari hasil wawancara dengan pengumpul benih sidat di Pelabuhan Ratu Sukabumi yang mengatakan bahwa ketersediaan benih sidat sangat tergantung dengan musim dan umumnya lebih banyak pada musim penghujan (Nopember – April). Jumlah glass eel yang tertangkap selama kurun waktu tersebut sangat berfluktuasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Tesch (1977) bahwa glass eel akan bermigrasi masuk ke perairan tawar pada saat salinitas di muara sungai relatif rendah (1-2 ppt). Salinitas rendah seperti ini akan banyak terkondisikan pada musim hujan. Penangkapan benih sidat pada umumnya dilakukan pada malam hari ketika bulan mati/gelap dengan menggunakan sirip (hanco dengan mesh size halus) dengan penerangan lampu petromax. Jumlah nelayan penangkap benih sidat di Pelabuhan Ratu bila sedang musimnya mencapai ratusan orang dan hasilnya dijual ke pengumpul. 3.3
Siklus Hidup Ikan Sidat
Daur hidup ikan sidat dibagi menjadi 3 fase yaitu : 1. Fase hidup di laut, yaitu pada saat telurnya menetas menjadi larva (leptocephali) berbentuk seperti pita transparan. 2. Fase hidup di daerah estuari, dimana larva telah berkembang menjadi elver atau “glass eel” dengan cirri-ciri tubuh masih tembus pandang. Pada fase ini larva aktif bermigrasi dari laut dalam kea rah estuari atau muara sungai mencari salinitas yang lebih rendah, pada fase ini pigmentasi mulai berkembang. 3. Fase hidup di sungai untuk tumbuh menjadi individu dewasa.
Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar sidat dewasa yang lebih dikenal yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) dan selanjutnya silver eel akan bermigrasi ke perairan laut dalam untuk memijah. Stadia perkembangan ikan sidat Anguillid eel umumnya sama, baik tropic maupun yang berada pada daerah empat musim (temperate), yaitu stadia leptocephalus, stadia metamorphosis, stadia glass eel atau elver, yellow eel dan silver eel (sidat dewasa matang gonad). (Setiawan, dkk 2003). Sidat memijah pada zona lapisan tengah dimana memiliki karakteristik temperature optimum 20 derajat Celsius dan salinitas tinggi. Dalam tempo 2-10 hari telur tersebut menetas. Larva tersebut masih berbentuk seperti pita transparan. Stadia ini disebut leptocephali. Jumlah telur yang di hasilkan kurang lebih 3 juta telur per kilogram berat induk betinanya (Boetius, 1980 dalam Deelder, 1984). Temperatur dan salinitas sangat kuat mempengaruhi migrasi ikan ke sungai. Elver akan memilih periode dimana terjadi perbedaan temperature air sungai dan
temperature air laut yang paling kecil. Factor lingkungan lainnya yang berpengaruh adalah pasang surut, angin, sinar matahari. 3.4 Mengetahui Potensi Bisnis Ikan Sidat Sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan karena permintaan dunia yang sangat tinggi. Pada tahun 1995 permintaan akan sidat mencapai 205.000 ton yang senilai dengan 3,1 milyar dollar Amerika dan sebagian besar (92%) dihasilkan dari budidaya (Rovara dkk., 2007). Sayangnya pasokan benih terus menurun secara drastis pada beberapa negara yang teknik budidaya sidatnya sudah maju (Jepang, China, Taiwan, Itali dan Belanda). Sebaliknya Indonesia yang memiliki sidat dengan jenis yang cukup beragam belum dimanfaatkan secara optimal. Kebanyakan sidat yang dipasarkan merupakan hasil tangkapan dari alam. Sampai saat ini jumlah pembudidaya sidat masih sangat terbatas, padahal potensi benih sidat (glass eel) di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa antara jumlah produksi benih yang dihasilkan dari alam belum sepadan dengan pemanfaatnnya untuk pembesaran. Dengan demikian perlu diwaspadai karena kenyataan di lapangan justru permintaan ekspor terhadap benih sidat (glass eel) semakin meningkat, misalnya dengan dalih untuk penelitian. Saat ini pengkonsumsi ikan sidat terbesar adalah negara Jepang dengan 150 ribu ton pertahun dari total 250 ribu ton konsumsi ikan sidat di seluruh dunia. Namun produksi negari sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun dan sisanya dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain termasuk Indonesia (sebagian sangat kecil). Negara peng ekspor sidat terbesar saat ini adalah Tiongkok, namun itupun masih sangat jauh dari dari total kebutuhan dunia akan ikan sidat dan ditambah lagi saat ini ikan sidat produksi Tiongkok mulai dijauhi karena banyak mengandung bahan kimia. Harga ikan sidat yang mencapai 70 ribu / kg nya dan kebutuhan yang jauh melebihi supplai tentu menjadikan bisnis pembesaran ikan sidat ini sebagai salah satu bidang usaha yang sangat layak untuk dilirik. Sebagai gambaran sederhana perhitungan bisnis pembesaran ikan sidat dengan modal awal 15 juta bisa menghasilkan laba kotor hingga 13 juta dengan lama waktu 3 bulan. 1)
Kandungan gizi daging ikan sidat Ikan sidat
Ikan salmon
DHA
1337 mg/100 gr
820 mg /100 gr
EPA
742 mg / 100 gr
492 mg / 100 gr
Dan mengandung :
Vitamin B1 25 kali lipat dari susu sapi Vitamin B2 5 kali lipat dari susu sapi Vitamin A 45 kali lipat dari susu sapi Zinc (emas otak) 9 kali lipat dari susu sapi Asam lemak omega 3 tinggi, 10.9 gr/100 gr Gizi tinggi, kaya protein, vitamin D dan E serta asam amino lemak ganggang dan asam ribonukleat
2)
Mempunyai rentang salinitas sangat tinggi
Manfaat daging ikan sidat bagi kesehatan
Menurunkan kandungan lemak jahat dalam darah Menghindari penyakit aterosklerosis dan mengurangi keletihan Mendorong terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar Meningkatkan daya ingat Memperbaiki sirkulasi kapiler Mempertahankan tekanan darah normal Mengobati pembuluh darah otak, rabun jauh, rabun dekat, glaukoma dan penyakit mata kering karena kelelahan Meningkatkan imunitas tubuh sebagai antioksida
BAB IV PENUTUP 3.5
Kesimpulan
Kesimpulan yang di dapat dari pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut : 1. Pergerakan ruaya ikan ke daerah pemijahan mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. 2. Perkembangan gonad sidat sangat unik dan jenis kelaminnya berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat anakan kondisi seksualnya berganda sehingga tidak mempunyai jaringan yang jelas antara jantan dan betinanya. Pada tahap selanjutnya sebagian gonad akan berkembang menjadi ovari (indung telur) dan sebagian lagi menjadi testis dengan perbandingan separuh dari populasinya adalah jantan dan separuh lagi betina. 3. Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang di perairan tawar sidat dewasa yang lebih dikenal yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) dan selanjutnya silver eel akan bermigrasi ke perairan laut dalam untuk memijah. 4. Sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi komoditi perikanan unggulan karena permintaan dunia yang sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Affandi, R. & Riani. 1995. Pengaruh Salinitas Terhadap Derajat Kelangsungan Hidup Pertumbuhan Benih Ikan Sidat (Elver), Anguilla bicolor. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Vol. 3(1): 3948. Bromage, N., J. Shephred & J. Roberts. 1992. Farming Systems And Husbandry Practice. Blackwell Scientific Publications, Cambridge. Herianti, I. 2005. Rekayasa Lingkungan Untuk Memacu Perkembangan Ovarium Ikan Sidat (Anguilla bicolor). Oseanologi dan Limnologi No. 37: 25-41. Kamil, M.T., R. Affandi, I. Mokognita & D. Jusadi. 2000. Pengaruh Kadar Asam Lemak O 6 Yang Berbeda Pada Kadar Asam Lemak O 3 Tetap Dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Sidat (Anguilla bicolor). Jurnal Central Kalimantan Fisheries Vol. 1(1): 34-40. Keni. 1993. Atraktan Dalam Pakan Sidat. Majalah Perikanan Techner No. 09 September 1993. Matsui, I. 1982. Theory And Practice Of Eel Culture. AA. Balkema/Rotterdam. Nelson, J.S. 1994. Fishes Of The World, 3rd editions. John Wiley & Sons, Inc., New York, xv+600 pp. Peni, S.P. 1993. Tiga Jenis Sidat Laku Ekspor. Trubus No. 285 Th.XXIV. Pratiwi, E. 1998. Mengenal Lebih Dekat Tentang Perikanan Sidat (Anguilla spp.). Warta Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 4(4): 8-12. Rovara, O., I.E. Setiawan & M.H. Amarullah. 2007. Mengenal Sumberdaya Ikan Sidat.BPPT- HSF, Jakarta. Sarwono, B. 1999. Budidaya Belut Dan Sidat. Penebar Swadaya, Jakarta. Sutardjo & Machfudz. 1982. Percobaan pendahuluan penangkapan dan pengangkutan elver (Anguilla bicolor).