Tugas 1 Abang.docx

  • Uploaded by: irwan yusie
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas 1 Abang.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,748
  • Pages: 44
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENGRUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMAN HUTAN RAYA BUKIT SOEHARTO KECAMATAN SAMBOJA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam linkungannya yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengelolaan hutan di dasarkan pada asas manfaat dan lestari, kerakyatan keadIlan kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyusunan strategis penyusunan hutan karena semua hutan di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara. Dijelaskan dalam pasal 34 UU No 5 Tahun 1990 dijelaskan pengelolaan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata alam dilaksanakan oleh pemerintah. PP No 28 Tahun 2011 menjelaskan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk mengelolah kawasan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian. 1 Kawasan hutan di Indonesia terbagi dari 3 (tiga) bagian yaitu kawasan hutan Produksi, kawasan hutan Lindung dan kawasan hutan konservasi. Kawasan konservasi dibagi menjadi 2 (dua) kawasan lagi yaitu kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam, di mana kawasan Taman hutan raya termasuk didalam katagori kawasan pelestarian alam (UU RI No 5, 1990; PP RI No 68, 1998; PP RI N0 34, 2002; PP RI No 45, 2004). Kawasan Taman Hutan Raya di Kalimantan Timur tepatnya di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan 1 http://digilib.uinsby.ac.id/11214/7/bab3.pdf

1

Kabupaten Penajam Paser utara ini disebut sebagai Taman Hutan Raya Bukit Soeharto yang ditetapkan terakhir pada tahun 2009. Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan bukan asli yang berfungsi sebagai kawasan konservasi dengan mempunyai manfaat untuk keperluan : penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya, prawisata alam dan rekreasi, pelestarian budaya. Kawasan hutan Bukit Soeharto merupakan Kawasan Konservasi yang disebut Taman Hutan Raya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.577/Menhut-II/2009 tanggal 29 September 2009 tentang Penetapan taman hutan raya bukit Soeharto yang terletak di kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur seluas 67.766 (enam puluh tujuh ribu tujuh ratus enam puluh enam) hektar. Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto memiliki tipe ekosistem hutan yang lengkap dari pantai ke perbukitan, yang meliputi antara lain: hutan campuran Dipterocarpaceae dataran rendah, hutan kerangas, hutan rawa, hutan pantai, dan yang tergegradasi menjadi semak belukar dan alang-alang (PT. ITCI, 2010; Laporan BKSDA, 2003). Kawasan ini memiliki potensi flora, fauna, wisata alam dan pendidikan lingkungan. Sementara kondisi ekosistem kawasan hutan ini sudah sangat terdegradasi, rapuh dan terancam karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal di mana kawasan ini sangat terganggu keberadaannya diakibatkan aktivitas manusia (Hardwinarto dan Sumaryono, 2002; Anggoro dkk, 2006). Dengan terganggunya kawasan hutan ini disebabkan beberapa faktor yang mengakibatkan salah satu atau kombinasi dari hal-hal sebagai berikut ini ( Hadriyanto, 2001, Iskandar, 2001, Kuntjoro dkk, 2002, Lahjie, 2002; Rusmilawati, 2011): 1. Bertambah 2

luasnya areal-areal yang terbuka dan rusak. 2. Menurunnya keragaman dan populasi flora dan fauna. 3. Merosotnya kualitas dan kuantitas habitat satwa liar. 4. Menurunnya nilai estetika alam hutan Bukit Soeharto. Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Pengertian kehutanan menurut Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dan dijaga daya dukungnya secara lestari. Kehutanan memiliki hubungan yang sangat erat dengan sektor pertambangan, khususnya pertambangan batubara. Hubungan ini erat kaitannya dengan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan kegiatan pertambangan batubara. Menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dinyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan hutan tersebut dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pemberian izin sebagaimana dimaksud diatas yang berdampak penting dan cakupan yang 3

luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri Kehutanan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Merujuk pada Pasal 38 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut, kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan dengan status hutan produksi dan hutan lindung, sementara pada kawasan hutan konservasi tidak dapat dilakukan kegiatan pertambangan karena dapat mengubah keutuhan fungsi kawasan konservasi. Salah satu jenis kawasan hutan konservasi adalah kawasan hutan pelestarian alam yaitu kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis dan tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan hutan pelestarian alam tersebut terdiri atas taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam sebagaimana disebutkan pada Pasal 29 ayat (1) Undang- undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan adalah kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Salah satu kawasan hutan yang terletak di dalam wilayah administrasi Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki potensi kandungan batubara adalah kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Pada tanggal 20 Mei tahun 1991, 4

Menteri Kehutanan menetapkan kawasan hutan Bukit Soeharto di Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai Provinsi Kalimantan Timur seluas 61.850 Ha melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 270/Kpts-II/1991 sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai hutan wisata (konservasi). Pada tahun 2004, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 419/MenhutII/2004 kawasan hutan Bukit Soeharto diubah statusnya dari hutan wisata menjadi taman hutan raya. Kemudian pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor : 577/Menhut-II/2009 Tentang Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (Nomor : 10/LHP/XVII/02/2011, Tanggal : 2 Februari 2011) Semester II Tahun Anggaran 2010 atas Pengelolaan Pertambangan Batubara (Perizinan, PNBP, Bagi Hasil, dan Pengelolaan Lingkungan Pertambangan) Tahun Anggaran 2008 sampai dengan Semester I Tahun 2010 pada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara dan 12 Pemegang Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan, serta Instansi terkait lainnya di Tenggarong, menyebutkan bahwa berdasarkan hasil overlay atas surat keputusan Bupati Kutai Kartanegara terkait pemberian izin KP/IUP eksplorasi dan eksploitasi/operasi produksi batubara periode tahun 2008 dan 2009 dengan peta kawasan hutan wisata (konservasi) Bukit Soeharto diketahui terdapat 31 KP/IUP yang berada di kawasan tersebut dengan total luas 1.204,940 Ha. Di Kawasan hutan lindung Tahura Bukit Suharto Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, terjadi kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan batubara secara illegal yang dilakukan oleh oknum masyarakat secara perorangan atau berkelompok. Kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan batubara secara illegal di kawasan Tahura Bukit Suharto Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara, diduga terjadi karena minimnya pengawasan Pemerintah Daerah melalui Dinas terkait yakni Dinas 5

Kehutanan, Dinas Pertambangan dan Dinas Lingkungan Hidup serta lemahnya penegakkan hukum bagi pelaku pengrusakan lingkungan hidup di kawasan Tahura Bukit Suharto. Kerusakan lingkungan hidup di kawasan hutan taman raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kecamatan samboja akibat maraknya kegiatan penambangan batubara secara illegal di kawasan Tahura Bukit Suharto, Kecamatan Samboja sehingga mengakibatkan gundulnya hutan, dan terbentuknya kolam bekas penambangan batu bara, kondisi ini sangat merugikan masyarakat sekitar, karena dengan gundulnya hutan mengakibatkan banjir saat musim hujan serta terbentuknya kolam-kolam bekas penambangan batu bara tersebut dikhawatirkan dapat membahayakan warga sekitar karena adanya genangan air pada lubang bekas penambangan batu bara menjadi kolam yang cukup dalam, beberapa kasus di kalimatan timur akibat kolam bekas penambangan batu bara menelan korban tenggelamnya warga sekitar. Berikut total keseluruhan korban tewas akibat kolam bekas tambang batubara tersebut : 1) PT Kitadin, korban Muhammad Fariqi (14 tahun), lokasi di Desa Bangun Rejo, Tenggarong Seberang, Kukar pada 26 Januari 2012 2) PT. Bara Sigi Mining, korban Sanofa M. Rian (14 tahun), lokasi di Desa Sebulu, Tenggarong, Kukar, pada 05 Agustus 2015 3) PT Muliana Jaya, korban Budi Maulana (11), lokasi di Kecamatan Sanga-Sanga, Kukar pada Agustus 2013 4) PT. Multi Harapan Utama, korban Mulyadi (15), Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kukar, pada 16 Desember 2015 5) KSU Wijaya Utama, korban Dewi Ratna (9), Desa Sumber Sari, Sebulu, Kukar pada 30 Desember 2015 6) PT. Bukit Baiduri Energi, korban Noval Fajar (15), Desa Bukit Raya, Kukar, pada 23 Maret 2016 7) PT. Bukit Baiduri Energi, korban Diky Aditya (15), Desa Bukit Raya, Kukar, pada 23 maret 2016 8) PT. Kitadin, korban tak teridentifikasi, Tenggarong Seberang, Kukar, pada tahun 2011

6

9) PT. Hymco Coal, korban Miftahul Jannah (10), Sambutan, Samarinda pada 13 Juli 2011 10) PT. Hymco Coal, korban Juniadi (13), Sambutan, Samarinda, pada 13 Juli 2011 11) PT. Hymco Coal, korban Ramadhani, Sambutan, Samarinda, pada 13 Juli 2011 12) PT. Panca Prima Mining, korban Dede Rahmad (6), Pelita 2, Samarinda, pada 24 Desember 2011 13) PT. Panca Prima Mining, korban Emaliya Raya (6), Pelita 2, Samarinda, pada 24 Desember 2011 14) PT. Insani Bara Perkasa, korban Maulana (11), Palaran, Samarinda, pada 25 Desember 2012 15) Perusahaan tak teridentifikasi, korban M.Shendy (8), Sambutan, Samarinda, pada 14 Maret 2013 16) PT. Energi Cahaya Industritama, korban Nadia Zaskia (10), Palaran, Samarinda, pada 8 April 2004 17) PT. Graha Benua Etam, korban M.Raihan (10), Sempaja, Samarinda, 22 Desember 2014 18) PT. Cahaya Energi Mandiri, korban Ardi (13), Sambutan, Samarinda, pada 23 Mei 2015 19) PT. Lana Harita Indonesia, korban Muhammad Yusuf (11), Sungai Siring, Samarinda, pada 24 Agustus 2015 20) PT. Transisi Energi Satunama, korban Aprilia Wulandari (12), Lok Bahu, Samarinda, pada 18 November 2015 21) CV. Atap Tri Utama, korban Koko Handoko (16), Palaran, Samarinda, pada 08 Desember 2015 22) PT. Bumi Energi Kaltim, korban Agus Irawan (20), Penajam, PPU, pada 12 Februari 2016 23) Diki Aditya Pratama (15) tenggelam bersama Noval Fajar Slamat Riyadi (16), di area lubang tambang milik PT Bukit Baiduri Energi (BBE), di Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim, Kamis (24/3/2016). 24) Noval Fajar Slamat Riyadi (16), tenggelam bersama Diki Aditya Pertama (15) di area lubang tambang milik PT Bukit Baiduri Energi (BBE), di Desa Bukit Raya, Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kaltim, Kamis (24/3/2016).. 7

25) Wilson (17), warga Loa Janan Ilir, Samarinda, tenggelam di kolam bekas galian tambang emas hitam alias batubara milik PT STA di kilometer 9 RT 18, Desa Purwajaya, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kukar, Kukar, Minggu (15/5/2016) sekitar pukul 16.00.2

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang di jelaskan di atas terkait Penegakan Hukum Terhadap pelaku pengerusakan lingkungan hidup di kawasan taman hutan raya (Tahura) Bukit Soeharto Kecamatan Samboja, Maka penulis menarik beberapa pertanyaan penelitian yang di rumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Kebijakan penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku pengrusakan lingkungan hidup di kawasan Tahura Bukit Soeharto Kecamatan Samboja ? 2. Bagaimana penerapan regulasi hukum terhadap pelaku pengerusakan lingkungan di kawasan hutan lindung Tahura Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini lebih menekankan pada kajian kebijakan penerapan penegakan hukum pidana terhadap 2 rumusan masalah diantaranya. Pertama; untuk mengetahui Kebijakan penegakan Hukum Pidana terhadap pelaku pengerusakan lingkungan di Tahura Bukit Soeharto Kecamatan Samboja. Pada bagian pertama ini, penulis akan menguraikan segala pertimbangan dan kebijakan hukum pidana yang akan di jatuhkan pada barang siapa yang melakukan kegiatan pengerusakan ingkungan di hutan lindung Tahura Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja Kedua; 2 http://kaltim.tribunnews.com/2016/03/24/inilah-daftar-nama-para-korban-yang-tenggelam-di-kolamtambang-kaltim?page=2

8

Untuk mengetahui regulasi hukum terhadap pelaku pengrusakan lingkungan di hutan lindung Tahura Bukit Soeharto yang merupakan kegiatan penambangan batu bara, Kecamatan Samboja. Pada bagian kedua ini, penulis akan menelusuri berbagai regulasi terkait Kegiatan penambangan illegal di Hutan Taman Raya (Tahura), yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

D. Kegunaan Penelitian Manfaat yang di harapkan agar bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengembangan ilmu pengetahuan dimana tulisan ini di harapkan sebagai bahan wacana baru dalam memperdalam kembali konsep-konsep teori hukum, teori kewenangan termasuk melihat penerapan penegakan hukum terkait pelaku pengerusakan lingkungan di hutan (Tahura) Bukit Soeharto , Kecamatan Samboja oleh karena itum manfaat yang hendak di peroleh dari Penelitan ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Teori Diharapkan dalam

penelitian

ini

dapat

memberikan

sumbangsih

pengembangan ilmu hukum khususnya pada bidang hukum pidana. 2. Secara Praktis Pada tataran pengembangan ilmu hukum khusus hukum pidana, penelitian tesis ini memberikan manfaat tentang kejelasan konsep hukum pidana terhadap pelaku pengrusakan lingkungan hidup di kawasan Hutan Taman Raya (Tahura) Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.

9

E. Pembahasan

1. Teori Kewenangan Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah”(the rule and the ruled)[1]. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote match”[2], sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara[3]. Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan[4]. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d) kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan[5]. Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau Negara[6].

10

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga Negara

itu dikonsepkan

sebagai

himpunan

jabatan-jabatan (een

ambten

complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban[7]. Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi. Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik[8]. Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang[9].

Kita

harus

membedakan

antara

kewenangan (authority,

gezag)dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum[10]. Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah: 11

Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik)[11]. Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat). Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan: a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say that is not derived from a previously existing power. The legislative body creates independent and previously non existent powers and assigns them to an authority. b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that the acquired the power) can exercise power in its own name. c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.

12

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[13] a.

delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi menggunakan

sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b.

delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi

hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c.

delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak

diperkenankan adanya delegasi; d.

kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang

untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; e.

peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi

(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

13

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan

yang dikuatkan oleh

hukum positif

guna mengatur dan

mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar. 2. Teori Pemidanaan

Istilah pidana sering diartikan sama dengan istilah hukuman. Namun berkenaan dengan pembahasan saat ini penulis ingin memisahkan pengertian dari kedua istilah tersebut. Hukuman adalah suatu pengertian umum dan lebih luas, yaitu sebagai suatu sanksi yang tidak mengenakan yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkenaan dengan sanksi dalam hukum pidana. Walaupun ada juga persamaannya dengan pengertian umum, yaitu sebagai suatu sanksi yang berupa tindakan yang menderitakan atau suatu nestapa3 Dalam bahasa Belanda kedua-duanya diberi istilah yang sama, yaitu “Straf”. Menurut Prof. Moelyatno istilah “hukuman” atau “straf” merupakan istilah konvensional. Istilah yang benar /inkonvensional untuk menggantikan “Straf” adalah “Pidana”. Hal tersebut sesuai dengan istilah “strafrecht” yang selama ini digunakan sebagai terjemahan dari “Hukum pidana”. Dengan demikian, maka istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus yang dipakai dalam hukum pidana.

3 https://rahmanjambi43.wordpress.com/2015/02/06/teori-pemidanaan-dalam-hukum-pidana-indonesia/

14

Kekhususan lain dari istilah pidana termasuk dalam hal bentuk atau jenis snksi/hukumannya, dimana sifat nestapa atau penderitaan lebih menonjol bila dibandingkan dengan bentuk hukuman yang dimiliki oleh aspek hukum lain. Bahkan para ahli hukum pidana ada yang mengatakan, bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi istimewa. Dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Yaitu suatu nestapa yang sifatnya mencelakakan/menderitakan yang sudah tentu membuat si terpidana menjadi tidak enak. Pidana tidak hanya tidak enak dirasakan pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang yang dikenai masih merasakan akibatnya yang berupa”cap” atau “label” atau “stigma” dari masyarakat.1 3. Kerangka Konseptual Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Perturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).[rujukan?] Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah 15

aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP) Dan Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebu.

Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan

Indonesia adalah dengan mencabut, menambahkan, atau menyempurnakan pasalpasal dalam KUHP maupun aturan-aturan hukum pidana di luar KUHP dengan beberapa peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kondisi bangsa dan perkembangan jaman. Pembaharuan hukum pidana materiel dengan model parsial ini telah dilakukan sejak awal Indonesia merdeka dengan disahkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagai “akta kelahiran” KUHP. Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

16

Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.4 Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.

4. Kerangka Pikir

4 https://lawfresh.wordpress.com/hukum-kita/hukum-pidana/

17

Landasan Teori :

a. Teori Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik 18

manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anakanak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun. Menurut

Dicey,

Bahwa

berlakunya

Konsep

kesetaraan

dihadapan

hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law). Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam

19

konsep

hak-hak

fundamental (fundamental

rights) dan

konsep

kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty). Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep

hukum

tentang

“keadilan

yang

fundamental” (fundamental

fairness).Perkembangan , due process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.[5] b. Landasan Yuridis 5 https://adedidikirawan.wordpress.com/teori-negara-hukum-rechtstaat/

20

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang secara melawan hukum melanggarnya.

Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya"

Undang-Undang No 4 Tahun 2009 menjelaskan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

5. Tindak Pidana Bidang Lingkungan Hidup Tindak pidana bidang Lingkungan Hidup adalah: Perbuatan melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang secara melawan hukum melanggarnya. 21

Ada perbedaan atau bisa dibilang perkembangan rumusan delik tindak pidana dalam Undang undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH 1997) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 2009). Jika pada UUKKPPLH 1982 hanya mengenal delik materil, maka di UUPLH 1997 dan UUPPLH 2009 perumusan deliknya bersifat delik materil dan delik formil bahkan di UUPPLH 2009 delik formilnya lebih banyak dibandingkan UULH 1997. Perbedaan delik materiel dan delik formil adalah : Delik Materil (Materiil Delict) adalah: "Delik yang rumusannya memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang telah menimbulkan akibat dari perbuatan (Ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat dari perbuatan)". Delik formil (Formeel Delict) adalah: "Delik yang rumusannya memberikan ancaman pidana terhadap perbuatan yang dilarang, tanpa memandang akibat dari perbuatan" Delik materiel dalam ketentuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal 98 dan Pasal 99, yaitu setiap orang yang dengan sengaja atau kelalaiannya melakukan:



perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

22



perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia



perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan mengakibatkan orang luka berat atau mati

Delik materil juga terdapat dalam Pasal 112 UUPPLH 2009 yaitu Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang

mengakibatkan terjadinya

lingkungan yang

pencemaran

mengakibatkan hilangnya

dan/atau nyawa

kerusakan manusia

Sedangkan perbutan yang dilarang yang masuk kategori delik formil dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal 100 s/d Pasal 111 dan Pasal 113 s/d Pasal 115 antara lain:



Melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan;



Melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;



Melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin;



Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan;



Melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin;



Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 23



Melakukan pembakaran lahan;



Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;



Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal;



Pejabat pemberi izin lingkungan yg menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL;



Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan;



Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;



Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah;



Dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil . 6. Tindak Pidana Bidang Kehutanan

Tindak pidana bidang kehutanan adalah: "perbuatan melanggar ketentuan Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya" TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UU No. 41 Th. 1999 TENTANG KEHUTANAN

24

Perbuatan yang dilarang: 

Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (Pasal 50 ayat (1))



Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat (2))



mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf a)



merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b);



melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: a.500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; f. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. (Pasal 50 ayat (3) huruf c)



membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d);



menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e);



menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 50 ayat (3) huruf f);

25



melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri (Pasal 50 ayat (3) huruf g);



mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf h);



menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf i);



membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akandigunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf j)



membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang(Pasal 50 ayat (3) huruf k);



membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l); dan



mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 50 ayat (3) huruf m)

Sanksi Pidana UU No. 41 Th. 1999 ttg Kehutanan 

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling

26

lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (1)) 

Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (2))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (3))



Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). (Pasal 78 ayat (4))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (5))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (6))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

27

tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (7)) 

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (Pasal 78 ayat (8))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (9))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (10))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 78 ayat (11))



Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (Pasal 78 ayat (12))



Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan

28

tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran. (Pasal 78 ayat (13)) 

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendirisendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. (Pasal 78 ayat (14)) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alatangkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran dirampas untuk Negara. (Pasal 78 ayat (15))

7. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pertambangan Ilegal

Dewasa ini kegiatan pertambangan sudah sangat berkembang, hasil yang diberikan pun sangat memberikan keuntungan bagi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, khususnya bagi para penambang. Namun, terdapat masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah yaitu masalah penambangan illegal. Penambangan illegal dilakukan tanpa ijin, prosedur operasional, dan aturan dari pemerintah. Hal ini membuat kerugian pada negara karena mengeksploitasi sumber daya alam secara illegal, medistribusikan, dan menjual hasil tambangnya secara illegal, sehingga terhindar drai pajak negara, hal ini lah yang menjadi masalah pertambangan masuk kedalam hukum pidana kusus. Oleh karena itu pemerintah harus menerapkan peraturan yang tegas terhadap pihak yang melakukan penambangan illegal.

29

Terminologi Pertambangan

Pertambangan adalah rangkaiaan kegiatan dalam rangka upaya pencarian, pengembangan (pengendalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumu, migas). Ilmu Pertambangan merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang meliputi pekerjaan pencarian, penyelidikan, study kelayakan, persiapan penambangan, penambangan, pengolahan dan penjualan mineral-mineral atau batuan yang memiliki arti ekonomis (berharga). Pertambangan bisa juga diartikan sebagai kegiatan, teknologi dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian, pengangkutan sampai pemasaran.

Undang-Undang No 4 Tahun 2009 menjelaskan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.

Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. Usaha Pertambangan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan 30

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Berdasarkan Undang-Undang No 4 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (7) terkait dengan ijin usaha, permasalahan yang terjadi di Indonesia banyak sekali penambanganpenambangan illegal yang tidak mempuyai ijin operasional Penambangan illegal dilakukan tanpa ijin, prosedur operasional, sehingga membuat kerugian pada negara karena mengeksploitasi sumber daya alam secara illegal, medistribusikan, dan menjual hasil tambangnya secara illegal.

Di dalam Pasal 38 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara disebutkan bahwa pelaku usaha pertambangan meliputi Badan Usaha Swasta, Koperasi dan Perseorangan. Sedangkan dalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan disebutkan bahwa pelaku usaha pertambangan meliputi Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, Perusahaan Negara, 3 Perusahaan Daerah, Perusahaan modal bersama antara Negara dan Daerah, Korperasi, Badan atau perseorangan swasta, Perusahaan dengan modal gabungan, dan Pertambangan rakyat.

Pertambangan illegal adalah kegiatan penambangan atau penggalian yang dilakukan oleh mayarakat atau perusahaan tanpa memiliki ijin dan tidak menggunaka prinsip-prinsip

penambangan

yang

tidak

baik

dan

benar

(Good

Mining

Practice).Dalam Pasal 20 dan Pasal 66 sampai dengan Pasal 73 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara mengakomodasi kepentingan

31

tambang rakyat karena selain memecahkan persoalan yang selama ini terjadi, di lain pihak merupakan bukti konkrit pengakuan terhadap eksistensi keberadaan tambang rakyat, yang apabila di lakukan pembinaan dengan baik, merupakan salah satu potensi ekonomi lokal, yang dapat menggerakkan perekonomian di daerah tersebut.

Pertambangan rakyat adalah kegiatan penambangan berizin/legal (IPR) yang dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan sederhana dan dilakukan dalam sebuah Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang dijelaskan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2009. Sedangkan Kegiatan Pertambangan Rakyat menurut Undang-undang adalah kegiatan yang legal, namun dalam kenyataanya Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat hampir semuanya penambangan tidak berizin (peti).

Tindak Pidana di Bidang Pertambangan

Dengan diaturnya ketentuan pidana pertambangan, kedudukanya sebagai tindak pidana di luar KUHP yang diatur menyimpang sesuai dengan ketentuan Pasal 103 KUHP. Karena tindak pidana pertambangan dapat menimbulkan bahaya di berbagai bidang yang berakibat merugikan masyarakat luas dan lingkungan hidup.

Diaturnya tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, tidak dapat dilepaskan dari teori dasar tentang penghukuman penjatuhan hukuman pidana menurut Marpaung, terdapat teori-teori sebagai berikut teori absolut (vergeldingstheorie)

Menurut teori absolut, hukuman itu dijautuhkan sebagaai pembalasan terhadap pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraaan terhadap orang

32

lain atau anggota masyarakat. Sedangkan teori relative dilandasi beberapa tujuan sebagai berikut:

1.

Menjerakan

2.

Memperbaki pribadi terpidana

3.

Membinasakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, terdapat bermacam-macam tindak pidana, yang sebagaian besar ditujukan kepada pelaku usaha pertambangan dan hanya 1 (satu) yang ditujukan untuk pejabat penerbit izin di bidang pertambangan. Tindak pidana di bidang pertambangan tersebut yakni:

1. Tindak pidana melakukan penambangan tanpa izin (Pasal 158 UU NO. 4/2009). 2. Tindak pidana menyampaikan data laporan keterangan palsu (Pasal 159 UU NO. 4/2009 jo. Pasal 263 KUHP). 3. Tindak pidana melakukan eksplorasi tanpa hak (Pasal 160 ayat (1) UU NO. 4/2009). 4. Tindak pidana sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi tidak melakukan kegiatan operasi produksi (Pasal 160 ayat (2) UU NO. 4/2009). 5. Tindak pidana pencucian barang tambang (Pasal 161 UU NO. 4/2009). 6. Tindak pidana menghalangi kegiatan usaha pertambangan (Pasal 162 UU NO. 4/2009).

33

7. Tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemberi izin usaha pertambangan (Pasal 165 UU NO. 4/2009). 8. Pelakunya badan hukum (Pasal 163 ayat (1) UU NO. 4/2009). Pada dasarnya hukuman pidana yang dapat dijatuhkan hakim kepada terdakwa sifatnya hanya 2 (dua) macam, yaitu yang bersifat kumulatif (terdakwa dihukum dengan 2 (dua) hukuman pokok sekaligus yaaitu pidana penjara dan pidana denda) sedangkan yang bersifat alternatif (hakim wajib memilih salah satu hukuman yaitu pidana badan atau pidana kurungan). Tindak pidana di bidang pertambangan tidak membedakan mana yang delik kejahatan dengan pelanggaran dan hukuman yang dijatuhkan terhadap pelakunya terdapat hukuman yang bersifat kumulatif dan alternatif. Pada hukuman yang bersifat kumulatif terdapat pada delik kejahataan yaitu Pasal 158, 159, 160 ayat (2), 161, dan 165 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sedangkan hukuman yang bersifat alternatif terdapat pada delik pelanggaran yaitu Pasal 160 ayat (1) dan Pasal 162 Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

UPAYA PENCEGAHAN PENAMBANGAN ILEGAL

Penambangan tanpa ijin adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memilki izin dari instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, izin, rekomendasi , atau bentuk apapun

yang

diberikan

kepada

perseorangan,

sekelompok

orang,

atau

perusahaan/yayasan oleh instansi pemerintah di luar ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, dapat dikategorikan sebagai PETI. 34

Pentingnya kesadaran hukum masayrakat dalam penerapan sanksi hukum untuk menangani penambangan tanpa ijin, adapun ketentuan sanksi tersebut diatur dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara:

1. Pasal 37 IUP (Ijin Usaha Pertambangan) diberikan oleh:

1. bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; 2. gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 3. Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4.

Pasal 40 ayat (2) (3) yang berbunyi :

Pasal 40 ayat (2) ,mengatakan bahwa Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain didalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya.

Pasal 40 ayat (3), mengatakan bahwa Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru

kepada

Menteri,

gubernur,

kewenangannya.

35

dan

bupati/walikota

sesuai

dengan

1. Pasal 48 IUP Operasi Produksi diberikan oleh: 

Bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;



Gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undagan; dan ;



Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



2.Pasal 67 ayat (1) Bupati/walikota memberikan IPR (Ijin Pertambangan Rakyat) terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Upaya dalam penegekan hukum (Saleng,Akbar:2004), dilakukan dengan cara:



Secara preventif (pencegahan) Diupayakan memberikan pengertian, penyuluhan hukum, pembinaan, pemecahan dan diharapkan timbulnya kesadaran hukum, ketaatan hukum sehingga timbul tertib hukum.



Secara represif

36

Apabila upaya preventif telah dilaksanakan ternyata tidak ditaati, maka untuk penegakan hukum di bidang lingkungan hidup yaitu kepada si pelanggar peraturan dilakukan pengusutan dan diberi sanksi yang tegas. Penambangan secara illegal di kawasan hutan Tahura Bukit mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Pertambangan illegal adalah kegiatan penambangan atau penggalian yang dilakukan oleh mayarakat atau perusahaan tanpa memiliki ijin dan tidak menggunaka prinsipprinsip penambangan yang tidak baik dan benar (Good Mining Practice).6

Tindak pidana di bidang pertambangan tersebut yakni:

a. Tindak pidana melakukan penambangan tanpa izin (Pasal 158 UU NO. 4/2009). b. Tindak pidana menyampaikan data laporan keterangan palsu (Pasal 159 UU NO. 4/2009 jo. Pasal 263 KUHP). c. Tindak pidana melakukan eksplorasi tanpa hak (Pasal 160 ayat (1) UU NO. 4/2009). d. Tindak pidana sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi tidak melakukan kegiatan operasi produksi (Pasal 160 ayat (2) UU NO. 4/2009) e. Tindak pidana pencucian barang tambang (Pasal 161 UU NO. 4/2009). f. Tindak pidana menghalangi kegiatan usaha pertambangan (Pasal 162 UU NO. 4/2009).

6 https://httpafrialdyagungperdana.wordpress.com/2017/08/24/penegakan-hukum-terhadap-pelaku-tindakpidana-pertambangan-ilegal-oleh-akp-afrialdy-agung-perdana-mahasiswa-stik-ptik-angkatan-73/

37

g. Tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat pemberi izin usaha pertambangan (Pasal 165 UU NO. 4/2009). h. Pelakunya badan hukum (Pasal 163 ayat (1) UU NO. 4/2009).

4. Dinas Yang Melaksanakan Pengasawan dan Penegakkan Hukum Terhadap Pelaku pengerusakan lingkungan hidup di kawasan Tahura Bukit Soeharto :

Pemerintah Daerah melalui dinas terkait : a. Dinas Kehutanan b. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) c. Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben)

Aparat Penegak Hukum : a. POLISI Tugas Polisi Meliputi : 1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) menegakan hukum, dan 3) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. b. GAKUM Kementerian Lingkungan Hidup; Menyelenggarakan fungsi kebijakan di bidang penyelenggaraan pencegahan, pengawasan, pengamanan, pengamanan pengaduan, penyidikan, penerapan hukum administrasi perdata, dan pidana dalam ranah lingkungan hidup dan kehutanan.

5. Metode Penelitian a. Pendekatan Penelitian, penulis menggnakan pendekatan yang bersifat yuridis normatif pendekatan ini akan di gunakan untuk mengungkap apakah implementasi aturan perundang undangan sebagai berikut :

38

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang secara melawan hukum melanggarnya.

Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya"

Undang-Undang No 4 Tahun 2009 menjelaskan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Dimana yuridis normatif digunakan dalam rangka mengupas segala permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan penegakan hukum terhadap pelaku penambangan illegal di Taman Hutan Raya (Tahura) dimana pendekatan analisanya akan menggunkan kajian yang bersifat yuridis normatif yang berdasar pada norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang hendak di pecahkan

39

b. Jenis Penilitian

Penelitian

ini menggunakan metode deskriftif analitis yaitu dengan

menggambarkan sesuatu keadaan sebagaimana adanya pada saat penelitian dilakukan yang selanjutnya akan di uji terhadap fakta yang di temukandi lapangan berdasarkan aturan hukum

c. Sumber Data

Menggunakan penelitian yuridis normatif yaitu:

1. Bahan hukum Primer terdiri dari :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang secara melawan hukum melanggarnya.

Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya"

40

Undang-Undang No 4 Tahun 2009 menjelaskan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,

2. Bahan Hukum Sekunder terdiri dari : Hasil penelitian pendapat para pakar, makalah, tesis, disertai yang ada relevansinya dengan permasalahan alih ilmu pengetahuan. 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan- bahan yang diperoleh berdasarkan kamus, ensiklopedi serta bahan lain yang dapat di jadikan sebagai petunjuk dalam memecahkan masalah alih ilmu pengetahuan. d. Teknik Pengmpulan Data Oleh karena itu penelitian ini menggunakan 2 data pendukung yakni data primer maka kedua data yang di peroleh selanjutnya di kumpulkan dan di pilah untuk di susn berdasarkan kegunaanya e. Analisa Data Berdasarkan kajian penelitian Yang bersifat yuridis normatif yang memiliki sumber data berupa data sekunder, maka data tersebut di pilah dan di susun berdasarkan kegunaannya secara sistematis selanjutnya dilakukan pemisahan antara kualitatif dan data

kuatitatif

untuk memudahkan dalam menganalisis kebijakan hukum pidana terkait

pelaku pengerusakan lingkungan di kawasan Hutan lindung Tahura Bukit Soeharto Kecamatan Samboja F. Kesimpulan

41

Karena lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kegiatan pengrusakan lingkungan hidup di kawasan hutan lindung tahura Bukit Soeharto, serta dugaan adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam kegiatan tambang batubara illegal tersebut, mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup

yang

merugikan masyarakat sekitar karena terjadi banjir, polusi udara, kubangan bekas tambang yang dapat membahayakan masyarakat sekitar. Seharusnya aparat penegak hukum menindak tegas pelaku pengrusakan lingkungan tersebut dengan menerapkan aturan terkait Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertambangan agar Menimbulkan efek jera sehingga tidak terjadi kerusakan Lingkungan Hidup. Untuk mencegah terjadinya kerusakan Lingkungan di kawasan Hutan Lindung Tahura Bukit Soeharto Kecamatan Samboja permerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur, melalui Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pertambangan harus melaksanakan tugas pengawasan secara ketat dan berkoordinasi antar dinas terkait sehingga penerapan regulasi berjalan dengan baik, dengan harapan kedepan tidak terjadi kerusakan lingkungan hidup di kawasan Hutan Lindung Tahura Bukit Soeharto Kecamatan Samboja.

42

43

1

Related Documents

Tugas 1
June 2020 21
Tugas 1
June 2020 23
Tugas 1
June 2020 17
Tugas 1
August 2019 54
Tugas 1
June 2020 17
Tugas 1
June 2020 24

More Documents from ""

Teori Kewenangan.docx
July 2020 6
Tugas 1 Abang.docx
July 2020 14
Doc-20181116-wa0011.pdf
September 2019 54
Perancangan Database
April 2020 32