Tragedi Perang dan Wajah Kemanusiaan Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang Mahasiswa FISIP Unpad
Sejarah dunia adalah sejarah hegemoni kekerasan terhadap nilainilai
kemanusiaan.
Bermula
dari
benua
eropa
dengan
jargon
nasionalisme chauvistik dan doktrin kapitalisme global kemudian membuka babak era kolonialisme di dunia. Hasrat untuk menguasai kehidupan
manusia
lainnya
mengambil
wujud
peperangan
dan
pembantaian manusia sebagai pintu pembuka stempel legitimasi bagi yang menang. Hari ini wajah kekerasan masih
ada bersama kita.
Kurang lebih 800 rakyat Palestina meninggal dan 3.490 orang terluka. Manusia-manusia yang tidak berdosa harus meregang nyawa dan dijadikan korban sejarah konflik yang multikompleks. Jalan dialog dan diplomasi yang gencar disuarakan berbagai negara dibuat tak berdaya. Masih adakah rasa kemanusiaan di muka bumi sebagai sesama manusia ? Berbicara kemanusiaan dalam ruang perang mau tidak mau berkaitan dengan Hak Azasi Manusia (HAM). Hak azasi adalah hak yang dimiliki manusia dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau
kehadirannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Sejarah perumusan hak azasi ini dilatarbelakangi oleh dua perang dunia yang melibatkan hampir seluruh negara. Usaha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights (pernyataan sedunia tentang Hak Azasi Manusia ) yang dalam salah satu pasalnya berbunyi “semua
umat manusia dilahirkan
merdeka dan sederajat dalam
martabat dan hak-hak asasi. Mereka dianugerahi akal budi dan hati nurani serta semestinya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan“. Perang telah merenggut apa yang disebut rights to life (hak untuk hidup ) dan rights to liberty and security of person ( hak atas kebebasan dan keamanan diri). Sebagai manusia, rakyat Palestina tidak berhak dicabut nyawanya oleh orang lain atas nama kekerasan. Militer Israel dengan membabi buta telah melakukan kesalahan fatal dengan membunuh warga sipil. Nilai-nilai hak asasi telah dicabik-cabik dengan serangan bom dan peluru. Apalagi ditengarai alasan Israel menyerang Palestina bermotif kepentingan politik dalam negeri Israel. Perdana Menteri Ehud Olmert dan partainya saat ini telah mengalami krisis legitimasi dan untuk mendongkrak suara partai, perang pun diambil sebagai jalan untuk memuluskan kepentingan politiknya. Jika memang ini yang terjadi, sungguh serangan Israel ke Palestina yang menewaskan ratusan orang tidak dapat dimaafkan. Ini adalah sebuah bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus ditindak tegas.
Prinsip utama dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah bahwa selama perang, nilai-nilai kemanusiaan harus dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau menggunakan kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-defence), melainkan untuk membatasi penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak berperang tersebut untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan
tujuan militer. Pertama,
prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak
menimbulkan
korban,
berlebihan yang tidak berkaitan unnecessary
suffering
kerusakan
dan
penderitaan
yang
dengan tujuan-tujuan militer (the
principles).
Kedua,
prinsip
diskriminasi
mengandung 3 komponen: a). larangan tentang serangan terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; b). bahkan jika target serangan
adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut
tetap dilarang jika “May be expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete and direct military advantage anticipated”; c). jika terdapat pilihan dalam melakukan serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi prioritas. Untuk menciptakan dunia yang lebih aman dengan menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan
merupakan
cita-cita
dunia
yang
terus
diperjuangkan sampai hari ini. Perang sebagai bentuk diplomasi yang
gagal sebenarnya bukan justifikasi untuk melakukan kekerasan. PBB sebagai lembaga internasional perlu berbenah dan membangun wibawa. Namun,lembaga sekuat apapun tidak akan diperlukan jika tiap orang di muka bumi ini sadar akan nilai-nilai persaudaraan dan kemanusiaan yang universal.