Tokoh Jil - Dawam Rahardjo

  • Uploaded by: beMuslim
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tokoh Jil - Dawam Rahardjo as PDF for free.

More details

  • Words: 4,791
  • Pages: 7
TOKOH JIL : DAWAM RAHARDJO Dawam Raharjo Asbun; Menjunjung Marxis dan Kristen Sambil mengecam Muslim Oleh Hartono Ahmad Jaiz KALAU Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) berani leha-leha berseminar dengan orang Kristen di Jakarta membahas tentang Tuhan di hari Jum’at dari jam 10 hingga 13 dan tidak melaksanakan Shalat Jum’at (lihat Majalah Gatra edisi 26 Februari 2005), maka pembela Ulil, yaitu Prof Dawam Rahardjo, tidak mau kalah. Dawam menampilkan jurus-jurus asbun-nya (asal bunyi, bahasa Jawa: waton muni, berbicara semaunya tanpa landasan dan tak memperhitungkan benar salahnya) yang cukup menohok Islam dan umat Islam ketika berseminar di kalangan Kristen, di Jakarta, Jum’at malam 28 April 2006. Berikut ini cuplikan kutipan yang kami anggap penting untuk dikomentari, dari presentasi Dawam Rahardjo di hadapan jemaat Kristiani dalam acara “Seminar Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama” di Balai Sarbini Plaza Semanggi Jakarta, Jum’at 28 April 2006 pukul 19.00 WIB. Pembicara lainnya adalah Pendeta Dr.. Stephen Tong, Pendeta Benjamin F. Intan Ph.D, dan Prof J.E. Sahetapy SH MA. Kutipan ungkapan Dawam Rahardjo: “Orang-orang Marxis itu ternyata orang baik-baik saja. Bahkan orang-orang Marxis itu kebanyakan humanis dan mempunyai etika yang tinggi. Jadi apa salahnya? Dari pada orang beragama tapi kerjanya menteror. (audiens tertawa dan tepuk tangan). Memecahkan masalah dengan teror, usul dengan teror.” (Ditranskrip oleh Imran, Mulyadi dan Eros Dai dari Majalah Tabligh). Komentar:

Menjunjung Marxis (PKI), mengecam Muslimin Dawam Rahardjo tidak ingat sejarah. Kalau dia mau mengingat sejarah sedikit saja, tentunya dia ingat bahwa pembantaian yang sadis telah dilakukan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berideologi marxisme, di antaranya dalam Affair Madiun atau Peristiwa Madiun (Pemberontakan PKI di Madiun, 18 September 1948 pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin). Seorang wartawan asal Madiun menulis di Majalah Media Dakwah tentang hilangnya kemanusiaan berganti dengan kesadisan. Di antaranya ia mengemukakan adanya dokumentasi di kantor berita foto, Ipphos, tentang foto genangan darah ulama yang disembelihi PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam Affair Madiun atau Peristiwa Madiun 18 Sepetember 1948. Dia sebutkan, foto genangan darah ulama itu setebal bercenti-centi meter saking banyaknya ulama yang disembelihi PKI. Di Kampung Gorang Gareng Madiun saja, ungkap wartawan asal Madiun ini, ada seratusan lebih ulama beserta keluarganya yang dibantai PKI pimpinan Muso dan Amir Sjarifuddin. Bagaimana seorang Dawam Rahardjo bisa mengatakan, “Bahkan orang-orang Marxis itu kebanyakan humanis dan mempunyai etika yang tinggi. Jadi apa salahnya? Dari pada orang beragama tapi kerjanya menteror.” Seandainya yang berbicara menyanjung marxis itu dokter Soelastomo (asal Solo Jawa Tengah pula sebagaimana Dawam, dan tinggal di Jakarta pula, konon Soelastomo pernah jadi saksi yang memberatkan dalam persidangan tokoh Masyumi, dan terkesan seperti agak condong ke PKI dalam kasus itu, menurut sumber dari orang Masyumi) itupun akan tetap mengangetkan orang. Karena justru yang kerjanya menteror dan membantai itu PKI yang ideologinya jelas marxisme. Lha ini sekarang yang berbicara memutar balikkan fakta, dengan menjunjung tinggi, (dengan ungkapan, orang marxis itu kebanyakan humanis dan mempunyai etika yang tinggi) itu Dawam Rahardjo. Padahal Dawam itu dalam perjalanan hidupnya, ketika mau kawin saja minta dicarikan isteri dengan minta tolong kepada tokoh Masyumi, Dr Anwar Haryono, yang jelas musuh bebuyutan PKI. Jadi jalan pikiran Dawam ini untuk dilacaknya melalui jalur mana? Kesimpulan sementara, ada tiga alternatif: –mungkin Dawam plintat-plintut –mungkin tidak tahu berterimakasih –mungkin memendam rasa tidak suka pada Islam, sebagai konsekuensi dari pembelaannya terhadap faham sekulerisme yang dia usung, yang oleh tokoh Masyumi seperti M Natsir sering diistilahkan dengan pihak yang netral agama, yang bahasa Arabnya la dini atau ‘ilmani. Terhadap orang yang mengaku beragama Islam tetapi berfaham netral agama itu M Natsir cukup sengit sejak tahun 1930-an dalam berpolemik dengan Soekarno dan lainnya, M Natsir biasanya pakai nama samaran A. Muchlis. Sampai-sampai M Natsir memberikan contoh bahwa menghadapi orang non Muslim yang berfikirnya masih konsekuen, lebih mudah dibanding menghadapi orang yang mengaku Islam tetapi berfaham netral agama alias sekuler. Kutipan: Pernyataan Dawam: “…menurut pendapat saya yang mengganti Menteri Agama itu tidak mesti dari orang Islam, bahkan lebih baik kalau Menteri Agama itu dari golongan minoritas atau yang disebut golongan minoritas.. (audiens tepuk tangan). Karena apa? Karena kalau dari golongan minoritas, misalnya Kristen, dia tidak akan berani melanggar hak-hak sipil. (audiens tertawa dan tepuk tangan), karena akan dikontrol oleh

1

mayoritas. Sebaliknya kalau itu berasal dari kelompok agama yang mayoritas, wah, itu pasti dia cenderung untuk selalu melanggar, karena merasa berani dan merasa kuat, karena merasa dari golongan mayoritas. Padahal di Indonesia itu tidak ada golongan mayoritas dan minoritas. (Tepuk tangan) Semua sama di depan hukum.” (Ditranskrip oleh Imran, Mulyadi dan Eros Dai dari Majalah Tabligh). Komentar: Pernyataan Dawam Rahardjo itu mengandung berbagai kerancuan:

1. Tidak melihat sejarah dan kenyataan ganasnya minoritas terhadap Umat Islam. Kenapa Dawam begitu bersemangatnya untuk mengganti menteri agama, dan gantinya pun lebih baik dari golongan minoritas, misalnya Kristen? Kalau alasannya, jika dari minoritas tidak akan berani melanggar hakhak sipil, apakah memang ada bukti dan jaminan? Ini hanya akal-akalan Dawam Rahardjo, tanpa ada landasan pijakan yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukankah penjajah Belanda yang beragama Kristen, dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil? Berapa ribu ulama yang telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai berikut:

Amangkurat I membantai ribuan ulama Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646. Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut: ‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’ Masalah ini ditegaskan lagi oleh Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya. Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’ Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan: ‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana, Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni Belanda (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’ Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I. Penjajah Belanda itu jumlahnya sedikit, minoritas, tetapi memegang kendali kepemimpinan, terbukti memainkan peran jahatnya terhadap inti umat Islam yaitu membantai ribuan ulama. Kelompok minoritas itu sampai membantai yang mayoritas saja tidak takut, apalagi kejahatan-kejahatan lainnya. Berikut ini sebagian data kejahatan minoritas kafir penjajah Belanda terhadap umat Islam dalam hal memberi dana sangat besar kepada Kristen dan Katolik, sebaliknya sangat kecil terhadap Islam. Semenjak masa pemerintah kolonial Belanda, Katolik terutama Protestan memperoleh dana bantuan yang besar sekali, tidak demikian dengan Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 alokasi bantuan untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai berikut: Protestan memperoleh f31.000.000 Katolik memperoleh f10.080.000 Islam memperoleh f80.000. Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedang ummat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya, anak-anak orang kafirin itu telah makan sekolahan sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemerintahan di mana-mana. Padahal mereka itu ogah-ogahan untuk merdeka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan. Keadaan itu makin didukung oleh sikap pemerintahan Soekarno yang bersama PKI (Partai Komunis Indonesia) mempecundangi ummat Islam. Senjata ampuh Soekarno dan PKI adalah istilah DI (Darul Islam) yang harus dihabisi sampai seakar-akarnya. Di situ kafirin Nasrani bersorak kegirangan karena ummat Islam dikuyo-kuyo (dipecundangi, disengsarakan). Di masa Soeharto berkuasa 32 tahun pun ummat Islam dikuyo-kuyo lagi oleh Soharto, Ali Moertopo, Benny Moerdani, Sudomo (sebelum masuk Islam) dengan tunggangan Golkar. Sampai hanya untuk bicara agama saja harus pakai SIM (Surat

2

Izin Muballigh).. Dan ummat Islam banyak dibantai di mana- mana, di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng Jabar dan sebagainya. Lagi-lagi kafirin Nasrani bersorak sorai. Mereka yang sorak sorai –selama umat Islam dibantai, dikuyo-kuyo dan didhalimi– itu kini diusulkan oleh Dawam Rahardjo untuk memimpin Departemen Agama, yang diadakannya Departemen Agama itu sendiri menurut sejarahnya adalah hadiah bagi umat Islam, karena para ulama dan umat Islam telah berjuang mati-matian untuk meraih kemerdekaan. Kalau toh penyengsaraan terhadap umat Islam tidak sampai tingkat pembantaian, maka seandainya dari kalangan Kristen memimpin Departemen Agama, lakon nenek moyangnya dalam ideology dan agama, yaitu penjajah Belanda, bisa diterapkan pula. Yaitu dana untuk Nasrani 41 juta Gulden, sedang untuk Islam hanya 80 ribu Gulden saja. Tidak usah jauh-jauh ke zaman Belanda, di saat pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto, ketika Benny Moerdani yang Nasrani itu dijadikan Menteri Pertahanan dan Keamanan/ Panglima Angkatan Bersenjata, ternyata ratusan umat Islam dibantai di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Diperkirakan ratusan Muslimin dibantai, diangkut bertruck-truck entah ke mana dikuburkannya, tak jelas. Kemudian ketika TB Silalahi dari Nasrani pula dijadikan Menteri Aparatur Negara, maka membuat kebijakan yang mengarah pada pembunuhan madrasah-madrasah sore hari, dengan cara menambah lama bersekolah di sekolah-sekolah umum sampai agak sore, sehingga mengakibatkan rontoknya madrasah-madrasah sore hari. Masih pula ditambah dengan menghapus pengadaan guru-buru negeri untuk sekolah swasta, yang artinya adalah membunuh madrasah-madrasah (swasta) se-Indonesia. Hingga kini setelah tahun 2000 pun dampaknya makin memprihatinkan. Madrasah-madrasah (swasta) mengalami koleps, rata-rata dalam keadaan megap-megap, karena kekuarangan guru. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan butuh 200.000-an guru madrasah, dan khabarnya sampai sekarang kalau Departemen Agama RI mengajukan kepada pemerintah untuk mengadakan tenaga guru itu senantiasa ditolak, kecuali sangat sedikit. Sebaliknya, TB Silalahi walau sudah tak jadi menteri masih aktif dalam kenasraniannya secara nasional, misalnya jadi ketua panitia natalan tingkat nasional, yang mampu menggiring para pejabat Muslim sampai tingkat presiden untuk hadir di upacara bernatalan ria, satu hal yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) bagi umat Islam. Seakan fatwa MUI itu dianggap angin lalu oleh para pejabat Muslim. Padahal, mereka (pejabat-pejabat Muslim) itu ketika sebelum naik jabatan biasanya mendekat-dekat kepada umat Islam, paling kurang dengan cara hadir di masjidmasjid,guna meraih simpati umat Islam, misalnya. Terkutuklah mereka. Agama dijadikan alat untuk meraih jabatan. Betapa bedanya antara pejabat yang Muslim dengan yang kafir. Kalau pejabat kafir, sampai sudah tidak menjabat pun masih gigih menjajakan kekafirannya, seperti menjadi panitia upacara nasional kekafiran mereka, dan mampu menggiring pejabat yang masih aktif untuk hadir di acara kekafiran mereka. Sebaliknya, pejabat-pejabat Muslim, ketika masih menjabat saja sudah lupa terhadap Islam dan umat Islam. Justru biasanya mereka ikut-ikutan ke acara-acara kafir. Kemudian setelah mereka tidak punya jabatan lagi, baru sebagian mendekat-dekat lagi ke umat Islam, tetapi sudah tidak ada daya apa-apa, hanya sekadar mengisi waktu menunggu umur. Kembali kepada sikap Dawam Rahardjo, perlu diingatkan mengenai kegigigihan orang kafir tersebut. Yang telah dikemukakan itu tadi, orang-orang Nasrani sampai sebegitu jauhnya dalam memecundangi Islam dan umat Islam. Padahal mereka itu tidak langsung memegang jabatan yang berkaitan dengan agama Islam. Bagaimana pula seandainya mereka yang Nasrani itu menjadi menteri agama? Tidak jadi menteri agama saja, terbukti pencelakaan terhadap umat Islam sudah sedemikian drastisnya. Lha kok Dawam Rahardjo yang dijuluki sebagai cendekiawan Muslim malahan sama sekali buta terhadap lakon jahat orang Nasrani yang telah ditusukkan kepada umat Islam se-Indonesia, padahal jelas-jelas di depan mata.

Sikap Snouck terhadap Islam, Ulama, dan Muslimin Snouck telah melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan dengan bukti pernyataan dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk memerangi kaum muslimin di seluruh wilayah jajahan Belanda. Dengan kata lain ia mengusulkan untuk menggunakan kekerasan dalam menumpas kaum muslimin. Karena itu Jendral tadi mendapat julukan “pedang Snouck yang ampuh” karena keberhasilannya dalam memerangi umat Islam. Di samping itu Snouck Hurgronye juga banyak membantu dalam pembinaan kader missionaris Belanda dan membuka sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya. Terdapat fakta lain pula bahwa seorang tokoh missionaris kondang dan sangat disegani di kalangan kaum orientalis yang bernama Hendrick Kraemer adalah murid Snouck Hurgronje, dari tahun 1921 hingga tahun 1935. Hubungan di antara guru dan murid terus berkesinambungan tanpa putus. Snouck Hurgronje wafat pada tahun 1936. Dr Van Koningsveled berkata: “Tidak terputus surat menyurat antara Snouck Hurgronje dan muridnya, Hendrik Kraemer, misisionaris terkenal dan berpengaruh dalam lingkungan aktivis kristenisasi dari tahun 1921 sampai dengan 1935. Menurut penjelasan Boland, buku Hendrik Kraemer, Misi Kristen di Dunia Non Kristen[b] mengungkapkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen mempunyai rencana untuk mengkristenkan dunia, khususnya Indonesia. Mereka bertujuan menundukkan dunia Islam. Bahkan, Kraemer membandingkan Islam dengan Nazi. [/b]

Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam 3

Bahkan di zaman merdeka dan setelah tahun 2000 pun Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kaum minoritas membantai umat Islam di Poso Sulawesi, juga di Ambon. Tibo, otak pembantaian terhadap umat Islam di Poso, dikabarakan mengaku didoakan oleh gereja ketika mau melakukan pembantaian itu. Majalah Sabili No 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H memberitakan sebagai berikut: Gereja acap kali disebut-sebut dalam berbagai kerusuhan di tanah air. Keterlibatan gereja pula yang disebut tervonis mati Tibo baru-baru ini. Menjelang eksekusi mati, panglima pasukan Merah saat konflik Poso berkecamuk beberapa waktu lalu ini, mengungkap keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST). GKST pimpinan pendeta Damanik yang berpusat di Tentena ini, menurut Tibo terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso. Menurut Tibo, (pihak gereja) GKST memberikan dukungan moril dan lainnya kepada pasukan Merah yang hendak menyerang kaum Muslimin Poso. Bahkan, lanjut Tibo, para pendeta mendoakan mereka dengan upacara ala Kristen di Gereja tersebut. Hasilnya? Sebuah tragedy kemanusiaan yang di luar batas kewajaran manusia. Pembantaian dan penganiayaan terhadap umat Islam secara biadab telah dilakukan pasukan Merah. Fakta ini terungkap dari keterangan sejumlah saksi saat persidangan Tibo beberapa waktu yang lalu. Kesadisan pasukan Kelelawar pimpinan Tibo terhadap kaum Muslimin terungkap di persidangan. Menurut salah satu saksi, pembina pesantren Walisongo Poso, Ustadz Ilham, ia melihat rekannya dibacok pasukan Merah pimpinan Tibo, sebelum ia nekad loncat dari mobil dan meloloskan diri. Sebelumnya, Ustadz Ilham bersama 28 orang lainnya disuruh buka baju. Selanjutnya tangan diikat satu persatu dengan sabut kelapa, tali nilon dan kabel. Kemudian digiring lewat hutan tembus desa Lempomawu. Rombongan Ustadz Ilham berjalan ke desa Ranononco dan ditampung di sebuah baruga. Di sanalah mereka disiksa dalam keadaan berbanjar dua barisan. Selanjutnya ikatan tangan ditambah sampai bersusun tiga. Badan Ustadz Ilham diiris, ditendang dan dipukul dengan berbagai alat. Tak puas dengan itu, mereka menyirami umat Islam dengan air panas selama dua jam. Kebringasan pasukan Merah itu juga diungkap saksi lainnya, Tuminah. Menurut kesaksian Tuminah, pasukan Merah mengikat mereka dengan tali dan memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Di bilik sebuah sekolah, Dominggus meminta para Muslimah melepas bajunya dan disuruh berputar-putar di depannya. Jauh sebelumnya, keterlibatan Gereja juga disebut-sebut saat penyerangan kaum Kristen terhadap umat Islam Maluku di akhir tahun 1999. Sehari setelah Natal, Ahad (26/12 1999), dengan amat tiba-tiba, massa Kristen menyerang dan membantai kaum Muslimin di Kecamatan Tobelo, Maluku Utara. Seorang saksi menceritakan, pembantaian yang menyayat hati umat Islam tersebut. Menurut ceritanya, sebelum penyerangan biadab itu terdengar suara lonceng Gereja saling bersahutan serta suara gaduh tiang listrik, bak pertanda kesiapan untuk menyerang. Seketika, massa Kristen yang membawa berbagai senjata tajam sudah mengepung dan membombardir Masjid Jami’ tempat berlindungnya ribuan kaum Muslimin. Masjid Jami’pun diguyur bensin dan dengan cepat api menjilat tembok-temboknya. Jerit tangis anak-anak kecil bayi yang kepanasan dan istighfar para Muslimah terdengar bersahut-sahutan. Yang mencoba keluar masjid langsung dibantai. Kurang lebih 750 orang kaum Muslimin yang berada di dalam masjid tersebut terbakar hidup-hidup, hingga mengeluarkan aroma daging terbakar. Sejumlah pihak pun mensinyalir keterlibatan Gereja di sejumlah daerah konflik lainnya. Sebut misalnya, kerusuhan Timor Timur (saat masih masuk wilayah Indonesia). Ketika itu, kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur seorang Katolik. Ternyata karyawannya yang beragama Islam, hanya mau berkhutbah Jum’at di masjid saja dilarang oleh Kakanwilnya yang Katolik itu. Pengakuan karyawan Kanwil Departemen Agama Timor Timur bahwa dirinya dilarang oleh Kakanwilnya untuk berkhutbah di masjid itu penulis dengar langsung ketika penulis bersama rombongan wartawan Islam dari Jakarta berada di Dilly Timor Timur, waktu masih jadi wilayah Indonesia. Nah, kalau menteri agamanya dari Katolik atau Kristen, jenis-jenis pembantaian terhadap umat Islam dan pelarangan-pelarangan khutbah di masjid-masjid bagi karyawan Departemen Agama, apakah tidak dilancarkan, bahkan digalakkan? Dawam Rahardjo perlu berpikir ulang, kalau memang masih mengaku Muslim, atau berpikiran obyektif.

Tirani minoritas Apakah itu tidak pernah terdengar di telinga seorang professor yang menyandang gelar cendekiawan Muslim seperti Dawam Rahardjo? Sedang tidur di mana dia? Selain itu, apakah tidak pernah mendengar bahwa dalam perpolitikan di Indonesia selama masa Orde baru di bawah rezim Soeharto, dalam tempo 25 tahun dari 32 tahun kekuasaannya sering diistilahkan adanya tirani minoritas, lantaran kebijakan Soeharto mengikuti pihak minoritas dengan CSIS-nya dan di bidang kekuasaan adalah Benny Murdani-nya? Kemudian setelah ada kerenggangan antara Benny dan Soeharto, lantas terjadilah aneka kerusuhan di daerah-daerah Indonesia bagian timur yang di sana campur antara Muslim dan Kristiani, maka umat Islam dibantai, dibakari rumahnya, tokonya, dan bahkan masjid-masjidnya seperti yang terjadi di Timor Timur, Flores dan lainnya. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana ketika pegawai Departemen Agama saja tidak boleh khutbah di masjid oleh atasannya ketika atasannya orang Katolik seperti yang terjadi di Timor Timur, padahal secara penduduk Indonesia, Katolik adalah minoritas. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana misalnya menteri agamanya itu orang Kristen, lalu melarang pegawai Departemen Agama berkhutbah di masjid, sebagaimana Kepala Kanwil Depag Timor Timur waktu masih jadi wilayah Indonesia melarang pegawainya berkhutbah di masjid yang sudah ada, bahkan untuk didirikan musholla saja sulit di

4

sana? Masih banyak lagi tentunya. Bukan hanya di wilayah yang banyak orang Kristennya. Di zaman Soeharto, saat berlangsung tirani minoritas, maka pencekalan terhadap khotib-khotib dan muballigh pun berlangsung, hingga ada istilah SIM (Surat Izin Muballigh). Daftar apa yang disebut muballigh-muballigh ekstrim pun beredar. Hingga muballigh digagalkan untuk berkhutbah hari raya seperti Pak Dr Deliar Noer yang digagalkan hingga masuk berita di Koran pun, Dawam tentunya dengar. Kenapa? Karena umat Islam dikuyo-kuyo oleh kebijakan yang memihak pada minoritas Kristen. Nah, sekarang ini, rupanya Dawam justru menjadikan dirinya rela, suka ria, menjadi orang yang tidak perlu ditekan-tekan oleh minoritas Kristen, justru mencadangkan diri untuk di bagian depan sebagai orang yang rela untuk ditepuki oleh orang Kristen. Makin ramai tepuk sorak orang Kristen, makin bersemangatlah Dawam. Padahal, nanti kalau meninggal dunia, Pak Dawam apakah akan dirumat oleh orang Kristen? Apakah yang memandikan, mengkafani, mensholati, dan memasukkan ke liang kubur nanti diharapkan dari orang-orang Kristen? Dan misalnya masih percaya terhadap doa, apakah lebih baik yang mendoakan mayat Dawam nanti orang Kristen dengan nyanyiannyanyian kemusyrikannya? Kalau Dawam Rahardjo istiqomah dengan pendapatnya, maka logika yang dapat dipetik: Lebih baik nanti yang merawat jenazah saya adalah dari pihak yang minoritas, misalnya Kristen. Karena mereka yang minoritas itu nanti tidak akan berani sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang merawat sampai menguburkan jasad saya itu dari pihak yang mayoritas, yakni kaum Muslimin, mereka pasti akan berbuat sewenang-wenang, karena merasa mayoritas, dan tidak dapat dikontrol dalam hal merawat jasad saya. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat oleh orang Kristen dari proses perawatan jenazah saya sampai penguburannya. Kalau dapat, justru yang paling minoritas, yaitu orang yang tidak beragamalah yang harus merawat sampai menguburkan jenazah saya. Karena kalau yang paling minoritas, maka tidak mungkin akan berani untuk berbuat sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang mayoritas. Jadi saya lebih memilih untuk dirawat jenazah saya oleh orang yang tidak beragama, daripada yang beragama.” Itu logika yang pas dari ungkapan-ungkapan Dawam Rahardjo yang telah terlontar sebelumnya, bila dirangkaikan dengan kematiannya, kapan-kapan.

2. Tidak punya ghirah Islamiyah. Dawam Rahardjo menampakkan diri sebagai orang yang tidak punya ghirah Islamiyah, justru cenderung menjauhkan diri dari kepentingan Islam. Dalam kasus Dawam menginginkan Menteri Agama lebih baik diganti dengan yang dari minoritas misalnya dari Kristen, itu mirip dengan pernyataan Gus Dur waktu jadi presiden bahwa Masjid Istiqlal di Jakarta seharusnya bukan hanya diurus oleh umat Islam saja. Kemiripannya ada, yaitu sama-sama tidak punya ghirah Islamiyah, justru ingin menyerahkan Islam kepada orang kafir. Kalau yang diserahkan itu sekadar diri Dawam atau mayat Dawam, misalnya, itu adalah diri pribadinya. Itu saja, kerluarga dan ahli warisnya belum tentu merelakannya. Tetapi kalau yang diserahkan kepada orang kafir itu tentang urusan umat Islam, maka apa hak Dawam? Menyerahkan dirinya sendiri kepada orang kafir itu saja tidak sepenuhnya jadi hak Dawam. Misalnya, ibunya yang masih hidup, tentu tidak rela. Hingga Ibunya menelepon ke Dawam, dan kemudian orang lain yang disalahkan oleh Dawam, karena Dawam menganggap, ibunya itu diintervensi oleh orang lain. Padahal belum tentu ibunya itu diintervensi oleh orang lain. Mungkin ibunya itu melihat berita-berita di televisi tentang ucapan-ucapan Dawam, mungkin pula ditambah dengan rasa kasihan sebagai seorang ibu terhadap anaknya. Tetapi oleh Dawam langsung divonis bahwa ibunya diintervensi orang. Terlepas dari itu semua, sebenarnya, menyerahkan diri sendiri (diri Dawam) kepada orang kafir itu saja sudah bukan sepenuhnya hak Dawam, walau adzabnya memang menjadi resiko Dawam; tetapi ibunya kan tidak rela. Padahal ketidak relaan ibunya itu menjadi pertanda ketidak relaan Allah swt.. Jadi, apalagi kalau yang diserahkan itu urusan Islam, oleh Dawam mau diserahkan kepada orang kafir. Apa hak Dawam? Dan siapa yang rela?

3. Jauh dari petunjuk Nabi saw. Cara berpikir Dawam Rahardjo itu jauh dari petunjuk Nabi Muhammad saw. Bahkan jauh dari petunjuk Allah swt dalam Al-Qur’an. Dalam hal memegang jabatan, yang telah ditunjuki Rasulullah saw adalah: Apabila urusan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya (kiamat). (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam awal kitab ilmu). Bahkan untuk bertanya saja, tidak sampai menyerahkan urusan, hanya bertanya saja, dalam Al-Qur’an ditegaskan: Maka bertanyalah kepada ahli ilmu apabila kalian tidak mengetahui. (QS An-Nahl/ 16: 43). Dari ayat dan hadits itu bisa diambil pelajaran bahwa yang berhak itu adalah yang ahlinya.. Ketika bukan ahlinya, maka akibatnya rusak, hancur. Baru mengenai pembicaraan saja, seperti perkatan Dawam Rahardjo ini, karena dia tidak ahli agama, lalu berbicara tentang urusan yang menyangkut agama (Ahmadiyah, Lia Eden, orang tak beragama, menteri agama dan sebagainya), maka sudah tampak betul ketidak jelasan alur

5

pembicaraannya, dan sulit untuk dipertanggung jawabkan, walau untuk dirinya sendiri, yaitu misalnya tentang penyerahan mayat dirinya nanti kepada orang kafir. Dengan demikian, ungkapan-ungkapan Dawam Rahardjo di depan orang kafir dan untuk menyenang-nyenangkan orang kafir padahal dirinya berlabel cendekiawan Muslim, maka sangat aneh. Meskipun demikian, untuk melacaknya di dalam ajaran Islam tidak sulit. Karena di dalam Al-Qur’an pun sudah difirmakan Allah swt: Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (QS Al-Mujadilah/ 58: 22).Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Al-Maaidah/ 5 : 80, 81).

4. Tidak jelas wala’ dan baro’nya. Dawam Rahardjo dengan berbagai ucapan, sikap, dan upayanya yang menyakiti umat Islam, dan sebaliknya mendekat-dekat dan menyanjung orang kafir serta memperjuangkan mereka itu menandakan dirinya tidak jelas wala’ (kecintaan/ loyalitas) dan baro’ (kebencian)nya. Seharusnya, orang Muslim itu wala’nya kepada Allah swt, Rasulullah saw, dan kaum Mukminin atau umat Islam. Secara singkatnya, wala’nya kepada Islam. Sedang baro’nya (kebencian, lepas diri, memusuhi dan sebagainya) adalah terhadap kekufuran. Syekh Sulaiman ibn Abdillah ibn Muhammad ibn Abdil Wahhab mengatakan: “Agama ini tidak akan tegak, panjipanji jihad tidak tegak dan panji-panji amar ma’ruf dan nahi munkar tidak tegak melainkan karena aqidah cinta karena Allah dan benci karena Allah…seandainya seluruh manusia bersatu di atas jalan yang satu dan kecintaan yang satu tanpa ada kebencian dan permusuhan, tentu tidak tercipta adanya furqan; pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang mukmin dan yang kafir dan tidak ada pembeda antara waliwali Allah dan wali-wali syetan” (Risalah Awtsaq Ura al-Islam, 38).

Memporak porandakan pembeda haq dan batil Yang ditempuh oleh Dawam Rahardjo dan orang-orang yang mengusung faham sepilis (sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme) adalah pengandaian itu. Yaitu: seandainya seluruh manusia bersatu di atas jalan yang satu dan kecintaan yang satu tanpa ada kebencian dan permusuhan. Untuk meraihnya, mereka melakukan jurus-jurus yang berlawanan arus dengan aqidah wala’ dan baro’. Islam yang seharusnya dicintai justru dipecundangi, sebaliknya kekafiran yang seharusnya dibenci dan dimusuhi justru dibela. Islam yang seharusnya diperjuangkan, ditegakkan syari’atnya, malah mereka tolak ramai-ramai. Sedang kekufuran dan aturan thoghut yang seharusnya dibenci, dimusuhi, justru mereka usung, mereka perjuangkan secara ramai-ramai. Hasilnya? Kalau upaya Dawam Rahardjo dan kaum Sepilis itu dibiarkan, maka hasilnya sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Sulaiman tadi, yaitu: “Tidak tercipta adanya furqan; pembeda antara yang haq dan yang bathil, antara yang mukmin dan yang kafir dan tidak ada pembeda antara wali-wali Allah dan wali-wali syetan”. Kalau itu diterus-teruskan, tidak lain akan menuju kepada kerendahan derajat manusia ke lembah yang sangat hina. Karena mereka akan mempreteli aturan demi aturan yang ada di Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pernikahan yang telah diatur oleh Allah swt dan Rasulullah saw pun telah mereka obrak-abrik, hingga mereka secara demonstratip mengadakan perkawinan antar agama. Wanita mengaku Muslimah tetapi nikah dengan lelaki non Islam. Bahkan ada proyek yang mendanai pernikahan yang melawan aturan Islam itu. Padahal sudah jelas diharamkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah/ 2: 221, dan QS Al-Mumtahanah/ 60: 10. Bahkan sudah ada yang menulis buku, dengan mengecam segala aturan pernikahan, mengecam lembaga pernikahan. Mereka ingin membebaskan manusia sebagaimana bebasnya binatang, bahkan lebih dari itu, menghalalkan pelacuran, sambil mengecam pernikahan. Ujung-ujungnya, mereka itu menjerumuskan manusia kepada derajat hina, yaitu budak-budak nafsu. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu). (QS Al-Furqon/ 25: 43, 44). Dawam Rahardjo jelas berada di barisan depan dalam perhelatan perusakan Islam ini. Sehingga ibunya pun meneleponnya dari Solo Jawa Tengah (ke Dawam yang berada di Jakarta), dan dia beberkan kepada orang-orang Kristen peristiwa itu, dengan menyalahkan orang-orang yang dianggap memberi informasi salah kepada ibunya. Dawam menganggap, ada orang-orang yang menyerang Dawam lewat ibunya. Itu semua urusan Dawam Rahardjo sendiri. Ternyata “perjuangannya” dalam mengusung dan membela kebatilan itu penuh keruwetan.

6

Padahal kalau mau menempuh jalan yang benar, Allah telah menjanjikan: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu adakemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS Al-Insyirah/ 94: 5, 6). Sebaliknya, sesuai dengan yang diusung adalah kebatilan dan perjuangannya untuk membela kekufuran, maka Allah pun mengancam: Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang sangat keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. (QS Al-Mujadilah: 15). (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu. (QS An-Nahl/ 16 : 25). Oleh karena itu, seyogyanya Dawam Rahardjo dan orang-orang yang mengaku Muslim tetapi menempuh jalur yang tak sesuai dengan Islam itu bertaubatlah dengan taubatan nashuha, taubat yang benar-benar taubat. Sebelum nyawa sampai ditenggorokan (maa lam yughorghir), yang saat itu telah terlambat untuk bertaubat. Penyesalan pun tak ada gunanya lagi saat itu dan selanjutnya. Apakah orang memberi nasihat semacam ini juga mau disomasi? Silakan!

FOOTNOTE: 1. Hartono Ahmad Jaiz, DiBawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

dari Orde Lama hingga Orde Baru, Darul Falah, Jakarta, cetakan 2, 1420H, halaman 77. Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1987, halaman 119. Ibid, halaman 167. Prof. Mr, AG. Pringgodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, halaman 45. Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam - Katolik- Protestan di Indonesia,_Usaha Nasional Indonesia, cet II, 1987, hal 129. Dr Ahmad Abdul Hamid Ghurab, ru’yah Islamiyyah lil Istisyraq, terjemahan AM Basalamah, Menyingkap Tabir Orientalisme, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, I, 1992, hal 97-98. Hendrik Kraemer, the Crisitian Message in a non-Christian World, London, 1938, edisi kedua, 1947. B.J Boland, the Strugle of Islam in Modern Indonesia’s Gravenhage, 1970, hal 236, dikutip Qasim Assamurai hal 164. Kraemer, op cit, hal 353, bandingkan Boland, op cit, hal 240, no 146, dikutip Qasim, ibid, hal 164. Majalah SabiliNo 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H, halaman 20-21. Aqidah wala’ dan Bara’, Oleh: Ust. Agus Hasan Bashari Lc, M. Ag, da’I Yayasan Al-Sofwa Jakarta, tinggal di Malang.

7

Related Documents

Tokoh Jil - Dawam Rahardjo
October 2019 15
Tokoh Jil - Syafii Maarif
October 2019 20
Tokoh Jil - Harun Nasution
October 2019 16
Jil Jil Jigaa
May 2020 12
Tokoh-tokoh Dalam Gem
November 2019 64

More Documents from "innu al kautsar"