Tinjauan Kebermanfaatan Laporan Keuangan Auditan Bpk

  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tinjauan Kebermanfaatan Laporan Keuangan Auditan Bpk as PDF for free.

More details

  • Words: 1,719
  • Pages: 7
TINJAUAN KEBERMANFAATAN LAPORAN KEUANGAN AUDITAN BPK

Mar 13, '08 8:42 AM for everyone

TINJAUAN KEBERMANFAATAN LAPORAN KEUANGAN AUDITAN BPK (REFLEKSI EKSITENSI DAN PERANAN BPK) Oleh: Andhisa Setya Hapsari

“Pimpinan BPK resmi mengumumkan bahwa atas hasil pemeriksaan yang telah dilakukan

atas

362

Laporan

Keuangan

Pemerintah

Daerah

(LKPD)

propinsi/kabupaten/kota terdapat 3 daerah yang baik laporan keuangannya yang berarti mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yakni Kota Surabaya, Kabupaten Pontianak, dan Kabupaten Sambas. Ada 284 daerah dengan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan 19 daerah berpredikat Tak Wajar, serta 56 daerah laporan keuangannya memperoleh predikat disclaimer.” (Kedaulatan Rakyat, 15/11/2007)

Pendahuluan Tahun 2006 ini, BPK mulai melakukan audit keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagaimana telah diatur dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara BPK-RI 2007. Atas hasil audit tersebut BPK memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan layaknya audit keuangan yang telah banyak dipraktekan di sektor privat. Harapannya adalah dengan adanya audit keuangan tersebut, terjadi praktik akuntansi yang sehat, transparansi fiskal, dan tentunya akuntabilitas dari pengelolaan keuangan di daerah. Dari sini pula, pemerintah dapat mengawasi implementasi desentralisasi di setiap daerah khususnya yang terkait dengan pengelolaan fiskal daerah.

Namun, saat ini, pada titik awal dimulainya audit keuangan atas LKPD ini, apakah LKPD hasil auditan akan memberikan kebermanfaatan yang tinggi dan akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan layaknya informasi akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan pada umumnya? Di sisi lain, pemerintah tidak bisa menafikkan lemahnya teori dan praktik akuntani pemerintahan dan juga adanya masalah rendahnya pemahaman SDM pemerintahan terhadap teori maupun praktik akuntansi itu sendiri. Tataran Idealita Dalam menjawab permasalahan diatas, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai idealitanya sebuah informasi akuntansi. Tataran idealita ini tentunya disesuaikan dengan teori akuntansi yang telah berkembang saat ini. Pertama, kita harus mengingat kembali apa sebanarnya tujuan dari penerbitan laporan keuangan oleh suatu entitas. Laporan keuangan diterbitkan untuk meberikan informasi yang bermanfaat sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan terutama keputusan yang bersifat ekonomik. Kedua, informasi yang disajikan tersebut akan memberi kebermanfaatan yang optimal ketika telah disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU). Penyajian ini meliputi proses pendifinisian, pengukuran, pengakuan, dan penyajian serta pengungkapan berbagai transaksi, kejadian, dan keadaan yang terkit dengan proses keungan suatu entitas. Ketiga, kebermanfaatan tersebut akan tercemin dengan dipenuhinya berbagai karateristik kualitas informasi akuntansi. Kualitas ini meliputi dua kategori yaitu primer dan sekunder. Kualitas primer terdiri dari relevansi (keberpautan) dan reliabilitas (keterandalan). Unsur relevansi adalah nilai prediktif, feed back valuei, dan ketepatwaktuan, sedangkan unsur reliabilitas adalah verifiabilitas dan ketepatan penyimbolan. Kualitas sekunder terdiri atas keterbandingan, konsistensi, dan netralitas. (Suwardjono, 2005).

Keempat, dengan adanya proses audit terhadap suatu laporan keuangan dan penilaian mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan dapat dilakukan penilaian atas kebermanfaatan yang dapat diberikan oleh laporan keuangan tersebut. Dapat pula dinilai mengenai keandalan laporan keuangan tersebut untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dengan penilian wajar tanpa pengecualian hingga disclaimer akan menambah keyakinan pemakain laporan keuangan mulai dari yakin hingga memutuskan untuk tidak mempercayai laporan keuangan tersebut. Implikasi terhadap LKPD Dengan demikian, seharusnya Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dapat memberikan informasi akuntansi yang bermanfaat bagi para pengguna laporan keuangan tersebut. Pertama, laporan keuangan tersebut harusnya bisa nenberkan gambaran perekonomian Indonesia setidaknya satu tahun kedepan. Kedua, penyusunan aanggaran tahun berikutnya seharusnya mendasarkan diri pada informasi yang disaikan dalam laporan keuangan tersebut sehingga fungsi anggaran sebagai alat kebijakan fiskal dapat dioptimalkan. Ketiga, kebijakan fiskal yang tepat sebagai konsekuensi penggunaan informasi yang tepat akan berimplikasi pada keputusan dan kebijakan perekonomian laiinya baik ditakaran moneter maupun riil. Keempat, konsekuensi lagis bahwa kondisi ekonomi dapat mempengaruhi keberlangsungan politik negara. Selain itu, dengan adanya laporan keuangan yang telah disajikan secara wajar akan memberi informasi mengenai efesiensi, efektifitas, dan ekonomi operasional suatu entitas dan dapat menjadi dasar untuk alokasi sumber daya ekonomik. Laporan keuangan tersebut juga dapat memberi informasi adanya tindakan penyelewengan dan tindak kecurangan terhadap pengelolaan keuangan negara. Tataran Realita Namun, rupanya realita tak seindah idealita. Dengan kondisi yang ada di pemerintahan daerah, kebermanfaatan laporan keuangan hasil auditan BPK berpotensi besar tidak akan terasa atau bahkan laporan tersebut tidak akan digunakan sebagai basis pengambilan keputusan.

Ada beberapa tataran aspek yang dapat menyebabkan tidak bermanfaatnya LKPD hasil auditan BPK. Aspek tersebut meliputi tataran teori, konsep, dan manusia. Dalam tataran teori, akuntansi pemerintahan belum menemukan bentuknya. Pemerintah belum menyadari berbagai konsep dasa yang harusnya digunakan dalam akuntansi pemerintahann. Akuntansi pemerintahan seharusnya berangkat dari teori entitas dana yang diimplementasikan dalam lingkup akuntansi dana. Namun, dilihat dalam praktik, peraturan, dan pemahaman personil akuntansi di sektor pemerintahan terbukti bahwa mereka terjebak dalam pemahaman akuntansi keungan yang telah banyak diterapkan di sektor swasta. Padahal akan berebeda secara teori maupun praktik antara pemerintahan dengan swasta yang berangkat dari teori entitas kepemilikan sebagai dasar asas keberlanjutan usaha. Kerancuan ini diinikasikan oleh adanya usulan untuk menngunakan asas akrual secara utuh dalam pelaporan keuangan sekotr pemerintah. Padahal dalam konteks akuntansi dana, asas yang tepat digunakan adalah asas akrual modifikasian Dalam tataran konsep, sebagai konsekuensi dari tidak matangnya teori akuntansi pemerintahan, Standar Akuntansi Pemerintahan terkandung bias. SAP sendiri pada dasarnya juga belum matang dan pemerintah mengakui hal tersebut. Dalam tataran manusia, kualitas SDM yang rendah terkait pemahaman dan penerapan akuntansi pemerintahan menyebabkan penyusunan laporan keuangan akuntansi jauh dari terpenuhinya karateristik kualitas informasi akuntansi. Selama ini, pemerintah daerah hanya menyusun realisasi anggaran tanpa memahami berbagai konsep dasar yang melandasai pencacatan tersebut. Dengan demikian, konsekuensi logisnya dalam tahun pertama penyusunan laporan keuangan ini, pemerintah daerah masih kekurangan SDM yang memahami akuntansi khususnya akuntansi pemerintahan dalam penyusunan laporan keuangannya. Konsekuensi dari semua itu adalah penilaian BPK atas laporan keuangan daerah pun mengandung bias. Menurut SPKN BPK-RI 2007, bahwa penilian kewajaran laporan keuangan adalah atas Prisnisp Akuntansi Berterima Umum. PABU ini seahrusnya merupakan rerangka konseptual yang terdiri dari standar akuntansi, berabagai peraturan perundangan, dan praktik akuntansi yang sehat. Namun, tidak pernah ada ketentuan yang jelas sendiri mengenai PABU. Selain itu, dalam SPKN tidak dijelaskan menegnai

karateristik PABU sebagai dasar penilian kewajaran apakah PABU dalam konteks pemerintahan yang tentunya akan banyak berebeda dengan PABU yang selama ini dipahami. Akibatnya, penilaian kewajaran BPK atas LKPD tidak lebih merupakan formalitas yang hampa tanpa memberikan konstirbusi nyata terhadap berabagi keputusan fiskal yang seharusnya diambil berdasarkan LKPD tersebut. Selain itu, dalam tataran praktik, rendahnya dan seidikitnya aparat pemerintah yang mengerti menegnai akuntansi menyebabkan tidak dipenuhinya kualitas informasi akuntansi dalam hal understandibility atau keterpahamian. Para pemakai laporan keuangan meskipun sudah diaudit dan diberikan opini terhadapnya, namun hanya sedikit pihak yang mampu memahaminya. Hal ini, pada akhirnya, akan berdampak pada tidak digunakannya informasi-informasi tersebut termasuk sebagai dasar pengambilan keputusan. Tidak digunakannya laporan keuangan berarti laporan tersebut tidak mengendung kebermanfaatan. Eksistensi dan Peranan BPK Dengan demikian, usaha BPK dalam tahap ini untuk melakukan audit keuangan dan memberikan opini atas LKPD adalah hal yang sia-sia dan dipaksakan pelaksanaannya. Pertanyaannya? Mengapa BPK bersikeras memberikan opini tersebut? Apakah ini usaha BPK untuk mempertahankan eksitensinya? Melihat peranan BPK yang sia-sia tersebut, adakah baiknya BPK dibubarkan saja? Tentu tidak, karena meskipun dalam lingkup akuntansi opini BPK atas laporan keuangan tidak memberi pengaruh signifikan atas nilai laporan keuangan tersebut, nmaun proses pemeriksaan dalam mekanisme audit yang dilakukan oleh BPK memberi manfaat sendiri. Manfaat tersebut antara lain adalah ditemukannya berabagi ketidakefisienan pelaksanaan anggaran, pengelolaan keuangan negara, dan adanya praktik korupsi dapat sedikit banyak terungkap disini. Namun, bicara dalam lingkup akuntansi, akan sangat disayangkan bila peran BPK hanya terbatas pada hal tersebut. Bila peranan laporan keuangan hasil auditan BPK hanya

terhenti sampai disitu maka penilaian kewajaran laporan keuangan tidak perlu dilakukan oleh BPK. Melihat posisi BPK yang cukup strategis, sebenarnya BPK adalah organisasi yang melihat secara langsung bagaaimana praktik yang sedang berlangsung dan perkembangan penerapan akuntansi di sektor pemerintahan. Oleh karena itu, demi perkembangan akuntansi di sektor pemerintahan dan demi menguatnya eksitensi BPK sebagai badan pemeriksa sekaligus mengaudit keuangan negara, BPK dapat berperan lebih tidak terbatas pada pemeriksa saja. Peranan ini adalah dengan memberikan berabagi rekomendasi untuk perbaikan teori dan prakitk akuntansi pemerintahan dari berbagai hasil temuannya selama melakukan audit keuangan. Rekomendasi tersebut merupakan konstribusi nyata BPK untuk mengoptimalkan kebermanfaatan informasi akuntansi dalam laporan keuangan pemerintah khususnya daerah. Hal ini sangat mungkin dilakukan dengan melihat dalam peraturan BPK dalam UU no.15 tahun 2006 tentang BPK bahwa pemeriksa adalah orang yang memenuhi prasayartan profesional dalam lingkup akuntansi. Dengan demikian, asumsinya mereka adalah orang yang sangat mengerti akuntansi baik dalam tataran teori maupun praktiknya. Dengan demikian, LKPD kedepannya dapat dijadikan dasar dalam mengambil berabagai keputusan dan kebijakan fiskal maupun perekonomian secara keseluruhan dengan tepat. LKPD tidak lagi hanya merupakan berkas formal yang akan memenuhi brangkas arsip pemerintahan tapi memberikan kebermanfaatan dalam perbaikan kondisi perekonomian negara. Dengan LKPD yang demikian itu, maka BPK dapat memberikan opini yang memang tepat dan tidak bias, dan lapora hasil auditnya dapat menambha keyakinan para pemakai laporan keuangan. Dari sini eksistensi BPK akan semakin mantap dan tidak hanya melakukan pekerjaan yang sia-sia. Theory is a torch that cats upon practice the illumination of principles (Allan W. Wright, 1984)

Behind every pratice is a rationale…..Good practice is based on good theory wheter we are aware of the theory or not. If we can formulate “good” theory, then we will have “good” practice if the theory is followed. (Vernon Kam, 1990) Prev: ANTARA TARIF LISTRIK DAN KESADARAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Next: RASIONALISME????? reply share Country-Specific Factors Related to Financial Reporting and the Value Relevance of Accounting Data Ashiq Ali University of Texas at Dallas - School of Management

Lee-Seok Hwang Seoul National University - College of Business Administration

July 1999

Abstract: Using financial accounting data from manufacturing firms in 16 countries for 1986-1995, we demonstrate that the value relevance of financial reports is lower for countries where the financial systems are bank-oriented rather than market-oriented; where private sector bodies are not involved in standard setting process; where accounting practices follow the Continental model as opposed to the British-American model; where tax rules have a greater influence on financial accounting measurements; and where spending on auditing services is relatively low. Results are robust to alternative measures of value relevance of financial accounting data, including measures based on earnings (using a regression and a hedge-portfolio approach), accruals, and earnings and book value of equity combined. We show that the extent to which earnings information is reflected in leading-period returns as compared to contemporaneous returns is greater for bank-oriented than for market-oriented countries. This feature potentially induces spurious associations between value relevance measures and financial system characteristics. Our results are robust to using value relevance measures adjusted for this confounding effect. JEL Classifications: M41, G12, G15 Working Paper Series

Related Documents