Teori Co-orientation of Public Relations (Studi Kasus Kebijakan Kendaraan Ganjil-Genap di Jakarta) Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori-teori Public Relations
Disusun oleh Indah Yuninda W 165120201111006 Peminatan Public Relations Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Deskripsi Kasus Sistem ganjil-genap yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diterapkan sebagai pengganti dari sistem 3-in-1 yang telah dihapus sejak April 2016 lalu. Dihapusnya sistem 3-in-1 tersebut dikarenakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama tidak setuju dengan praktik joki yang mengeksploitasi anak-anak. Sistem ganjil-genap ini menerapkan kendaraan dengan nomor plat ganjil beroperasi pada tanggal ganjil dan kendaraan dengan nomor plat genap pada tanggal genap. Adapun penentuan ganjil genap nomor kendaraan adalah dengan melihat angka terakhir nomor polisi kendaraan. Angka nol (0) dianggap genap. Sistem ini diterapkan untuk sementara, karena pembatasan lalu lintas ganjil-genap ini merupakan kebijakan transisi menjelang sistem penerapan electronic road pricing (ERP) yang membutuhkan waktu untuk penyediaan dan pembangunan infrastrukturnya. Sebelum menerapkannya dengan resmi, Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya pertama-tama melakukan uji coba dan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi sistem ganjil-genap dilaksanakan pada tanggal 28 Juni hingga 26 Juli 2016, uji coba dilaksanakan pada tanggal 27 Juli hingga 26 Agustus 2016 dan akan resmi diberlakukan apabila uji coba berhasil pada tanggal 30 Agustus 2016. Pelanggaran terhadap sistem ini dikenakan sanksi pembayaran denda maksimal Rp.500.000. Menurut Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Syamsul Bahri, denda bisa saja dikurangi atau bahkan dihapus, sesuai dengan putusan pengadilan. 1.2. Permasalahan Dengan diberlakukannya sistem ganjil-genap, warga ibu kota tidak dapat lagi dengan leluasa untuk melewati jalan yang memberlakukan sistem ganjil-genap. Ada warga yang menaati namun banyak pula warga yang mengeluh dan merasa keberatan akan kebijakan ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Co-orientation Menurut Taylor (2009 dikutip dari Kriyantono, 2014) teori co-orientation merupakan teori yang digagas oleh Theodore M. Newcomb pada 1953 yang membahas komunikasi dari disiplin psikologi sosial, yaitu berangkat dari pemikiran Newcomb bahwa komunikasi adalah proses orientasi antara individu. Co-orientation terjadi ketika dua atau lebih individu secara bersama-sama diorientasikan pada satu sama lain dan secara simultan menghubungkan individu tersebut melalui kepentingan yang sama (Broom, 2005 dikutip dari Kriyantono, 2014). Sederhananya co-orientation terjadi apabila dua orang individu atau lebih berorientasi satu sama lain untuk membahas seputar isu atau masalah tertentu. Kriyantono (2014) menyebutkan dalam teori co-orientation komunikasi dianggap sebagai alat individu untuk menyampaikan orientasinya terhadap suatu objek di lingkungannya. Interaksi sosial, termasuk sistem digunakan sebagai kekuatan untuk mencapai keseimbangan antarpartisipan yang terlibat di dalamnya. Konflik akan terjadi apabila ada perubahan dalam interaksi dan sistem tersebut yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan. Selain itu konflik bisa terjadi karena masingmasing individu memiliki sudut pandang yang berebeda. Penjelasan ini disederhanakan dalam model co-orientation yang disebut model A-B-X Newcomb Model di atas terdiri dari dua komunikator, A dan B, beserta orientasi masing-masing terhadap suatu objek (X). Setiap komunikator mempunyai orientasi yang simultan terhadap masing-masing komunikator dan juga objek (Kriyantono, 2014). Dari model di atas, Newcomb mengidentifikasi empat komponen dasar hubungan sistemik ini, yaitu : 1. Orientasi (sikap) A terhadap X 2. Ketertarikan A pada B 3. Orientasi (sikap) B terhadap X 4. Ketertarikan B pada A Contoh teori A-B-X dalam kehidupan sehari-hari adalah A menyukai B namun tidak menyukai presiden X. B juga menyukai A namun tidak setuju mengenai ketidaksukaan A pada presiden X. A dihadapkan pada inkonsistensi internal yaitu “mengapa saya harus menyukai seseorang yang tidak sama pemikirannya dengan saya”. A memiliki beberapa pilihan yaitu memilih untuk mempersuasi B agar sama-sama tidak menyukai presiden X dan kemudian tercapainya keseimbangan bahwa A dan B sama-sama tidak menyukai presiden X, atau apabila B menolak ajakan si A, A harus mengubah sikapnya terhadap B atau mengubah pandangannya terhadap presiden X agar menjadi lebih baik. Dari contoh di atas sesuai dengan Vercic & Vercic (2007 dalam Kriyantono, 2014) yang menjelaskan bahwa teori co-orientation menjelaskan individu akan mengubah sikapnya dalam berhubungan dengan individu lain. Dengan kata lain menyesuaikan dirinya dengan orang lain dengan tujuan agar tercapai keseimbangan psikologis. Menurut Littlejohn (2009) masing-masing individu menilai suatu isu atau masalah dengan sudut pandang yang berbeda karena manusia memiliki bidang masalah yang berbeda dan minat yang berbeda juga. Keseimbangan psikologis dapat dirasakan apabila terjadi kekonsistenan sikap secara bersama dalam suatu interaksi. 2.2 Teori co-orientation dalam Praktik Public Relations Teori ini dikembangkan oleh McLeod & Chaffee pada 1973,dengan menciptakan model coorientation yang juga untuk komunikasi interpersonal (Kutzschenbach & Bronn, 2006; Vercic & Vercic, 2007 dikutip dari Kriyantono, 2014). Model McLeod & Chaffee ini berasumsi bahwa masingmasing komunikator memiliki dua komponen kognisi yaitu persepsi diri (self-perception) terhadap objek komunikasi dan orang lain (other-perception). Interaksi dari kognisi ini kemudian menghasilkan lima jenis relasi, seperti yang digambarkan dalam gambar di bawah.
Teori co-orientation diadaptasi dalam kajian public relations dengan dimunculkannya model coorientation of public relations oleh Broom pada 1977 dan Grunig & Hunt pada 1984 (Broom, 2005; Grunig & Hunt, 1984; Kutzschenbach & Bronn, 2006; Vercic & Vercic, 2007 dikutip dari Kriyantono,2014). Model co-orientation of public relations menganggap public relations akan berjalan efektif apabila terjadi akurasi dalam interaksi antara organisasi dan publiknya, yaitu pandangan organisasi mendekati atau sama persis dengan pandangan publik terhadap organisasi terkait suatu objek atau isu Model Broom dan Grunig & Hunt menggunakan kelima relasi dari McLeod & Chaffee dalam interaksi organisasi dan publik. Kelima relasi ini menghasilkan tiga situasi komunikasi yang mewarnai interaksi organisasi dan publiknya terhadap suatu isu yaitu kongruen (sebangun); agreement (persetujuan); dan accuracy (ketepatan). Menurut Broom (2005 dikutip dalam Kriyantono 2014) model coorientation of public relations melihat bagaimana organisasi dan publik berperilaku sesuai dengan pandangan dan tujuan satu sama lain megenai suatu isu yang sama-sama mereka perhatikan. Kongruen (sebangun) memiliki dua aspek. Pertama, merupakan tingkat kesamaan antara pemahaman organisasi mengenai suatu isu dan persepsi organisasi terhadap pemahaman publik mengenai suatu isu. Kedua, merupakan tingkat kesamaan antara pemahaman organisasi pada suatu isu dan persepsi publik terhadap perspesi organisasi pada suatu isu. Agreement (persetujuan) diartikan sebagai tingkat keterpaduan (co-orientation) antara pemahaman organisasi dan publik pada isu yang sama. Persetujuan (agreement) didapat dengan mengukur kesesuaian dan ketidaksesuaian pandangan organisasi dan publiknya terhadap suatu isu (Broom, 2015 dikutip dari Kriyantono, 2014). Variabel terakhir, akurasi yaitu kesamaan antara pemahaman organisasi mengenai sebuah isu dengan persepsi publik terhadap pandangan organisasi mengenai isu tersebut. Atau menurut Seltzer (2006) akurasi adalah keadaan saat organisasi dapat memperkirakan dengan benar viewpoint dari publik dan juga sebaliknya. Tugas seorang public relations dalam teori co-orientation adalah menjalin hubungan baik atau relasi dengan publiknya agar tercapai kesamaan pemahaman mengenai suatu isu. Menurut Kriyantono (2014) public relations harus menerapkan manajemen isu demi mengetahui opini atau pandangan publik terhadap organisasi termasuk mendeteksi isu-isu yang terjadi terkait aktivitas organisasi. Upaya public relations ini disebut monitoring lingkungan atau tracking isu, atau menurut Broom (2005 dari Kriyantono, 2014) disebut sebagai ”gap-analysis”. Hasil survey ini kemudian digunakan untuk melihat orientasi dan posisi organisasi terhadap suatu isu dan melihat orientasi dan posisi publik terhadap suatu isu. Apabila tidak ada gap, maka dapat diartikan bahwa opini dan perilaku publik konsisten dengan pandangan organisasi terhadap publik itu. Dalam Kriyantono (2014) disebutkan pemikiran lain dari McLeod & Chaffee yang juga diadaptasi oleh Broom dan Grunig & Hunt yaitu perlunya pembedaan antara persetujuan aktual (actual agreement) dan persetujuan persepsi (perceptions of agreement). Persetujuan aktual adalah persepsi organisasi atau publik pada isu. Persetujuan persepsi adalah persepsi organisasi atau publik tentang apa yang dipikirkan pihak lain pada isu yang sama. Grunig & Hunt berpendapat bahwa public relations berusaha mengubah orientasi publik agar sejalan dengan keinginan organisasi dan pada sisi yang lain organisasi dan public sama-sama mengubah orientasi untuk menemukan konsensus. Keterpaduan ini yang kemudian disebut dengan “coorientation” (Kriyantono, 2014) Empat situasi co-orientation dalam interaksi antara organisasi dan publik menurut Scheff (1967 dikutip dalam Kriyantono, 2014) : 1. Monolitik konsensus, artinya terjadi pesetujuan kognisi dan evaluasi antara organisasi dan publik mengenai suatu isu. 2. Konflik yang salah (false conflict), artinya bahwa mereka memiliki persepsi yang sama mengenai suatu isu tapi menganggap diri mereka memiliki persepsi yang berbeda. 3. Disensus, artinya kedua pihak sama-sama mengetahui bahwa mereka tidak memiliki persepsi yang sama mengenai suatu isu.
BAB III ANALISIS KASUS
3.1 Strategi PR Pemerintah Dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sebelum menerapkannya dengan resmi, Pemprov DKI dan Polda Metro Jaya pertama-tama melakukan uji coba dan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi sistem ganjil-genap dilaksanakan pada tanggal 28 Juni hingga 26 Juli 2016 dan uji coba dilaksanakan pada tanggal 27 Juli hingga 26 Agustus 2016. 3.2 Dampak Strategi Respon dari masyarakat berbeda-beda mengenai sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah, ada yang pemikirannya terbuka dengan menerima kebijakan secara langsung, ada yang keberatan karena dianggap mengganggu aktifitas. 3.3 Kaitan Kasus Dengan Teori Co-Orientation Sebagian besar kasus yang terjadi antara organisasi dan publik adalah pertemuan dua sudut pandang yang berbeda, demikian pula yang terjadi dalam kebijakan pemerintah untuk memberlakukan aturan ganjil-genap untuk kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Seperti perbedaan sudut pandang yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat Jakarta. Concern pemerintah dan masyarakat Jakarta adalah sama yaitu mengenai masalah kemacetan jalan yang tidak kunjung usai. Demi mengatasi kemacetan ini, pemerintah memberlakukan aturan kendaraan ganjil-genap pada hari-hari tertentu karena dianggap mampu mengurangi volume kendaraan yang berlalu-lalang di jalan setiap harinya. Namun, masyarakat memiliki pandangan yang berbeda mengenai kebijakan baru pemerintah ini, masyarakat menganggap aturan ganjil-genap ini justru mempersulit mereka dalam berktifitas dikarenakan ada jalan-jalan tertentu yang tidak bisa mereka lalui pada hari-hari tertentu. Masing-masing baik organisasi maupun masyarakat menilai kebijakan dengan cara yang berbeda. Orientasi yang beragam terhadap suatu masalah ini sangat mungkin terjadi karena setiap manusia memiliki bidang masalah dan minat yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Dalam kasus ini terlihat adanya ketidakseimbangan psikologis antara pemerintah dan masyarakat ibukota karena tidak adanya kekonsistenan sikap secara bersama dalam suatu interaksi. Dikutip dari Littlejohn 2009, ketika dua individu berselisih paham, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan agar menciptakan pemaknaan yang berkaitan: (1) mereka harus mendapatkan persetujuan tentang fakta-fakta yang mereka hadapi bersama; (2) mereka harus menyetujui siapa yang akan melakukan sesuatu pada fakta-fakta ini; (3) mereka harus menciptakan sebuah konteks atau dasar untuk interaksi yang terus berjalan. Ketiga hasil ini selalu penting untuk tritunggal A-B-X dalam sebuah organisasi. Seperti dalam perbedaan persepsi antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan warga Jakarta ini. Kedua pihak setuju bahwa diperlukan kebijakan untuk mengurangi kemacetan di Jakarta yang semakin parah, terlebih setelah dihapusnya sistem 3-in-1. Hal ini sesuai dengan menciptakan pemaknaan yang pertama. Pada hal ini co-orientations persepsi antara publik dengan organisasi mencapai persetujuan. Setelah mendapat pemaknaan yang sama, diperlukan keputusan antara publik dan organisasi perihal siapa yang melakukan tindakan padaisu tersebut. Warga Jakarta setuju bahwa yang harus mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi suatu permasalahan ialah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu, untuk mengatasi kemacetan di ibu kota, Pemprov DKI mengeluarkan kebijakan sistem ganjil-genap yang mengatur penggunaan kendaraan bermotor.
Dengan menciptakan kebijakan tersebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menciptakan sebuah konteks atau dasar untuk interaksi yang terus berjalan. Pemerintah memiliki otoritas untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Pemerintah juga dapat melakukan monitoring lingkungan atau tracking isu yakni melakukan survei opini publik. Hasil survei ini dapat digunakan untuk menentukan perbedaan antara orientasi organisasi dan publik terhadap isu tersebut, agar jika terjadi perbedaan yang besar pemerintah dapat dengan cepat mengambil tindakan . Jika tiga langkah tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan tercipta co-orientation positif antara pemerintah dan publiknya. Dengan terciptanya co-orientations positif dua pihak dapat berubah menjadi semacam ‘tim’.
DAFTAR PUSTAKA Admin.2016. Yang perlu kamu tahu tentang sistem ganjil-genap jakarta. Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/137762-sistem-ganjil-genap-jakarta pada 16/03/2017. Kriyantono, R. (2014). Teori public relations pespektif barat & lokal : Aplikasi penelitian dan praktik. Jakarta : Prenada Media. Littlejohn, S.W. & Foss, K. A. (2009). Teori komunikasi theories of human communication (9th ed.). Jakarta: Salemba Humanika. Pratama, A. M. 2016. Selasa 30 Agustus, Ganjil Genap Resmi Berlaku di Jakarta. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2016/08/29/20143471/selasa.30.agustus.ganjil.genap.resmi. berlaku.di.jakarta. Pada 16/03/2017.