"TEOLOGI ISLAM" Prof. Harun Nasution
BAB I
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Teologi dalam islam disebut ilmu al-tauhid dan ilmu kalam. Teologi merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Bagi setiap orang yang ingin mengetahui lebih mendalam tentang seluk beluk agamanya, perlu untuk mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya. Seseorang yang mempelajari teologi akan merasa keyakinan-keyakinannya lebih kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh peredaran zaman. Karena, dalam teologi atau ilmu kalam dibahas mengenai aliran-aliran beserta ajaran, sekte-sekte, serta sejarah munculnya paham tersebut, yang semua aliran tersebut berkembang setelah peninggalan Rasulullah Saw yakni dimasa sahabat Ustman bin Affan. Seperti: munculnya a)kaum Khawarij, yang merupakan pengikut Ali yang keluar dari barisannya karena tidak setuju dengan keputusan tahkim yang dilakukan pihak Ali dan Muawiyah. b) kaum Syiah merupakan pengikut setia Ali c) kaum Murjiah d) Qadariah dan Jabariyah e) mu’tazilah f) ahlussunnah wal jama’ah yang kemudian pecah menjadi Asy ‘ariyah, dan al-Maturidiyah. PENTINGNYA MEMBUAT LAPORAN Laporan ini sangat penting dibuat, agar bisa membimbing manusia khususnya diri saya sendiri, untuk mengetahui teologi lebih mendalam sehingga menguatkan keyakinan tentang ajaran yang dipahami.
MANFAAT DAN MENARIKNYA MEMBUAT LAPORAN Manfaatnya yaitu, kita mengetahui dan mengerti akan apa yang dimaksud dengan teologi beserta mengetahui perbedaan ajaran dalam aliran teologi yang berkembang. Menariknya yaitu, kita mengetahui seluk beluk kemunculan ilmu kalam, dan menambah wawasan keilmuan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB 1 "SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM" Dalam agama Islam persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di mekkah, kota ini mempunyai sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy. Dalam sejarah, selama di Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi sebagai kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahaan, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad SAW, di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Ketika beliau wafat tahun 632 M masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbulah masalah khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam pada waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab oleh ‘Usman Ibn ‘Affan oleh Ali Ibn Tholib. ‘Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tidak mementingkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman. Tindakan-tindakan politik yang dijalankan ‘Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong ‘Usman,
ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya menjadi khalifah mulai pula menanggukan di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-darerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa’d Ibn Abi Sarah, salah satu kaum keluarga ‘Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak kumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa kepada pembunuhan ‘Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir ini. Setelah ‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ini mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah, terutama Tolhah dan Subeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah, Talhah dan Zubeir ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah. Pada masa khalifah ‘Ali dan sesudahnya, umat Islam pecah menjadi beberapa aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturudiyah. Aliran-aliran Khawarij tidak, Murjiah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah.
BAB 2 "KAUM KHAWARIJ" Kaum khawarij terdiri atas pengikut-pengikut Ali ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, karena tidak setuju dengan sikap Ali ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan tentang khalifah dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan. Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan karena kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat yangmengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surt al-Nisa’. Dalam lapangan ketata-negaraan kaum khawarij mempunyai paham yang berlawanan dengan paham yang ada diwaktu itu. Mereka lebih bersifat demokratis, karena menurut mereka khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam. Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab badawi. Hidup diapadang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain.
Kaum khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil. Menurut al-Syahrastani, mereka terpecah menjadi delapan belas sub sekte, dan menurut al-Baghdadi dua puluh sekte. Al-Asy’ari menyebut sub sekte-sub sekte yang jumlahnya lebih besar lagi. Al-Muhakkimah Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali, disebut golongan alMuhakkimah. Bagi mereka Ali, Muawiyah, ke dua pengantar Amr Ibn al-As dan Abu Musa al-Asy’ar dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Al-Azariqah Golongan yang dapat menyusun barisan baru setelah hancurnya golongan al-muhakimah. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ ibn al-Azraq. Sub sekte ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musrik atau pholytheist. Dan di dalam islam syirk atau polytheisme merupakan dosa yang terbesar, lebih besar dari kufr. An-Najdat Najdah ibn Amir al-Hanafi pemimpin dari golongan ini. Najdah, berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang islam yang tak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, akan mendapat siksa, tetapi bukan dineraka, dan kemudian akan masuk syurga. Dosa kecil bagi golongan ini, akan menjadi dosa besar, kalau dikerjakan terus-menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik. Al-Ajaridah Mereka adalah pengikut dari Abd al-Karim ibn Ajrad yang menurut al-Syahrastani merupakan salah satu teman dari ‘Atiah al-Hanafi. Al-Sufriah Pemimpin golongan ini ialah Ziad Ibn al-Afsar. Dalam faham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrem. Al-Ibadiah Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan khawarij. Namanya diambil dari ‘Abdullah ibn Ibad, yang pada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah.
BAB 3 "MURJIAH"
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah ‘Usman Ibn Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat kaum Khawarij, pada mulanya adalah penyokong ‘Ali, tapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, penyokong-penyokong yang tetap setia kepadanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golonganlain dalam Isalmyang dikenal dengan nama Syi’ah. Kata Murji’ah berasal dari Aarj’a yang mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan kepada yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Oleh karena itu ada juga pendapat bahwa nama Murji’ah diberikan kepada golongan ini, bukan karena mereka menunda penentuan hokum terhadap orang Islam yang berbuat dosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kudian dari iman, tapi karena memberi pengharapan bagi orang yang berbuat dosa besar untuk masuk surga. Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi kedalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Salah satu tokoh besar kaum Murji’ah adalah Abu Hanifah. Di dalam hal ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut: iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-Rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman. Namun menurut al-Asy’ariyah sendiri iman ialah pengaukuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya, dan ada pula kemungkinan Tuhan tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai
dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukan ke dalam surga, karena tidak mungkin ia kekal tinggal dalam neraka. Ringkasnya menurut uraian di atas orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk surga. Selanjutnya, sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran mereka mengenai iman, kufr dan dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.
BAB 4 "QADARIYAH DAN JABARIYAH"
Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia itu sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat Mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini timbulah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada kehendak dan kekuasan mutlak Tuhan dalam menetukan perjalanan hidup? Diberi Tuhankah manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan? Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar tuhan (free will dan fre act). Kaum jabariyah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar Tuhan.
Menurut ahli-ahli teologi islam, faham Qadariah pertama kali ditimbulkan oleh Ma’bad alJuhani. Menurut ibn Nabatah, Ma’bad al-jauhani dan temannya Ghailan al-Dimisqy mengambil faham ini dari seorang kristen yang masuk islam di irak. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan daya sendiri. Dalam faham ini manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Selain dari penganjur faham Qadariah, ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari golongan al-Salihiah. Sedangkan faham jabariah pertama kali di tonjolkan oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan.
Menurut jahm, manusia tidak
mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan, manusia dalam perbuatanperbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya.
BAB 5 "MU'TAZILAH"
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis Islam.” Ada salah satu keterangan bahwa asal usul kaum aum Mu’tazilah berawal dari peristiwa yang terjadi diantara Wasil Ibn ’Ata’ serta temannya ’Amr Ibn ’Ubaid dan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana yang diketahui orang Khawarij memandang mereka kafir sedangkan kaum Murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basir masih berpikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat lain di masjid; di sana ia mengulangai pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan: ” Wasil menjuh diri dari kita (i’tazala’ ana).” Dengan demikian ia berserta teman-temannya,kata al-Sayahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.
Kata Mu’tazilah berasal dari ”i’tazala” dan ”al-Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri, dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikain politik yang ada di zaman mereka. Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa orang pertam membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil Ibn ’Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi, ia adalah, syeikh al-Mu’tazilah wa qadil muha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Di sana ia belajar pada Abu Hasyim ’Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar kepada Hasan al-Basri. Dua ajaran yang ditinggal oleh Wasil yaitu posisi menengah dan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kemudian merupakan bagian integral dari al-Ushul al-Khamasah atau pancasila Mu’tazilah. Ketiga sila lainnya adalah al-’adl; keadialn tuhan, al-wa’ad wa al wa’id, janji baik dan ancaman dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar, memrintahkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan kalau perlu dengan kekerasan. Adapun tokoh-tokoh lain dari Mu’tazilah yaitu Bisyr Ibn Sa’id, Abu ’Usman al-Za’farani, Abu al-Huzail al-’Allaf dan Bisyr Ibn Mu’tamar. Menurut al-Khayyat, orang yang diakaui menjadi pengikut atau penganut Mu’tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar yang telah disebut di atas. Orang yang menerima hanya sebagian dari dasar-dasar tersebut tidak dapat dipandang sebagai orang Mu’tazilah. Al-Ushul al-Khamasah, sebai dikemukakan oleh pemuka-pemuka Mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut. Al-Tawhid, al-’Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-’Amr bi al-Ma’ruf wa alNahy ’an al-Munkar. Demikianlah uraian sekedarnya tentang pemuka-pemuka kaum Mu’tazilah, pendapatpendapat mereka dan ajaran-ajaran dasar Mu’tazilah.
BAB 6 "AHLUSSUNNAH WA JAMAAH"
Term ahli Sunnah dan Jama’ah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham golongan-golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya dan terhadap sikap mereka yang menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari Wasil, usaha-usah telah dijalankan untuk menyebar ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh Islam.
Puncak kejayaan kaum Mu’tazilah pada waktu itu ialah pada masa khalifah setelah alMa’mun di tahun 827 M mengakui Mu’tazilah sebagai madzhab resmi yang dianut oleh negara. Pada hakikatnya kaum Mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tapi mereka ragu akan keoriginilan hadits-hadits yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebgai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Mungkin dari sinilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tidak kuat berpegang pada sunnah. Bagaimanapun, yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam adalah kaum Asy’ariyah dan kaum Maturidi. Walaupun al-Asy’ari sendiri telah telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Tokoh-tokoh dalam golongan Asy’riaah diantaranya, Abu Hamid al-Ghazali, al-Juwani, alBaqillani, dll. Adapun ajaran-ajaran al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama dari kitab al-Luma’ Fi al-Rad ’ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida’ dan al-Ibanah ’an Ushul al-Dianah di damping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah tentia ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm) tetapi Yang Mengetahui (’Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukalah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendenganr dan melihat.
Aliran Maturudiah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengan kedua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu H nifah dan fahamfaham teologinya banyak banyak persamaannya dengan faham-faham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan Jama’ah dan dikenal dengan nama al-Maturudiah. Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran al-Maturudiah tidak sebanyak literatur mengenai ajaran-ajaran Asy’ariah. Buku-buku yang banyak membahas tentang
sekte-sekte seprti buku-buku al-Syahrastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikut-pengikutnya. Karangankarangan al-Maturidi sendiri belum dicetak dan tetap dalam bentuk MSS (Makhtutat). Diantaranya yaitu, Kitab al-Tauhid, Risalah Fil al-‘Aqa’id, Syarh al-Fiqh al-Akbar, Usul alDin (dikarang oleh pengikutnya) dan Kitab Ta’wil al-Qur’an. Al-Maturudi banyak memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy’ari terdapat perbedaan, keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Salah satu perbedaan tersebut adalah mengenai soal al-wa’ad wa al-wa’id al-Maturidi sefaham dengan Mu’tazilah. Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh mesti terjadi kelak. Dan juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturudi sealiran dengan Mu’tazilah. Ia tidak sependapat dengan al-Asy’ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat diberi interprestasi atau ta’wil. Menurut pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi arti majazi atau kiasan. Dalam aliran al-Maturidi sendiri terdapat dua golongan: golongan samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Aliran al-Maturudiah banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.
BAB 7 "AKAL DAN WAHYU" Akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibahas mengenai permasalahan pokok seperti : 1) Mengenai Tuhan; 2) Kewajiban mengenai Tuhan; 3) Kewajiban mengetahui baik dan jahat; 4) Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat. Menurut aliran Mu’tazilah sebagai penganut kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat permasalahan pokok tersebut. Sementara itu menurut Maturidiyah Samarkhand yang juga termasuk penganut aliran kalam rasional mengatakan : “kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan menghindar yang buruk, akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui ketiga hal lainnya”. Sebaliknya aliran Asy’ariyah sebagai penganut aliran kalam tradisional berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyah Bukhara yang juga digolongkan kedalam pemikiran kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat permasalahan
pokok tersebut yaitu mengetahui Tuhan, dan mengetahui yang baik dan jahat dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua permasalahan lainnya hanya dapat diketahui dengan wahyu.
BAB 8 "FUNGSI WAHYU"
Bagi kaum Mu’tazilah, tidak semua yang baik dan semua yang buruk dapat diketahui akal. Untuk mengetahui itu, akal memerlukan pertolongan wahyu. Wahyu dengan demikian menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Bukan hanya itu, bagi kaum Mu’tazilah wahyu mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Kiranya dapat disimpulkan bahwa wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi konfirmasi, dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum dikethui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Dalam pandangan kaum Asy’ariah, karena akal hanya dapat mengetahui adanya Tuhan saja, maka wahyu mempunyai kedudukan penting. Manusia mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya karena turunnya wahyu. Dengan demikian jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya. Adapun aliran Maturidiah, wahyu bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang lebih kurang daripada wahyu dalam paham Bukhara. Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk. Sedangkan dalam pendapat golongan kedua, wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Lebih tegasnya, manusia dalam aliran Mu’tazilah, dipandang berkuasa dan merdeka sedangkan manusia dalam pandangan Asy’ariah dipandang lemah dan jauh kurang merdeka. Di dalam aliran Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah diantara manusia dalam pandangan kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah. Dalam pada itu manusia dalam pandangan cabang Samarkand lebih berkuasa dan merdeka daripada manusia dalam pandangan cabang Bukhara.
BAB 9 " FREE WILL DAN PREDESTINATION"
Karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu kaum Mu’tazilah menganut paham qadariah dan free will. Dan memang mereka disebut juga kaum Qadariah. Ada pula keterangan-keterangan dan tulisantulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya. Dan sudah jelas bahwa bagi kaum Mu’tazilah, daya manusialah dan bukan daya Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia. Sedangka bagi kaum Asy’riah, di sini, karena manusia dipandang lemah, paham qadariah tidak terdapat. Kaum Asy’riah dalam hal ini dekat dengan kaum Jabariah daripada kepada kaum Mu’tazilah. Manusia dalam kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Ada perbedaan persepsi diantara paham teologi Islam menegenai “kemuan dan daya untuk berbuat.” Kaum Asy’riah berpenapat bahwa kemuan dan daya berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri (perbuatan Tuhan bukan perbuatan manusia). Sedangkan menurut paham al-maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu daya manusia, sepeti dijelaskan Mu’tazilah.
BAB 10 "KEKUASAAN DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN" Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat pada aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehenaak mutlak Tuhan. Dalam menjelasakan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, al- Asy’ari menulis dalam Al-Ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun, di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hokum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaanNya. Berlainan dengan paham Asy’ariah in, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifatmutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentuka kemauandan perbuatan.
Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Sedangkan dalam golongan Maturidi Samarkand, tidak sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.
BAB 11 "KEADILAN TUHAN" Paham keadilan Tuhan banyak tergantung pada paham kebebasan manusia dan paham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan. Kaum Mu’tazilah karena percaya kepada kekuatan akal, dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunya tendesi untuk meninjau wujud ini dari rasio dan kepentingan manusia. Kemudain kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia. Kaum Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasan Tuhan, mempunyai tendesi yang sebaliknya. Mereka menolak paham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan yang berarti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Dalam hal ini, kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariah. Sedangkan kaum Maturidiah golongan samarkand, karena menganut paham free will dan free act, serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariah. Tetapi tendesi golongan ini untuk meninjau wuju dari sudut kepentingan lebih kecil dari tendesi kaum Mu’tazilah.
BAB 12 "PERBUATAN-PERBUATAN TUHAN" 1. kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan menjadi satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Bagi kaum Asy’ariah, faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut. Faham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk mengandung arti bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagai kata alGhazali perbuatan-peerbuatan Tuhan tidak bersifat wajib (jaiz) dan tidak satupun dari padanya yang mempunyai sifat wajib. Kaum Maturidiah golongan Bukhara sefaham dengan kaum Asy’ariah tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Tetapi sebagai akan dilihat, al-Bazdawi dalam hal ini memberi pendapat yang bertentangan.
2. Berbuat baik dan Terbaik Dalam istilah Arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah wa al-aslah. Term ini dalam teologi Islam terkenal sebagai term Mu’tazilah. Yang dimaksud ialah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum Mu’tazilah. Bagi kaum Asy’ariah jelas bahwa faham ini tak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan teraik bagi manusia. Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya, juga tidak sefaham dengan kaum Mu’tazilah dalam hal ini. 3. Beban Diluar kemampuan Manusia Memberi beban di luar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu kaum Mu’tazilah tidak dapat menerima paham bahwa Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul. Kaum Asy’ariah karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, dapat menerima paham pemberian beban yang di luar kemampuan manusia ini.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara sependapat dengan kaum Asy’ariah dalam soal kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan dari golongan Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan kaum kaum Mu’tazilah.
4. Pengiriman Rasul-rasul Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul-rasul sebenarnya tidak begitu penting. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang wahyu, fungsi wahyu lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah diketahui manusia melalui akalnya. Kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam ghaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan manusia. Bagi merekalah seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib, sedang bagi kaum Mu’tazilah pengiriman yang demmikian seharusnya tidak mempunyai sifat wajib. Adapun tentang pendapat golongan Samarkand, hal itu dapat diketahui dari keterangan al-Bayadi. Dalam Isyarat al-Maram, al-Bayadi menjelaskan bahwa banyak dari kaum Maturidiah yang sefaham dengan kaum Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman Rasul-rasul. 5. Janji dan Ancaman Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu’tazilah. Bagi kaum Asy’ariah, sebagai sebagai diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Bagi kaum Maturidiah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik BAB 13 "SIFAT-SIFAT TUHAN" 1. Sifat Tuhan pada Umumnya Sebagai telah dilihat dalam bagian pertama, kaum Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Asy’ariah bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Arti “Tuhan mengetahui” kata Abu al-Huzail, ialah Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Kaum Mturidiah golongan Bukhara juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka
selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalann sifat-sifat itu sendiri juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama sifat-sifat-Nya kekal, tetapi sifat itu sendiri tidaklah kekal. 2. Antrophomorphisme Karena Tuhan bersifat ammateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan akal, menganut faham ini. Kaum Asy’ariah juga tidak
menerima antrophomorphisme dalam arti bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Kaum Maturidiah golongan Bukhara dalam hal ini tidak sefaham dengan Asy’ariah. Tangan Tuhan menurut al-Bazdawi, adalah sifat dan bukan anggota badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kemauan. Golongan Samarkand, seperti biasanya dalam hal-hal lain, mengambil posisi Mu’tazilah. Al-Maturidi mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani karena badan tersusun dari substansi dan accident. Manusia berhajat padaanggota badan, karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah. 3. Melihat Tuhan Logika mengatakan, karena Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala. Kaum Asy’riah berpendapat sebaliknya, bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Kaum Maturidiah dengan ke dua golongannya sefaham dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapatbahwa Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud. . 4. Sabda Tuhan Kaum Mu’tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Sedangkan kaum Asy’ariah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal.
Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya sependapat dengan kaum Asy’ariah bahwa sabda Tuhan atau al-Qur’an adalah kekal
BAB 14 "KONSEP IMAN" Dalam pandangan kaum Asy’ariah, dengan keyakinan mereka bahwa akal manusia tidak bisa sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma’rifah atau ‘amal. Selanjutnya iman bagi kaum Asy’ariah adalah tasdiq, dan batasan iman adalah altasdiq bi Allah (menerima sebagai kabar adanya Tuhan). Sedangkan pandangan kaum AMu’tazilah iman bukanlah tasdiq, dan ma’rifah. Tapi ‘amal yang timbul sebagai akibat mengetahui dari Tuhan. Dan iman dalam arti mengetahui pin belumlah cukup. Kaum Maturudiah dari golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Sedangkan menurut golongan Samarkand iman mestilah harus lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau ‘amal.
BAB III PENUTUP KOMENTAR KRITIS Buku teologi islam karya Prof.Harun Nasution sebenarnya telah detail menjelaskan tentang aliran-aliran yang muncul pada saat itu. Namun, sebaiknya buku tersebut direvisi kembali jika akan dicetak ulang. Sebab, saat ini juga berkembang aliran Ahmadiyyah yang itu merupakan persoalan Teologi juga. Dan hal itu tidak diterangkan dalam buku tersebut.
MANFAAT BUKU BAGI PEMBACA Pembaca akan mengetahui aliran-aliran teologi yang berkembang beserta ajaranajaranya. Sehingga lebih memantapkan lagi keyakinan-keyakinan kepada agamanya seerta mengetahui perbedaan-perbedaan dalam ajarannya denga aliran teologi yang lainnya. Dan tidak semena-mena menyalahkan aliran yang tidak sepaham denganya.
KESIMPULAN
Persoalan ilmu kalam dipicu oleh persoalan politik yang yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berlanjut pada penolakan Muawiyyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sehingga terjadi berlanjut kemedan pertempuran, yang sering dikenal dengan perang siffin yang berakhir denga keputusan tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah yang diwakili oleh Abu Musa al-asy’ari dari pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah. Dari peristiwa tahkim ini, muncullah Khawarij yakni orang-orang yang pertama berada dipihak Ali kemudian keluar dan memisahkan diri dari pasukan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan yang setia mendukung Ali disebut Syiah. Persoalan ilmu kalam pertama kali yang muncul adalah persoalan mengenai siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Khawarij memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, mereka adalah kafir yang berdasarkan firman Allah didalam surat alMaidah ayat 44. Selanjutnya,persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu: 1. Aliran Khawarij, yang menegaskan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari islam, dan wajib dibunuh. 2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu diserahkan kepada keputusan akhir Allah Swt untuk mengampuni atau menghukumnya. 3.
Aliran mu’tazilah, tidak menerima pendapat aliran khawarij dan Murji’ah. Aliran ini menegaskan bahwa pelakou dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin. Yang disebut juga dalam ajaran aliran ini al-manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi). Dalam islam muncul pula aliran teologi Qadariah dan Jabariah. dalam paham Qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariah, berpendapat sebalinya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Selanjutnya muncul Aliran teologi tradisional yakni Asy’ariyah dan al-Maturidi yang keduan aliran ini menentang aliran Mu’tazilah yang bersifat Rasional. Kedua aliran ini disebut juga ahlussunnah wa al-jamaah.