MATERI PELATIHAN
TEKNOLOGI MANAJEMEN BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii)
Oleh :
A k m a l, S.Pi, Sugeng Raharjo, A.Pi. I l h a m, S.Pi.
Makalah ini disampaikan pada Pelatihan Budidaya Rumput Laut, 27-30 Mei 2008, Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah .
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR 2008
TEKNOLOGI BUDIDAYA RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii)1) Oleh : A k m a, S.Pi,2) Sugeng Raharjo, A.Pi,
3)
dan I l h a m, S.Pi.
4)
Balai Budidaya Air Payau Takalar Desa Bontoloe Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, 92254 Sulawesi Selatan
Abstrak Sulawesi Tengah memiliki sumberdaya perikanan yang cukup potensial untuk pengembangan budidaya, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan potensi sumberdaya ini adalah melalui penerapan paket teknologi spesifik yang sesuai menurut tipe agroekologi setiap wilayah pengembangan. Rumput laut Kappaphycus alvarezii merupakan salah satu dari tiga komoditas utama program revitalisasi perikanan yang diharapkan berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jenis ini banyak dibudidayakan karena permintaan pasar yang tinggi, teknologi produksinya relatif murah, siklus pruduksi yang relatif singkat serta penanganan pasca panen relatif mudah dan sederhana. Teknologi budidaya memiliki peranan yang sangat penting dalam usaha meningkatkan produksi rumput laut, memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta kebutuhan pasar dalam dan luar negeri, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya serta menjaga kelestarian sumberdaya hayati perairan. Kegiatan budidaya ini sangat memungkinkan untuk dilaksanakan karena ditunjang oleh perairan pantai Indonesia yang tersebar luas dan mempunyai teluk dengan kondisi perairan yang relatif tenang. Keadaan demikian sangat potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut. Makalah ini menguraikan secara rinci penanganan budidaya rumput laut K. alvarezii meliputi, aspek pemilihan lokasi, teknologi metode budidaya, pemeliharaan, perawatan, penanggulangan hama dan penyakit, serta panen dan pascapanen.
Kata kunci : Teknologi, Rumput laut, dan Metode budidaya
1) Makalah disampaikan pada Pelatihan Budidaya Rumput Laut, 27-30 Mei 2008, Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. 2) Perekayasa Muda pada Balai Budidaya Air Payau Takalar 3) Kepala Balai Budidaya Air Payau Takalar 4) Pengawas Budidaya pada Balai Budidaya Air Payau Takalar
1
I. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki perairan pantai yang
sangat baik dan juga memiliki posisi strategis serta berpeluang sebagai pusat
perdagangan komoditi perikanan. Melihat peluang tersebut, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan sumberdaya hayati perairan yang masih rendah produktifitasnya.
Sulawesi Tengah memiliki sumberdaya perikanan yang cukup potensial
untuk pengembangan budidaya namun belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terlihat dari sumbangan ekonomi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Regonal Bruto (PDRB) baru mencapai 3,85 persen (2.283.594.000)
dari total PDRB Sulawesi Tengah sebesar Rp. 7.342.714.000 (Diskanlut
Sulteng, 2000 dalam Muh. Amin, et.al, 2005). Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk
meningkatkan
potensi
sumberdaya
ini
adalah
melalui
penerapan paket teknologi spesifik yang sesuai menurut tipe agroekologi setiap wilayah pengembangan.
Rumput laut merupakan salah satu dari tiga komoditas utama program
revitalisasi perikanan yang diharapkan berperan penting dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pada akhir tahun 2009, rumput laut ditargetkan
produksi meningkat menjadi 1,9 juta ton (Kappaphycus alvarezii. 1,5 juta ton) dengan sasaran pengembangan areal budidaya seluas 1.500.000 ha K. alvarezii. serta penyerapan tenaga kerja sekitar 255.000 orang (Anonim,
2005). Jenis ini banyak dibudidayakan karena permintaan pasar yang tinggi, teknologi produksinya relatif murah, siklus pruduksi yang relatif singkat serta
penanganan pasca panen relatif mudah dan sederhana. Kegiatan budidaya rumput laut tidak
banyak menuntut tingkat keterampilan tinggi dan modal
yang besar, sehingga dapat dilakukan oleh semua anggota keluarga nelayan termasuk ibu rumah tangga dan anak-anak.
Dalam memproduksi rumput laut ini sering muncul kegagalan-kegagalan
yang dialami oleh pembudidaya rrumput laut. Kegagalan yang dialami terdiri dari kegagalan panen maupun penjualan. Untuk menanggulangi permasalahan (kegagalan) panen
tersebut, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut :
lokasi budidaya, teknik budidaya, manajemen budidaya, bibit, musim.
2
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi masalah penjualan adalah umur panen, cara panen serta penanganan pasca panen. b. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah • •
Meningkatkan produktifitas hasil budidaya rumput laut.
Mendapatkan rumput laut kering berkualitas eksport dengan kriteria umur penen lebih dari 45 hari, kadar air 30 - 35 %, kemurnian lebih dari 97 %
c. Sasaran Sasara yang ingin dicapai adalah •
Meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan pembudidaya rumput laut
•
Ikut membantu pemerintah dalam meningkatkan devisa negara.
diwilayah pesisir pantai.
II. TEKNIK BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii A. LOKASI Salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan budidaya
rumput laut adalah pemilihan lokasi , sehingga sering dikatakan kunci
keberhasilan budidaya rumput laut terletak pada ketepatan pada pemilihan
lokasi. Hal ini dapat dimengerti karena relatif sulit untuk membuat perlakuan
tertentu terhadap kondisi ekologi perairan laut yang selalu dinamis, dan
pertumbuhan rumput laut sangat ditentukan oleh kondisi ekologi dimana budidaya dilakukan, sehingga besarnya hasil produksi rumput laut di beberapa daerah sangat bervariasi.
Dalam pemilihan lokasi yang tepat untuk budidaya rumput laut, perlu
ditekankan pertimbangan atas faktor-faktor resiko, pencapaian, ekologis, higienis, dan sosio-ekonomi. Banyaknya faktor yang tidak tetap ini, sehingga pemilihan lokasi sebaiknya didasarkan pada pengaruh dari beberapa faktor
tersebut. Hal ini dikarenakan faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan saling mendukung.
Pemilihan lokasi dilakukan dengan pendekatan beberapa faktor secara
menyeluruh dengan menggunakan skala penilaian tertentu (Lampiran 1) untuk
3
menentukan layak atau tidaknya suatu lokasi budidaya. Lahan budidaya K. alvarezii yang cocok terutama sangat ditentukan oleh kondisi ekologis yang
meliputi kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi. Faktor Penentu Pemilihan Lokasi Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi budidaya
rumput laut adalah sebagai berikut : 1. Faktor Resiko
Faktor resiko merupakan salah satu faktor non-teknis yang perlu mendapat pehatian dalam pemilihan lokasi budidaya, yang meliputi:
a. Keterlindungan; Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budi daya dan rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh
angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya di perairan teluk atau perairan yang terlindung atau terhalang oleh pulau.
b. Keamanan; Masalah pencurian dan sabotase mungkin saja dapat terjadi pada lokasi tertentu, sehingga upaya pengamanan baik secara perorangan
maupun
secara
kelompok
harus
dilakukan.
Upaya
pendekatan dan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar lokasi perlu dilakukan.
c. Konflik Kepentingan; Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik
dengan
kepentingan
lain.
Beberapa
kegiatan
perikanan
(penangkapan ikan, pemasangan bubu, bagang, dll) dan kegiatan non perikanan (parawisata, perhubungan laut, industri, taman laut, dll) dapat berpengaruh negatif terhadap aktivitas usaha rumput laut.
d. Aspek Peraturan dan Perundang-Undangan; Untuk menguatkan
keberlanjutan usaha budi daya rumput laut, maka pemilihan lokasi harus tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah serta harus
mengikuti tata ruang yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat.
2. Faktor Pencapaian Pemilik usaha budidaya rumput laut cenderung memilih lokasi yang
berdekatan
dengan
tempat
tinggal,
sehingga
kegiatan
monitoring
pertumbuhan dan penjagaan keamanan dapat dilakukan dengan mudah.
4
Kemudian lokasi diharapkan berdekatan dengan sarana jalan, karena
akan mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit, hasil panen
dan
pengangkutan.
pemasarannya.
Hal
tersebut
akan
mengurangi
biaya
faktor
terpenting,
dalam
3. Faktor Ekologis. Faktor
ekologis
suatu
lokasi
merupakan
menentukan keberhasilan usaha budidaya. Parameter ekologis yang perlu
diperhatikan antara lain : Ketersediaan bibit, arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran dan tenaga kerja.
a) Ketersediaan Bibit; Lokasi yang terdapat stock alami rumput laut yang akan dibudidaya, merupakan petunjuk lokasi tersebut cocok untuk
usaha budidaya rumput laut. Apabila tidak terdapat sumber bibit dapat
memperolehnya dari lokasi lain dan sebaiknya didatangkan dari daerah terdekat dengan memperhatikan kaidah-kaidah penanganan bibit dan pengangkutan yang baik.
Pada lokasi dimana Euchema cottonii bisa
tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti Gracilaria, dan
Sargassum.
b) Arus; Rumput laut merupakan organisma yang memperoleh makanan
melalui aliran air yang melewatinya atau melalui sintesa bahan makanan di sekitarnya dengan bantuan sinar matahari. Gerakan air
yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Gerakan air akan membawa unsur
hara, menghilangkan kotoran yang menempel pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi suhu air yang besar. Kecepatan arus yang baik adalah 20-40 cm/detik dengan suhu berkisar
20-28oC dan pH berkisar 7,3-8,2. Indikator suatu lokasi yang memiliki
arus yang baik adalah adanya pertumbuhan karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan cenderung miring ke satu arah
c) Dasar Perairan; Dasar perairan yang sesuai adalah berupa pecahanpecahan karang dan pasir kasar. Kondisi dasar perairan yang demikian
merupakan indikator adanya gerakan air yang baik, sedangkan apabila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar
5
itu terkena gelombang yang besar dan apabila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.
d) Kedalaman; Kedalaman perairan sangat tergantung dari metode budi
daya yang akan dipilih. Metode lepas dasar dilakukan pada kedalaman perairan tidak kurang dari 30-60 cm pada waktu surut terendah,
sedangkan metode rakit apung, rawai dan jalur pada perairan dengan kedalaman sekitar 2-15 m. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
e) Kadar Garam; K. alvarezii merupakan rumput laut yang relatif tidak
tahan terhadap kisaran kadar garam yang luas. Kadar garam yang
sesuai untuk pertumbuhannya adalah berkisar 28-35 ppt. Salinitas yang baik berkisar antara 28 - 34 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.
f) Kecerahan; Rumput laut memerlukan cahaya sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan
dan perkembangannya yang normal. Lokasi yang potensial hendaknya dipilih yang memiliki kecerahan air tinggi. Lokasi budidaya rumput laut
sebaiknya pada perairan yang jernih atau tingkat kecerahan yang tinggi sekitar 2-5 m. Air keruh mengandung lumpur dapat menghalangi cahaya matahari ke dalam air serta dapat menutupi permukaan thallus
yang dapat menyebabkan thallus membusuk sehingga mudah patah.
Lokasi yang baik bagi budidaya rumput laut memiliki kecerahan lebih dari 1,5 m pada pengukuran dengan alat secchi disk.
g) Organisme Pengganggu; Lokasi budidaya diusahakan pada perairan yang tidak banyak terdapat organisme pengganggu misalnya ikan
beronang, bintang laut, bulu babi dan penyu serta tanaman penempel.
h) Pencemaran; Lokasi yang telah tercemar, baik yang berasal dari limbah rumah tangga, aktivitas pertanian, maupun limbah industri
harus dihindari untuk budidaya rumput laut, Sebaiknya dihindari pula lokasi budidaya
yang berdekatan
dengan
muara sungai, karena
terutama pada saat musim penghujan, merupakan sumber sampah dan kotoran lumpur. Kondisi ini akan menutupi permukaan thallus rumput laut dan akan mempengaruhi pertumbuhannya.
6
i) Tenaga kerja; Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di lapangan sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi
budidaya,
menghemat biaya.
dan
memiliki
kemauan
bekerja.
Hal
ini
dapat
3. Faktor Higienis Lokasi budidaya sebaiknya terhindar dari cemaran yang berasal dari
limbah rumah tangga maupun industri. Selain itu cemaran sampah dan
kotoran lumpur yang umumnya terjadi pada daerah aliran muara sungai sebaiknya dihindari. Hal ini disebabkan karena rumput laut umumnya dapat
menyerap polutan (bahan pencemar) seperti logam berat, sehingga jika terakumulasi dalam jaringan tanaman akan berdampak pada konsumen. 4. Faktor Sosial-Ekonomi Aspek sosial-ekonomi yang perlu mendapat perhatian dalam penentuan
lokasi antara lain keterjangkauan lokasi, tenaga kerja, sarana dan prasarana, serta kondisi sosial masyarakat.
Pemilik usaha budidaya rumput laut biasanya memilih lokasi yang
berdekatan dengan tempat tinggal,
sehingga kegiatan
monitoring
dan
penjagaan keamanan dapat dilakukan dengan mudah. Kemudian lokasi diharapkan berdekatan dengan sarana jalan, karena akan mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit dan hasil panen.
a) Keterjangkauan Lokasi; Lokasi budidaya yang dipilih yang mudah dijangkau.
Umumnya
lokasi
budidaya
relatif
berdekatan
dengan
pemukiman penduduk agar lebih mudah melakukan pemeliharaan.
b) Tenaga Kerja; Tenaga kerja sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal
di sekitar lokasi budidaya. Menggunakan tenaga lokal dilakukan sebagai upaya untuk menghemat biaya produksi dan sekaligus membuka peluang atau kesempatan kerja.
c) Sarana dan
Prasarana; Lokasi
budidaya
sebaiknya
berdekatan
dengan sarana dan prasarana perhubungan yang memadai untuk
memudahkan dalam pengangkutan bahan, bibit, hasil panen dan pemasarannya.
7
d) Kondisi Sosial Masyarakat; Kondisi sosial masyarakat yang kondusif memungkinkan perkembangnya usaha budidaya rumput laut.
B. TEKNIK BUDIDAYA Dalam perkembangannya teknik budidaya rumput laut K. alvarezii di
masing-masing daerah oleh masyarakat disesuaikan dengan kebiasaan dan
kondisi lokasi tersebut. Secara Umum teknik budidaya rumput laut K. alvarezii
terdiri dari dua sistim yaitu sistim lepas dasar dan sistim apung.
Dalam
perkembangannya kedua sistim ini telah berkembang lagi menjadi beberapa metode.
1. Sistim Lepas Dasar (Patok) Metode ini merupakan perbaikan dari metode sebelumnya. Dimana pada
daerah yang telah ditetapkan (lokasi budidaya) dipasang patok-patok secara teratur berjarak antara 50 – 100 cm.
Pada sisi yang berlawanan
jarak 50 – 100 m juga diberi patok dengan jarak yang sama.
dengan
Satu patok
dengan patok lainnya dihubungkan dengan tali jalur yang telah berisi rumput laut tersebut (Gambar 1). Pada jarak 3 meter diberi pelampung kecil yang berfungsi untuk menggerakan tali tersebut setiap saat agar tanaman bebas dari lumpur (adanya sedimentasi).
Gambar 1.
Konstruksi lepas dasar patok
Penanaman rumput laut dengan metode lepas dasar bersusun dua
dilakukan dengan cara pemasangan patok-patok (tiang kayu) pada dasar
perairan dengan ketinggian sekitar 100 cm dari dasar perairan. Tali utama direntangkan diantara dua patok pada ketinggian pengikatan sekitar 30 cm di
atas dasar perairan (susun pertama) dan juga 30 cm dari susun pertama
direntangkan tali utama (susun kedua). Tali ris direntangkan pada tali utama
8
dengan jarak antara tali ris sekitar 25 – 50 cm sehingga jarak tanam antar ikatan tidak kurang dari 25 cm (Gambar 2).
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
± 30 cm
± 60 cm
± 30 cm
6
Dasar Perairan
6
6 6 6 6
6
66 6
6
6
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
6
± 30 cm
6 ± 30 cm
Dua susun Gambar 2. Metode Penanaman rumput laut metode lepas dasar bersusun dua
2. Sistim Rakit Apung Metode ini sering disebut metode rakit kotak, dibentuk dari empat buah
bambu yang dirakit sehingga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2,5 -
4 x 5 - 8 m. Pada rakit tersebut dipasang tali pengikat rumput laut secara
membujur dengan jarak 30 cm kemudian rumput laut (bibit) diikat pada tali tersebut.
Berat bibit yang digunakan berkisar antara 50 – 100 gram. Setelah
rumput diikat maka rakit tersebut ditarik dan ditempatkan pada lokasi yang
telah ditetapkan dengan menggunakan dua buah jangkar pada kedua ujung rakit tersebut dengan kedalaman perairan berkisar antara 0,5 – 10 meter.
9
Gambar 3. Model dan konstruksi rakit apung dengan menggunakan bambu
3. Sistim Apung (Metode Long Line) Konstruksi metode ini semuanya terbuat dari tali PE. Adapun teknik
pembuatan konstruksinya sbb : Menyiapkan tali PE Ø 10 mm sebagai tali jangkar. Kedua ujung tali tersebut dihubungkan kemudian dirancang hingga berbentuk persegi panjang berukuran 100 x 30 m. Pada keempat sudut
dilengkapi dengan empat buah pelampung yang berfungsi mempertahakan konstruksi agar tetap berada pada permukaan air. Agar konstruksi tersebut tetap pada posisi yang diharapkan maka pada keempat sudut yang sama
diikatkan tali PE Ø 8 mm sebagai tali jangkar yang dilengkapi dengan enam buah jangkar.
Setelah selesai menyiapkan konstruksi maka tahap berikutnya adalah
menyiapkan tali jalur yang terbuat dari tali PE Ø 4 mm. Tali tersebut dipotong
masing – masing 30 m sesuai dengan panjang konstruksi. Pada satu tali jalur dipasang 120 tali PE Ø 2 mm coban (tali titik) berjarak 25 cm yang berfungsi sebagai tempat mengikat bibit yang akan digunakan.
Bibit yang digunakan adalah tanaman muda dari hasil budidaya. Sebelum
diikat bibit tersebut dipotong agar ukurannya sesuai dengan bobot yang
dikehendaki. Untuk mengetahui perkembangan tanaman, ditentukan beberapa sampel dengan berat rata-rata 100 gram kemudian setiap minggu dilakukan penimbangan sampel tersebut.
10
30 m
100 m
Gambar 4.
Unit konstruksi budidaya rumput laut metode long line ukuran 3000 m2 Pelampung utama
Pelampung botol plastik
10-15 cm
20 cm
50 – 100 meter
Jangkar
Pelampung botol plastik
Rumpun Eucheuma
Tali nilon
Tali bibit
Gambar 5. Kerangka wadah metode Long Line.
11
4.
Sistim Jalur (metode kombinasi)
Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line.
Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar, pada kedua ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali PE Ø 8 mm sehingga
membentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 7 m. perpetak. Satu unit metode ini terdiri dari 7 – 8 petak dan pada kedua ujung setiap unit diberi jangkar.
Kegiatan penanaman diawali dengan mengikat bibit rumput laut ke
tali jalur yang telah dilengkapi tali PE Ø 2 mm. Setelah bibit diikat pada tali jalur maka tali jalur tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25 cm x 30 cm.
Gambar 6. Konstruksi satu unit rakit metode jalur (kombinasi)
5. Bibit. Dalam satuan unit usaha budidaya rumput laut diperlukan perhatian
khusus tentang bibit yang digunakan. Disarankan, untuk setiap kegiatan usaha budidaya rumput laut harus memiliki rakit khusus sebagai penyuplai bibit. Karena dengan rakit khusus ini bibit yang digunakan dapat setiap saat dan dapat memenuhi kriteria bibit yang baik. baik:
tersedia
Kriteria bibit yang
a. Bercabang banyak dan rimbun,
b. Tidak terdapat bercak dan terkelupas, c. Warna spesifik (cerah), d. Umur 25 – 35 hari,
e. Berat bibit 50 – 100 gram.
12
Gambar 7.
Bibit Rumput Laut unggul (Karimun Jawa, Madura, Maumere, dan Sulawesi Selatan)
6. Penanaman Kegiatan penanaman untuk semua metode relatif sama, penanaman
diawali dengan mengikat rumput laut (bibit) ke tali jalur yang telah dilengkapi dengan tali pengikat rumput laut. Pengikatan bibit rumput laut harus
dilakukan di lokasi yang terlindung dari sinar matahari langsung, umumnya dilakukan ditepi pantai di bawah pohon atau pondok yang disiapkan khusus. Berat bibit yang ditanam berkisar antara 50 sampai 100 gram per ikatan.
Jarak antar tali jalur untuk metode rakit dan metode jalur relatif sama
yaitu 30 – 35 cm, sedangkan jarak tanam antar tali jalur untuk metode patok
juga relatif sama dengan dengan metode long-line yaitu 50 - 100 cm dan jara antara titik tanaman berkisar antara 20 -25 cm.
Setelah selesai
mengikat
13
rumput laut
maka tali jalur yang berisi rumput tersebut diikatkan pada
kerangka yang telah tersedia.
Gambar 8.
Cara Pengikatan dan pemasangan bibit rumput laut di tepi pantai oleh ibu-ibu dan gadis-gadis.
5. Sampling. Untuk mengetahui pertumbuhan rumput laut yang ditanam maka selama
satu periode penanaman perlu dilakukan beberapa kali sampling. Sampling
pertama dilakukan pada saat bibit akan ditanam untuk mengetahui berat awal. Sampling kedua dilakukan setelah tanaman berumur tiga minggu (21 hari). Sedangkan sampling ketiga dilakukan pada saat panen.
Suatu kegiatan
budidaya rumput laut dikatakan baik apabila laju pertumbuhan rata-rata per hari minimal 3 %.
Untuk mengetahui presentase laju pertumbuhan perhari
dapat menggunakan rumus: α Keterangan :
α Wn W0 n
= = = = =
Wn 1/n Wo
-1
X 100%
laju pertumbuhan harian (% gr bt/hari) Bobot rata-rata akhir (gr) Bobot rata-rata awal (gr) Waktu pengujian
6. Manajemen Budidaya Rumput Laut Keberhasilan usaha budidaya rumput laut harus didukung dengan usaha
perawatan selama masa pemeliharaan, bukan hanya terhadap tanaman itu
sendiri tapi juga fasilitas budidaya yang digunakan. Oleh karena itu peranan
14
pengelola (pembudidaya) rumput laut sangat diperlukan untuk memperkecil kemungkinan adanya kerusakan khususnya kekuatan alam yang tak terduga.
Pemeliharaan rumput laut dari keempat metode budi daya tersebut
adalah relatif sama. Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan rumput laut tersebut adalah meliputi: pembersihan lumpur, kotoran dan biofouling yang
menempel pada thallus rumput laut; penyisipan tanaman yang rusak atau lepas dari ikatan; penggantian tali, patok, bambu serta pelampung yang rusak;
penjagaan
tanaman
dari
serangan
pertumbuhan rumput laut secara berkala.
predator
dan
pemantauan
Memelihara rumput laut berarti mengawasi terus menerus, konstruksi
budidaya dan tanamannya. Pemeliharaan dilakukan pada saat ombak besar
maupun saat laut tenang. Kerusakan patok, jangkar, tali ris, dan tali ris utama yang disebabkan oleh ombak yang besar, atau daya tahannya menurun harus
segera diperbaiki. Bila ditunda akan berakibat makin banyak yang hilang sehingga kerugian lebih besar tidak bisa dihindari.
Kotoran atau debu air sering melekat pada tanaman, yaitu saat musim
laut tenang. Pada saat seperti ini tanaman harus sering digoyang-goyangkan
di dalam air agar tanaman selalu bersih dari kotoran/debu yang melekat.
Kotoran yang melekat dapat menggangu proses metabolisme sehingga laju pertumbuhan menurun.
Hal-hal yang harus dilakukan dalam pemeliharaan adalah :
1. Bersihkan tanaman dari tumbuhan dan lumpur yang mengganggu, sehingga
tidak
menghalangi
mendapatkan makanan.
tanaman
dari
sinar
matahari
dan
2. Jika ada sampah yang menempel, angkat tali perlahan, agar sampahsampah yang menyangkut bisa larut kembali.
3. Jika ada tali bentangan yang lepas ikatannya, sudah lapuk atau putus, segera diperbaiki dengan cara mengencangkan ikatan atau mengganti dengan tali baru.
7. Hama dan Penyakit Hama
rumput
laut
yang
biasa
dijumpai
adalah
larva
bulu
babi
(Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). Hama lainnya antara lain
ikan beronang (Siganus sp.), bintang laut (Protoneustes nodulus), bulu babi
15
(Diadema dan Tripneustes sp.) dan penyu hijau (Chelonia midas). Serangan
ikan beronang umumnya bersifat musiman sehingga setiap daerah memiliki waktu serangan yang berbeda. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
hama tersebut adalah dengan cara memperbaiki/memodifikasi teknik budi
daya, sehingga tanaman budi daya berada pada posisi permukaan air. Selain itu, diterapkan pola tanam yang serentak pada lokasi yang luas serta melindungi areal budi daya dengan memasang pagar dari jaring.
Sedangkan penyakit yang dapat menyerang rumput laut adalah
penyakit bakterial, jamur dan ice-ice. Penyakit bakterial yang disebabkan oleh
Macrocystis
pyrifera
dan
Micrococcus umumnya
menyerang budi
daya
Laminaria sp., sedangkan penyakit jamur yang disebabkan oleh Hydra thalassiiae menyerang bagian gelembung udara rumput laut Sargassum sp.
Penyakit ice-ice (sebagian orang menyebutnya sebagai white spot) merupakan
kendala utama budi daya rumput laut Kappaphycus/Eucheuma. Gejala yang diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus
menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk.
Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan
seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan
rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut. 8. Panen Akhir dari kegiatan proses produksi budidaya rumput laut adalah
pemanenan, oleh sebab itu kegiatan pemanenan hingga penanganan pasca
panen harus dilakukan dengan memperhatikan hal-hal yang akan berpengaruh terhadap kualitas produk yang akan dihasilkan. Secara umum kebutuhan akan
rumput laut K. alvarezii adalah untuk mendapatkan bahan karagenan yang terkandung dalam rumput laut tersebut. Untuk mendapatkan rumput laut yang memiliki kandungan karagenan sesuai dengan kebutuhan industri maka
beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan adalah sebagai berikut :
16
a. Umur Umur rumput laut akan sangat menentukan kualitas dari rumput laut tersebut.
Jika rumput laut tersebut akan digunakan sebagai bibit maka
pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur 25 – 35 hari karena pada saat itu tanaman belum terlalu tua.
Sedangkan jika rumput laut
tersebut dipanen untuk dikeringkan maka sebaiknya pemanenan dilakukan pada saat rumput tersebut berumur 1,5 bulan atau lebih karena pada umur tersebut kandungan karaginan cukup tersedia. b. Cuaca
Hal kedua yang sangat penting pada saat panen adalah cuaca. Jika pemanenan dan penjemuran dilakukan pada cuaca cerah maka mutu dari
rumput laut tersebut dapat terjamin. Sebaliknya jika pemanenan dan
penjemuran dilakukan pada cuaca mendung akan terjadi proses fermentasi pada rumput tersebut yang menyebabkan mutunya tidak terjamin. c. Cara Panen Pembudidaya
yang memiliki
usaha
dalam
jumlah besar
hendaknya
melakukan kegiatan pemanenan dengan cara melepaskan tali jalur yang berisikan rumput laut siap panen. Rumput laut tersebut diangkut ke tepi
pantai kemudian dirontokan dengan jalan memasang dua patok kayu dalam satu lubang kemudian kedua ujung patok atas direntangkan
sehingga membentuk huruf Y. Setelah itu dua sampai tiga ujung dari tali
jalur yang berisikan rumput laut hasil panen tersebut dimasukkan ke antara kedua patok tersebut dan ditarik sehingga rumput laut rontok dan siap untuk dijemur. Hal ini akan menimbulkan luka yang cukup banyak
pada rumput laut tersebut. Kondisi ini akan memberikan dampak yang kurang baik dimana pada luka tersebut akan mengakibatkan keluarnya air
termasuk karagenan yang terkandung dalam rumput laut tersebut. Oleh sebab itu pemanenan yang baik adalah meminimalkan luka pada rumput laut dari setiap hasil panen tersebut.
d. Beberapa cara panen dan pasca panen hasil budidaya rumput laut yang seharusnya dilakukan :
1) Proses perontokan rumput laut dapat dilakukan seperti di atas tetapi cukup dengan satu tali jalur.
17
2) Perontokan rumput dilakukan dengan memotong setiap tali pengikat rumput laut.
3) Penjemuran rumput laut dilakukan sekaligus dengan tali jalur tanpa dirontokkan.
Setelah
hari
ke
dua
rumput
laut
tersebut
dapat
dirontokkan dengan jalan memotong thalus tempat mengikat rumput laut tersebut.
4) Penjemuran harus dilakukan diatas wadah penjemuran agar terhindar dari kotoran (sebaiknya di atas para-para).
5) Penjemuran sebaiknya dilakukan selama 3 – 4 hari pada cuaca cerah (apabila cuaca mendung maka penjemuran dapat dilakukan lebih dari 4 hari).
6) Hindari
rumput
laut
yang
dijemur
dari
air
hujan
menyiapkan plastik atau terpal di lokasi penjemuran.
dengan
cara
e. Rumput Laut Kualitas Ekspor Apabila tahapan kegiatan sejak proses produksi hingga panen dan pasca
panen dilakukan seperti tersebut di atas maka akan diperoleh bahan baku rumput laut industri kualitas eksport dengan kriteria sebagai berikut: 1) Umur panen 45 hari atau lebih,
2) Kurangi luka pada thallus saat panen,
3) Penjemuran dilakukan di atas wadah,
4) Kadar air 30 – 35 % dan
5) Kemurnian minimal 97 %
Gambar 7. Sistem gantung dan para-para tempat menjemur rumput laut
18
III KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian materi tersebut di atas, maka diambil beberapa kesimpulan sebagai barikut : 1. Agar
usaha
budidaya
rumput
laut
yang
dilakukan
memberikan
menghasilkan yang baik maka penentuan lokasi budidaya harus dilakukan dengan serius serta memperhatikan faktor resiko dan faktor pencapaian.
2. Pengembangan budidaya rumput laut harus didukung teknologi yang lebih mudah diaplikasikan di lapangan serta dukungan kebijakan pemerintah yang memihak ke pembudidaya.
3. Penentuan metode budidaya yang akan digunakan harus disesuaikan
dengan kondisi lokasi budidaya dan kebiasaan masyarakat setempat serta memperhatikan asaz ramah lingkungan.
4. Diperlukan
bimbingan
dan
pembinaan
dari
instansi
terkait
kepada
pembudidaya rumput laut melalui peningkatkan pengetahuan tentang
aspek biologi dari produk yang dibudidayakan serta teknik budidaya dan
operasionalnya mulai dari perencanaan, proses produksi, panen dan penanganan hasil panen serta pemasaran
5. Agar mutu rumput laut hasil panen dapat memenuhi kualitas ekspor, maka kegiatan panen dan penanganan pasca panen harus memperhatikan halhal sebagai berikut :
a. Panen harus dilakukan setelah tanaman berumur 45 hari b. Kurangi luka pada rumput laut (thallus) saat panen
c. Penjemuran harus dilakukan di atas para-para atau media yang disiapkan khusus sebagai tempat penjemuran
d. Distribusi rumput laut baik bibit maupun hasil pengolahan pasca panen
hendaknya dilakukan dengan baik agar mutu rumput laut tetap dapat dipertahankan.
.
19
DAFTAR PUSTAKA Akmal. 2008. Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut (Site Selection). Makalah pada Apresiasi Peningkatan Mutu Rumput Laut Hasil Budidaya di Makassar. Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar Akmal, Ilham, M.Suaib. Irwan, 2007. Budidaya Rumput Laut Metode Lepas Dasar Bersusun Di Kabupaten Takalar. Laporan Perekayasaan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar Afrianto, E. dan Evi L., 1993. Budidaya Rumput Laut. Penebar Jakarta.
Aji, N., 1991. Budidaya rumput laut. Departemen Pertanian. Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut Lampung.
Swadaya.
Direktorat
Anonim., 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Amin. M., T. P. Rumayar, Femmi N.F., D. Kemur dan IK Suwitra., 2005. Kajian Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cotonii) Dengan Sistem Dan Musim Tanam Yang Berbeda Di Kabupaten Bangkep Sulawesi Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol. 8, No.2 hal. 282291 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Mubarak, H. dan G. Trono, 1981. Percobaan budidaya rumput laut Echeuma spinosum di perairan lorok dan kemungkinanan pengembangannya. Buletin Penelitian Perikanan Jakarta.
Mubarak, H., S. Ilyas, W.Ismail, I.S. Wahyuni, S.T. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru, dan R. Arifuddin. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT/13/1990. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 94 hal.
Mutmainna, M. Suaib, Ilham dan Kasturi. 2006. Laporan Perekayasaan. Upaya Peningkatan Produksi Rumput Laut Melalui Metode Bentang Kembar Di Desa Punaga Takalar.. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Takalar. Murdjani, M., N. Runtuboy,. dan T.W. Aditya, 2008. Teknologi budidaya rumput laut Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii). Makalah pada Apresiasi Peningkatan Mutu Rumput Laut Hasil Budidaya di Makasar. Sulawesi Selatan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung.
Runtuboy, N., Sahrun, 2001. Rekayasa Teknologi Budidaya Rumput laut (Kappaphycus alvarizii). Laporan Tahunan Balai Budidaya Laut Lampung tahun Anggaran 2000.
Puslitbangkan. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Sandhori, S., 1989. Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka. Jakarta.
Santika, I., 1985. Budidaya rumput laut. Balai Budidaya Laut Lampung.
20
Sulistyowati. H., 2003. Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) Di Pantai Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Jember. Jurnal Ilmu Dasar vol. 4 No.1 hal. 58 – 61.
Sulistijo. 1985. Budidaya Rumput Lau. (BL/85/WP-11). Marikultur, Lembaga Oceanologi Nasional LIPL. Jakarta.
Laboratorium
Sulistijo, 1996. Perkembangan Budidaya Rumput laut di Indonesia, dalam WS. Atmadja. Dkk. Pengenalan Jenis-jenis Rumput laut di Indonesia. Puslitbang Oseanologi LIPI Jakarta.
21
Lampiran 1. Penilaian kecocokan lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii dengan metode lepas dasar (Mubarak et al., 1990). No. Parameter 1 Keterlindungan 2
Gerakan air (arus)
3
Dasar perairan
4
Kedalaman
5
Kejernihan
6
Salinitas
7
Pencemar
8
Hewan herbivor
9
Keterjangkauan
10
Tenaga kerja lokal
Keterangan: Jumlah nilai
Kriteria Terlindung Agak terlindung Terbuka 20-30 cm/det 30-40 cm/det < 20 dan > 40 cm/det Pasir dan pecahan karang Pasir berlumpur lumpur 30-60 cm 0-30 cm 60-100 cm < 0 dan > 100 cm 5 m atau lebih 3-5 m <3m 32-34 0/00 28-32 0/00 < 28 0/00 Tidak ada Sedang Tinggi Tidak ada Ikan, bulu babi penyu Mudah Sedang Sukar Banyak Sedang Kurang
Nlai 10 6 2 15 9 3 10 6 0 10 8 6 2 8 5 2 15 10 5 10 5 0 7 4 1 8 5 2 7 4 1
80-100 = sangat baik 70-79 = baik 60-69 = dapat diterima bila parameter yang buruk dapat diperbaiki < 60 = tidak dapat diterima
22