Tanpa Kuliah (ingin) Jadi Penulis

  • Uploaded by: Herman RN
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tanpa Kuliah (ingin) Jadi Penulis as PDF for free.

More details

  • Words: 1,159
  • Pages: 4
Tanpa Kuliah, Ingin Jadi Penulis Oleh Herman RN “Kami nanti disuruh menulis juga ya? Jangan payah-payah kalilah, Pak, kami SD aja ga tamat!” Itu pertanyaan sekaligus permintaan yang pertama sekali saya dengar dalam pelatihan menulis bagi masyarakat awam dari berbagai daerah pada 11 Juni 2009 kemarin. Mungkin pertanyaan itu takkan saya anggap aneh jika ditanyakan oleh anak-anak sekolah dasar (SD). Namun, mereka yang mengikuti pelatihan itu sudah sangat dewasa. Jumlah mereka 20-an dengan usia rata-rata 18 sampai dengan 30 tahun. Seperti pengakuan salah seorangnya, mereka yang sedang mengikuti pelatihan menulis itu bukan mahasiswa meskipun usianya sudah selayaknya menduduki bangku kuliah. Bahkan, di antara mereka adalah orang yang putus sekolah sejak di bangku SD, ada juga yang hanya menamatkan SD dan berhenti tanpa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Luar biasa! Tentunya ini ungkapan takjub dalam hati saya mendengar pengakuan latar belakang mereka. Betapa tidak, kendati hanya mampu mengenyam bangku SD, nyali mereka untuk menjadi penulis yang tulisannya layak publikasi sangat besar. Di antara mereka ada pula yang menyampaikan cita-citanya ingin menulis melebihi tulisan sarjana (mungkin dalam benaknya saat itu, orang yang sarjana memiliki kemampuan menulis yang sangat handal). Jika cita-cita luhur ini terkabul, niscaya Aceh akan meraih kegemilangannya dari dunia tulis-baca sekitar dua puluh tahun ke depan. Hal ini tentunya membutuhkan sokongan dan dukungan dari semua, termasuk pemerintah. Saya berpendapat sekaligus bermimpi demikian karena melihat proses latihan yang diikuti oleh remaja-remaja gampông tersebut berjalan seperti air. Kendati hanya bermodalkan bisa mengenal huruf-huruf alfabet, mereka mencoba merangkai kata membentuk kalimat dan menjadikannya sebuah wacana seperti mahirnya orang yang memang bekerja sebagai penulis. Para remaja yang 99 persennya adalah kaum Hawa itu menuliskan apa saja, yang mereka lihat, mereka rasakan, mereka dengar, dan mereka alami. Semua itu mereka pindahkan ke atas kertas menjadi sebuah tulisan, ada yang menulisnya dalam bentuk artikel opini dan esai, puisi, cerpen, bahkan tips. Di antara mereka adalah menuliskan pengalaman pribadi, ada juga yang menuliskan pengalaman orang lain seperti teman atau tetangganya. Ada pula yang hanya menuliskan alam sekitar tempat tinggalnya. Semua lintas kehidupan mereka jadikan sebuah tulisan, mulai dari yang sangat sederhana, yang mereka kenal, yang dekat dengan diri mereka. Ada tawa dalam tulisan mereka, ada air mata, ada

senyum, dan renungan. Yang paling mengesankan adalah keluguan dalam setiap kata yang mereka pilih membuat tulisan itu hidup dan ‘bernyawa’. Jika penulispenulis besar mencoba menulis dengan segala kemampuanya agar memberikan ungkapan-ungkapan kocak dan menyisipkan unsur lokal dalam tulisannya, mereka —para remaja dari gampông itu, yang tidak pernah menempuh bangku kuliah itu— menulis apa adanya tanpa paksaan untuk menyisipkan unsur lokal. Namun, unsur lokal tersebut timbul dengan sendirinya dalam setiap bahasa yang mereka tulis. Lokalitas dalam tulisan mereka hidup alami seperti mereka yang menulis dengan alami. Inilah yang menjadikan tulisan mereka seperti tidak dipaksakan untuk ‘melokal’ tetapi memiliki nilai lokalitas sendiri. Unsur lokal itu kadang hadir dalam kata-kata yang jarang saya temui di tulisan orang lain, misalnya klempong kletong. Ternyata kosa kata tersebut digunakan salah seorang dari mereka untuk menyatakan ‘kedai kelontong’. Saya menganggap wajar kosa kata itu hadir dalam tulisan mereka. Para remaja itu memang masyarakat biasa yang didatangkan dari berbagai daerah Aceh ke Banda Aceh; dari Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Besar. Akan tetapi, ada juga yang dari Banda Aceh. Adapun pelatihan menulis tersebut digelar oleh Center for Community Development & Education (CCDE). Mereka yang dilatih adalah orang-orang dari kelompok dampingan/binaan CCDE. Uniknya, di antara aorang-orang tersebut sebagiannya adalah orang-orang yang putus sekolah. Sungguh mengharukan. Mengaku Sulit Menulis Sebagai orang yang tidak pernah mendapat bimbingan menulis di bangku sekolah lanjutan apalagi bangku kuliah, tentunya perkara mengaku sulit memulai menulis menjadi kewajaran. Jangankan mereka para remaja itu, orang-orang yang sudah menpadatkan bimbingan menulis sekalipun atau bahkan orang yang sudah pernah menulis di media, pun masih mengalami kendala memulai menulis. Banyak yang mengaku bahwa menulis itu susah. Begitu juga dengan para remaja itu mulanya. Namun, anggapan ‘susah’ ini mulai mereka tinggalkan. Begitu pengakuan sebagian besar remaja tersebut saat saya tanya menjelang penutupan pelatihan. Mungkin terlalu berlebihan jika saya mengatakan bahwa mereka sudah bisa menulis. Akan tetapi, untuk standar pemula, saya berani mengatakan apa yang mereka tulis dan cara mereka menggali ide jauh dari sangkaan bahwa mereka adalah awam. Perkara ejaan memang masih banyak yang patut diperbaiki dan ini wajar karena rata-rata memang hanya sebatas SD. Namun, ide-ide yang mereka tuangkan ke dalam bentuk tulisan selama pelatihan itu, menurut saya, sangat “gila”. Cara penceritaannya pun “pungo”. Mereka membuat saya (yang juga masih awam ini) terenyuh saat membaca tulisan mereka, sesekali saya sempat merinding saat mendengar tulisannya mereka bacakan. Lihat saja di antara contoh kalimat pembuka mereka: (1) Akar yang saya tulis ini bukan akar dalam pelajaran

matematika, melainkan akar seni…., (2) Pada manusia ada penyakit, penyakit itu ada penyakit dalam ada juga penyakit luar… (redaksinya perlu diluruskan, mungkin), (3) tissu itu di tanah, bukan di meja selayaknya tissu-tissu lain. (4) Benda itu kutemukan di sebuah got. Bukankah cara mengawali tulisan mereka sangat menggugah? Selain itu, ada juga yang memulai tulisannya dengan bunyibunyian semisal suara klakson, suara musik, suara siul, suara handphone, dan lainlain. Saat itu saya sempat berpikir, kok tidak ada yang memulai tulisan dengan suara senjata? Mencari Ide Lantas, dari mana mereka mencari dan menggali ide? Di atas sudah disinggung sekilas tentang mendapatkan ide untuk menulis. Di sini pun, saya hendak mengatakan ide itu ada di “Alam”. Namun, ini sangat berarti bagi mereka, calon penulis itu. Mereka yang suka mendengar lagu, maka dari lagu yang mereka dengar itulah mereka menuliskan sesuatu, sesuatu yang kemudian disebut sebagai sebuah tulisan. Ide dasar sengaja mereka ambil dari berbagai lagu: ada yang mengambilnya dari lagu Saat Terakhir ST12 sehingga jadilah sebuah tulisan yang berkisah tentang saat terakhir menimba ilmu, ada yang mengambil ide dari lagu Hymne Guru sehingga jadilah tulisan tentang kehidupan guru di daerah terpencil (daerah mereka masing-masing mungkin) dalam menghadapi pengaruh globalisasi. Selanjutnya, ada yang mencoba mengambil ide dari cerita teman-teman sepelatihan. Mereka mencoba menulis ulang kembali cerita yang didengarnya dari teman-temannya, tentunya dengan mengembangkan ide dasar tersebut sehingga jadilah “cerita tulis”. Selain itu, mereka juga mengambil ide dari apa yang mereka temui di sekitarnya saat itu. Ada di antara mereka yang menemukan sehelai naleueng sambô, ada yang menemukan daun mangga, kelopak bunga, tangkai bunga, dan lain-lainnya yang mereka ambil dari alam sekitar. Dari benda-benda itu kemudian mereka mengembangkan ide tulisan. Imajinasi nakal berkeliar, imajinasi liar mengembang, imajinasi ‘jalang’ menggelegar. Maka benda yang tadinya sehelai daun berubah wujud menjadi bukan daun, benda yang tadinya hanya berupa kelopak bunga berubah menjadi lebih dari itu, benda yang tadinya hanya sehelai rumput berubah menjadi jarum dalam tulisan mereka. Ya, mereka menulis dengan penuh imajinasi yang menghanyutkan pembaca saat membaca tulisan tersebut. Begitulah rema-remaja dua puluh tahunan itu mengembangkan pikirannya dalam bentuk tulisan. Bahkan, di antara mereka ada masih berusia belasan. Mereka menulis tentang alam sekitar seperti alam yang menjadikan mereka tumbuh apa adanya untuk menuliskan apa saja dengan segala apa adanya meski belum sempat mengecap dunia pendidikan kampus. Semoga jadi penulis! Penulis, mahasiswa Pascasarjana Unsyiah

dan pegiat kebudayaan di Banda Aceh

Related Documents


More Documents from "H Masoed Abidin bin Zainal Abidin Jabbar"