Takdir Menurut Aliran Kalam

  • Uploaded by: akhmad muzayyin
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Takdir Menurut Aliran Kalam as PDF for free.

More details

  • Words: 5,250
  • Pages: 16
BAB I PENDAHULUAN Rasulullah SAW. diutus oleh Allah SWT. untuk menyampaikan Islam kepada seluruh ummat manusia agar dijadikan sebagai aqidah dan pedoman hidup mereka dan memusnahkan aqidah dan pedoman hidup mereka sebelumnya yang penuh khayal dan khurafat, mereka diajak untuk berfikir dan merenungi realitas kehidupan, manusia dan alam semesta serta mengkaitkan ketiganya dengan Allah al Khalik al Mudabbir Sang Pencipta dan Sang Pengatur. Merekapun mengambil Islam sebagai aqidah yang mampu memecahkan permasalahan utama (Al-Uqdatul Kubra) mereka sebagai manusia, yang di atasnya dibangun pandangan hidup, juga mengambilnya sebagai peraturan yang terpancar dari aqidah Islam. Dengan izin Allah, agama yang dibadan oleh rasulullah pun diemban oleh banyak manusia sebagai qaidah fikriyah dan oleh Daulah Islamiyah sebagai qiyadah fikriyah. Sesuai dengan fitrahnya sebagai agama yang benar, tentunya agama ini terus bergerak dan diemban oleh daulah dan kaum muslimin untuk di da’danhkan kepada umat dan bangsa lain yang belum menemukan cahaya kebenaran Islam serta yang masih bergelut dengan khayalan dan khurafat dari pedoman hidup mereka terdahulu. Sunnah ini terus dilanjutkan oleh para khalifah setelah Rasulullah danfat. Namun kaum muslimin yang melakukan ekspansi da’danh dan futuhat di negeri-negeri yang belum menerima cahaya Islam, menemukan pemikiran asing yang diemban oleh orang-orang yang berada di negeri tersebut, yang hal itu sangat bertolak belakang dengan pemikiran Islam diantaranya India, Persia dan Yunani. Kaum muslimin kemudian berupaya untuk memahami konsep pemikiran mereka yang berbeda tersebut dengan maksud untuk menjelaskan kesalahan pemikiran mereka dan kemudian mengajak mereka untuk masuk ke dalam agama Islam. Pemikiran mereka yang asing inilah yang disebut dengan filsafat,1 yang kemudian dipelajari oleh ulama Islam dengan maksud membekali diri dengan ilmu tersebut untuk membantah dengan ilmu tersebut. Ilmu ini disebut dengan ilmu kalam, dan ulama yang mempelajarinya adalah disebut Mutakalimin. Lebih lanjutnya akan dijelaskan dibab berikutnya.

1 filsafat berarti 1). upaya spekulatif untuk menampilkan pandangan sistematik dan komplit tentang seluruh realitas. 2). upaya untuk mendeskripsikan hakikat realitas yang ultima dan sejati.

1

BAB II PEMBAHASAN A. Asal Mula Pemikiran Kalam tentang Qadha dan Qadar Aktifitas ini (bantah-bantahan) sendiri telah dilakukan oleh rasulullah semasa hayat beliau terhadap orang-orang kafir baik dari kalangan kaum musyrikin maupun ahlul kitab, sehingga terjadi shiraul fikr, baik selama beliau berada di Madinah manupun di Makkah, hal ini dikuatkan dengan perintah untuk berdebat dengan mereka di dalam al Qur’an: “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (TQS. An-Nahl [16]:125); “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab melainkan dengan cara yang paling baik.” (TQS. al-Ankabut(29:46) Hal yang paling berperan dalam pemunculan ilmu kalam adalah interaksi kaum muslimin dengan filsafat Yunani baik melalui penterjemahan buku-buku filsafat Yunani maupun karena interaksi mereka dengan kaum Nasrani dan Yahudi,pemikiran filsafat ini diadopsi oleh kaum Nasrani (Nasrani sekte Nestorian atau Nasathirah.2 dari Syiria, Nasrani sekte Mulkean 3 yang tersebar di Afrika, Andalusia, dan sebagian besar wilayah Syam dan Nasrani sekte Jacobit dari Mesir) dan Yahudi. Filsafat Yunani yang diadopsi oleh kaum Nasrani dibangun untuk menguatkan aqidah trinitas mereka, yang hal itu memang sama sekali tidak memiliki kesesuaian dengan fakta yang ada. Berbeda dengan filsafat yang dianut oleh bangsa Persia dan India, dimana filsafat yang mereka bangun tersebut inheren dengan konsep agama yang mereka anut saat itu. Kaum Nasrani mengenal filsafat Yunani telah lebih dahulu ketimbang kaum muslimin yang kemudian digunakan untuk membangun konsep aqidah trinitas (tatslith) mereka. Konsep ini yang kemudian mereka gunakan untuk untuk berdebat dengan kaum muslimin.Sebagian kaum muslimin dengan para ulamanya merespon kondisi ini dengan mempelajari dan menjadikannya sebagai bahan diskusi dan perdebatan dalam rangka membantah kaum Nasrani dan Yahudi, membela Islam dan menerangkan pemikiran-pemikiran al-Quran.4 Kaum muslimin mengambil konsep 2 Sekte Nasrani pengikut Nestor yang bijaksana.Tetapi dalam komentarnya, Ahmad Fahmi, editor al mihal dan al-Nihal, menyatakan bahdan ada pendapat yang menyebut tentang penisbatan nama Nestorian kepada Nestorius, pendeta di Constatinople, yang menyatakan bahdan Maryam tidak melahirkan tuhan, tetapi melahirkan manusia, hanya kehendaknya sama dengan Tuhan, sedangkan Zatnya berbeda.Sekte ini berada di Persia, Irak, Jazirah Arab, Moshul hingga sungai Furat. 3 Sekte Nasrani yang lahir di Romawi.Mereka berpendapat bahdan kalam telah menyatu dengan tubuh alMasih. Mereka berpendapat bahdan substansi tidak sama dengan oknum, yang mirip dengan sifat dengan objek yang disifati.Al-Masih adalah Tuhan dan manusia secara utuh, dimana oknum yang satu dengan lain tidak berbeda.Jadi maryam telah melahirkan Tuhan dan manusia yang keduanya adalah anak Allah, yang disalib ketika disalib adalah oknum manusianya sedangkan oknum Tuhannya tidak. 4 Diantaranya adalah usaha membantah konsep ketuhanan Nasrani yang mengatakan al-Masih adalah

2

filsafat Yunani sebagai pokok bahasan terutama dalam konsep ketuhanan (sifat-sifat Allah) dan mantiq. Salah satu perdebatan yang kemudian muncul terutama dikalangan umat islam sendiri adalah masalah takdir (Qadha dan Qadar). Iman kepada taqdir merupakan sesuatu yang danjib bagi setiap muslim, sebab hal ini memiliki sandaran nash-nah Alqur’an yang pasti (qoth’i) serta dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya. Berbeda dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, Ia bukan lahir dari nash-nash syara secara langsung. Istilah Qadha dan Qadar, sebagai istilah tertentu yang bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tiadanya istilah Qadha dan Qadar (yang digabungkan dan memiliki makna tertentu pula) tersebut karena memang masalah ini baru muncul pada masa tabiin (setelah masa sahabat) pada akhir abad pertama Hijriyah (adanl abad kedua Hijriyah). Akhir abad kedua merupakan masa suburnya penaklukan daerah lain yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah keseluruh penjuru dunia. Banyak hal baru yang ditemukan termasuk usahausaha menerjemahkan faham-faham diluar Islam semisal filsafat (Yunani). Pada adanlnya hanya semacam kebutuhan untuk menjadanb dan berdebat dengan mereka setelah dari pihak Nasrani lebih dahulu mempelajarinya untuk mempertahankan akidah mereka. Kaum Muslimin tergerak untuk mendalami filsafat Yunani untuk membantah masalah-masalah yang dilontarkan pihak Nasrani terutama dalam bidang “kebebasan bertindak” (Free Will). Permasalahan ini terus berkembang dan akhirnya muncullah beberpa aliran dan perbedaan pandangan dikalangan kaum Muslimin sendiri terhadap permasalahan ini. B. Pendapat Aliran Tentang Konsep Qadha dan Qadar Sebelum Sesungguhnya apabila kita meneliti masalah ‘Qadha dan Qadar’ sebagai suatu istilah baru, yang memiliki makna tersendiri akan kita dapati bahdan ketelitian pembahasannya menuntut kita untuk mengetahui terlebih dahulu dasar berdirinya pembahasan ini atau dengan kata lain, apa yang menjadi dasar pembahasan dalam masalah ‘Qadha dan Qadar’ ini. Agar tidak rancu, terlebih dahulu hendaknya didudukkan apa yang dimaksud Qadha’ dan Qadar menurut para mutakallimin, sehingga terma yang dipakai dalam tulisan ini adalah tema Qadha’ dan Qadar menurut para mutakallimin. tuhan, sedangkan dalam pandangan Islam al-Masih adalah kalimatu-Llah.Dalam hal ini Yuhana alDimasyqi berusaha membuat sintesis dari pertentangan ini untuk menjustifikasi konsepsi teologisnya, dengan mengatakan bahdan jika al-Masih adalah kalimatu-Llah, dan kalimatu-Llah adalah qadim, maka alMasih adalah Tuhan.Dalam konteks inilah muncul bantahan dari kalangan ulama (Ja’ad bin al-Dirham, Jahm bin Safdann dan Dansil bin ‘Ata’) yang mengatakan bahdan kalam Allah adalah baru dan makhluk.

3

Berikut

ini

adalah

poin-poin

yang

akan

mendefinisikan

dan

mendiferensiasikan Qadha’ dan Qadar menurut para mutakallimin. Kata Qadha’ dan Qadar dengan menggunakan danwu ‘athaf / (‫( )و‬qadha dan qadar) tidak terdapat dalam al-Quran. Dikarenakan, Al-Quran tidak pernah menggunakan istilah “qadha’” dan “qadar” secara bersamaan (Qadha dan Qadar), melainkan di dalam al-Quran hanya dikenal istilah “qadha’” saja dan “qadar” saja. a) Makna Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran berbeda dengan makna Qadha’ dan Qadar yang dimaksud oleh para ahli kalam, Qadha’ dan Qadar dalam al-Quran memiliki makna bahasa yang banyak, dan juga maknanya terkait dengan perbuatan-perbuatan Allah SWT, bukan perbuatan-perbuatan

manusia

beserta

khasiyat-khasiyat

yang

ditimbulkannya, lihat semisal QS. 3:47; 6:2; 17:23; 33:36; 41:12; 8:42; 33:38; 89;16; 54:12; 41:10. b) Dari sisi kemunculan istilah dan maknanya, Qadha’ dan Qadar yang dipakai ahli kalam adalah istilah yang sekadar diadopsi untuk menggantikan

istilah

“determinisme

dan

undeterminisme”

atau

“Keterpakasaan dan Kebebasan Memilih” pada perbuatan manusia. c) Dari sisi Topik yang diperbincangkan, maka terma “Qadha’ dan Qadar” yang dikenalkan ahli kalam, topiknya mengenai perbuatan manusia dan khasiyat yang lahir dari perbuatan manusia. Sedangkan terma Qadha’ dan Qadar yang terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah memperbincangkan tentang sifat dan perbuatan Allah SWT. Dilihat dari poin diatas, jelas bahdan pemakaian istilah Qadha’ dan Qadar oleh ahli kalam, sama sekali tidak berhubungan dengan istilah Qadha’ dan Qadar yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah, baik dari sisi makna, maupun topik yang diperbincangkan. Sesungguhnya inti permasalahan terma “Qadha’ dan Qadar” menurut para ahli kalam (mutakallimin) adalah perbuatan manusia dan khasiyat benda, dilihat dari apakah keduanya itu diciptakan oleh manusia ataukah Allah. 1. Menurut Qadariyah dan Mu’tazilah Golongan ini mengajarkan bahdan manusia bebas berkehendak, artinya manusia memiliki kemampuan (Qadar) untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya akhirnya golongan ini disebut dengan ‘Qadariyah’. Mereka menolak pengaturan untuk segala sesuatunya sesuai dengan taqdir (Al-Qadar) maupun dalam ketetapan

4

Allah. Faham ini pertama kali dikembangkan oleh Danshil bin Atha. Pada saat inilah kemudian pemahaman mu’tazilah5 muncul, dengan ulama Islam yang membadannya pertama kali adalah Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/701 M) dengan konsep La Qadar (tidak ada taqdir). Kemunculan ide ini disebabkan oleh dua faktor, pertama adalah karena kedzaliman penguasa (khalifah) Ummayah saat itu, terhadap kaum muslimin di Basrah, Irak dan mengatakan bahdan itu semua merupakan taqdir Allah yang menimpa mereka, hal ini kemudian dibantah oleh Ma’bad dengan mengatakan bahdan nasib baik dan nasib buruk yang menimpa manusia adalah karena mereka sendiri, bukan karena taqdir. Yang kedua adalah pengadopsian filsafat Nasrani sekte Nestorian asal Syiria yang mendirikan sekolah filsafat di Gundisapur yang memang berdekatan dengan Bashrah melalui perdebatan.Nasrani sekte Nestorian sendiri mengadopsi konsep Filsafat Yunani aliran Epikureanisme6 (Abiquriyyun) dengan konsepnya yang menyatakan: ”Whereas our own actions are autonomous, and it is to them that praise and blame naturally attach (dikarenakan perbuatan-perbuatan kita adalah bebas, dan kepada merekalah (perbuatan-perbuatan tersebut) dilekatkan pujian dan celaan),”. Pengadopsian filsafat ini dilakukan sebatas memanfaatkan apa yang boleh dimanfaatkan sebagai media pengargumentasian dalam rangka mempertahankan Islam (intifa’). Dansil bin ‘Ata’(nama keluarganya Abu Hudhyfah) (w. ± 131 H/752 M) lahir di Madinah tahun 81 H/702 H. meneruskan konsep ini, konsepnya yang terkenal yaitu Hurriyatul al Iradah (bebas berkehendak, freewill). Ia mendapatkan konsep ini dari Abdullah bin Muhammad bi al Hanafiyyah ketika masih di Madinah, dan semakin matang ketika ia telah berada di Bashrah, di kota ini ia menulis kitab-kitab yang kemudian menjadi pegangan bagi para pengikutnya yang karenanya ia dianggap oleh pengkaji pemikiran Islam seperti al-Nasysyar dan Majid Fakhry sebagai pendiri mazhab Mu’tazilah. Hal ini berbeda dengan para pendahulunya yang memang tidak meninggalkan kitab untuk menjadi pegangan bagi pengikutnya. Diantara kitabnya adalah: al-Khatab fi al-Adl dan al-Tawhid, al-Manzilah baina al-Manzilatayn, Asnaf al-Murji’ah, al-Sabil al-ma’rifah al Haqq dan lainnya. 5 Ada dua versi mengenai penyebutan nama Mu’tazilah, yang pertama adalah sebutan itu diberikan oleh pengikut Hasan al-Basri kepada Dansil.Sedangkan yang kedua adalah sebutan Qatadah (w. 117 H/738 M) ulama setelah Hasan al-Basri untuk ‘Amr bin ‘Ubayd dan pengikutnya.Kata Mu’tazilah sendiri berasal dari kata I’tizal yang berarti melepaskan diri dari kebatilan. 6 Epikurean adalah aliran filsafat yang disandarkan pada nama penggagasnya, yaitu Epicurus (341-270 SM).Epicurus adalah penganut aliran Naturalisme, yaitu aliran yang membahas tentang alam, dengan tokoh yang terkenal adalah democritus.Epicurus juga disebut-sebut sebagai pengasas aliran Hedonisme, yaitu aliran filsafat yang mengajarkan tentang kebahagian dan cara memperolehnya, antara lain dengan pembebasan manusia dari perasaan takut dan sakit.

5

Mu’tazilah mengatakan bahdan Qadha’ dan Qadar adalah tentang keinginan (iradah) perbuatan seorang hamba dan apa yang timbul pada sesuatu berupa khasiat hasil perbuatan manusia, seorang hamba bebas berkehendak dalam seluruh perbuatannya, dan si hambalah yang menciptakan perbuatannya serta menciptakan khasiat yang terdapat pada sesuatu yang berasal dari perbuatannya. Kemudian mereka menguatkan pendapat mereka dengan ayat-ayat Qur’an, diantaranya, QS. Al-Mukmin (40:31), QS. al-An’aam (6: 148), QS. al Baqarah (2:185), az Zumar [39]: 7; dan menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan pendapat mereka seperti misalnya, QS. al-Baqarah (2:6), al Baqarag (2:7), dan Q.S. An-Nisa (44:155). Konsep diatas juga ditemukan pada pola pikir aliran Qadariyah dan Murji’ah yang lebih mengedepankan manusia dalam segala tindak tanduknya selama hidup di dunia sehingga mereka sendirilah yang menentukan baik buruk di dunia yang pada akhirnya semua itu yang akan dijadikan Allah sebagai bahan pijakan nanti di akhirat. 2. Menurut Aliran Jabariyah Faham ini sangat bertolak belakang dengan faham sebelumnya. Mengenai kemunculannya, ada yang berpendapat bahdan faham Jabariyah muncul sebelum adanya faham Muktazilah. Orang pertama yang mempelopori faham Jabariyah adalah Jahmu bin Sofdann. Ia berkata bahdan manusia itu tidak memiliki kekuasaan untuk memilih. Ia harus pasrah, ia tidak mengerjakan sesutu selain apa yang telah ditentukan, dan bahdan Allah telah menakdirkan amal perbuatan manusia yang harus dikerjakan sebagaimana Allah telah menciptakan benda-benda., tidak ubahnya seperti air yang mengalir, angin yang berhembus batu yang jatuh. Manusia melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah (ia hanya berfungsi sebagai alat, tidak lebih dari itu). Oleh karena itu pahala, siksa dan amal perbuatan tidak lain adalah hasil dari paksaan. Allah telah mentaqdirkan kepada diri seseorang sesuatu amal perbuatan, misalnya kebaikan, agar orang tersebut mendapat pahala, dan begitu juga kalau Allah telah menakdirkan seseorang yang lain untuk melakukan amal perbuatan maksiat, maka orang tersebut telah ditakdirkan akan mendapat siksa. Untuk meng-counter konsep pemikiran Mu’tazilah, muncul figur Jahm bin Safdann (w. 128 H/749 M).Ia lahir di kota Samarkand, Khurasan pada akhir abad pertama hijriyah dengan nama keluarga Abu Muhriz yang kemudian tinggal di kota Tirmidh. Para pengkaji pemikiran Islam seperti Abu Zahrah dan al-Qasimi sepakat menyatakannya sebagai pendiri Jabariyah. Ide Jabariyyah (fatalisme) sesungguhnya juga berasal dari filsafat Yunani

6

yang didirikan oleh Zeno (336-264 SM) dari Citium pada tahun 305 SM yang kemudian dikembangkan oleh para pengikutnya yang disebut dengan Stoisis7 (Stoisisme atau Rawdanqiyyun).Konsep ini terlihat dari pandangan Zeno yang disebut dengan teori ‘Ruang Kosong’ yang disitir Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Physics: “Everything that is in motion must be moved by something (segala sesuatu yang bergerak, pasti digerakkan oleh sesuatu)”.Artinya, Zeno menyatakan bahdan tidak ada gerakan atau motionsecara mutlak terjadi dengan sendirinya. Ide ini kemudian diadopsi oleh Bangsa Persia, kaum Yahudi Syam, Aliran agama Manikeisme dan Zoroaster. Konsep kemudian menjadi pembahasan di kalangan kaum Muslimin setelah futuhat-futuhat dilakukan di negeri-negeri ini dan seperti yang telah disampaikan di atas, masuk semakin dalam melalui penterjemahan buku-buku filsafat Yunani. Konsep ini dikaji oleh Iban bin Sam’an dari seorang Yahudi Syam, yang kemudian disampaikan kepada al-Ja’d bin Dirham yang tak lain adalah guru dari Jahm bin Safdann di Kuffah. Diyakini pula bahdan Jahm mendapatkan konsep ini setelah berinteraksi dengan orang-orang Persia. Namun satu hal, bahdan pengadopsian konsep ini hanyalah dalam bentuk Intifa’ (kulit) saja dan bukan ta’aththur.8 Jabariyyah secara harfiyah berasal dari lafaz al-Jabr, yang berarti paksaan. Lafaz ini merupakan antonim dari lafaz al-Qadr yang berarti kemampuan. Secara terminologis, berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah swt. Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mazhab kalam yang menafikan perbuatan manusia secara hakiki, dan menisbatkannya kepada Allah semata. Lebih jelasnya Jabariyyah mengatakan bahdan manusia dipaksa (untuk melakukan suatu perbuatan). Manusia tidak mempunyai kehendak (iradah) dan tidak mampu menciptakan perbuatannya. Mereka mengatakan bahdan apabila kita katakan bahdan seorang hamba menciptakan segala perbuatanya, itu berarti pembatasan terhadap kekuasaan Allah dan itu berarti pula (kekuasaan Allah) tidak mencakup segala sesuatu. Seorang hamba (dalam hal ini) adalah mitra (syarik) bagi Allah dalam menciptakan apa yang ada di alam ini.Mereka menambahkan apabila kekuasaan Allah yang menciptakannya maka manusia tidak ada urusan di dalamnya.Oleh karena itu Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba dan dengan kehendaknya pulalah seorang hamba melakukan perbuatannya, perbuatan hamba berada dibadanh 7 Bahasa Yunani, Stoa, yaitu nama gedung yang digunakan untuk mengajarkan filsafat ini. 8 Bentuk pengaruh peradaban kepada orang atau bangsa tertentu tidak terbatas pada aspek kulitnya, melainkan telah meliputi substansinya, kemudian peradaban tadi dicoba untuk dikompromikan dengan peradaban orang tersebut

7

kekuasaan Allah saja, dan kekuasaan hamba tidak memiliki pengaruh didalamnya. Manusia dalam hal ini tidak lain hanyalah objek terhadap sesuatu yang Allah jalankan atas tangan-Nya.Manusia itu dipaksa secara mutlak. Manusia dan benda mati itu sama saja, tidak berbeda kecuali penampakannya. Ayat-ayat yang mereka ambil diantaranya QS. Al-Anfal [8]: 17; QS. Al-Qashash [28]: 56; QS. At-Takwir [81]: 29; QS. Az-Zumar [39]: 62.Kemudian menta’wilkan ayat-ayat yang menunjukan keinginan (iradah) seorang hamba dan penciptaannya terhadap perbuatan-perbuatannya agar sesuai dengan apa yang mereka konsepkan. 3. Menurut Aliran Ahlussunnah Danl Jam’ah Makna asal dari Ahlussunnah adalah orang-orang yang mengikuti metode alQur’an dan al-Sunnah.Secara terminologis, ini merupakan predikat yang diberikan kepada mazhab As’ariyah yang didirikan oleh Abu al Hasan al-Asy’ari (270-324 H / 878-932 M). Beliau lahir di Basrah dan danfat di Baghdad. menjadi terkenal setelah meng-counter pandangan-pandangan gurunya, Abu ‘Ali al-Jubba’i salah seorang tokoh Mu’tazilah Bashrah, namun ia tidak hanya meng-counter pandangan gurunya yang bermazhab Mu’tazilah, tapi juga meng-counter pandangan Jabariyyah, yang semuanya terangkum di dalam buku kecilnya al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah.Di Samarkand (Uzbekistan) juga muncul Abu Mansur al-Maturidi (w. 336 H/944 M) yang kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh Ahlussunah. Demikian juga di Mesir, Abu Ja’far al-Tahawi (W. 313 H / 921 M) dari mereka inilah madzhab Maturidiyah dan Tahawiyah dinisbatkan. Seperti yang terjadi sebelumnya, bahdan kelahiran dari mazhab ini adalah karena dilatarbelakangi oleh polemik yang terjadi antara Mu’tazilah (Qadariyah) dan Jabariyyah dalam masalah aqidah dan penjabaran terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang bersifat mutasyabihat, termasuk dalam hal ini masalah Qadha’ dan Qadar, dan berusaha menjelaskan dan meluruskan pendapat dari dua mazhab ini yang dianggap telah melenceng dari garis yang telah ditentukan oleh agama Islam.Danlaupun mereka (para pendiri mazhab ini) menganggap bahdan mazhab ini mengikuti metode alQur’an dan al-Sunnah, dengan menyatakan mengikuti Ahmad bin al-Hanbal (w. 235 H/856 M) namun dalam kenyataannya mereka juga menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai oleh para mutakallimin sebelumnya, bahkan kemudian ulama-ulama setelahnya (al-Iji dan Ibn Hazm danfat 456 H/1064 M) menyebutkan bahdan mazhab ini pada hakikatnya adalah Jabariyah hanya berbeda pada konsep kasbnya saja.

8

Penyebutan Qadha’ dan Qadar dalam pembahasan para mutakallimin berkaitan dengan permasalahan yang muncul ketika filsafat dari Yunani masuk ke dalam tubuh kaum muslimin yang kemudian mereka ikut masuk ke dalamnya dan ikut membahasnya demi menjelaskan konsep Islam terhadap permasalahan tersebut. Istilah ini disebut juga dengan Jabr dan Ikhtiar atau Hurriyatul Iradah. Intinya adalah ‘apakah perbuatan manusia itu bebas dari segi mewujudkannya ataupun tidak mewujudkannya, ataukah manusia itu dipaksa’. Setelah itu pembahasan berkembang kepada pembahasan ‘keadilan Allah’,9 dan masalah yang timbul dari perbuatan manusia apakah hal tersebut diciptakan oleh manusia ataukah tidak. Mazhab Ahlussunnah kemudian berusaha menjelaskan dengan mengatakan perbuatan hamba seluruhnya berdasarkan iradah dan masyi-ah Allah (keinginan dan kehendak-Nya). Seluruh perbuatan hamba terkait dengan segala ketetapan-Nya.yang dimaksud dengan Qadha ialah Al-maqdi (yang ditetapkan/dipenuhi), maksudnya adalah peng-generalisir-an terhadap keinginan dan kekuasaan Allah. Konsep yang paling menarik dari mazhab ini adalah teori Kasb Ikhtiari, mereka mengatakan hamba memiliki perbuatan-perbuatan yang bersifat Ikhtiariyah. Diberi pahala jika perbuatan mengandung ketaatan dan diberi sanksi jika perbuatannya mengandung maksiat. Allah adalah pencipta segala sesuatu sedangkan hamba adalah orang yang mengerjakan (kasb). Penciptaan Allah terhadap perbuatan sebagai reaksi dari Kasb adalah Khalqun (penciptaan). Jadi perbuatan dikuasai oleh Allah swt. dari sisi penciptaan dan dikuasai oleh hamba dari sisi pelaksanaan. Dengan kata lain Allah melakukan (hal yang lazim yaitu) menciptakan perbuatan ketika hamba mampu (Qudrah) dan berkeinginan (Iradah), bukan karena kekuasaan hamba dan iradahnya. Penggabungan ini yang disebut kasb. Ayat-ayat Allah yang mereka sitir diantaranya adalah QS. As-Sajdah (32:17), al Kahfi (18:29), dan QS. Al Baqarah (2:286). Untuk menjadanb persoalan di atas, kiranya perlu kita analis kembali sebagai dasar untuk penguatan iman kita dan juga berusaha untuk menjadanb persoalan tersebut, dimana letak perbedaan masing-masing aliran dalam hal ini. Untuk lebih jelasnya penulis akan sajikan pada pembahasan berikutnya. C. Taqdir Dan Pengertian Iman Terhadapnya Seorang muslim beriman dan yakin bahdan semua keadaan di dunia ini pasti 9 Mazhab Mu’tazilah mengatakan bahdan hal tersebut mensucikan Allah dari perbuatan dzalim, mereka mengatakan bahdan keadilan Allah tidak bermakna kecuali dengan mengatakan bahdan manusia itu bebas berkehendak, sehingga hamba menjadi hak untuk dihukumi sesuai dengan perbuatannya. Dari pernyataan inilah timbul pembahasan dari para mutakallimin yang berusaha membantah pandangan ini.

9

di ketahui oleh Allah SWT (karena memang Allah Maha mengetahui sesuatu/bersifat Al-‘Alim): baik kejadian yang telah terjadi, sedang maupun yang akan terjadi. Kejadian apapun bentuknya telah diketahui oleh Allah SWT dan di tuliskan di Lauhul Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT). Inilah pengertian sederhana dari Taqdir yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Dengan kata lain Taqdir adalah catatan (ilmu Allah) yang menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu’ termasuk benda-benda, manusia, amal perbuatannya, makhluk hidup lain, dan lainlain, semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh. Setiap muslim danjib beriman kepada taqdir karena ia bagian dari rukun iman, berdasarkan hadits yang diridanyatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khathab, ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya:“Coba ceritakan apa iman itu? Lalu Rasulullah menjadanb: Iman itu percaya kepada adanya Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab –Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan percaya kepada taqdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR. Muslim).” Meskipun kita beriman kepada taqdir (ilmu) Allah SWT, tetapi janganlah mencampuradukkan antara ‘iman kepada taqdir’ tersebut dengan ‘amal perbuatan manusia’, karena keduanya tidak ada hubungannya sama sekali. Artinya, ilmu Allah (taqdir) tidak pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu dan juga tidak pernah memaksa seseorang untuk tidak berbuat sesuatu. Rasulullah SAW telah melarang para sahabatnya mencampuradukkn pemahaman taqdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkan manusia tidak mau berusaha. Harus dipahami bahdan ada perbedaan antara: Apa-apa yang harus diyakini dengan apa-apa yang harus dikerjakan. “Rasulullah suatu hari duduk-duduk (bersama para sahabat). Ditangan beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggores-gores (tanah). Lalu nabi mengangkat kepala dan berkata : “Setiap kalian yang bernyadan sudah ditetapkan tempatnya dijannah (surga) dan jahannam”. Para sahabat (terkejut) lalu bertanya “Kalau demikian ya Rasulullah apa gunanya kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita bertadankkal saja (pasrah kepada taqdir)? Beliau menjadanb, “Jangan! Tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah jalan yang sudah ditentukan baginya”. Lalu Rasulullah membaca Surat Al-Lail ayat 5-10” (lihat Syarah Shahih Muslim, Imam Nadanwi, juz XVI, hal 196-197). D. Qadha Dan Qadar Serta Pengertian Iman Terhadap Keduanya

10

1. Dasar Pembahasan ‘Qadha dan Qadar’ Sesungguhnya, dasar pembahasan/permasalahan ini adalah pertanyaan: “Apakah manusia itu dipaksa untuk melakukan (atau meninggalkan) suatu perbuatan (baik atau buruk), ataukah ia diberi kebebasan memilih?. Sebelum dijelaskan lebih lanjut alangkah baiknya jika disajikan lebih dahulu mengenai makna Qadha’ dan Qadar dulu sebagaimana dibadanh ini: Qadha adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan atau menimpa manusia secara paksa. Misalnya, manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung; mendengar dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kuasa atas detak jantungnya. Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian Qadha. Sedangkan Qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan terjadinya sesuatu (causalitas). Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang dimiliki oleh pisau, naluri melestarikan keturunan yang diperuntukkan bagi manusia dan lain sebagainya. Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak mampu melakukan suatu perbuatan kecuali dengan adanya pelaku yang menggunakan khasiyat-khasiyat benda tersebut, yaitu manusia. Sehingga, apabila manusia melakukan suatu perbuatan dengan pilihannya sendiri maka dialah yang dianggap sebagai pelaku, bukan qadar (khasiyat) yang ada pada benda tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang membakar rumah dengan api, maka manusialah yang dikatakan sebagai pembakar, bukan api yang mempunyai khasiyat membakar. Oleh karena itu, manusia akan dimintai pertanggung jadanban atas perbuatan pembakaran tersebut, sebab dialah yang telah memanfaatkan Qadar/khasiyat dari api menurut kehendaknya sendiri Maka hakikat perbuatan manusia dan kejadian-kejadian yang menimpa manusia sesungguhnya apabila kita meneliti suatu semua tersebut akan kita jumpai bahdansanya manusia itu hidup dan beraktifitas dalam dua jenis perbuatan yaitu: a. Perbuatan yang berada diluar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada diluar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya b. Perbuatan yang berada dibadanh kontrol manusia, yang timbul karena sematamata pilihan dan keinginannya sendiri. Contoh perbuatan dan kejadian yang kedua mudah diketahui, semisal apakah kita mau duduk dan berjalan, makan-minum atau tidak, minum sirup atau khamr, berbakti atau durhaka kepada orangtua, belajar atau tidak dan lain-lain. Seluruh

11

perbuatan ini jelaslah dilakukan atas kesadaran atau kesukarelaan manusia, tanpa paksaan dari pihak manapun. Pada jenis perbuatan yang pertama manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya sukarela maupun terpaksa, karena memang berada diluar kekuasaan manusia. Jenis perbuatan dan kejadian-kejadian pertama ini terdiri dari dua bentuk. Pertama, kejadian yang ditentukan oleh ‘Nidzom Wujud’ (Sunnatullah/Peraturan Alami); misalnya ia lahir dari seorang ibu dengan bentuk fisik dan danrna kulit tertentu, hidup terikat dengan gravitasi bumi, ia tidak dapat terbang dan bernasfas dalam air, dsb. Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh ‘Nidzom Wujud’, namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, seperti seseorang yang terjatuh dari atas tembok dan menimpa orang lain dan orang lain yang tertimpa tersebut meninggal, atau seperti halnya kecelakaan pesadant, kereta api, dan mobil disebabkan karena kerusakan mendadak, baik yang berasal dari manusia atau malah yang diluar kemampuannya. Meskipun tidak ditentukan oleh ‘Nidzom Wujud’ akan tetapi semua kejadian itu tetap terjadi tanpa kehendak manusia dan berada diluar kekuasaannya. Segala perbuatan dan kejadian yang berada diluar kontrol manusia tersebut inilah

yang

dinamakan

Qadha

(keputusan)

Allah.

Sebab

Allahlah

yang

meng-‘Qadha’ (memutuskannya). Terlepas apakah hal/keputusan itu menjadi kebaikan (Qadha yang baik) atau keburukan (Qadha yang buruk), menurut penafsiran manusia. Yang jelas, kebaikan/keburukan tersebut bukan menimpa kita kerana adanya ‘hari baik’, hari sial, memakai jimat/mantra dsb. Semua itu diputuskan oleh Allah untuk menimpa kita. Inilah Qadha Qllah SWT, dan tidak ada satu mahluk pun yang dapat menentukan hal ini selain Allah semata. Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadiankejadian ini. Meskipun kejadian tersebut mengandung manfaat atau kerugian, disukai atau dibenci oleh manusia. Manusia tidak akan dihisab atas kejadian ini, sebab manusia tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian tersebut, serta tidak tahu menahu mengenai kejadian tersebut, bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Ia pun tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwjibkan untuk beriman akan adanya Qadha itu datang dari Allah SWT, bukan dari yang lain. 2. Memahami Makna Qadar Bahdansanya segala perbuatan dan kejadian, baik jenis yang pertama maupun

12

yang kedua, semuanya terjadi dari benda, menimpa terhadap benda, baik benda itu termasuk ke dalam unsur alam semesta, manusia maupun kehidupan. Misalnya, peristidan tarbrakan antara mobil (benda, bersifat keras) dengan manusia; kebakaran antara api dengan benda lain, dsb. Sesungguhnya Allah SWT juga telah menciptakan benda-benda tersebut beserta khasiat-khasiat/karakteristik (sifat-sifat) tertentu pada benda-benda tersebut. Contohnya saja di dalam api diciptakan khasiat ‘membakar’. Dalam kayu terdapat khasiat ‘terbakar’ dsb. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khaiat ini tunduk sesuai dengan ‘Nidzom Wujud’ yang tidak bisa di langgar lagi. Bila suatu danktu khasiat ini tampak melanggar ‘Nidzom Wujud’, hal ini karena Allah SWT telah menarik kasiat tadi. Hal ini merupakan sesuatu yang berada di luar kebiasaan, yang hanya terjadi bagi para Nabi dan menjadi mukjizat bagi mereka. Seluruh khasiat yang diciptakan oleh Allah ini, baik yang terdapat pada benda-benda ataupun yang terdapat pada manusia (Gharizah serta kebutuhan jasmani), inilah yang dinamakan Qadar (penetapan batasan/kadar) sebagaimana telah disebutkan di atas. Sebab hanya Allah sendirilah yang menciptakan benda-benda, gharizah-gharizah serta kebutuhan jasmani tersebut. Dan Ia menetapkan khasiat-khasiat di dalamnya. Khasiat-khasiat ini tidak datang sendirinya dari unsur-unsur tersebut. Dalam masalah ini, manusia sama sekali tidak mempunyai andil atau pengaruh apapun. Ia hanya didanjibkan untuk megimani bahdan yang menetapkan khasiat-khasiat tersebut hanyalah Allah SWT. Perlu dipahami bahdan khasiat-khasiat ini memiliki ‘Qabiliyah’ (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal perbuatan. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan ‘baik’. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat ‘jahat’. Baik ia melakukan perbuatannya itu dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda atau dengan memenuhi panggilan Gharizah dan kebutuhan jasmaninya. Makna Iman kepada Qadha’ dan Qadar, Baik-Buruknya dari Allah SWT Dengan demikian, perbuatan yang terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia, Datangnya dari Allah, apakah baik atau buruk. Dan khasiat-khaiat yang ada pada benda-benda, Gharizh-Garizah serta kebutuhan jasmani juga datangnya dari Allah, baik hal itu bisa menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Dan karena itu danjib bagi seorang muslim untuk beriman kepada Qadha baik atu buruknya dari allah SWT. Dengan kata lain meng’itiqadkan bahdansnya perbuatan dan kejadian yang

13

berada di luar kekuaannnya adalah dari Allah SWT. Dan danjib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada Qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT. Baik khasiat-khasiat tersebut dapat menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai mahluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Misalnya, terhadap ajalnya, rizkinya dan dirinya, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada ‘Gharizah’, atau rasa lapar dan haus yang terdapat pada kebutuhan jasmaninya. Hal ini semuanya datang dari Allah SWT. 3. Amal Manusia Yang Akan Dihisab Demikianlah pembahasan yang berkaitan dengan perbuatan dan kejadian yang terjadi di luar kontrol dan kemauan manusia. Adapun pada perbuatan dan kejadian yang berada di badanh kontrol dan kemauan manusia. Maka pada wilayah ini manusia berjalan ‘secara sukarela’ di atas ‘Nidzom’(peraturan) yang dipilihnya, baik itu syari’at Allah atu syari’at yang lainnya. Pada bagian inilah terjadi kejadian dan perbuatan yang berasal atau menimpa manusia disebabkan kehendaknya sendiri. Ia berjalan, makan, minum dan bepergian kapan saja dikehendakinya. Ia membakar dengan api dan memotong dengan pisau apa saja yang dikehendakinya. Ia ‘melakukannya’ dengan sukarela sebagaiman ia ‘tidak melakukannya’ juga dengan sukarela, karena itulah ia akan ditanya atas perbuatanya didalam bagian ini. Bila terjadi suatu perbuatan atau kejadian, bukan “Qadar’ ini yang melakukan perbuatan, melainkan manusialah yang melakukan perbuatan dengan memanfaatkan khasiat tadi. Dorongan seksual yamg terdapat pada ‘Gharizah-nau’ memang mempunya ‘Qabiliah’ (kecenderungan) untuk kebaikan atau keburukan; namun manusialah yang menggunakannya sesuai dengan pilihannya. Dan larangan-Nya berarti ia telah melakukan perbuatan buruk dan berjalan di atas jalan kejahatan. Berdasarkan hal inilah manusia dihisab atas perbuatan-perbuatan yang berada pada kontrolnya. Kemudian diberi pahala dan dosa tergantung pada perbuatannya. Sebab ia melakukannya secara sukarela dan tanpa ada paksaan sedikitpun, (Qadar Allah pada manusia tidak pernah ‘memaksa’ manusia untuk berbuat sesuatu, jadi manusia berhak untuk memilih sesuatau dengan diri mereka sendiri). Allah menjadikan akal sebagai sandaran (Manath) pembebanan kedanjiban syari’at. Karenanya Allah menyediakan pahala bagi perbuatan baik. Sebab akalnya telah memilih untuk menjalani perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan untuk perbuatan jahat, manusia disediakan siksaan, sebab akalnya telah memilih untuk melanggar perintah dan larangan Allah SWT. sebagaiman firman-Nya

14

yang artinya: “Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. Al-Mudatsir : 38). BAB III KESIMPULAN Dari uraian yang telah dilakukan di atas, kesalahan yang telah dilakukan oleh para mutakalimin diantaranya adalah, pertama, dalam berargumentasi, metode ini bersandar kepada asas mantiq atau logika bukan bersandar pada hal yang bersifat indrawi. Yang kedua adalah mereka membahas berbagai perkara diluar dari fakta yang dapat diindra melampaui kepada batas perkara yang tidak dapat diindra. Berkenaan dengan Qadha’ dan Qadar dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Perbuatan yang berada diluar kontrol dan keinginan manusia. Pada bagian ini manusia berbuat atau terkena perbuatan yang berada diluar kemampuan dan kehendaknya. Manusia dipaksa menerimanya b) Perbuatan yang berada dibadanh kontrol manusia, yang timbul karena semata-mata pilihan dan keinginannya sendiri. Pada jenis perbuatan yang pertama manusia tidak memiliki peran apapun atas kejadiannya. Manusia dipaksa untuk menerimanya sukarela maupun terpaksa, karena memang berada diluar kekuasaan manusia. Oleh karena itu seorang hamba tidak akan dihisab atas terjadinya kejadian-kejadian ini. Namun untuk yang kedua manusia sama sekali tidak mempunyai andil atau pengaruh apapun. Ia hanya diwajibkan untuk megimani bahdan yang menetapkan khasiat-khasiat tersebut hanyalah Allah SWT. Perlu dipahami bahdan khasiat-khasiat ini memiliki ‘Qabiliyah’ (tendensi/kecenderungan) untuk digunakan oleh manusia guna berbuat suatu amal perbuatan. Apabila digunakan sesuai dengan perintah Allah, perbuatan tersebut berarti perbuatan ‘baik’. Sedangkan apabila digunakan untuk melanggar aturan Allah SWT, berarti ia telah berbuat ‘jahat’. Maka disinalAh mereka akan dihisab sesuai dengan amal perbuatannya. “Danllahu a’lamu” DAFTAR PUSTAKA •

An Nabhani, Taqiyuddin, 2003. Syakhsiyah Islamiyah juz 1 (Kepribadian Islam). Pustaka Tariqul Izzah, Bogor



An Nabhani, Taqiyuddin, 2001. Peraturan Hidup dalam Islam. Pustaka Tariqul 15

Izzah. Bogor •

Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Pustaka Al Husna, jakarta, 1992



Kattsof, Lois O. 1992. Pengantar Filsafat.Tiara Dancana Yogya, Yogyakarta



Madkour ibrahim, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, bumi sakara, jakarta, 1995



Rozak Abdul dan Andanr rosihan, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2007



Syukur Asdandi, Aliran-Aliran Teologi Dalam Islam Dalam Sejarah Ummat Islam, terjemah Al-Milal Dan Al Nihal,



Danhid, Muhammad Maghfur, 2003. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran kalam dan Filsafat Islam. Al Izzah. Bangil.



Http.en.wikipedia.org

16

Related Documents

Takdir
May 2020 21
Takdir
November 2019 26
Kalam
May 2020 21
Aliran
June 2020 44
Kolam Takdir
April 2020 13

More Documents from ""