Kolam Takdir

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kolam Takdir as PDF for free.

More details

  • Words: 712
  • Pages: 5
Kolam Takdir By

Akina

1

______

Desir angin malam membuatku terbangun, membuat semak-semak disekitar kolam tempatku berenang bergemerisik resah. Aku menatap bulan besar diatas kubah hitam malam penuh cahaya bintang. Adakah sesuatu yang tengah membuat alam sekitar kolamku menjadi bergairah seperti ini? Batinku.

Bunyi gemerisik itu semakin keras, kemudian dua tangan kokoh menyibakkan semaksemak, membuatku nyaris terperanjat. Mataku membelalak lebar, begitu juga matanya. Seorang pemuda tampan, rambutnya berwarna coklat memiliki mata hijau emerald yang indah, membentuk tatapan terkejut yang anggun. Tubuhnya dibalut pakaian putih. Sangat putih.

“Oh, kupikir aku menemukannya. Ternyata hanya seekor angsa,” katanya, terdengar kecewa. Suaranya mengingatkanku pada suara genta angin, indah.

Aku memutar tubuhku. Tidak ada gunanya hanya berada di tempat ini. Dia tidak mencariku, tidak ada urusannya denganku. Sebaiknya aku menyingkir.

“H-Hei tunggu,” Pemuda itu mengulurkan tangannya, mencoba meraihku. Tapi kemudian dia kehilangan keseimbangannya dan terjatuh. Dia tertawa. Menertawai kebodohannya dan menatapku. “Untung airnya tidak dalam. Sejujurnya aku benci air.”

Dia berbicara kepadaku? Aku berenang mendekatinya, dan meletakkan kepalaku di bahunya yang lebar sebagai tanda ketetarikanku padanya.

“Kau angsa yang manis,” katanya tersenyum mengelus kepalaku. “Aku mencari Dewi Takdir, apa kau tahu?”

Aku menatapnya lekat-lekat. Diam dan lama.

2

Pemuda itu kembali tersenyum. “Kupikir kau menjawab tidak, bukan begitu?”

---

Aku menghabiskan waktu-waktuku di kolam ini. Mengarungi air dangkalnya yang berkilauan tertimpa cahaya bulan dan menikmati angin malamnya yang berdesir halus meniup bulu-bulu putihku.

Kemudian pemuda itu datang padaku. Pemuda? Bukan. Dia bukanlah sekadar pemuda, dialah Loki, Sang Dewa Jahat. Tapi berkali-kali aku mencoba melihat dari matanya, aku tidak pernah menemukan kata jahat. Mata itu selalu hijau, menampilkan kilau-kilau penuh kenangan yang indah.

Loki datang setiap malamnya, ditandai oleh bunyi gemerisik semak-semak kolamku dan kemunculannya yang selalu membuatku terpesona. Berkali-kali dia mengatakan padaku dia mencari Dewi Takdir, perempuan penjaga kolam Takdir ini, kolam tempatku berenang. Berkali-kali pula aku menatapnya lekat-lekat, berusaha mengatakan hal yang sama seperti malam pertama kami berjumpa.

“Apa yang kau risaukan?”

Suara itu bergaung dalam kepalaku. Suara ayah yang begitu kukasihi.

“Kau ingin menanggalkan sayap-sayapmu?”

Aku menengadah, menatap bulan besar yang terang. Cahaya keperakannya menerpa bulu-bulu putihku. Perasaan-perasaan asing itu membuncah dalam dadaku. Nyeri, rindu, dan sesal. Aku tak mengerti sepenuhnya, namun aku tahu jawaban apa yang akan kuutarakan pada ayah.

Ya ayah. Aku ingin menolongnya.

3

Hening, kemudian ayah berkata, “Baiklah.”

Air di kolam Takdir itu berputar perlahan, menutupi tubuhku bagai selubung. Sensasi dingin masuk melalui bulu-bulu putihku. Menyentuh aliran darahku, seolah membentuknya menjadi bentuk yang baru. Bentuk yang begitu sering kudambakan.

Selubung air di kolam Takdir itu pecah bersamaan dengan menghamburnya bulu-bulu putihku. Seolah-olah aku menjadi baru. Aku membuka mataku perlahan, kemudian menunduk menatap air kolam Takdir.

Mata kecoklatan milik seorang perempuan berambut pirang balas menatapku. Itulah aku. Bukan sebagai angsa, tapi aku sebagai seorang dewi Takdir. Aku tahu itu bahkan sebelum benar-benar mengerti apa yang terjadi pada rupaku. Aku tersenyum, memekik girang.

“Urd, Dewi masa lalu, itulah namamu. Bersamaan dengan Verdandi, roda penggerak masa kini dan Skuld, mata masa depan, kalian bertiga dipanggil Norn.”

Suara ayah terdengar lagi, seolah menegurku pelan. Di kanan kiriku, dua perempuan lain muncul dengan cara yang serupa denganku. Selubung air kolam Takdir memecah keheningan yang menyesakkan dada.

“Kau mengerti apa yang kau pilih, Urd? Beban-beban kedua sayapmu telah kulepaskan, sebagai gantinya kau harus memintal benang hidup. Dewa, manusia, dan makhlukmakhluk yang kuciptakan.”

“Aku mengerti, ayah...” bisikku perlahan.

---

4

Bunyi gemerisik semak-semak kolam Takdir membangkitkan gelenyar gairahku. Itulah tandanya, Loki Sang Dewa Jahat, mata hijau emerald yang begitu kudambakan, datang.

Aku memulas senyumku yang terbaik. Kedua adikku berada di sisi kolam yang lain, menungguku dengan kikik geli mereka. Bagi mereka tindakanku bodoh. Tapi aku tidak peduli. Meskipun kami satu, tapi mereka bukanlah aku. Diriku yang sekarang terbebas dari sayap-sayap itu dan akhirnya bisa memulas senyum bahagia yang sama pada Loki.

Mata hijau emerald Loki membelalak lebar menatapku dengan penuh keterkejutan, nyaris sama ketika aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali dalam wujud angsa. Dia terpaku, menatap tubuhku, wajahku, kedua mataku.

“Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?” tanyanya, mengerutkan kening.

Aku menundukkan kepala dan tersenyum. “Aku Urd, Dewi Masa Lalu, Norn bagi mereka yang mempercayai tenunan benang kehidupan, dan penunggu kolam Takdir ini,” kataku. “Apakah kau yang mencariku selama ini?”

Loki menatapku hangat. “Tidak,” bisiknya kemudian menatap bulan dan cahaya peraknya. “Aku mencari angsa berbulu putih itu.”

5

Related Documents

Kolam Takdir
April 2020 13
Takdir
May 2020 21
Takdir
November 2019 26
Kolam
August 2019 30
Kolam
October 2019 17
Kolam Ikan.pdf
October 2019 24