T5/Wawancara/2009
Nama : Alfia Evawana S. NPM : K1A050002
Rangkuman dan Pemahasan Buku ”Mochtar Lubis Bicara Lurus” Oleh: Ramadhan K.H I.23. Wawancara 23 : “Pers Lebih Mundur dari Zaman Kolonial”, Forum Keadilan, No 20, Th.2, 20 Januari 1994 I.23.a. Rangkuman
:
Pada wawancara ini Mochtar Lubis menceritakan tentang kebebasan pers di zaman orde baru yang sebenarnya semu. Pers di Indonesia mengalami kemunduran zaman kolonial. Bahkan dia menambahkan bahwasanya para insan pers bernasib lebih jelek daripada pembunuh ataupun perampok. Hal ini dikarenakan adanya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Surat Ijin Terbit (SIT) yang dapat mematikan pers tanpa melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Selain itu, juga menyayangkan sikap PWI yang memilih untuk masuk ke dalam lingkaran Golkar. Hal itu akan menyebabkan PWI beserta anggotanya menjadi sebuah lembaga yang tidak independen lagi dan sudah menjadi alat politik bagi Golkar sehingga Golkar dapat memengaruhi setiap tindak-tanduk PWI. I.23.b. Pembahasan
:
Menurut buku ”Bagaimana Meliput dan Menulis Berita di Media Massa” yang ditulis oleh Ashadi Siregar, latar belakang suatu fakta yang berkaitan dengan pengalaman, pendapat, dan cita-cita orang lain, tak dapat diperoleh lewat observasi. Untuk itu wartawan perlu menempuh wawancara. Hal itu dilakukan oleh wartawan Forum Keadilan yang mewawancarai Mochtar Lubis untuk meminta kesaksiannya tentang kondisi pers saat zaman orde baru. Wartawan Forum Keadilan ini mengajukan pertanyaan untuk memperoleh bahan berita yang berkaitan dengan kesan inderawi dari Mochtar Lubis. Wartawan meminta keterangan dari Mochtar Lubis yang mengetahui kondisi pers di zaman orde baru. Dengan melakukan wwawancara seperti ini, wartawan tersebut telah melakukan observasi dengan jalan ”meminjam” indra orang yang diwawancara.
1
Narasumber yang dimintai keterangannya pun cukup jeli dalam mengingat fakta yang pernah dihadapinya. Dia membandingkan kebebasan pers pada zaman orde baru dan zaman kolonial. Dia menyatakan keberatannya tentang SIUPP dan SIT serta menyayangkan masuknya PWI ke dalam lingkaran Golkar yang membuat Pers tidak lagi menjadi sebuah lembaga yang independen. Saya setuju dengan pernyataan tersebut, karena menurut beberapa sumber yang saya kutip melalui situs internet, pers di masa orde baru terlihat sangat menghawatirkan. Sejarah membuktikan bahwa adanya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak membawa perubahan yang signifikan bagi kebebasan pers pada saat itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di masa lalu. Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional seperti Tempo dan Detik. PWI yang seharusnya menggugat justru memberikan pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pun menginstruksikan kepada para pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara ”nyaring” terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika kita mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah. (http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/metode-penelitiankomunikasi/sistem-komunikasi-indonesia-pers-era-ordebaru-dan-pers-era-reformasi) I.24. Wawancara 24 : “Saya Memaklumi Perasaan Sukmawati”, Bali Post, 23 Oktober 1994 I.24.a. Rangkuman
:
Disini Mochtar Lubis menceritakan bahwa dirinya memiliki bukti-bukti otentik terkait keterlibatan Presiden Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, keterlibatan Soekarno dalam G.30.S/PKI akan semakin diketahui kebenarannya seiring dengan sikap keluarga Soekarno yang mengadukan persoalan ini ke kepolisian. Dalam wawancara ini juga diceritakan sekelumit kisah kehidupan Mochtar Lubis ketika menjadi tahanan pada masa orde lama dan orde baru. I.24.b. Pembahasan
:
2
Menurut diktat ”Wawancara Dalam Konteks Jurnalisme” yang ditulis oleh S. Sahala Tua Saragih, selama wawancara wartawan dapat mengajukan berbagai jenis pertanyaan kepada narasumbernya. Pertanyaan yang diajukan oleh wartawan Bali Post kepada Mochtar Lubis pada wawancara ini adalah pertanyaan informatif (pertanyaan yang diajukan untuk meminta informasi tentang suatu fakta), pertanyaan konfirmatif (pertanyaan untuk meminta konfirmasi), pertanyaan verifikasi (pertanyaan untuk meminta verifikasi), dan pertanyaan provokatif (pertanyaan pancingan agar narasumber menyatakansesuatu yang diharapkan wartawan). Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya bahwa Mochtar Lubis pernah dipenjara karena karya-karya jurnalistiknya. Oleh karena itu, pada wawancara kali ini pun dia membahas sedikit tentang pengalamannya selama menjadi seorang tahanan. I.25. Wawancara 25 : “Saya Tidak Puas”, Pro Yustitia, No. 10 Th. 8, 1994 I.25.a. Rangkuman
:
Wawancara ini membicarakan tentang kondisi sosial politik di Indonesia. Mochtar Lubis menyatakan ketidakpuasannya dengan sistem pemerintahan yang ada pada masa itu (orde baru) pada wawancara kali ini. ABRI pada masa orde baru merupakan kekuatan politik yang sangat kuat dimatanya karena mampu menggulingkan kekuasaan pada masa itu. Namun karena mereka masih merasa nyaman maka tidak pernah ada yang mengusik pemerintah. Menurutnya otoritas menggulingkan kekuasaan seharusnya ada di tangan rakyat, bukan ABRI. Melalui DPR, rakyat dapat menjatuhkan pemerintahan yang ada. Mochtar Lubis juga mengiyakan perihal anggota DPR yang kerjanya hanya menurt saja dengan pemerintah yang ada. Dalam negara demokrasi seharusnya DPR yang berkuasa bukannya presiden. Namun karena DPR dipilih oleh presiden, bukan oleh rakyat, maka mereka menurut saja ketika dipaksa untuk diam dan pada akhirnya pemerintah dapat melenggang dengan enaknya. I.25.b. Pembahasan
:
Menurut Jonathan yang saya kutip dari “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature” karya Drs. AS. Haris Sumadiria M.Si., dilihat dari segui tujuannya wawancara dibedakan atas: 1. wawancara faktual
3
2. wawancara riset pendapat 3. wawancara penegasan kredibilitas narasumber. Menurut saya wawancara di atas termasuk jenis wawancara riset pendapat. Wartawan mewawancarai Mochtar Lubis untuk mengumpulkan informasi dan data penting. Wartawan melakukan wawancara tersebut dengan tujuan untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang menjadi perhatian, pemikiran, dan pendapat narasumber. I.26. Wawancara
: “HAM Kita Terinjak-injak”, Pro Yustitia, No. 10 Tahun
VIII/1994 I.26.a. Rangkuman
:
Wawancara ini berisi tentang Mochtar Lubis mengangkat pembicaraan tentang HAM di Indonesia dan menurutnya HAM di negara ini masih terinjak-injak oleh penguasa. Komnas HAM hanya merupakan lipstik saja yang tidak punya kuasa apa-apa. I.26.b. Pembahasan
:
Mochtar Lubis merupakan sumber berita yang sudah sering diwawancara. Oleh karena itu disini wartawan menggunakan pola wawancara inverted funnel interview, yaitu pola wawancara yang disusun seperti cerobong terbalik. Menurut buku ”Jurnalistik, Pendekatan Teori dan Praktik” karya Asep Saeful Muhtadi, pada pola wawancara seperti ini seorang reporter langsung menanyakan masalah-masalah pokok tanpa harus memulainya dengan pertanyaan-pertanyaan umum dan ringan. Pola wawancara seperti ini biasa digunakan bila mewawancarai narasumber yang sudah terbiasa diwawancara. Pendapat dan kata-kata dari sumber berita tersebut hampir selalu menjadi bahan berita berbagai media massa. I.27. Wawancara 27 : “Di Indonesia Pers Diperlakukan Lebih Buruk dari Seorang Pembunuh atau Seorang Kriminal”, Fenomena, Edisi IV/IX/1994 I.27.a. Rangkuman
:
Kehidupan pers di Indonesia kembali menjadi topik pembincangan dengan Mochtar Lubis. Menurutnya masih lebih baik pembunuh ataupun perampok yang mendapat keadilan setelah melakukan kejahatan daripada pers yang dihukum tanpa melalui proses pengadilan. Ketika pers bertingkah laku macam-macam dan tidak sesuai,
4
maka pemerintah tinggal mencabut SIUPPnya saja dan pers akan mati. Kepentingan umum di negara ini terancam oleh birokrasi dan adalah tugas pers untuk mengungkapkannya. Akan tetapi yang terjadi adalah bila mengungkapkan itu pemerintah justru dengan seenaknya mencabut SIUPP pers tersebut. I.27.b. Pembahasan
:
Tema wawancara ini sama seperti wawancara sebelumnya yang dilakukan oleh wartawan Bali Post. Disini Mochtar lunis memberikan pendapatnya tentang kebebasan Pers yang menyatakan bahwa lebih baik pembunuh ataupun perampok yang mendapat keadilan setelah melakukan kejahatan daripada pers yang dihukum tanpa melalui proses pengadilan. SIUP merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan pers pada masa orde baru. I.28. Wawancara 28 : “Pemberian SIUPP Harus Adil, dan PWI Jangan Berpolitik”, Info Bisnis, Edisi Khusus Tahun I, 1995 I.28.a. Rangkuman
:
Wawancara ini berisi pernyataan Mochtar Lubis yang mengatakan bahwa nasib wartawan Indonesia lebih jelak dari pembunuh. Ketika ada pembredelan PWI bukannya membela tapi malah justru ikut membunuh pers tersebut. Dalam wawancara ini juga diperbincangkan tentang perbedaan kehidupan pers pada masa Mochtar Lubis masih bergelut di dalamnya dengan kehidupan pers saat ini (1995). Menurutnya, setelah orde baru makin kuat maka kehidupan pers makin diperlemah dan ini ditandai dengan makin banyaknya pembredelan pers pasca peristiwa Malari. Kehidupan negara yang makin global dengan adanya era globalisasi, tentunya peran pers dituntut ada dan indepeden. Masuknya para raksasa bisnis juga disayangkan oleh Mochtar Lubis karena dengan masuknya orang-orang itu maka kapiltalisme juga masuk ke industry pers yang berujung pada keberpihakan insan pers dan wartawan tidak lagi independen. I.28.b. Pembahasan
:
Wawancara ini masih membahas tentang kebebasan pers di masa orde baru. Mochtar Lubis pun masih menggunakan kata-kata yang sama dengan wawancarawawancara sebelumnya yaitu: nasib wartawan Indonesia lebih jelak dari pembunuh. Pers
5
harus independen karena dia berperan sebagai social control. Di Orde Baru lembaga Pers selalu berusaha untuk mendapatkan kebebasannya akan tetapi terbentur masalah SIUPP oleh mantan menteri penerangan Harmoko. Oleh karena itu menurut Mochtar Lubis dengan dikeluarkannya SIUPP maka nasib wartawan Indonesia lebih buruk daripada pembunuh. I.29. Wawancara
: “Pers Sekarang Terburuk Sepanjang Sejarah”, Polar, Edisi 8
Tahun III, April 1995 I.29.a. Rangkuman
:
Pers Indonesia 1995 terburuk sepanjang sejarah. Pendapat Mochtar Lubis menanggapi kondisi pers saat ini (1995) jika dibandingkan dengan pers pada masa orde lama kembali diperbincangkan. Mochtar Lubis juga mengangkat tentang keburukan pers dibandingkan dengan sejarah masa lalu. Pada masa Soekarno, Indonesia Raya pun harus melalui proses hukum terlebih dahulu ketika media tersebut dianggap menentang pemeritah saat itu, namun pada masa Soeharto langsung saja mencabut SIUPP-nya dan musnahlah surat kabar tersebut. Fungsi kontrol pers juga dibahas dalam wawancara ini. Menurut Mochtar Lubis kontrol pers yaitu bahwa pers punya kemungkinan untuk mengekspos hal-hal buruk, halhal negatif, yang bisa merugikan kepentingan umum atau pribadi-pribadi orang, dalam penerbitannya. Tapi pers juga harus bisa menampilkan berita itu dengan bukti yang secara hukum benar dan bisa diterima. I.29.b. Pembahasan
:
I.30. Wawancara 30 : “Mochtar Lubis Bicara Soal Bisnis Anak Pejabat, Korupsi dan Grasi”, Swadesi, 25-31 Juli 1995 I.30.a. Rangkuman
:
Mengangkat mengenai maraknya korupsi, kolusi dan bisnis anak pejabat, serta permohonan grasi Soebandrio, Omar Dhani, dan Kol Latief kepada presiden. Menurut Mochtar Lubis korupsi sudah ada sejak jaman orde lama tetapi lebih pesat dan berkembang pada zaman sekarang. Namun Mochtar Lubis percaya korupsi dan kolusi
6
bisa diberantas kalau oemimpin yang memegang kekuasaan, anggota-anggota DPR, MPR, dan pers menyadari hal ini dan memberantasnya. Kemudian anggota-anggota DPR harus vocal dan melakukan haknya yang sudah diatur dalam UUD 1945. Menanggapi permohonan grasi Soebandrio dkk, Mochtar Lubis menyayangkan penahanan hingga kini masih berlangsung. Meskipun mereka terllibat gerakan komunisme, namun mengingat umur dan ancaman komunis di Indonesia sudah jauh berkurang maka tidak ada salahnya apabila mereka dilepaskan. I.30.a. Pembahasan
:
Wawancara di atas termasuk jenis wawancara riset pendapat. Wartawan mewawancarai Mochtar Lubis untuk mengumpulkan informasi dan data penting. Wartawan melakukan wawancara tersebut dengan tujuan untuk mengetahui apa sebenarnya yang sedang menjadi perhatian, pemikiran, dan pendapat narasumber. I.31. Wawancara 31 : “Kalau Mereka Mulai, Gebuk Saja…”, Republika, 7 Agustus 1995 I.31.a. Rangkuman
:
Wawancara ini mengangkat masalah tentang PKI dalam kaitannya dengan pembebasan Soebandrio, Oemar Dhani, dan Soetarto. Menurut Mochtar Lubis pembebasan mereka adalah keputusan bijaksana. Kekuasaan di Indonesia masih bermuka manusia. Kekejaman PKI memberi pelajaran agar kita tidak mengulangi seperti yang PKI lakukan. Meskipun telah menjadi korban atas kekejaman PKI, namun Mochtar Lubis tidak pernah menyimpan dendam. Menurutnya PKI harus tetap dikatakan salah. Tetapi, dendam kesumat tidak boleh ada. I.31.b. Pembahasan
:
Wartawan mengajukan pertanyaan tentang kesan inderawi Mochtar Lubis saat hidup di masa PKI. Mochtar Lubis pun sebagai narasumber cukup mampu mendeskripsikan kondisi saat itu. I.32. Wawancara 32 : Saya Tidak Mau Tiarap, Media Indonesia Minggu, 20 Agustus 1995 I.32.a. Rangkuman
:
7
Wawancara ini merupakan hasil wawancara Mochtar Lubis dengan wartawan Media Indonesia (Yos Rizal) mengenai berbagai masalah yang sedang aktual saat ini. Mulai dari masalah rekonsiliasi pemerintah dengan para oposan, sampai dengan pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Menurut Mochtar Lubis, tidak mungkin Pemerintah mau rekonsiliasi dengan PKI karena secara ideologi pun sudah tidak cocok sama sekali. Menurutnya rekonsiliasi di Indonesia adalah supaya kita berpandangan sama mengenai pelaksanaan UUD’45 dengan segala nila-nilai persamaan, keterbukaan, kemakmuran yang adil dan merata. Saat ditanya mengenai bagaimana seharusnya rekonsiliasi nasional, Mochtar Lubis menuturkan bahwa penguasa harus betul-betul mau melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi Pancasila yang sudah dirumuskan bersama itu. Bahwa demokrasi itu benar-benar berarti kedaulatan rakyat dalam praktek. Bila kita sudah bisa merekonsiliasi pandangan dalam hal-hal pokok, seperti rumusan demokrasi Pancasila tadi, dan satu suara dalam interpretasi dan pelaksanaannya nanti, berarti juga nanti membuat kita bisa membuka diri dengan orang-orang Fretilin, umpamanya. Ketika disinggung soal pers yang bebas dan bertanggung jawab, menurut Mochtar Lubis pers harus bertanggung jawab bukan terhadap pemerintah, tapi pada hukum. Pada wawancara kali ini Mochtar Lubis mengemukakan alasan mengapa Ia menolak hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya dalam soal ini pemerintah tidak usah ikut campur. Dia berharap agar Pramoedya meng-clear-kan lagi tingkah lakunya yang menindas seniman di masa Lekra. Penahanan di Pulau Buru tidak menghapus apa yang ia perbuat dulu. Semuanya baru bisa terhapus bila Pram mengakui bahwa dulu ia yang keliru. Tapi sayangnya hingga saat ini dia tidak pernah mengakui hal itu. Disini Mochtar Lubis yang sebelumnya juga pernah menerima hadiah Magsaysay mengancam akan mengembalikan hadiah tersebut kepada panitia bila Pram tetap diberi penghargaan itu. I.32.b. Pembahasan
:
Menurut buku ”Jurnalistik Indonesia, Menulis Berita dan Feature” karya Drs. AS Haris Sumadiria M.Si. Wawancara di atas termasuk ke dalam jenis berita wawancara dilaksanakan sehubungan tentang oendapat Mochtar Lubis mengenai berbagai
8
permasalahan saat itu termasuk rencananya untuk mengembalikan penghargaan Magsaysay yang telah diterimanya bila Pram juga menerima penghargaan tersebut. Menurut buku tersebut wawancara ini bisa juga disebut wawancara cantelan berita (news peg). I.33. Wawancara 33 : ”Siapa Bakar Buku Manikebu?”, Forum Keadilan, No. 10, Th. 4, 28 Agustus 1995 I.33.a. Rangkuman
:
Wawancara ini merupakan hasil wawancara wartawan Forum, Sudarsono, Tony Hasyim, dan Ign. Haryanto dengan Mochtar Lubis seputar pernyataannya yang akan mengembalikan hadiah Magsaysay tahun 1958 yang diterimanya bila Pramoedya Ananta Toer juga memperolehnya. Menurutnya Pram tidak pantas diberi hadiah itu karena banyak sastrawan yang telah ia tekan dan menjadi tak bebas berkreasi. Sebenarnya sudah lama Mochtar Lubis memaafkan Pram. Akan tetapi ia tidak mau menerima hadiah yang sama dengan orang yang menghantam para sastrawan dan tak menciptakan iklim kebebasan menulis dan kreasi. Mochtar Lubis mengetahui serangan Pram terhadap kebebasan sastrawan melalui buku Prahara Budaya-nya Taufiq Ismail. Disini ia sangat menyayangkan sikap Pram yang tidak pernah meminta maaf atas kesalahannya tersebut. Menurutnya itu artinya Pram masih seperti apa yang dilakukan di masa lampau. Mochtar Lubis juga mengatakan bahwa Pramlah yang dulu menggerakkan massa untuk membakar buku-buku Manikebu. Akan tetapi hingga saat ini dia pun tidak mau mengakui perbuatannya tersebut. I.33.b. Pembahasan
:
Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari wikipedia, penghargaan Magsaysay adalah penghargaan yang dibentuk pada bulan April 1957, oleh para wakil amanat Rockefeller Brothers Fund (RBF) yang berpusat di Kota New York, Amerika Serikat. Setiap tahun Ramon Magsaysay Foundation memberikan hadiah bagi perorangan dan organisasi Asia atas pencapaian unggul mereka di bidangnya masing-masing.
9
I. 34. Wawancara 34: ”Saya akan Jual Peralatan Kantor”, Paron, No. 108, Th. 3, Minggu Keempat Agustus 1995 I.34.a. Rangkuman
:
Mochtar Lubis akan mensual peralatan cantor bekas harian Indonesia Raya untuk mengembalikan hadiah magsaysay yang pernah diterimanya, sebesar US$ 10 ribu. Pengembalian hadiah Magsaysay itu dilakukan sebagai protes atas pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Menurut Mochtar Lubis, sebenarnya yang ia protes bukan pemberian hadiah sastranya lepada Pramoedya. Masalahnya adalah bahwa manusia tidak bisa dipisahkan antara pengarang sebagai manusia dan cipta sastranya. Menurutnya bila tidak dilakukan protes keras, nanti generasi muda yang akan datang, yang tidak kenal sejarah, dapat saja menganggap boleh-boleh saja kita menindas hak-hak creativitas atau hak-hak asasi manusia itu, karena Pramoedya diberi hadiah Magsaysay. Mochtar Lubis mengaku bahwa dulu ia selalu dihantam oleh Pramoedya Ananta Toer. Menurutnya sikap Pramoedya ganas waktu itu. Ia juga menyayangkan sikap Yayasan Magsaysay yang tidak menyelidiki latar belakang sejarah Pram terlebih dahulu. I.34.b. Pembahasan
:
I.35. Wawancara 35: “SIUPP Hanya Ada di Negara Totaliter”, Suara Independen, No. 4, 1 September 1995 I.35.a. Rangkuman
:
Berbagai organisasi pers internasional mengecam vonis terhadap aktivis AJI. Hukuman penjara 32 bulan untuk Ahmad Taufiq dan Eko Maryadi, serta 20 bulan untuk Danang Kukuh Wardoyo, karyawan sekretariat AJI. Pengadian politik itu juga mengabaikan kesaksian yang meringankan terdakwa. Wawancara ini merupakan cuplikan kesaksian Mochtar Lubis sebagai saksi ahli yang meringankan dalam sidang perkara Ahmad Taufiq, Eko Maryadi, dan Danang Kukuh Wardoyo, pada tanggal 21 agustus 1995. Saat ditanya mengenai pengertian wartawan, Mochtar Lubis menjelaskan bahwa wartawan adalah suatu profesi yang sangat serius atau bukan profesi main-main, karena wartawan bertanggung jawab penuh pada masyarakat. Wartawan tiadk perlu bergabung
10
dengan suatu wadah tertentu untuk meningkatkan mutu tanggung jawabnya. Wartawan bebas untuk memilih dan dapat berorganisasi. Baik dan buruk yang ada dalam masyarakat harus disampaikan pula dalam masyarakat. Selain itu, pers juga harus bebas melaporkan, menulis, dan bertanggung jawab kepada hukum, bukan kepada Pemerintah. Mochtar Lubis mengatakan bahwa lembaga SIUPP tidak diperlukan dan tidak relevan bagi kebebasan pers. Menurutnya lembaga SIUPP bertentangan dengan Pasal 28 UUD’45. Apabila suatu media massa memuat suatu ucapan seseorang yang mempunyai akibat hukum maka yang bertanggung jawab adalah yang mengucapkan, untuk melepaskan tanggung jawab dari yang menerbitkan. Menulis hal-hal yang bersifat sosial kontrol bukanlah kejahatan, karena masyarakat berhak mengetahui apa yang terjadi. Mochtar lubis juga menambahkan bahwa di negara lain tidak ada lembaga SIUPP, kecuali di negara-negara totaliter. I.35.b. Pembahasan
:
I. 36. Wawancara 36 : “Pers Orde Lama, Pers Orde Baru (Bagian Pertama)”, Siaran di SCTV, Perspectif Bersama Wimar Witoelar Tayangan no. 69, Sabtu, 9 September 1995 pukul 18.00-18.30. I.36.a. Rangkuman
:
Berikut ini adalah dialog antara Mochtar Lubis dengan Wimar Witoelar. Pewawancara menanyakan arti tanggal 17 Agustus bagi Mochtar Lubis. Mochtar Lubis mengaku bahwa dia mendengar pengumuman kemerdekaan dari kawan-kawannya antara lain, Adam Malik. Disini Mochtar Lubis juga menegaskan bahwa dia tidak pernah menganggap dirinya seorang politikus. Karena dia hanya melakukan atau mengucapkan atau menulis, mengkritik, apa yang saya anggap harus saya lakukan sebagai warga negara Indonesia. Zaman Soekarno yang sering dilambangkan ebagai seorang tiran, diktator, tapi perselisihan pendapat dengan Mochtar Lubis waktu itu bisa diselesaikan bukan dengan cara pembatalan SIUPP. Walaupun akhirnya Ia mengalami juga pembatalan SIUPP, tapi menurutnya zaman Presiden Soekarno masih agak mendingan. Bila Presiden tidak suka
11
dengan apa yang ditulis di surat kabar, dia cabut izin terbitnya 5 hari, 1 minggu, 2 minggu, atau 2 bulan. Jadi masih ada tenggang rasa. Selama dipenjara oleh rezim Soekarno, Mochtar Lubis tidak membuang waktunya dengan sia-sia. Ia banyak sekali belajar, membaca. Disana juga ia banyak bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh pimpinan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang ikut ditahan. Mochtar Lubis juga mengisahkan bahwa jaman dahulu perhatian lebih banyak terhadap masalah politik. Menurutnya kekurangan kita selama ini karena tidak melaksanakan UUD dengan benar. Bila UUD dilaksanakan dengan benar maka bisa tercapai kedaulatan rakyat yang diwakili di dalam DPR/MPR. Di dalam praktek politik, menurutnya Soekarno memang dominan, tetapi di dalam praktek pemikiran dan kualitas manusia ada tokoh-tokoh lain yang lebih hebat dari Soekarno, seperti Bung Hatta, Sjahrir, Natsir, Moh. Roem, Syafruddin Prawiranegara. I.37. Wawancara 37 : “Pers Orde Lama, Orde Baru (Bagian Kedua)”, Siaran di SCTV, Perspektif Bersama Wimar Witoelar Tayangan no. 70, Sabtu, 16 September 1995 pukul 18.00-18.30. I.36.b. Pembahasan
:
I.37.a. Rangkuman
:
Wawancara kali ini merupakan bagian kedua dari wawancara sebelumnya. Disini Mochtar Lubis mengungkapkan bahwa dia tidak berminat terjun ke dunia politik karena dia takut berkuasa. Dia takut biladia berkuasa akan melakukan hal-hal yang buruk pada manusia dan masyarakat di tanah air. Dia tidak takut dikuasai oleh orang lain karena dia berdaulat penuh terhadap dirinya sendiri. Dia lebih memilih menjadi wartawan dan sastrawan, ia juga suka melukis. Itu semua memberikan kepuasan kebahagiaan yang cukup baginya. Tugas wartawan dia anggap sebagai kewajiban sedangkan sastra adalah kebahagiaan. Sesudah terjadi Gestapu Mchtar Lubis dibebaskan oleh rezim Orde Baru. Dan sempat diproyeksikan sebagai tokoh Orde baru juga. Teman-temannya pun mendesaknya
12
untuk berperan aktif dalam rezim Orde Baru yang kemudian Ia tolak. Menurutnya Ia lebih berfungsi, lebih berguna sebagai wartawan saja. Semenjak Indonesia Raya tidak terbit lagi, Dia dan kawan-kawannya mendirikan Yayasan Obor Indonesia. Mereka sekarang bekerja, tidak lewat pers, tetapi lewat buku mereka berharap ikut di dalam kegiatan di tanah air kita untuk mencerdaskan bangsa. Menurutnya pekerjaan rumah bagi Indonesia sekarang adalah harus membasmi, menghabiskan kolupsi dan korupsi. Saat ditanya mengenai lebih penting mana antara politik formal atau membasmi korupsi, dia berkata akan mendahulukan membasmi kolusi dan korupsi. Jadi kalau kita habiskan barangkali ada harapan bagi negeri kita untuk tumbuh dengan cara yang lebih sehat. Mochtar Lubis juga menuturkan bahwa zaman dahulu pun terjadi korupsi dalam dimensi yang jauh lebih kecil dari sekarang. Negara tiadk kaya sehingga belum banyak menguasai dana-dana raksasa seperti sekarang. Dalam dimensinya dan banyaknya orang yang terlibat, sekarang lebih besar lagi orang yang terlibat. Menurutnya, jalan satu-satunya untuk mengatasi korupsi adalah Perwakilan Rakyat, DPR/MPR harus punya perhatian dan perasaan untuk ikut bertanggung jawab. Kemudian harus clean government, birokrasinya harus bersih. Pers itu harus bebas. Karena kalau tidak bebas, mereka tidak dapat menyampaikan hal-hal yang mereka mau rahasiakan. I.37. Pembahasan
:
I.38. Wawancara 38 : “Tidak Mustahil Ada Lekra Baru”, Tiras, No. 33/Th. 1, 14 Septemer 1995 I.38.a Rangkuman
:
Ketika Pramoedya Ananta toer di tahun 1995 ini mendapat hadiah Magsaysay, Mochtar Lubis merasa ada sesuatu yang tak wajar di balik penghargaan itu. Dalam pandangan Mochtar Lubis kesalahan yang dilakukan Pramoedya di masa demokrasi Terpimpin tak bisa dilupakan begitu saja. Ia pun protes dengan cara mengembalikan hadiah Magsaysay yang diterimanya. Menurut Mochtar Lubis, setelah hadiah itu diberikan kepada Pramoedya, maknanya jelas menjadi hilang. Hadiah Magsaysay itu diberikan berdasarkan semangat
13
almarhun Presiden Ramon Magsaysay: keadilan, kebenaran, dll. Melihat apa yang dilakukan Pramoedya 30 tahun lalu, itu sudah tidak sesuai dengan semangat Magsaysay. Menurutnya tidak ada alternatif lain selain mengembalikan hadiah itu. Karena makna hadiah Magsaysay itu betul-betul sudah hilang sama sekali. Mochtar Lubis khawatir akan muncul Lekra baru. Peluang munculnya bila keadilan sosial di negeri kita tidak terjamin dengan baik, tidak dikembangkan dengan benar. Juga kalau hak-hak kebebasan di Indonesia masih dibatas-batasi. Kalau kita ingin demokrasi Pancasila berkembang maka kesejahteraan ekonomi, sosial, politik, maupun bidang kehidupan yang lain harus berkembang. Mochtar Lubis mengaku lega setelah mengembalikan hadiah Magsaysay. Itu merupakan pembuktian bahwa dia tidak mau terlibat dalam suatu yayasan yang melanggar prinsip-prinsip dasar pemberian hadiahnya kepada orang lain, berdasarkan cita-cita dan nilai-nilai dari almarhum Presiden Magsaysay. I.38.b. Pembahasan
:
I.39. Wawancara 39 : ”Pramoedya Bukan Sastrawan Murni”, Lampung Post, Minggu, 17 September 1995 I.39.a. Rangkuman
:
Pada wawancaranya dengan Eri Anugerah dari Lampung Post, Mochtar Lubis menyatakan bahwa Pram bukan sastrawan murni. Dia sastrawan berpolitik. Waktu Orde Lama, Pram melakukan kampanye hebat, sengit, dan ganas terhadap sastrawan dan seniman Indonesia. Waktu itu, saat aktif Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Pram memimpin rubik budaya Lentera dari surat kabar Bintang Timur. Dengan ganas Pram menyerang, dengan kata-kata dan tulisan kepada orang-orang Manikebu (Manifes Kebudayaan) dan sebagainya yang dianggap tak sepaham dengannya. Menurtunya sebagai pribadi kita tak boleh menindas atau menghancurkan karya orang lain. Ketika disinggung soal anak muda yang mengganrungi karya-karya Pram, Mochtar Lubis menuturkan bahwa generasi muda itu barangkali kurang cerdas. Karena mereka kurang senang dengan keadaan saat ini, misalnya situasi politik, mereka lalu berpihak dan bersimpati pada Pram. Mereka tidak melihat dimensi sejarah yang
14
dilakukan Pram. Menurutnya penyakit anak muda sekarang adalah malas baca sejarah. Padahal kalau komunis kembali berkuasa di Indonesia, anak mudalah yang pertama mereka tindas. I.39.b. Pembahasan
:
I. 40. Wawancara 40 : ”Saya Percaya Pram Komunis”, Gatra, 23 September 1995 I.40.a. Rangkuman
:
Di mata Mochtar Lubis, Pramoedya Ananta Toer adalah seorang komunis dan lembaran kelabu yang tak bisa dilupakan. Berikut adalah rangkuman wawancara Mochtar Lubis dengan Saidah Abuhanifah dan Priyono B. Sumbogo tentang penilaiannya terhadap Pramoedya Ananta Toer. Mochtar Lubis memprotes penghargaan untuk Pram yang diangga psecara konsisten memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia karena menurutnya Pram pernah membunuh karya orang lain. Ia juga menambahkan bahwa orang seperti itu tidak pantas mendapatkan apa pun. Mochtar Lubis percaya bahwa Pram komunis karena dia memuja Lenin setengah mati dan berani menulis bahwa Soviet Rusia sudah jadi surga. Menurutnya kesalahan tidak bisa dilupakan. Kalau kita tidak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan yang kita buat di masa lalu, semua yang baik ataupun yang buruk harus dicatat dalam sejarah dan harus kita pelajari. Menanggapi bertambahnya jumlah pembela Pram yang kebanyakan anak muda, Mochtar Lubis beranggapan hal itu karena mereka belum matang politik. Karena ingin kritis terhadap pemerintah dan menuntut kebebasan, Pram mereka jadikan sebagai tumpuan untuk mengambil sikap menentang. Menurutnya Pram ini adalah simbol penindasan, bukan perlawanan. I.40.b. Pembahasan
:
15