Sumpah Dan Nazar

  • Uploaded by: abu abdirrahman
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sumpah Dan Nazar as PDF for free.

More details

  • Words: 8,235
  • Pages: 49
Surah Description

‫ﻢ‬ ‫ﺗ‬‫ﻋﻘﱠﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﺍ ِﺧ ﹸﺬﻛﹸﻢ ِﺑﻤ‬‫ﻳﺆ‬ ‫ﻭﻟﹶـﻜِﻦ‬ ‫ﻢ‬ ‫ـِﻨ ﹸﻜ‬‫ﻳﻤ‬‫ﻐ ِﻮ ﻓِﻰ ﹶﺃ‬ ‫ﻪ ﺑِﺎﻟﱠﻠ‬ ‫ﻢ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﺍ ِﺧ ﹸﺬ ﹸﻛ‬‫ﻳﺆ‬ ‫ﹶﻻ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ‬‫ﺗ ﹾﻄ ِﻌﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﻂ ﻣ‬ ِ ‫ﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﲔ ِﻣ‬  ‫ـ ِﻜ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺮ ِﺓ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ِﺇ ﹾﻃﻌ‬ ‫ﺗ‬‫ﺭ‬ ‫ﻦ ﹶﻓ ﹶﻜﻔﱠﺎ‬ ‫ـ‬‫ﻳﻤ‬‫ﺍ ﱞﻻ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﺎ ٍﻡ ﺫِﻟ‬‫ﻡ ﹶﺛﻠﹶـﹶﺜ ِﺔ ﹶﺃﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺼﻴ‬ ِ ‫ﺪ ﹶﻓ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﱠﻟ‬‫ﺒ ٍﺔ ﹶﻓﻤ‬‫ﺭﹶﻗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤﺮِﻳ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﻮ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻭ ِﻛ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﻠِﻴ ﹸﻜ‬‫ﹶﺃﻫ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻦ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻳ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﻢ ﻛﹶﺬِﻟ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ـ‬‫ﻳﻤ‬‫ﺣﻔﹶﻈﹸﻮﹾﺍ ﹶﺃ‬ ‫ﺍ‬‫ﻢ ﻭ‬ ‫ﺘ‬‫ﺣﹶﻠ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ‬ ‫ـِﻨ ﹸﻜ‬‫ﻳﻤ‬‫ﺭ ﹸﺓ ﹶﺃ‬ ‫ﹶﻛﻔﱠﺎ‬ ‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺸ ﹸﻜﺮ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﱠﻠ ﹸﻜ‬ ‫ـِﺘ ِﻪ ﹶﻟ‬‫ﺀَﺍﻳ‬ (89. Allah will not punish you for what is unintentional in your oaths, but He will punish you for your deliberate oaths; for its expiation feed ten poor, on a scale of the Awsat of that with which you feed your own families; or clothe them; or free a slave. But whosoever cannot afford, then he should fast for three days. That is the expiation for the oaths when you have sworn. And protect your oaths. Thus Allah makes clear to you His Ayat that you may be grateful.)

Unintentional Oaths

We mentioned the subject of unintentional oaths in Surat Al-Baqarah, all praise and thanks are due to Allah, and so we do not need to repeat it here. We also mentioned that the Laghw in oaths refers to one's saying, "No by Allah,'' or, "Yes, by Allah,'' unintentionally. Expiation for Breaking the Oaths

Allah said,

‫ﻦ‬ ‫ـ‬‫ﻳﻤ‬‫ﻢ ﺍ ﱞﻻ‬ ‫ﺗ‬‫ﻋﻘﱠﺪ‬ ‫ﺎ‬‫ﺍ ِﺧ ﹸﺬﻛﹸﻢ ِﺑﻤ‬‫ﻳﺆ‬ ‫ﻭﻟﹶـﻜِﻦ‬ (but He will punish you for your deliberate oaths.) in reference to the oaths that you intend in your hearts,

‫ﲔ‬  ‫ـ ِﻜ‬‫ﻣﺴ‬ ‫ﺮ ِﺓ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ِﺇ ﹾﻃﻌ‬ ‫ﺗ‬‫ﺭ‬ ‫ﹶﻓ ﹶﻜﻔﱠﺎ‬ (for its expiation (a deliberate oath) feed ten poor,), who are needy, not able to find necessities of the life. Allah's statement,

‫ﻢ‬ ‫ﻫﻠِﻴ ﹸﻜ‬ ‫ﻮ ﹶﻥ ﹶﺃ‬‫ﺗ ﹾﻄ ِﻌﻤ‬ ‫ﺎ‬‫ﻂ ﻣ‬ ِ ‫ﺳ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ِﻣ‬ (on a scale of the Awsat of that with which you feed your own families;) means, "On the average scale of what you feed your families,'' according to Ibn `Abbas, Sa`id bin Jubayr and `Ikrimah. `Ata' Al-Khurasani commented on the Ayah, "From the best of what you feed your families''. Allah's statement,

‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﻮ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻭ ِﻛ‬ ‫ﹶﺃ‬ (or clothe them,) refers to clothing each of the ten persons with what is suitable to pray in, whether the poor person was male or female. Allah knows best. Al-`Awfi said that Ibn `Abbas said that the Ayah means a robe or garment for each poor person (of the ten). Mujahid also said that the least of clothing, referred to in the Ayah, is a garment, and the most is whatever you wish. Al-Hasan, Abu Ja`far Al-Baqir, `Ata', Tawus, Ibrahim An-Nakha`i, Hammad bin Abi Sulayman and Abu Malik said that it means (giving each of the ten poor persons) a garment each. Allah's statement,

‫ﺒ ٍﺔ‬‫ﺭﹶﻗ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺤﺮِﻳ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﹶﺃ‬ (or free a slave) refers to freeing a believing slave. In the Muwatta' of Malik, the Musnad of Ash-Shafi`i and the Sahih of Muslim, a lengthy Hadith was

recorded that `Umar bin Al-Hakam As-Sulami said that he once had to free a slave (as atonement) and he brought a black slave girl before the Messenger of Allah , who asked her;

«‫ﻦ ﺍﷲُ؟‬ ‫ﻳ‬‫»ﹶﺃ‬ (Where is Allah) She said, "Above the heavens.'' He said,

«‫ﺎ؟‬‫ﻦ ﹶﺃﻧ‬ ‫ﻣ‬ » (Who am I) She said, "The Messenger of Allah.'' He said,

«‫ﺔ‬‫ﺆ ِﻣﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻧﻬ‬‫ﺎ ﹶﻓِﺈ‬‫ﻋِﺘ ﹾﻘﻬ‬ ‫»ﹶﺃ‬ (Free her, for she is a believer.) There are three types of expiation for breaking deliberate oaths, and whichever one chooses, it will suffice, according to the consensus (of the scholars). Allah mentioned the easiest, then the more difficult options, since feeding is easier than giving away clothes, and giving away clothes is easier than freeing a slave. If one is unable to fulfill any of these options, then he fasts for three days for expiation, just as Allah said,

‫ﺎ ٍﻡ‬‫ﻡ ﹶﺛﻠﹶـﹶﺜ ِﺔ ﹶﺃﻳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺼﻴ‬ ِ ‫ﺪ ﹶﻓ‬ ‫ﺠ‬ ِ ‫ﻳ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻦ ﱠﻟ‬‫ﹶﻓﻤ‬ (But whosoever cannot afford (that), then he should fast for three days.) Ubayy bin Ka`b and Ibn Mas`ud and his students read this Ayah as follows, "Then he should fast three consecutive days.'' Even if this statement was not narrated to us as a part of the Qur'an through Mutawatir narration, it would still be an explanation of the Qur'an by the Companions that has the ruling of being related from the Prophet . Allah's statement,

‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﺣﹶﻠ ﹾﻔ‬ ‫ﻢ ِﺇﺫﹶﺍ‬ ‫ـِﻨ ﹸﻜ‬‫ﻳﻤ‬‫ﺭ ﹸﺓ ﹶﺃ‬ ‫ﻚ ﹶﻛﻔﱠﺎ‬  ‫ﺫِﻟ‬

(That is the expiation for the oaths when you have sworn.)5:89 means, this is the legal way to atone for deliberate oaths,

‫ﻢ‬ ‫ﻨ ﹸﻜ‬‫ـ‬‫ﻳﻤ‬‫ﺣ ﹶﻔﻈﹸﻮﹾﺍ ﹶﺃ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭ‬ (And protect your oaths.) Do not leave your broken oaths without paying the expiation for them, according to the meaning given by Ibn Jarir.

‫ـِﺘ ِﻪ‬‫ﻢ ﺁﻳ‬ ‫ﻪ ﹶﻟ ﹸﻜ‬ ‫ﻦ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻴ‬‫ﺒ‬‫ﻳ‬ ‫ﻚ‬  ‫ﹶﻛ ﹶﺬِﻟ‬ (Thus Allah makes clear to you His Ayat) and explains them to you,

‫ﻭ ﹶﻥ‬‫ﺸ ﹸﻜﺮ‬  ‫ﺗ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻌﱠﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﹶﻟ‬ (that you may be grateful.)

ãΝ›?‰¤)tã $yϑÎ/ Νà2ä‹Ï{#xσムÅ3≈s9uρ öΝä3ÏΖ≈yϑ÷ƒr& þ’Îû Èθøó‾=9$$Î/ ª!$# ãΝä.ä‹Ï{#xσムŸω öΝä3ŠÎ=÷δr& tβθßϑÏèôÜè? $tΒ ÅÝy™÷ρr& ôÏΒ tÅ3≈|¡tΒ ÍοuŽ|³tã ãΠ$yèôÛÎ) ÿ…çµè?t≈¤s3sù ( z≈yϑ÷ƒF{$# äοt≈¤x. y7Ï9≡sŒ 4 5Θ$−ƒr& ÏπsW≈n=rO ãΠ$u‹ÅÁsù ô‰Ågs† óΟ©9 yϑsù ( 7πt6s%u‘ ㍃̍øtrB ÷ρr& óΟßγè?uθó¡Ï. ÷ρr& ϵÏG≈tƒ#u öΝä3s9 ª!$# ßÎit7ムy7Ï9≡x‹x. 4 öΝä3oΨ≈yϑ÷ƒr& (#þθÝàxôm$#uρ 4 óΟçFøn=ym #sŒÎ) öΝä3ÏΨ≈yϑ÷ƒr& ∩∇∪ tβρãä3ô±n@ ÷/ä3ª=yès9 Alloh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Alloh menerangkan kepadamu hukumhukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Melanggar Sumpah Wajib Membayar Denda, Denda Sumpah Adalah Berupa Makanan Bukan Uang

Kategori Sumpah Dan Nadzar

Rabu, 30 Nopember 2005 11:11:26 WIB

MELANGGAR SUMPAH DAN DENDANYA

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering bersumpah di hadapan anak-anak saya agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, tapi ternyata mereka tetap saja melakukannya. Apakah dengan demikian saya wajib membayar denda sumpah saya ? Jawaban Apabila anda bersumpah dihadapan anak-anak anda atau dihadapan siapapun agar mereka melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kemudian mereka melanggarnya, maka anda wajib membayar denda sumpah anda tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu†[Al-Ma’idah : 89] Begitu juga jika anda bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, lalu anda melihat bahwa ternyata anda lebih baik membatalkan sumpah anda tersebut, maka batalkanlah sumpah anda kemudian anda membayar denda sumpah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Artinya : Jika engkau bersumpah, kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik dari sumpah tersebut, maka batalkanlah sumpahmu (dengan membayar denda)

dan kerjakanlah sesuatu yang lebih baik dari sumpahmu itu†Bukhari dan Muslim]

[Hadits Riwayat

DENDA SUMPAH ADALAH BERUPA MAKANAN BUKAN UANG Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu saya mempunyai kewajiban membayar denda sumpah (kaffarat yamin). Bolehkah saya yang membayarnya dengan uang real Saudi seharga makanan untuk 10 orang ? Kalau boleh, berapa real yang harus saya keluarkan ? Dan bolehkah uang tersebut saya serahkan kepda yayasan sosial ? Berikanlah jawaban kepada saya, semoga anda diberi pahala oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jawaban Anda boleh membayarkan denda sumpah ibu anda, baik ketika ibu anda masih hidup atau sudah meninggal, dengan syarat ibu anda mengijinkannya. Adapun pembayaran denda tersebut harus berupa makanan, bukan uang. Karena hal tersebut sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Banyaknya makanan yang harus diberikan adalah setengah sha’ ( 1 ½ kg) dan berupa makanan pokok penduduk setempat sepertu : Kurma, beras, jagung dan lain-lain. Atau boleh juga anda memberi makan siang atau malam kepada 10 orang miskin tersebut, atau memberikan kepada mereka pakaian yang bisa dipakai untuk shalat seperti ; ghamis (baju panjang), sarung, baju biasa dan lain-lain.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia Fatawa Bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerbit At-Tibyan – Solo]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1681&bagian=0

_____________________________________

Hukum Mengucapkan Demi Allah Secara Kontinyu Dan Kafarat Sumpah

Kategori Sumpah Dan Nadzar

Senin, 11 April 2005 12:48:57 WIB

HUKUM MENGUCAPKAN “DEMI ALLAH†KAFARAT SUMPAH

SECARA KONTINYU DAN

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan. Syaikh Abdil Aziz bin Baz ditanya : Dalam banyak kesempatan, saya seringkali ketika berbicara mengucapkan “Demi Allah†, apakah hal ini dianggap sebagai sumpah ? Dan bagaimana saya bisa menebusnya (membayar kafarat) bila melanggarnya ? Jawaban Bila seorang muslim atau muslimah yang sudah mukallaf mengulang-ngulang ucapan “Demi Allah†ketika melakukan sesuatu tanpa disengaja dan dimaksudkan, seperti mengucapkan “Demi Allah, aku tidak akan mengunjungi si fulan†atau “Demi Allah, aku akan mengunjungi si fulan†sebanyak dua kali atau lebih, atau “Demi Allah, sungguh aku akan mengunjungi si fulan†dan ucapan seperti itu. Bilamana dia melanggarnya karena tidak melaksanakan perbuatan yang akan dilakukannya berdasarkan sumpahnya tersebut atau melakukan perbuatan yang tidak akan dilakukannya berdasarkan sumpahnya, maka dia wajib membayar kafarat (tebusan) sumpah, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian atau membebaskan budak. Di dalam memberi makan, kadar yang wajibnya adalah setengah Sha’ makanan pokok negeri, berupa kurma, nasi atau lainnya. Yaitu, lebih kurang seukuran 1,5 kg. Sedangkan pakaian adalah sesuatu yang dapat dijadikan untuk shalat seperti kemeja (gamis), kain dan pakaian. Bila salah satu dari tiga hal tersebut tidak mampu dilakukan, maka wajib baginya berpuasa selama tiga hari. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jangalah sumpahmu†[Al-Maidah : 89] Adapun bila sumpah tersebut terucap oleh lidahnya tanpa disengaja atau dimaksudkan, maka ia dianggap tidak berlaku, sehingga dia tidak wajib membayar kafarat atas hal itu. Hal ini berdasarkan ayat yang mulia ini, firmanNya, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)†[Al-Ma’idah : 89]

Dia hanya membayar satu jenis kafarat saja untuk sumpah-sumpah yang terulangulang bil hal itu dilakukan terhadap satu jenis perbuatan sebagaimana yang singgung tadi. Sedangkan bila perbuatan yang dilakukan beragam, maka wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masing sumpah, seperti bila dia mengucapkan “Demi Allah, sungguh aku akan mengunjungi si fulan. Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan si fulan. Demi Allah, sungguh aku akan memukul si fulan†dan yang semisalnya. Jadi, bila salah satu dari sumpah-sumpah ini atau sejenisnya dia langgar, maka dia wajib membayar kafarat untuknya dan bila dia melanggar semuanya, mawa wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masingnya. Wallahu Waliyyut Taufiq [Fatawa Al-Mar’ah, hal 72-73 Dari Fatwa Syaikh Bin Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1401&bagian=0

_______________________

Hukum Nadzar : Makruh Atau Haram?

Kategori Sumpah Dan Nadzar

Jumat, 22 September 2006 14:35:05 WIB

HUKUM NADZAR : MAKRUH ATAU HARAM?

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Setelah seseorang menentukan nadzar dan arahnya ; apakah boleh seseorang merubahnya bila mendapatkan arah yang lebih berhak ? Jawaban Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yaitu bahwa tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun diharamkan sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya di dalam sabdanya. “Artinya : Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil” [1] Maka, kebaikan yang anda perkirakan terjadi dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya. Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila disembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu hilang, dia bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila menemukannya kembali. Kemudian, bila dia ternyata disembuhkan atau menemukan kembali barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa nadzar itu yang menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah adalah Mahamulia dari sekedar kebutuhan akan suatu persyaratan ketika Dia dimintai. Oleh karena itu, anda wajib bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disembuhkan dari sakit ini atau agar barang yang hilang ditemukan kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini. Banyak sekali orang-orang yang bernadzar tersebut, bila sudah mendapatkan apa yang dinadzarkan, kemudian bermalas-malasan untuk menepatinya bahkan barangkali tidak jadi melakukannya. Ini tentunya bahaya yang amat besar. Sebaiknya, dengarkanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut. “Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karuniaNya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” [At-Taubah : 75-77] Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar. Sedangkan jawaban atas pertanyaan diatas, maka kami katakan bahwa bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa yang selainnya lebih baik dan lebih diperkenankan Allah serta lebih berguna bagi para hambaNya, maka tidak apaapa dia merubah arah nadzar tersebut ke arah yang lebih baik.

Dalilnya adalah hadits tentang seorang laki-laki yang datang ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan melakukan shalat di Baitul Maqdis bila kelak Allah menganugrahkan kemenangan kepadamu di dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau menjawab : “Shalatlah di sini saja”, kemudian orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu dijawab oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi urusanmu sendiri” [2] Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang berpindah dari nadzarnya yang kurang utama kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh hukumnya. [Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, hal. 68] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq] _________ Foote Note [1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640). [2]. Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305)

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1949&bagian=0

______________________

Nadzar Hukumnya Makruh Sementara Menepatinya Suatu Keharusan

Kategori Sumpah Dan Nadzar

Senin, 30 Januari 2006 15:14:59 WIB

NADZAR HUKUMNYA MAKRUH SEMENTARA MENEPATINYA SUATU KEHARUSAN

Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Abdurrahnman Al-Jibrin ditanya : Apa sebenarnya hukum syar’iat mengenai nadzar ? Apakah bila tidak menepatinya akan mendapatkan sanksi ? Jawaban. Secara syari’at, hukum nadzar itu adalah makruh. Dalam hal ini terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melakukan nadzar. Beliau bersabda. “Artinya : Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil†[1] Hal itu karena sebagian orang bila sudah sakit, rugi atau disakiti barulah dia bernadzar sedekah, menyembelih atau menyumbang uang bila disembuhkan dari penyakit tersebut atau tidak merugi lagi. Dia berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyembuhkan atau membuatnya beruntung kecuali bila dia melakukan nadzar tersebut. Maka, dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah tidak akan merubah sesuatupun dari apa yang telah Dia takdirkan akan tetapi hal itu adalah perbuatan orang bakhil, yang tidak mau berinfaq kecuali setelah memasang nadzar. Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau I’tikaf, maka harus ditepati. Tetapi bila ia nadzar maksiat seperti membunuh, berzina, minum khamr atau merampas harta orang lain secara zhalim dan semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan seterusnya. Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian, bepergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin dan kaum lemah seperti makanan, meyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal shalih yang bersifat fisik atau materil seperti jihad, haji dan umrah, maka dia harus menepatinya. Bila dia mengkhususkannya untuk suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut seperti masjid, bukubuku atau proyek-proyek kebajikan dan tidak boleh mengalokasikannya kepada selain yang telah ditentukannya tersebut. [Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Jibrin, hal. 67]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 121-122. Penerbit Darul Haq] _________ Foote Note [1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640).

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1750&bagian=0

______________________________________

Mencaci-Maki Agama Dalam Kondisi Emosi

Kategori Syubhat Dan Jawaban

Jumat, 18 Februari 2005 15:02:55 WIB

MENCACI MAKI AGAMA DALAM KONDISI EMOSI

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syari'at menurut pandangan anda terhadap orang yang mencaci-maki agama dalam kondisi emosi, apakah dia wajib membayar kafarat? Apa syarat bertaubat dari perbuatan ini? Mengingat saya pernah mendengar dari para ulama yang mengatakan kepada saya, bahwa berdasarkan ucapanmu tersebut, sesungguhnya kamu telah keluar dari Islam. Demikian juga mereka mengatakan bahwa isterimu itu telah menjadi haram bagimu? Jawaban. Vonis hukum terhadap orang yang mencaci-maki agama Islam adalah bahwa dia telah melakukan kekufuran sebab mencaci-maki agama dan memperolok-oloknya

merupakan tindakan murtad dari Islam dan kekufuran terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dien-Nya. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengisahkan perihal suatu kaum yang memperolok-olok dien Al-Islam, bahwa mereka itu pernah mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Lalu Allah menjelaskan bahwa senda gurau dan bermain-main seperti ini merupakan bentuk olok-olok terhadap Allah, ayat-ayat dan RasulNya dan bahwa mereka telah menjadi kafir karena itu. Allah berfirman. "Artinya : Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.†Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman... [At-Taubah : 65-66] Jadi, memperolok-olok Dienullah, mencaci-makinya, mencaci-maki Allah dan RasulNya atau memperolok keduanya merupakan kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari dien ini. Sekalipun demikian, di sana masih ada peluang untuk bertaubat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Katakanlah, 'Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." [Az-Zumar:53] Bila seseorang bertaubat dari apapun bentuk riddah (keluar dari Islam) yang dilakukannya dan taubatnya itu adalah Taubat Nashuh (taubat yang sebenar-benarnya) serta telah memenuhi lima persyaratan, maka Allah akan menerima taubatNya. Lima syarat yang dimaksud adalah: Pertama. Taubatnya tersebut dilakukannya dengan ikhlas semata karena Allah. Jadi, faktor yang mendorongnya untuk bertaubat, bukanlah karena riya', nama baik (prestise), takut kepada makhluk ataupun mengharap suatu urusan duniawi yang ingin diraihnya. Bila dia telah berbuat ikhlas dalam taubatnya kepada Allah dan faktor yang mendorongnya adalah ketaqwaan kepada-Nya, takut akan siksaanNya serta mengharap pahalaNya, maka berarti dia telah berbuat ikhlas dalam hal tersebut. Kedua. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Yakni, seseorang mendapati dirinya sangat menyesal dan bersedih atas perbuatan yang telah lalu tersebut serta memandangnya sebagai perkara besar yang wajib baginya untuk melepaskan diri darinya. Ketiga. Berhenti total dari dosa tersebut dan keinginan untuk terus melakukannya. Bila dosanya tersebut berupa tindakannya meninggalkan hal yang wajib, maka setelah taubat dia harus melakukannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa tindakannya melakukan sesuatu

yang diharamkan, maka dia harus cepat berhenti total dan menjauhinya. Termasuk juga, bila dosa yang dilakukan terkait dengan makhluk, maka dia harus memberikan hak-hak mereka tersebut atau meminta dihalalkan darinya. Keempat. Bertekad untuk tidak lagi mengulanginya di masa yang akan datang. Yakni, di dalam hatinya harus tertanam tekad yang bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya. Kelima. Taubat tersebut hendaklah terjadi pada waktu yang diperkenankan. Jika terjadi setelah lewat waktu yang diperkenankan tersebut, maka ia tidak diterima. Lewatnya waktu yang diperkenankan tersebut dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat khusus. Waktu yang bersifat umum adalah saat matahari terbit dari arah terbenamnya. Maka, bertaubat setelah matahari terbit dari arah terbenamnya tidak dapat diterima. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : (Atau) kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. " [Al-An'am:158] Sedangkan waktu yang bersifat khusus adalah saat ajal menjelang. Maka, bila ajal telah menjelang, maka tidak ada gunanya lagi bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah. "Artinya : Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang', Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. "[AnNisa':18] Saya tegaskan kembali, sesungguhnya bila seseorang bertaubat dari dosa apa saja sekalipun berupa caci-maki terhadap agama, maka taubatnya diterima bilamana memenuhi persyaratan yang telah kami singgung tadi. Akan tetapi perlu dia ketahui bahwa suatu ucapan bisa jadi dinilai sebagai kekufuran dan riddah, akan tetapi orang yang mengucapkannya bisa jadi tidak divonis kafir karenanya dengan adanya salah satu penghalang yang menghalangi dari memberikan vonis kafir tersebut terhadapnya. Dan terhadap orang yang menyebutkan bahwa dirinya telah mencaci-maki agamanya tersebut dalam kondisi emosi, kami katakan, "Jika emosi anda demikian meledak sehingga anda tidak sadar lagi apa yang telah diucapkan, anda tidak sadar lagi di mana diri anda saat itu; di langit atau masih di bumi dan anda telah mengucapkan suatu ucapan yang tidak anda ingat dan tidak anda ketahui, maka ucapan seperti ini tidak dapat dijatuhkan hukum atasnya. Dengan begitu, tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadap diri anda karena apa yang anda ucapkan adalah ucapan yang terjadi di bawah sadar (tidak diinginkan dan dimaksudkan demikian). Dan, setiap ucapan yang terjadi di bawah sadar seperti itu, maka Allah tidak akan menghukum anda atasnya. Dalam hal ini, Dia berfirman mengenai sumpah-sumpah tersebut.

"Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang disengaja. " [al-Ma'idah:89] Bila orang yang mengucapkan ucapan kekufuran ini dalam kondisi emosionil yang teramat sangat (meledak-ledak) sehingga dia tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak tahu apa yang telah keluar dari mulutnya, maka tidak dapat dijatuhkan hukum atas ucapannya tersebut. Dengan begitu, dia juga tidak dapat dijatuhi vonis riddah. Manakala tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadapnya, maka pernikahannya dengan isterinya tidak (secara otomatis) menjadi batal (fasakh). Artinya, dia tetap menjadi isterinya yang sah akan tetapi semestinya bila seseorang merasakan dirinya tersulut emosi, maka cepat-cepatlah memadamkan emosinya ini. Yaitu dengan cara yang telah diwasiatkan Nabi Saw saat ada seorang laki-laki bertanya kepadanya sembari berkata, "Wahai Rasulullah, berilah wasiat (nasehat) kepadaku!." Lalu beliau menjawab, "Janganlah kamu marah. " Lantas orang itu berkali-kali mengulangi lagi pertanyaan itu dan beliaupun tetap menjawab, ''Janganlah kamu emosi. " Hendaknya dia dapat menstabilkan kondisi dirinya dan meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Bila dia ketika itu sedang berdiri, maka hendaklah duduk; bila dia sedang duduk, maka hendaklah berbaring; dan bila emosinya benar-benar meledak, maka hendaklah dia berwudhu. Melakukan hal-hal seperti ini dapat menghilangkan emosi dari dirinya. Alangkah banyak orang yang menyesal dengan suatu penyesalan yang besar karena telah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ada di dalam emosinya tersebut akan tetapi (sangat disayangkan) hal itu setelah waktunya sudah terlewati (alias nasi telah menjadi bubur). [Nur 'Ala ad-Darb, dari fatwa Ibn Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1351&bagian=0

_________________________________

ÍοuŽ|³tã ãΠ$yèôÛÎ) ÿ…çµè?t≈¤s3sù ( z≈yϑ÷ƒF{$# ãΝ›?‰¤)tã $yϑÎ/ Νà2ä‹Ï{#xσムÅ3≈s9uρ öΝä3ÏΖ≈yϑ÷ƒr& þ’Îû Èθøó‾=9$$Î/ ª!$# ãΝä.ä‹Ï{#xσムŸω 4 5Θ$−ƒr& ÏπsW≈n=rO ãΠ$u‹ÅÁsù ô‰Ågs† óΟ©9 yϑsù ( 7πt6s%u‘ ㍃̍øtrB ÷ρr& óΟßγè?uθó¡Ï. ÷ρr& öΝä3ŠÎ=÷δr& tβθßϑÏèôÜè? $tΒ ÅÝy™÷ρr& ôÏΒ tÅ3≈|¡tΒ tβρãä3ô±n@ ÷/ä3ª=yès9 ϵÏG≈tƒ#u öΝä3s9 ª!$# ßÎit7ムy7Ï9≡x‹x. 4 öΝä3oΨ≈yϑ÷ƒr& (#þθÝàxôm$#uρ 4 óΟçFøn=ym #sŒÎ) öΝä3ÏΨ≈yϑ÷ƒr& äοt≈¤x. y7Ï9≡sŒ ∩∇∪ Alloh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Alloh menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

1

Kategori Sumpah Dan Nadzar Rabu, 30 November 2005 11:11:26 WIB MELANGGAR SUMPAH DAN DENDANYA Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya sering bersumpah di hadapan anak-anak saya agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, tapi ternyata mereka tetap saja melakukannya. Apakah dengan demikian saya wajib membayar denda sumpah saya ? Jawaban Apabila anda bersumpah dihadapan anak-anak anda atau dihadapan siapapun agar mereka melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kemudian mereka melanggarnya, maka anda wajib membayar denda sumpah anda tersebut. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Artinya : Alloh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu [Al-Maaidah : 89] Begitu juga jika anda bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, lalu anda melihat bahwa ternyata anda lebih baik membatalkan sumpah anda tersebut, maka batalkanlah sumpah anda kemudian anda membayar denda sumpah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ShollAllohu ‘alaihi wa sallam Artinya : Jika engkau bersumpah, kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik dari sumpah tersebut, maka batalkanlah sumpahmu (dengan membayar denda) dan kerjakanlah sesuatu yang lebih baik dari sumpahmu itu[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

DENDA SUMPAH ADALAH BERUPA MAKANAN BUKAN UANG Pertanyaan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu saya mempunyai kewajiban membayar denda sumpah (kaffarat yamin). Bolehkah saya yang membayarnya dengan uang real Saudi seharga makanan untuk 10 orang ? Kalau boleh, berapa real yang harus saya keluarkan ? Dan bolehkah uang tersebut saya serahkan kepda yayasan sosial ? Berikanlah jawaban kepada saya, semoga anda diberi pahala oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Jawaban Anda boleh membayarkan denda sumpah ibu anda, baik ketika ibu anda masih hidup atau sudah meninggal, dengan syarat ibu anda mengijinkannya. Adapun pembayaran denda tersebut harus berupa makanan, bukan uang. Karena hal tersebut sudah ditetapkan dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Banyaknya makanan yang harus diberikan adalah setengah sha’ ( 1 ½ kg) dan berupa makanan pokok penduduk setempat sepertu : Kurma, beras, jagung dan lainlain. Atau boleh juga anda memberi makan siang atau malam kepada 10 orang miskin tersebut, atau memberikan kepada mereka pakaian yang bisa dipakai untuk shalat seperti ; ghamis (baju panjang), sarung, baju biasa dan lainlain. 2

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia Fatawa Bin Baaz, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Penerbit At-Tibyan Solo] Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1681&bagian=0

Hukum Mengucapkan Demi Alloh Secara Kontinyu Dan Kafarat Sumpah Kategori Sumpah Dan Nadzar Senin, 11 April 2005 12:48:57 WIB HUKUM MENGUCAPKAN DEMI ALLOHSECARA KONTINYU DAN KAFARAT SUMPAH Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz Pertanyaan. Syaikh Abdil Aziz bin Baz ditanya : Dalam banyak kesempatan, saya seringkali ketika berbicara mengucapkan Demi Alloh, apakah hal ini dianggap sebagai sumpah ? Dan bagaimana saya bisa menebusnya (membayar kafarat) bila melanggarnya ? Jawaban Bila seorang muslim atau muslimah yang sudah mukallaf mengulang-ngulang ucapan Demi Allohketika melakukan sesuatu tanpa disengaja dan dimaksudkan, seperti mengucapkan Demi Alloh, aku tidak akan mengunjungi si fulanatau Demi Alloh, aku akan mengunjungi si fulansebanyak dua kali atau lebih, atau Demi Alloh, sungguh aku akan mengunjungi si fulandan ucapan seperti itu. Bilamana dia melanggarnya karena tidak melaksanakan perbuatan yang akan dilakukannya berdasarkan sumpahnya tersebut atau melakukan perbuatan yang tidak akan dilakukannya berdasarkan sumpahnya, maka dia wajib membayar kafarat (tebusan) sumpah, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian atau membebaskan budak. Di dalam memberi makan, kadar yang wajibnya adalah setengah Sha’ makanan pokok negeri, berupa kurma, nasi atau lainnya. Yaitu, lebih kurang seukuran 1,5 kg. Sedangkan pakaian adalah sesuatu yang dapat dijadikan untuk shalat seperti kemeja (gamis), kain dan pakaian. Bila salah satu dari tiga hal tersebut tidak mampu dilakukan, maka wajib baginya berpuasa selama tiga hari. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Artinya : Alloh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jangalah sumpahmu[Al-Maidah : 89] Adapun bila sumpah tersebut terucap oleh lidahnya tanpa disengaja atau dimaksudkan, maka ia dianggap tidak berlaku, sehingga dia tidak wajib membayar kafarat atas hal itu. Hal ini berdasarkan ayat yang mulia ini, firmanNya, Alloh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) [Al-Maaidah : 89] Dia hanya membayar satu jenis kafarat saja untuk sumpah-sumpah yang terulang-ulang bil hal itu dilakukan terhadap satu jenis perbuatan sebagaimana yang singgung tadi. Sedangkan bila perbuatan yang dilakukan beragam, maka wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masing sumpah, seperti bila dia mengucapkan Demi Alloh, sungguh aku akan mengunjungi si fulan. Demi Alloh, aku tidak akan berbicara dengan si fulan. Demi Alloh, sungguh aku akan memukul si fulandan yang semisalnya. Jadi, bila salah satu dari sumpah-sumpah ini atau sejenisnya dia langgar, maka dia wajib membayar kafarat untuknya dan bila dia melanggar semuanya, mawa wajib baginya membayar kafarat untuk masing-masingnya. WAllohu Waliyyut Taufiq 3

[Fatawa Al-Mar’ah, hal 72-73 Dari Fatwa Syaikh Bin Baz] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq] Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1401&bagian=0

Hukum Nadzar : Makruh Atau Haram? Kategori Sumpah Dan Nadzar Jumat, 22 September 2006 14:35:05 WIB HUKUM NADZAR : MAKRUH ATAU HARAM?

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Setelah seseorang menentukan nadzar dan arahnya ; apakah boleh seseorang merubahnya bila mendapatkan arah yang lebih berhak ? Jawaban Akan saya kemukakan mukadimah terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan tersebut, yaitu bahwa tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun diharamkan sebab Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam melarangnya di dalam sabdanya. “Artinya : Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil” [1] Maka, kebaikan yang anda perkirakan terjadi dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya. Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila disembuhkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu hilang, dia bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila menemukannya kembali. Kemudian, bila dia ternyata disembuhkan atau menemukan kembali barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa nadzar itu yang menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dan Alloh adalah Mahamulia dari sekedar kebutuhan akan suatu persyaratan ketika Dia dimintai. Oleh karena itu, anda wajib bermohon kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar disembuhkan dari sakit ini atau agar barang yang hilang ditemukan kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini. Banyak sekali orang-orang yang bernadzar tersebut, bila sudah mendapatkan apa yang dinadzarkan, kemudian bermalas-malasan untuk menepatinya bahkan barangkali tidak jadi melakukannya. Ini tentunya bahaya yang amat besar. Sebaiknya, dengarkanlah firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut. “Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Alloh : ‘Sesungguhnya jika Alloh memberikan sebahagian dari karuniaNya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih’. Maka setelah Alloh memberikan kepada mereka sebahagian dari karuniaNya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Alloh menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Alloh, karena mereka telah memungkiri terhadap Alloh apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” [At-Taubah : 75-77] 4

Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar. Sedangkan jawaban atas pertanyaan diatas, maka kami katakan bahwa bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa yang selainnya lebih baik dan lebih diperkenankan Alloh serta lebih berguna bagi para hambaNya, maka tidak apa-apa dia merubah arah nadzar tersebut ke arah yang lebih baik. Dalilnya adalah hadits tentang seorang laki-laki yang datang ke hadapan Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan melakukan shalat di Baitul Maqdis bila kelak Alloh menganugrahkan kemenangan kepadamu di dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau menjawab : “Shalatlah di sini saja”, kemudian orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu dijawab oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi urusanmu sendiri” [2] Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang berpindah dari nadzarnya yang kurang utama kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh hukumnya. [Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, hal. 68] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq] _________ Foote Note [1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640). [2]. Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305)

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1949&bagian=0

Nadzar Hukumnya Makruh Sementara Menepatinya Suatu Keharusan Kategori Sumpah Dan Nadzar Senin, 30 Januari 2006 15:14:59 WIB NADZAR HUKUMNYA MAKRUH SEMENTARA MENEPATINYA SUATU KEHARUSAN Oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin Pertanyaan Syaikh Abdullah bin Abdurrahnman Al-Jibrin ditanya : Apa sebenarnya hukum syari’at mengenai nadzar ? Apakah bila tidak menepatinya akan mendapatkan sanksi ? Jawaban. Secara syari’at, hukum nadzar itu adalah makruh. Dalam hal ini terdapat hadits shahih dari Nabi ShollAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang melakukan nadzar. Beliau bersabda. Artinya : Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil[1] Hal itu karena sebagian orang bila sudah sakit, rugi atau disakiti barulah dia bernadzar sedekah, menyembelih atau menyumbang uang bila disembuhkan dari penyakit tersebut atau tidak merugi lagi. Dia berkeyakinan bahwa Alloh 5

tidak akan menyembuhkan atau membuatnya beruntung kecuali bila dia melakukan nadzar tersebut. Maka, dalam hadits tersebut, Nabi ShollAllohu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Alloh tidak akan merubah sesuatupun dari apa yang telah Dia takdirkan akan tetapi hal itu adalah perbuatan orang bakhil, yang tidak mau berinfaq kecuali setelah memasang nadzar. Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau I’tikaf, maka harus ditepati. Tetapi bila ia nadzar maksiat seperti membunuh, berzina, minum khamr atau merampas harta orang lain secara zhalim dan semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan seterusnya. Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian, bepergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada Alloh, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin dan kaum lemah seperti makanan, meyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal shalih yang bersifat fisik atau materil seperti jihad, haji dan umrah, maka dia harus menepatinya. Bila dia mengkhususkannya untuk suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut seperti masjid, buku-buku atau proyek-proyek kebajikan dan tidak boleh mengalokasikannya kepada selain yang telah ditentukannya tersebut. [Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Jibrin, hal. 67]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 121-122. Penerbit Darul Haq] _________ Foote Note [1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640). Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1750&bagian=0

Mencaci-Maki Agama Dalam Kondisi Emosi Kategori Syubhat Dan Jawaban Jumat, 18 Februari 2005 15:02:55 WIB MENCACI MAKI AGAMA DALAM KONDISI EMOSI Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syari'at menurut pandangan anda terhadap orang yang mencaci-maki agama dalam kondisi emosi, apakah dia wajib membayar kafarat? Apa syarat bertaubat dari perbuatan ini? Mengingat saya pernah mendengar dari para ulama yang mengatakan kepada saya, bahwa berdasarkan ucapanmu tersebut, sesungguhnya kamu telah keluar dari Islam. Demikian juga mereka mengatakan bahwa isterimu itu telah menjadi haram bagimu? Jawaban. Vonis hukum terhadap orang yang mencaci-maki agama Islam adalah bahwa dia telah melakukan kekufuran sebab mencaci-maki agama dan memperolok-oloknya merupakan tindakan murtad dari Islam dan kekufuran terhadap Alloh Subhanahu wa Ta'ala dan dien-Nya. Dalam hal ini, Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah mengisahkan perihal suatu kaum yang memperolok-olok dien Al-Islam, bahwa mereka itu pernah mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Lalu Alloh menjelaskan bahwa senda gurau dan bermain-main seperti ini merupakan bentuk olok-olok terhadap Alloh, ayat-ayat dan RasulNya dan bahwa mereka telah menjadi kafir karena itu. Alloh berfirman. "Artinya : Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.Katakanlah, Apakah dengan Alloh, 6

ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman... [At-Taubah : 65-66] Jadi, memperolok-olok Dienullah, mencaci-makinya, mencaci-maki Alloh dan RasulNya atau memperolok keduanya merupakan kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari dien ini. Sekalipun demikian, di sana masih ada peluang untuk bertaubat, sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : Katakanlah, 'Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Alloh. Sesungguhnya Alloh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." [Az-Zumar:53] Bila seseorang bertaubat dari apapun bentuk riddah (keluar dari Islam) yang dilakukannya dan taubatnya itu adalah Taubat Nashuh (taubat yang sebenar-benarnya) serta telah memenuhi lima persyaratan, maka Alloh akan menerima taubatNya. Lima syarat yang dimaksud adalah: Pertama. Taubatnya tersebut dilakukannya dengan ikhlas semata karena Alloh. Jadi, faktor yang mendorongnya untuk bertaubat, bukanlah karena riya', nama baik (prestise), takut kepada makhluk ataupun mengharap suatu urusan duniawi yang ingin diraihnya. Bila dia telah berbuat ikhlas dalam taubatnya kepada Alloh dan faktor yang mendorongnya adalah ketaqwaan kepada-Nya, takut akan siksaanNya serta mengharap pahalaNya, maka berarti dia telah berbuat ikhlas dalam hal tersebut. Kedua. Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Yakni, seseorang mendapati dirinya sangat menyesal dan bersedih atas perbuatan yang telah lalu tersebut serta memandangnya sebagai perkara besar yang wajib baginya untuk melepaskan diri darinya. Ketiga. Berhenti total dari dosa tersebut dan keinginan untuk terus melakukannya. Bila dosanya tersebut berupa tindakannya meninggalkan hal yang wajib, maka setelah taubat dia harus melakukannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa tindakannya melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia harus cepat berhenti total dan menjauhinya. Termasuk juga, bila dosa yang dilakukan terkait dengan makhluk, maka dia harus memberikan hak-hak mereka tersebut atau meminta dihalalkan darinya. Keempat. Bertekad untuk tidak lagi mengulanginya di masa yang akan datang. Yakni, di dalam hatinya harus tertanam tekad yang bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya. Kelima. Taubat tersebut hendaklah terjadi pada waktu yang diperkenankan. Jika terjadi setelah lewat waktu yang diperkenankan tersebut, maka ia tidak diterima. Lewatnya waktu yang diperkenankan tersebut dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat khusus. Waktu yang bersifat umum adalah saat matahari terbit dari arah terbenamnya. Maka, bertaubat setelah matahari terbit dari arah terbenamnya tidak dapat diterima. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya : (Atau) kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. " [AlAn'am:158] Sedangkan waktu yang bersifat khusus adalah saat ajal menjelang. Maka, bila ajal telah menjelang, maka tidak ada gunanya lagi bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Alloh. "Artinya : Dan tidaklah taubat itu diterima Alloh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, 'Sesungguhnya saya bertaubat sekarang', Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. "[An-Nisa':18] 7

Saya tegaskan kembali, sesungguhnya bila seseorang bertaubat dari dosa apa saja sekalipun berupa caci-maki terhadap agama, maka taubatnya diterima bilamana memenuhi persyaratan yang telah kami singgung tadi. Akan tetapi perlu dia ketahui bahwa suatu ucapan bisa jadi dinilai sebagai kekufuran dan riddah, akan tetapi orang yang mengucapkannya bisa jadi tidak divonis kafir karenanya dengan adanya salah satu penghalang yang menghalangi dari memberikan vonis kafir tersebut terhadapnya. Dan terhadap orang yang menyebutkan bahwa dirinya telah mencaci-maki agamanya tersebut dalam kondisi emosi, kami katakan, "Jika emosi anda demikian meledak sehingga anda tidak sadar lagi apa yang telah diucapkan, anda tidak sadar lagi di mana diri anda saat itu; di langit atau masih di bumi dan anda telah mengucapkan suatu ucapan yang tidak anda ingat dan tidak anda ketahui, maka ucapan seperti ini tidak dapat dijatuhkan hukum atasnya. Dengan begitu, tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadap diri anda karena apa yang anda ucapkan adalah ucapan yang terjadi di bawah sadar (tidak diinginkan dan dimaksudkan demikian). Dan, setiap ucapan yang terjadi di bawah sadar seperti itu, maka Alloh tidak akan menghukum anda atasnya. Dalam hal ini, Dia berfirman mengenai sumpahsumpah tersebut. "Artinya : Alloh tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja. " [al-Ma'idah:89] Bila orang yang mengucapkan ucapan kekufuran ini dalam kondisi emosionil yang teramat sangat (meledak-ledak) sehingga dia tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak tahu apa yang telah keluar dari mulutnya, maka tidak dapat dijatuhkan hukum atas ucapannya tersebut. Dengan begitu, dia juga tidak dapat dijatuhi vonis riddah. Manakala tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadapnya, maka pernikahannya dengan isterinya tidak (secara otomatis) menjadi batal (fasakh). Artinya, dia tetap menjadi isterinya yang sah akan tetapi semestinya bila seseorang merasakan dirinya tersulut emosi, maka cepat-cepatlah memadamkan emosinya ini. Yaitu dengan cara yang telah diwasiatkan Nabi Saw saat ada seorang laki-laki bertanya kepadanya sembari berkata, "Wahai Rasulullah, berilah wasiat (nasehat) kepadaku!." Lalu beliau menjawab, "Janganlah kamu marah. " Lantas orang itu berkali-kali mengulangi lagi pertanyaan itu dan beliaupun tetap menjawab, ''Janganlah kamu emosi. " Hendaknya dia dapat menstabilkan kondisi dirinya dan meminta perlindungan kepada Alloh dari godaan setan yang terkutuk. Bila dia ketika itu sedang berdiri, maka hendaklah duduk; bila dia sedang duduk, maka hendaklah berbaring; dan bila emosinya benar-benar meledak, maka hendaklah dia berwudhu. Melakukan hal-hal seperti ini dapat menghilangkan emosi dari dirinya. Alangkah banyak orang yang menyesal dengan suatu penyesalan yang besar karena telah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ada di dalam emosinya tersebut akan tetapi (sangat disayangkan) hal itu setelah waktunya sudah terlewati (alias nasi telah menjadi bubur). [Nur 'Ala ad-Darb, dari fatwa Ibn Utsaimin] [Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq] Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1351&bagian=0

8

kondisi benar serta janganlah dia bersumpah kecuali menunjukkan sikap menyepelekan sumpah tersebut,

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

akan mengunjungi si fulan" dan ucapan seperti itu.

disengaja atau dimaksudkan, maka ia dianggap tidak

tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

ternyata anda lebih baik membatalkan sumpah anda

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, edisi Indonesia

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

Ukuran "Memberi Makan" dalam Kafarat Sumpah Syaikh Ibnu Jibrin

Pertanyaan: Kami mengetahui bahwa kafarat sumpah adalah memberi makan tiga orang miskin. Akan tetapi berapa ukuran pemberian makan terhadap seorang miskinnya? Dan apa saja jenisnya? Jawaban: Kafarat sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin atau memberi pakaian atau membebaskan seorang budak. Barang-siapa tidak mendapatkannya, maka hendaknya dia berpuasa tiga hari berturut-turut. Memberi makan tersebut diambil dari pertengahan ukuran memberi makan seorang yang bersumpah terhadap keluarganya, yakni (mengajak) mereka makan siang atau malam di sisinya hingga kenyang atau memberikan mereka ma-kanan yang cukup bagi kebutuhan makan semalam. Ukurannya adalah sekitar setengah Sha' beras atau selainnya. Sedangkan pakaian adalah sesuatu yang dapat digunakan untuk melakukan shalat.

Rujukan: Fatawa al-Mar'ah, dari Fatwa Syaikh Ibn Jibrin, h.69. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq. Kategori: Sumpah - Nadzar Sumber: http://fatwa-ulama.com

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

Beberapa Pertanyaan Seputar Kafarat Sumpah dan Persaksian Syaikh Ibnu Jibrin

Pertanyaan: - Jika saya tidak mendapatkan sepuluh orang miskin di ne-geri di mana saya tinggal, apakah boleh memberikannya kepada seorang saja seukuran memberi makan sepuluh orang yang ber-hak menerima kafarat? - Dengan apa kafarat diukur- Dalam artian, apakah boleh membayar kafarat dengan beras karena ia merupakan makanan pokok negeri kami? Dan bila harta (uang) lebih banyak berguna bagi seorang miskin, apakah boleh menyedekahkan harga kafarat sebagai ganti barangnya? Berapa Riyalkah per orangnya diberikan? - Bila ada seorang ibu yang banyak bersumpah terhadap anak-anaknya agar mereka mau melakukan tugas dan biasanya anak-anak tersebut melanggar perintahnya sehingga otamatis dia (sang ibu) melanggar sumpahnya tersebut, apakah dia wajib membayar kafarat? Ataukah sumpahnya itu dianggap tidak ada/berlaku (al-Laghw)? Terjadi perselisihan pendapat antara seorang temanku sesama wanita dan seorang ibu guru. Temanku yang murid ini ber-bicara dengan si ibu guru dengan suara keras tanpa seizinnya. Lalu ibu guru ini memintaku bersaksi kontra temanku itu namun aku justru bersaksi untuknya (pro/berpihak kepadanya). Aku katakan bahwa dia telah meminta izinnya padahal aku tahu bahwa dia tidak pernah meminta izin kepadanya. Hal ini aku lakukan karena rasa grogiku di hadapan direktur (wanita) dan kekhawatiranku atas (sanksi yang akan dikenakan terhadap) temanku itu. Setelah itu, aku sangat menyesali perbuatanku tersebut dan aku ingin meminta maaf kepada si ibu guru akan tetapi dia keburu meninggalkan Kerajaan Arab Saudi; apakah tindakan yang harus aku lakukan? Jawaban: - Anda harus mencari orang-orang miskin di negeri anda. Bila

- Anda harus mencari orang-orang miskin di negeri anda. Bila tidak menemukannya, maka carilah di negeri lain yang lebih dekat dan bila anda hanya menemukan seorang miskin saja, maka boleh anda memberinya makan untuk sepuluh hari. - Ya, anda boleh membayar kafarat-kafarat kepada beberapa lembaga kebajikan (amal) yang menghimpun harta sedekah, sum-bangan dan semisalnya serta mengalokasikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Sehingga kaum lemah yang memerlu-kannya bisa datang ke sana, lalu lembaga ini memberikan masing-masing sesuai haknya atau meringankan hajatnya. - Boleh hukumnya mengumpulkan orang-orang miskin dan memberi makan mereka hingga mereka kenyang, baik makan siang atau malam. Bila seseorang lebih memilih untuk langsung menye-rahkannya, maka dia boleh memberikan kepada mereka konsumsi makanan yang biasa disediakan untuk dirinya dan keluarganya. Bila kebanyakan makanan yang mereka konsumsi adalah beras dan daging, maka dia harus memberikan hal itu kepada mereka untuk kebutuhan semalam. Sedangkan membayarnya dengan harga (uang), maka hal itu tidak sah sekalipun lebih menyentuh dan bermanfaat bagi mereka, sebab biasanya mereka memang tidak mengetahui apa jenis memberi makan yang sesuai dengan yang telah disyari'atkan Allah. - Kami berpendapat bahwa sumpah yang banyak terjadi dari para ibu-ibu tersebut dan semisal mereka ini masih termasuk ke dalam kategori sumpah yang tidak dianggap ada (al-Laghw) karena hal itu tidak disertai dengan niat yang kuat atasnya. Se-mentara Allah berfirman, "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah)." (Al-Ma'idah:89). Yakni, yang telah dicamkan oleh hati dan diniatkan dengan kuat. Sedangkan sumpah-sumpah yang banyak tersebut, biasanya diucapkan hanya dalam rangka menakut-nakuti dan

biasanya diucapkan hanya dalam rangka menakut-nakuti dan mengancam saja, sehingga tidak perlu membayar kafarat. - Anda telah terjerumus ke dalam kesalahan ketika persaksian anda tersebut bertentangan dengan realitas yang ada. Akan tetapi kafarat atas hal itu hanyalah bertaubat, istighfar dan memohon maaf kepada direktur sekolah serta berdoa untuk si ibu guru tersebut dan memohonkan ampunan untuknya bila tidak memungkin-kan lagi secara langsung meminta maaf kepadanya. Wallahul Muwaffiq.

Rujukan: Fatawa al-Mar'ah, dari fatwa Syaikh Ibn Jibrin, h.69-70. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq. Kategori: Sumpah - Nadzar Sumber: http://fatwa-ulama.com

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

sedekah atau I'tikaf, maka harus ditepati. Tetapi bila ia

harus menyerahkannya kepada pihak yang telah

[1]. Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa

wajib membayar kafarat? Apa syarat bertaubat dari

Vonis hukum terhadap orang yang mencaci-maki agama

mengisahkan perihal suatu kaum yang memperolok-olok

dari Islam) yang dilakukannya dan taubatnya itu adalah

atas perbuatan yang telah lalu tersebut serta

membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa

bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan maksiat yang

waktu yang diperkenankan tersebut dapat bersifat umum

bertaubat setelah matahari terbit dari arah terbenamnya

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

tersebut, sesungguhnya kamu telah keluar dari Islam.

Vonis hukum terhadap orang yang mencaci-maki agama

mengisahkan perihal suatu kaum yang memperolok-olok

terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-

dari Islam) yang dilakukannya dan taubatnya itu adalah

, Berhenti total dari dosa tersebut dan keinginan

waktu yang diperkenankan tersebut dapat bersifat umum

bertaubat setelah matahari terbit dari arah terbenamnya

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-

Dibuat oleh SalafiDB http://salafidb.googlepages.com

Related Documents

Sumpah Dan Nazar
June 2020 18
Nazar-takleef
December 2019 12
Sumpah Perawat.pdf
December 2019 42
Sumpah Pemuda
November 2019 44
Sumpah Pemuda.docx
December 2019 32

More Documents from "Nur Aisyah"