Bahtera Dakwah Salafiyah di Lautan Indonesia September 19th, 2005 10:32 am (Nasehat) Risalah ini merupakan tulisan ustadz kami, ustadz Arifin Badri - hafidhohullahu-. Beliau merupakan seorang penuntut ilmu yang sekarang sedang mengambil studi Doktor (S3) di Universitas Islam Madinah, Madinah, Arab Saudi. Risalah ringkas ini mencoba mengulas satu sisi kecil fenomena bahtera dakwah salafiyah di negeri ini. Tulisan ini tidak hanya sekedar bercerita, akan tetapi berisikan nasehat yang sangat berguna bagi kita para penuntut ilmu, bahkan bagi orang yang awam sekalipun. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari risalah ini dan menerima setiap kebenaran yang tampak di hadapan kita. Judul Asli : Bahtera Dakwah Salaf di Lautan Indonesia* Penulis : Ustadz Arifin Badri, Lc., MA.
Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari kita selalu bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan dengan dakwah salafiyyah di indonesia untuk sedikit menoleh kebelakang, guna menilik kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini. Umar bin Khatthab rodhiallahu’anhu pernah berkata, yang artinya : Bermuhasabahlah (introspeksi dirilah) sebelum kalian dihisab (Riwayat At-Tirmizi dan Ibnu Abi Syaibah). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak untuk bersama-sama kita lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang telah merasakan adanya berbagai aral dan berbagai badai yang sedang menerpa bahtera dakwah ini. Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa, bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan tenggelam. Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, tatkala beliau bersabda: Artinya: Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan (syariat) Allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal / bahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata: seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu orangorang yang berada diatas kita. Nah apabila mereka semua membiarkan orang-orang tersebut melaksanakan keinginannya, niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah
1
orang-orang tersebut, niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun akan selamat (HR. Bukhori). Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negeri kita, kita akan melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat saya, ada enam permasahan yang sepututnya kita pikirkan bersama, kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam permasalahan tersebut adalah : 1. 2. 3. 4.
Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri. Kedudukan uang transportasi bagi seorang da’i. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama’ah. 5. Ketidak mampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan argumentasi lawan. 6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama’. Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut satu persatu : Tidak Sistematis Dalam Belajar dan Mengajar Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama’ -baik ulama’ terdahulu maupun ulama’ zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan seterusnya, ini yang disebut dalam bahasa arab . Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu, maka dia harus bisa memilah, ilmu apa yang paling penting dan paling mendesak untuk ia pelajari, maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar. Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia mempelajari hal-hal lainnya. Sebagai contoh, ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim, adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai? Apakah kita mulai dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyyah, ataukah tauhid rububiyyah, ataukah tauhid asma’ was shifat? Mungkin ada yang berkata, “Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula atau orang awam, yang belum tahu apa-apa?”. Nah inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam, tentunya ia tidak akan mampu melakukan hal ini dengan sendiri, oleh karena itu, disini datanglah peran para asatidzah dan du’at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya. Nah, kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para asatidzah dan du’at-du’at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat. Sabda Rasululllah Shollallahu’alaihiwasallam, yang artinya: Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya didustakan. (Diriwaratkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam kitab Al Jami’, keduanya dengan menyebutkan sanadnya).
2
Sebagai contoh nyata, pada kurang lebih 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah (test seleksi mahasiswa untuk belajar di Al Jami’ah Al Islamiyyah ), berkumpullah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu beberapa asatidzah –termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syeikh yang sedang menjalankan test muqabalah tersebut, guna memohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas dan kemudian menguji e 50 tkhullab tersebut. Alhamdulillah, salah seorang syeikh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syeikh tersebut bernama ”Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqiil”, dan ketika beliau sudah tiba dipesantren yang dimaksud, maka beliau langsung menguji ke 50 thullab satu demi satu. Diantara pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka : “Sebutkan rukun-rukun sholat!”. Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada salah satu dari mereka yang memberanikan diri untuk menjawab, dan berkata ”Diantara rukun sholat adalah berwudlu sebelumnya”. Syeikh tersebut kemudian bertanya kepada salah seorang mereka, ”Siapakah yang lebih kafir, ahlul bid’ah ataukah yahudi?”, maka dengan sekonyong-konyong orang tersebut berkata “Ahlul bid’ah lebih kafir dibanding yahudi”. Tatkala syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut, beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan ini, dan berkata: ”Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf?!, siapakah yang mengajari kalian demikian?!. Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang ustadz yang berceramah dan berkata: “Sesungguhnya syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit”. Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid’ah banyak dari mereka tidak sampai kepada kekufuran??? Contoh lain, beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis di lingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll. Contoh lain, setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama yang ditulis oleh ulama’ulama’ zaman sekarang, seperti Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Masyhur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan daurah-daurah membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi, maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut, akan tetapi, sistematis dalam belajar dan mengajar harus tetap dijaga. Contoh lain, tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da’i yang sedang ditahzir, maka disetiap kota, dan setiap majlis, pembicaraan dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan melailaikan ilmu. Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara pendidikan dan dakwa seperti ini, tidak kokoh, sebagaimana lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian. 3
Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah, sering kali kita merasa cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal hakikat. Para ulama’ telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam ini, adalah merupakan istilah syar’i, sehingga definisi dan maknanyapun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak cukup untuk difahami secara bahasa [Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kitab-kitab ushulul fiqh, dalam pembahasan : ]. Sebagai contoh, kata (Assholah/sholat) secara bahasa kata ini bermakna (do’a), akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata “sholat”, maka harus kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa, begitu juga halnya dengan istilah-istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata (Assholah/sholat) disitu adalah makna secara bahasa, bukan secara syariat. Nah, sampai pada saat ini, kita telah banyak mengenal dan tahu berbagai istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana kita mengenal definisi kata “shalat”, lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya?. Untuk lebih jelasnya, kita telah kenal kata (Tasyabuh), apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-syarat, rukun-rukun, dan hukumnya? atau kita baru tahu namanya saja? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini: Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata: “Tatkala Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata kepada beliau): Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila bersetempel. Maka Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam membuat stempel dari perak” (HR. Bukhori dan Muslim). Bukankah Rasululah shollallahu’alaihiwasallam dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabuh? Ini menunjukkan bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahlil bid’ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria/syarat yang harus diperhatikan, diantaranya: 1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka. 2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat. 3. Adanya niat untuk meniru, berdasarkan hadits (sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niat…) [Untuk lebih jelasnya, silahkan baca kitab : At Tasyabbuh Al Manhiy ‘Anhu Fil Fiqh Al Islamy, karya Jamil bin Habib Al Luwauhiq]. Sebagai contoh lain, kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang, berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang mengharamkan hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh? Kalau demikian, tasyabuh yang bagaimanakah yang diharamkan??? Begitu juga halnya dengan istilah: “Taqlid, Ijtihad, Mudhorobah, mubtadi’, tahzir, hajer, riba, dharurat, dll. Yang lebih memilukan adalah nasib istilah “Manhaj Salaf”, betapa sering kita mengaku, bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang 4
dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj salaf ….dst? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang –menurut hemat saya- sampai saat ini di negeri kita indonesia, belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita tanyakan kepada para ulama’ atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah tersebut hingga tuntas. Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini –tidak sistimatis dalam belajar dan mengajar- : Sikap meremehkan peranan qaidah-qaidah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai ilmu syariat. Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul fiqih, qowaid fiqhiyyah, dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata: “Yang penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, atau rukun, atau wajib, atau sunnah dalam sebuah ibadah”. Lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku dirinya bermanhaj salafi, lebih menyedihkan lagi kalau orang tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang menyandang gelar (Lc) yang ia peroleh dari Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah. Para ulama’ semenjak zaman dahulu kala mengatakan yang artinya: Barang siapa yang tidak memperoleh hal-hal yang prinsip, maka dia tidak akan mencapai ilmu. Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang mengatakan ungkapan ini: “Ulama’ manakah, dan siapakah namanya, yang berhasil menjadi ulama’, tanpa mempelajari ilmu-ilmu tersebut?”. Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidakpahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut. Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita semua. Ahlis sunnah wal jama’ah telah sepakat dalam mendefinisikan “iman”, bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan. Merekapun telah sepakat, bahwa barang siapa yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka ia dihukumi telah kafir, keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa, mandi janabah dll. Imam An Nawawi berkata “Adapun pada saat ini, sungguh agama islam telah menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan orang awam, ulama’ dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati 5
oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer, menikahi mahram, dan hukum-hukum yang serupa, kecuali orang yang baru masuk islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari halhal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak kafir” (Syarah Shohih Muslim 1/250). Ibnu Taimiyyah berkata: ”Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan diharamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah satu dari kaidah-kaidah agama islam, dan orang yang mengingkarinya telah disepakati akan kekafirannya” (Majmu’ Fatawa 12/496). Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat –misalnya-, dengan sempurna, akan tetapi ia tidak meyakini bahwa takbiratul ihram adalah rukun, maka sholatnya tidak sah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barang siapa yang tidak meyakini wajibnya berwudu sebelum sholat, maka sholatnya tidak sah, walaupun ia telah berwudlu sebelum sholat. Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut ahlis sunnah wal jama’ah. Untuk lebih jelas lagi, silahkan baca buku-buku fiqih yang menjelaskan syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat. Sikap Tidak Jujur Terhadap Diri Sendiri Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda, yang artinya: “Tidaklah salah seorang dari kalian dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri (HR. Bukhori dan Muslim)”. Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam bergaul dan bermasyarakat, yaitu: sebelum kita mengucapkan perkataan atau bersikap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada hati nurani kita sendiri “apakah saya suka bila diperlakukan dengan perlakuan yang akan saya lakukan ini?” Bila jawabannya adalah “Ya, saya suka”, maka silahkan untuk dilakukan, dan bila ternyata jawabannya adalah “Tidak”, maka jangan lakukan hal tersebut. Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya. Seandainya para da’i, dan ustadz yang ada di negeri kita, -terutama mereka yang mengaku bemanhaj salaf- mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya. Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai contoh, Yayasan “AL HARAMAIN” yang ada dikota RIYADH, dalam beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang lulus dari Al Jami’ah Al Islamiyyah di Madinah –tanpa terkecuali-, sumbangan berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya sumbangan tersebut dari tahun ketahun, berbeda-beda, kadang seribu reyal, dan kadang lima ratus reyal. Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan berkata, kalo demikian alumni jami’ah yang sekarang sudah malang melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima sumbangan tersebut???!! Maka jawaban pertanyaan ini –dan saya tahu sendiri- adalah : “Ya, mereka menerima itu semua dengan kedua tangan terbuka, dan tanpa sedikit ada keragu-raguan”. 6
Pada beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami’ah –yang sekarang ini dengan lantang mentahzir setiap orang yang menerima sumbangan dari yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal, mereka ditanya oleh salah seorang kawan: Kenapa kok mau menerima sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan sangat lugu berkata: “Loh! kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain”. Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini sudah berjalan beberapa periode sebelumnya, dan yang mengherankan pula, setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu berasal dari Al Haramain, keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi sumbangan tersebut, dengan harapan jangan sampai ada satu reyalpun yang jatuh dari sakunya. Contoh lain, pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al Jami’ah Al Islamiyyah, mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan secara kolektif dengan menggunakan kontainer (ini adalah awal pengiriman kitab dengan cara ini di Al Jami’ah Al Islamiyyah). Pengiriman tersebut didanai oleh Yayasan Ihya ut Turats yang bermarkaskan di negara Kuwait. Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada para alumni Jamiah Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir setiap orang yang ada hubungan dengan Al Haramain & Ihya’ut Turats: “Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum; karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain & Ihya’ut Turats?? Apakah Al Haramain & Ihya’ ut Turats menjadi Yayasan salafi, bila yang menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafi/sururi, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang selain antum??!, ataukah barometer salafi antum yang berwarna-warni?” Contoh Lain, tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat untuk bertanya akan hukum hal ini kepada Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka fatwa syeikh tersebut, lenyap entah kemana. Saya tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi. Oleh karena itu -menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim. Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam’an, beliau berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tentang Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm (perbuatan dosa), maka beliau bersabda: “Al Birru adalah akhlaq/ budi pekerti yang baik, dan Al Itsmu adalah segala yang engkau merasakan adanya kejanggalan dan keragu-raguan dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa tidak suka bila diketahui oleh orang lain (HR. Muslim). Kedudukan Uang Transportasi Bagi Seorang Da’i Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama islam, yaitu keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan bagi segala amalan kita hanya dari Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas; karena hal itu sudah diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam kesempatan ini, adalah ajakan kepada seluruh du’at dan asatidzah, agar mengkaji ulang hukum kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang transportasi. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi, apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan pengajian/ ceramah/ daurah dll, benar-benar uang 7
transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat ganda, dan –menurut yang saya ketahui- alternatif inilah yang terjadi, transportasi pulang pergi yang seharusnya hanya – misalnya Rp 50.000,- akan tetapi amplop yang diterima berisikan –minimal Rp 100.000,-. Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang tersebut, sebab para ulama’ semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat dalam menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan, dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Hal ketiga, adalah dampak negatif yang ditimbulkan oleh amplop transportasi. Berbagai kisah yang saya dengar dari beberapa kawan, mengisyaratkan terjadinya hal-hal yang tidak baik, gara-gara amplop tersebut. Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa ustadz yang – Alhamdulillah- telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan –Alhamdulillah pula- telah memiliki santri yang cukup banyak, lebih mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren –terlebih-lebih undangan dari luar kota- dibandingkan mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan pengajaran. Bahkan seringkali, ustadz tersebut, bila sudah keluar kota untuk berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrennya, kecuali bila sudah kecapekan, dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit. Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban mengajar dipesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota? bukankah para santri telah –walaupun sedikitmembayar uang Spp, sehingga telah menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh pesantren? Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? bukankah keluar kota lebih melelahkan? membutuhkan transportasi? bukankan kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? yaitu mengajar di pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah di masyarakat sekitar lokasi pesantren? Diantara kisah yang sampai kepada saya: Bahwa daerah-daerah yang masyarakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf) berpenghasilan rendah/tidak memiliki donatur yang kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin. Diantara kisah yang pernah saya dengar: Ada seorang ustadz (A) bermusuhan dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A) -dikarenakan beberapa hal- menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A), maka Ustadz (A) berang seakan sedang kebakaran kumis, lalu mengatakan bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya. Usut punya usut, ternyata dahulunya anak murid tersebut biasanya selalu memberikan sumbangan kepada Ustadz (A), dan setelah menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi mengucurkan sumbangan tersebut. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang bersebrangan dengan Ahlus sunnah wal jama’ah Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal dakwah salaf / manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang memiliki manhaj yang bersebrangan dengan manhaj 8
salaf. Ada dari kita yang dahulunya adalah seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu’tazili dll. Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala, yang telah memberi hidayah kepada kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati, dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap kita, jangan sampai pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih terpengaruh dengan pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan firqoh-firqoh tersebut. Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena kita akan selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu –karena kebodohan- saya berbuat kesalahan seperti dia –sekarang ini- berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa iba, dan kasihan terhadap orang tesebut, akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa mendapatkan hidayah, sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah. Marilah kita renungkan bersama ayat berikut, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: ”kamu bukan seorang muslim” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (An Nisa 94). Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin –ketika dalam keadaan peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh yang menampakkan keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin: ”Engkau bukanlah seorang muslim, engkau mengucapkan salam hanya sekedar takut dibunuh” lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa orang tersebut adalah orang yang benar-benar telah masuk islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan orang-orang Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana didapatkan dari mereka banyak orang yang telah masuk islam, akan tetapi takut untuk menampakkan keislamannya. Pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da’i, dan ustadz, bahwasanya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih bila terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran. Ketidak mampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan argumentasi lawan. Allah Ta’ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran, masing-masing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang berbeda-beda, ini adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat, tatkala kita berbicara dengan orang lain. Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, sehingga dengan mendengarkan sedikit penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan tetapi, ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan bisa memahami apa yang kita inginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali, akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain, ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan. Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran kita, maka begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh pertanyan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan tuntas. 9
Hal ini sering kali kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa memperdulikan pendapat dan alasan orang lain. Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini, sehingga tatkala orang lain tidak atau belum bisa menerima pendapat kita, maka, mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya berkobarlah api kemarahan, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari klaim: ”Keras kepala, aqlani, menolak hadits, …..hingga vonis mubtadi’”. Sebagai contoh, sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan pendapatnya dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan dengan gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan baik. Oleh karena itu, saya mengajak para da’i, dan asatidzah untuk lebih banyak belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan banyakbanyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan ahlil bid’ah. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama’ Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur’an dan As Sunnah tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan perantara penjelasan dan penafsiran para ulama’. Merekalah yang mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang telah digariskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu, seorang ulama’ membutuhkan kepada dua jenis pemahaman, agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah, yaitu: 1. Pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, sesuai dengan pemahaman salafus sholih. 2. Pemahaman yang benar dan sempurna terhadap kasus dan permasalahan yang hendak ia hukumi. Bila seorang ulama’ telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, maka –Insya Allah- fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi, bila salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi kesalah pahaman padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar. Ibnul Qoyyim rohimahullahu pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter, sehingga jatuhlah banyak korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa paham terhadap realita yang ada pada zamannya, lebih besar dibanding dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan ada hubungannya dengan nasib manusia di akhirat. Nah, menurut hemat saya –dan saya sendiri juga merasakannya- kita yang ada di indonesia, masih perlu untuk banyak belajar menghubungkan antara kitab /ilmu yang telah kita dapatkan dengan kenyataan masyarakat kita. Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da’i, dan asatidzah, agar ekstra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa atau sebuah hukum, tolong dipikirkan masak10
masak, apakah keadaan masyarakat kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa tersebut? Sebagai contoh nyata, ada dari kalangan ulama’ salaf yang menegaskan: bahwa lebih baik bertetangga dengan kera dan babi, dibanding bertetangga atau duduk dengan ahlul bid’ah. Seharusnya sebelum kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita sama dengan masyarakat ulama’ tersebut, masyarakat yang mayoritasnya memahami manhaj salaf? Contoh lain, para ulama’ telah sepakat, bahwa: barang siapa yang mengatakan Al Qur’an adalah Mahluk, maka ia kafir. Nah, apakah setiap orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut, langsung kita hukumi sebagai orang kafir?? Imam Ahmad, beliau yang langsung menghadapi fitnah tentang hal ini, tatkala mengetahui bahwa Al Makmun (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi, Imam Ahmad malah berkata : “Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan pemimpin kaum muslimin (Kholifah)”. Contoh lain, beberapa bulan yang lalu, Syeikh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah disepakati, beliau menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka beliau memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan adakah berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid’ah, maka beliau berfatwa: tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid’ah, tentunya dengan berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan. Setelah, acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh beberapa gelintir ustadz, yaitu dengan menujukannya kepada salah seorang ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginkan, mulailah mereka mengeluarkan senjata pamungkas, yaitu tahzir dan hajer, bahkan bukan hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah. Tatkala saya berjumpa dengan Syeikh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan: Bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tatacara tersendiri. Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut. Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang terjadi akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata : Semoga Allah tidak memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka. Sikap ini –sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syeikh, kemudian ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syeikh tersebut memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak ia sukai, dan demikianlah selanjutnya. 11
Para ulama’ jauh-jauh hari telah memperingatkan kita dari cara-cara seperti ini, yaitu menyamakan antara hukum yang bersifat muthlaq/umum dengan hukum yang berkenaan dengan orang tertentu secara khusus. Bahkan sikap seperti inilah yang menjerumuskan kebanyakan orang kepada berbagai kesalahan dalam memahami manhaj salaf Oleh karena itu para ulama’ telah meletakkan sebuah qaidah yang berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus tertentu, yaitu “Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar’i, sesuai dengan perubahan adat atau keadaan yang ada pada orang tersebut”. Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama’ salaf dalam berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak katak dalam tempurung. Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Pada akhir tulisan ini, saya ingin menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan alasan serta dalil, bahkan saya sangat mengharapkan kritikan dan saran dari kawan-kawan, demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah dinegeri kita.
Bahtera Dakwah Salafiyah di Lautan Indonesia (Bagian ke-2) October 1st, 2005 8:54 pm (Akhlaq, Manhaj, Nasehat) Artikel ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya (Bahtera Dakwah Salafiyah di Lautan Indonesia). Satu persatu permasalahan yang berkenaan dengan laju bahtera dakwah salafiyah di negeri ini dicoba untuk dikupas oleh ustadz Muhammad Arifin Badri -hafidhohullahu-. Kami berharap semoga tulisan beliau dapat memberikan manfa’at bagi kita semua.
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, keluarga, sahabatnya dan seluruh orang yang mengikuti sunnahnya hingga hari kiamat, amiin. Sebagai kelanjutan dari upaya dan andil kami dalam mengajak saudara-saudaraku seiman dan seaqidah dalam menjalankan kewajiban muhasabah terhadap diri sendiri, maka kami mencoba untuk merangkumkan beberapa koreksi kami terhadap fenomena dakwah salaf di negeri kita tercinta, dan tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan kami yang pertama, yang berjudul: “BAHTERA DAKWAH SALAF DI LAUTAN INDONESIA”, yang sepanjang ini, alhamdulillah tulisan tersebut mendapat tangapan positif dari banyak kalangan. Dan hingga sekarang pula tidak seorangpun dari yang membaca tulisan tersebut yang menyampaikan kritikan yang berarti dan berdasarkan ilmu atau dalil, ini semua alhamdulillah murni karena taufiq dan ‘inayah dari Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, dan berdasarkan hasil dari beberapa pengalaman yang kami dapatkan sepanjang liburan musim panas yang kami jalani bersama keluarga di tanah air, kami mendapatkan beberapa hal lain yang belum disebutkan dalam tulisan pertama. Hal-hal tersebut tidak kalah pentingnya bila dibanding dengan apa yang telah disebutkan pada tulisan sebelumnya. 12
HAL PERTAMA: KENALILAH KAWAN DAN LAWANMU Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan agama Islam ini, yaitu dengan menurunkan wahyu (Al Qur’an) kepada Nabi-Nya Muhammad shollallahu’alaihiwasallam, guna membedakan kebenaran dari kebathilan, hidayah dari kesesatan, orang mukmin dari orang kafir, wali Allah dari wali syetan, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (Al Furqan 1). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Bila telah diketahui bahwa di antara manusia ada yang menjadi wali-wali Ar Rahman, dan ada dari mereka yang menjadi wali-wali syetan, maka merupakan kewajiban atas kita untuk membedakan mereka (wali Allah) dari mereka (wali syetan), sebagaimana halnya Allah dan Rasul-Nya telah membedakan antara keduanya”. [Majmu’ fatawa 11/159]. Sikap ini, yaitu mengenali siapakah wali Allah (saudara kita) dan siapakah wali syetan (lawan kita) bukanlah hal yang sepele, karena hanya dengan cara mengenali mereka kita dapat bersikap benar dalam memperlakukan masing-masing kelompok, kita loyal kepada wali Allah Ta’ala dan menunaikan hak-haknya, dan memusuhi wali syetan, serta memperingatkan umat darinya. Bila kewajiban ini kita lalaikan, sehingga kita terjerumus ke dalam kesalahan dalam bersikap; yaitu memusuhi wali Allah, dan loyal kepada wali syetan, maka yang akan kita tuai adalah ancaman keras yang telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
“Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, berarti ia telah menantang berperang denganKu”, dan dalam riwayat lain, “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya”. (HR. Bukhari). Betapa merugi dan celakanya orang yang telah mengumandangkan peperangan melawan Allah Ta’ala, oleh karenanya merupakan sikap bijak bila kita senantiasa berusaha mengetahui siapakah kawan dan siapakah lawan kita, sehingga kita tidak terjerumus ke dalam petaka besar ini. Dan kemampuan seseorang dalam membedakan antara wali Allah Ta’ala -sehingga ia berloyal kepadanya-, dari wali syetan –sehingga ia bermusuhan dengannya- merupakan tolok ukur keilmuan seseorang. Karena sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas, bahwa di antara manfaat diturunkannya Al Qur’an adalah untuk membedakan antara mereka. Oleh karena itu tidak heran bila Muhammad bin Manshur –rahimahullah- berkata,
“Ada enam perangai, yang dengannya kita dapat mengenali orang bodoh: marah tanpa sebab, berkata-kata yang tidak ada manfaatnya, menyampaikan peringatan tidak pada tempatnya, membocorkan rahasia, senantiasa percaya kepada setiap orang, dan tidak dapat mengenali kawan dari lawannya” [Hilyatul Auliya’, oleh Abu Nu’aim Al Asbahani 10/217]. 13
Pada kesempatan ini, kami tidak ingin berbicara siapa kawan dan lawan kita, karena itu ada pembahasannya tersendiri, akan tetapi kami hanya ingin mengajak saudara-saudaraku untuk kembali bertanya kepada diri kita sendiri: Sudahkah kita kenali siapa saja yang menjadi kawan kita dan siapa saja yang menjadi lawan kita? Jawaban dari pertanyaan inilah yang kemudian kita wujudkan dalam kehidupan dakwah kita seharihari, yang menjadi tolok ukur keilmuan kita, dan kebenaran dakwaan kita bahwa kita adalah seorang salafi. Pertanyaan ini penting untuk kita renungkan kemudian kita buktikan jawabannya dalam kehidupan kita, kerena kenyataan di negeri kita mengatakan bahwa banyak dari kita yang mendakwakan dirinya bermanhaj, akan tetapi kenyataannya ia memerangi dan memusuhi saudaranya sendiri. Peperangan dan permusuhan yang diwujudkan dalam bentuk larangan belajar darinya, hajr, boikot, ghibah, bahkan vonis bahwa saudaranya telah keluar dari manhaj salaf, dan bahkan ia telah menjadi da’i yang mengikuti hawa nafsu dst. Walau di kemudian hari, sikap ini terbukti salah, dan sebagian dari mereka telah meralat kembali sikapnya terhadap sebagian dari kawannya seaqidah dan semanhaj. Sebaliknya, ada sebagian salafiyyin yang berkawan dengan lawan, yaitu dengan orang-orang yang tidak percaya bahwa manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang benar, dan satu-satunya metode hidup bagi ummat dalam beragama, yang benar-benar akan mewujudkan kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Akibat ketidakpercayaannya ini, ia senantiasa mendengung-dengungkan seruan untuk menggabungkan antara manhaj salaf dengan manhaj ikhwanul muslimin dalam hal idarah (tanzhim), dan dengan manhaj jama’ah tabligh dalam metode berdakwah, dan dengan orang-orang non muslim (barat) dalam tekhnologi, metode pendidikan, dst, yang lebih dikenal dengan manhaj inshof ala ikhwanul muslimin. Subhanallah, walaa haula walaa quwwata illa billah! Bila demikian ini kenyataannya, apa manfaat ilmu agama yang selama ini kita pelajari, dan kita ajarkan?! Layakkah kita setelah ini untuk mengaku sebagai orang yang berilmu (thalibul ‘ilmi)?! Kemanakah akan kita sembunyikan rasa malu kita?! Akibat dari ketidakmampuan kita membedakan antara kawan dari lawan, maka terjadilah berbagai fitnah dan petaka di tengah-tengah ummat. Betapa banyak kejadian, dan musibah yang telah menimpa ummat, akibat kebodohan kita ini. Betapa banyak hak dan kewajiban yang tidak tertunaikan, akibat kedangkalan ilmu kita ini, sehingga fakta di lapangan seakan-akan membenarkan pepatah dalam bahasa Arab,
“Musuh yang berakal, lebih baik daripada kawan yang bodoh”. Yang lebih memilukan dan menyayat-nyayat hati setiap orang mukmin, adalah sikap sebagian kita yang walaupun telah terbukti bahwa ia tidak tahu dan tidak kenal siapa sebenarnya kawan dan lawannya, ia tidak mau mengoreksi diri, dan merasa bahwa sikapnya selama ini adalah tetap benar dan selaras dengan manhaj salaf. Tidakkah kiranya kita meniru sikap salafunash sholeh, yang dengan kebesaran jiwa mereka meralat dan merubah sikap dan pendapatnya, bila di kemudian hari terbukti bahwa sikap dan pendapat tersebut terbukti kurang tepat.
14
Sebagai contohnya, marilah kita renungkan kisah Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu berikut ini, “Seorang wanita datang menemuinya, lalu bertanya kepadanya tentang seorang wanita yang berzina, kemudian ia hamil, dan setelah ia melahirkan bayi yang ia kandung dari hasil perzinaan tersebut, ia membunuh anaknya tersebut, maka Abdullah bin Mughaffal menjawab, “Ia masuk neraka”, maka wanita tersebut pergi sambil menangis. Lantas Abdullah bin Mughaffal memanggilnya, dan berkata kepadanya, “Menurutku, tidaklah permasalahanmu ini kecuali salah satu dari dua hal berikut,
“Dan barang siapa yang melakukan kejahatan, atau mendzalimi dirinya, kemudian ia memohon ampunan kepada Allah, niscaya ia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun lagi Penyayang”. Mendengar jawaban kedua ini, wanita itu kemudian mengusap air matanya, dan pergi”. [Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At Thobari 5/273, dan dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 1/553]. Dalam satu majlis beliau radhiyallahu ‘anhu merubah pendapatnya, yang sebelumnya beliau berpendapat keras, karena bertujuan menanamkan rasa takut pada diri penanya, akan tetapi setelah beliau merasa bahwa wanita penanya itulah pelaku kemaksiatan ini, maka beliau spontan merubah fatwanya. Mungkin alasan beliau merubah fatwanya tersebut, karena khawatir bahwa fatwanya yang pertama bukannya menimbulkan rasa takut, akan tetapi sebaliknya malah menumbuhkan rasa putus asa dari rahmat Allah Ta’ala. Kekhawatiran ini diperkuat oleh sikap wanita itu, yaitu ia pergi sambil menangis. Demikianlah bila ilmu dan pemahaman yang benar telah tertanam dengan mendalam di jiwa. HAL KEDUA: SAUDARAKU, JAGALAH PERSATUAN UMMAT. Di antara prinsip pokok dalam manhaj Ahlis Sunnah adalah kewajiban menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam di atas al haq (Al Qur’an dan As Sunnah selaras dengan pemahaman salafush shalih), sebagaimana telah ditegaskan dalam firman Allah,
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara”. (QS. Ali Imran 103). Dan juga ditegaskan dalam wasiat Nabi shollallahu’alaihiwasallam berikut ini,
15
Dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Janganlah kamu saling membenci, saling hasad, saling berpaling. Hendaknya kamu menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari”. (Muttafaqun ‘Alaih). Permasalahan ini –kewajiban bersatu diatas kebenaran- kami yakin telah dipahami oleh setiap orang yang mengaku dirinya meniti manhaj salaf, oleh karena itu pada kesempatan ini kami tidak hendak membahas hal ini beserta dalil-dalilnya. Akan tetapi kami hanya ingin mengutarakan rasa heran dan keprihatinan yang ada dalam hati kami: mengapa kita; orang-orang yang mengaku bermanhajkan salaf, lebih mudah untuk berpecah belah, bila dibandingkan orang lain?! Wahai saudara-saudaraku! Marilah kita renungkan bersama sikap arif yang dicontohkan kepada kita semua oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam dua kejadian berikut ini: - Kejadian Pertama: A’isyah radhiallahu ‘anha mengkisahkan: pada suatu hari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda kepadanya,
“Seandainya bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan kekufuran (baru masuk Islam), niscaya aku akan menghancurkan Ka’bah, dan aku bangun kembali di atas pondasi Nabi Ibrahim; karena tatkala orang-orang Quraisy membangunnya, mereka kekurangan biaya, dan akan aku tambah satu pintu dari arah belakang”. (Muttafaqun ‘Alaih). Imam Nawawi rahimahullah tatkala menjelaskan hadits ini beliau berkata, “Hadits ini merupakan dalil bagi beberapa hukum penting, di antaranya: Bila pada suatu saat terjadi pertentangan antara beberapa kepentingan (kemaslahatan), atau pertentangan antara kemaslahatan dan mafsadah (kerugian), dan tidak mungkin untuk digabungkan antara perbuatan meraih kemaslahatan dan meninggalkan kerugian, maka sikap yang benar ialah dengan mendahulukan yang lebih penting. Karena Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah mengabarkan bahwa mengembalikan bangunan Ka’bah seperti sediakala di masa Nabi Ibrahim adalah satu kemaslahatan. Akan tetapi kemaslahatan ini bertentangan dengan kerugian yang lebih besar, yaitu kekhawatiran akan timbulnya fitnah (yaitu murtadnya) sebagian orang yang baru masuk Islam. Hal ini dikarenakan mereka (orang-orang yang baru masuk Islam) meyakini akan keutamaan Ka’bah, sehingga mereka menganggap pemugaran Ka’bah adalah suatu kejahatan yang besar. Oleh karena itu Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengurungkan keinginannya itu” [Syarah Shahih Muslim 9/89]. - Kejadian Kedua:
“Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, ia mengkisahkan, Pada saat kami bersama Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam suatu peperangan, tiba-tiba ada seseorang dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seseorang dari kaum Anshar, maka orang Anshar tersebut berteriak meminta 16
pertolongan kepada kaumnya orang-orang Anshar, dan sebaliknya orang Muhajir tadi juga berteriak meminta bantuan kepada kaumnya orang-orang Muhajirin. Mendengar hal tersebut Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Mengapa kalian menyeru dengan seruan orang-orang jahiliyyah?!” Merekapun menjawab, “Wahai Rasulullah, ada seseorang dari Muhajirin yang memukul pantat seseorang dari kaum Anshar. Maka Nabipun bersabda, “Tinggalkanlah, karena sesungguhnya itu (seruan jahiliyyah) adalah busuk”. Maka tatkala Abdullah bin Ubai mendengar hal itu ia berkata, “Apakah mereka (orang-orang Muhajirin) benar-benar telah melakukannya (berbuat semena-mena terhadap kaum Anshar)? Sungguh demi Allah bila kita telah tiba di kota Madinah, niscaya orang-orang yang lebih mulia (Yang ia maksud ialah orang-orang Anshar) akan mengusir orang-orang yang lebih hina” (Yang ia maksud ialah orang-orang Muhajirin). (Mendengar ucapan demikian ini) Umar bin Khattab berkata kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam, “Izinkanlah aku untuk memenggal leher orang munafiq ini (Abdullah bin Ubai), Maka Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Biarkanlah dia, jangan sampai nanti orang-orang beranggapan bahwa Muhammad telah tega membunuh sahabatnya sendiri”. (Muttafaqun ‘Alaih). Kita semua tahu bahwa berjihad melawan orang-orang munafiqin adalah wajib hukumnya, karena selain mereka itu adalah orang-orang kafir yang akan kekal di neraka, mereka juga membahayakan umat Islam. Dan perilaku atau ulah gembong munafiqin ini, yaitu Abdullah bin Ubai bin Salul yang merugikan ummat Islam sudah terlalu banyak. Agar lebih jelas betapa besar kejahatan manusia satu ini, maka kami ajak saudara-saudaraku untuk mengingat-ingat kembali beberapa kejadian berikut: 1. Siapakah yang mendalangi terjadinya tuduhan berzina kepada istri Nabi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha? 2. Siapakah yang mendalangi kembalinya sekitar 300 pasukan kaum muslimin, sehingga mereka tidak ikut dalam perang Uhud? 3. Siapakah yang memelopori pembangunan Masjid Dhirar? 4. Siapakah yang enggan ikut serta dengan Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan pasukannya dalam perang Tabuk? 5. Siapakah yang tidak ikut serta membela kota Madinah dalam perang Khandak? Semua kejadian ini didalangi oleh Abdullah bin Ubai bin Salul serta kawan-kawannya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh makhluk satu ini sedemikian besarnya, akan tetapi Nabi shollallahu’alaihiwasallam tidak mengizinkan para sahabat untuk membunuhnya. Bahkan anak orang munafiq ini, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubai bin Salul telah datang kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam meminta izin darinya untuk membunuh ayahnya sendiri, akan tetapi Nabi shollallahu’alaihiwasallam malah memerintahkannya agar ia berlemah lembut kepadanya. [Baca Tarikh At Thobari 2/110, dan Sirah Ibnu Hisyam 4/255]. Ini semua kerena beliau shollallahu’alaihiwasallam tidak ingin timbul perpecahan di tengah-tengah umat, walaupun orang munafiq ini telah banyak berupaya untuk menimbulkan perpecahan dan senantiasa berusaha untuk memecah belah umat. Bahkan dengan sikap Nabi shollallahu’alaihiwasallam yang demikian ini, kemunafiqan orang ini menjadi diketahui oleh setiap orang, sehingga setiap kali ia membikin ulah, kaumnya sendirilah yang memarahi dan mengancamnya. [idem]. Lihatlah, sikap bijak dan hikmah Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam menghadapi kejahatan gembong munafiqin ini telah membuktikan kepada kita bahwa tidak setiap kesalahan harus disikapi dengan keras, akan tetapi kadang kala sikap lembut lebih efektif dan manjur dalam meredam dan memberantas kerusakan. Dan betapa besar perhatian Nabi shollallahu’alaihiwasallam dan upaya yang beliau tempuh guna menjaga persatuan kaum muslimin. Kemudian kami ingin melontarkan dua pertanyaan kepada saudara-saudaraku: 17
Pertanyaan pertama: Apakah kesalahan ikhwan-ikhwan antum lebih besar dari kesalahan yang dihadapi oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam kasus-kasus di atas, sehingga antum tidak bisa bersikap sedikit lembut, dan antum senantiasa bersikap keras, dengan menghajr, tabdi’, boikot, sehingga menimbulkan perpecahan di tengah-tengah salafiyyin? Atau apakah setiap perbedaan sikap dan pendapat harus berakhir dengan perpecahan? Pertanyaan kedua: Apakah maslahat yang antum tuai dari pengambilan dana dari yayasanyayasan sosial yang kita perselisihkan kedudukannya lebih besar dari kemaslahatan dibangunnya kembali Ka’bah seperti pada masa Nabi Ibrahim ‘Alaihissasalam, dan lebih besar daripada kemaslahatan dibunuhnya orang-orang munafiq semacam Abdullah bin Ubai bin Salul? Wahai saudaraku! Mari kita amati dan renungkan dengan seksama kedua kisah di atas, semoga Allah senantiasa melindungi kita dari kesesatan dan melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua. Wahai saudaraku! Sadarilah bahwa persatuan umat di atas Al Qur’an dan As sunnah adalah tanggung jawab kita bersama, maka marilah kita bersama-sama upayakan dengan sekuat tenaga terwujudnya cita-cita luhur nan suci ini. Wahai saudaraku! Janganlah kita menjadi penyebab terjadinya perpecahan umat ini. Tidakkah cukup perpecahan yang sudah terjadi, sehingga kita masih merasa perlu untuk menambah perpecahan dengan sebab yang sepele dan kurang berarti?! Wahai saudaraku, sekali lagi saya menganjak antum semua untuk sama-sama merenungkan kisah lain yang serupa, yaitu sikap yang dicontohkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
“Dari Abdurrahman bin Yazid ia menuturkan: Utsman bin Affan menjalankan shalat fardhu di Mina (pada musim haji) empat rakaat (tidak diqashar). Maka Abdullah (bin Mas’ud) berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam (di musim yang sama) dua rakaat-dua rakaat (dengan diqashar), dan shalat bersama Abu bakar juga dua rakaat-dua rakaat, dan bersama Umar juga dua rakaat-dua rakaat, dan bersama Utsman pada awal kepemimpinannya juga dua rakaat-dua rakaat, kemudian setelah itu ia (Utsman) menggenapkan shalatnya (empat rakaatempat rakaat), kemudian kalian saling berselisih. Sungguh aku sangat berharap semoga dari keempat rakaat tersebut hanya dua rakaat yang diterima Allah. Al A’amasy kemudian bercerita kepadaku, bahwa Mu’awiyyah bin Qurrah menceritakan dari para syekhnya (gurunya) bahwa Abdullah (bin Mas’ud) ternyata juga ikut shalat empat rakaat-empat rakaat, maka ketika dikatakan kepadanya: “Engkau mencela Utsman (karena shalat empat-empat), kemudian engkau sendiri juga shalat empat rakaat-empat rakaat?” Maka ia menjawab, “Perselisihan itu adalah buruk”. (HR Abu Dawud dan An Nasa’i, dan kisah ini dengan singkat juga diriwayat oleh Al Bukhari dan Muslim). Walaupun sahabat Abdullah bin Mas’ud menganggap bahwa yang benar dan sesuai dengan sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam, Abu Bakar dan juga Umar, bila kita berhaji dan sedang berada di Mina adalah kita mendirikan shalat dengan diqashar. Walau demikian beliau tidak rela bila sampai 18
penerapan sunnah ini menimbulkan fitnah atau perpecahan. Dan pada kisah ini kita dapatkan beliau radhiallahu ‘anhu dengan ringan meninggalkan pendapatnya yang jelas-jelas benar, demi menjaga persatuan ummat. Apakah kita tidak mengambil pelajaran dari sikap seorang salafi tulen ini; Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan kemudian kita menjaga persatuan ummat, dengan cara sedikit toleransi dengan pendapat saudara kita. Semoga Allah senantiasa melapangkan dada kita untuk menerima kebenaran, dan menjadikan kita berjiwa besar, sehingga senantiasa siap untuk berkorban demi terjaganya kemaslahatan umat secara umum, amiin. HAL KETIGA: BERHATI-HATI DARI SIKAP NYELENEH (ASAL TAMPIL BEDA) DALAM HAL ILMU Sahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu pernah menyampaikan peringatan kepada kita tentang fenomena yang akan terjadi dan dialami oleh kaum muslimin,
“Sesungguhnya di masa yang akan datang akan banyak terjadi fitnah dan harta akan melimpah ruah, dan Al Qur’an akan banyak dipelajari orang, sehingga Al Qur’an akan dibaca oleh setiap orang; oleh orang yang beriman dan juga oleh orang munafiq, oleh laki-laki dan juga oleh perempuan, oleh anak kecil dan juga oleh orang dewasa, oleh budak dan juga oleh orang yang merdeka. Dan sebentar lagi akan ada orang yang berkata, Mengapa orang-orang enggan mengikutiku, padahal aku telah mempelajari Al Qur’an. (Sungguh) mereka tidak akan mengikutiku, hingga aku mengadakan hal baru selain (ajaran Al Qur’an) untuk mereka. (kemudian Mu’ad bin Jabal berwasiat): “Berhati-hatilah kamu dari apa yang ia ada-adakan, karena sesungguhnya hal yang ia ada-adakan adalah kesesatan”. (Riwayat Abu Dawud, Al Baihaqi dan dinyatakan shahih dan selaras dengan persyaratan Bukhari dan Muslim oleh Al Hakim). Bila kita cermati apa yang dinyatakan oleh sahabat di atas, kemudian kita melihat kenyataan yang ada di lapangan, niscaya kita akan mendapatkan banyak buktinya. Masyarakat demam dengan segala hal baru, sehingga setiap kali ada orang yang menyerukan kepada metode baru dalam beragama, maka kita dapatkan mereka berebut dan berlomba-lomba untuk mengikutinya. Belum terlalu lama kita mendengar berita tentang munculnya gerakan dzikir berjama’ah yang dipelopori oleh Muhammad Arifin Ilham, dan pada saat yang hampir bersamaan muncul metode lain yang dipelopori oleh Aa Gymnastiar dengan rangkaian kegiatan yang ia juluki sebagai Manajemen Qalbu, di antaranya yang disebut rihlah religius dsb. Dan belum lama juga, kita mendengar seorang ustadz yang mengajarkan shalat dengan bahasa Indonesia, dan masih banyak lagi orang-orang yang ditokohkan serta diikuti oleh masyarakat, hanya sekedar ia datang dengan metode baru. Di antara yang sedang marak, terutama di kalangan sebagian salafiyyin, ialah gerakan membahasakan ilmu syar’i dengan bahasa-bahasa yang kurang mencerminkan akan adab-adab ilmu dan ulama, atau dengan gaya bahasa gaul. Dan yang lebih memilukan lagi adalah bila pembahasanpembahasan yang berkaitan dengan hubungan suami istri disampaikan dengan gaya bahasa komik, subhanallah!. 19
Masihkah kita merasa kurang banyak ajaran porno yang disampaikan oleh media massa, baik TV, radio, koran, majalah, atau melalui internet atau lainnya?! Bila ada yang berkata bahwa hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri adalah ilmu yang semestinya disampaikan kepada masyarakat. Maka saya setuju dengan ucapan ini, akan tetapi apakah harus disampaikan dengan bahasa yang tidak senonoh? Tidakkah bisa permasalahan-permasalahan tersebut dibahas dengan bahasa yang lebih sopan, dan tidak menimbulkan fitnah? Sebagai pedomannya, marilah kita renungkan bersama, bagaimana adab yang dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam ketika membicarakan masalah ini,
“Dari Abu Hurairah rodiyallahu’anhu ia berkata: Seorang dari Bani Aslam mendatangi Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kemudian ia bersaksi sebanyak empat kali bahwa dirinya telah menggauli seorang wanita dengan cara yang diharamkan. Semuanya itu Nabi shollallahu’alaihiwasallam berpaling darinya, kemudian pada pengakuannya yang kelima kalinya, beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Engkau telah menyetubuhinya?” Iapun menjawab, “Ya”. Kemudian Nabi shollallahu’alaihiwasallam kembali bertanya, “Hingga itumu masuk ke dalam itunya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi shollallahu’alaihiwasallam kembali bertanya, “Sebagaimana batang celak masuk ke dalam tabung celak, dan timba ke dalam sumur?” Iapun menjawab, “Ya”. Nabi shollallahu’alaihiwasallam kembali bertanya, “Apakah engkau tahu apa itu arti zina?” Ia menjawab, “Ya, (zina ialah) aku dengan cara yang diharamkan telah melakukan dengan seorang wanita perbuatan yang dengan cara halal dilakukan oleh seorang suami dengan istrinya” (HR Abu Dawud dan An Nasa’i, dan kisah ini dengan singkat diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dari riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma). Pada kisah ini Nabi shollallahu’alaihiwasallam ketika menginterogasi sahabat yang berzina ini tidak menyebutkan organ vital laki-laki dan juga perempuan, akan tetapi dengan mengatakan, “Hingga itumu masuk ke dalam itunya” padahal beliau sedang dalam majlis peradilan, bukan dalam majlis ta’lim, atau menulis buku, atau majlis-majlis lain yang memiliki adab-adab yang berbeda dengan adab majlis peradilan. Bahkan untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mendatangkan perumpamaan dengan celak dan timba. Dan sahabat yang telah berbuat dosa ini, juga menunjukkan adab yang benar-benar tinggi, yaitu tatkala ia menafsirkan arti perbuatan zina, ia berkata, “(Zina ialah) aku dengan cara yang diharamkan telah melakukan dengan seorang wanita perbuatan yang dengan cara halal dilakukan oleh seorang suami dengan istrinya”. Dan kaitannya dengan majlis ta’lim, mari kita renungkan bersama bagaimana Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengajari umatnya hal-hal seputar masalah ini,
20
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Ada seorang wanita yang bertanya kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam tentang tata-cara mandi bersuci dari haidh? Maka ‘Aisyah menceritakan bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam mengajarinya bagaimana tata-cara mandi bersuci, dan beliau menganjurkannya agar mengambil secarik kain atau kapas yang telah diberi minyak misk (kasturi) dan kemudian ia bersuci dengannya. (mendengar hal itu), wanita tersebut bertanya, “Bagaimana caranya saya bersuci dengan kain/kapas itu?” Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Engkau bersuci dengannya, Subhanallah, dan kemudian beliau menutupi wajahnya”. Sufyan bin ‘Uyainah (perawi hadits ini) mencontohkan kepada kami (murid-murid Sufyan bin ‘Uyainah) dengan telapak tangannya yang ia tutupkan ke wajahnya. ‘Aisyah melanjutkan ceritanya dengan berkata: (Melihat yang demikian ini), maka akupun menariknya (wanita itu), dan aku sudah tahu apa yang dimaksud oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam, maka akupun menjelaskan kepadanya, “Hendaknya engkau mengusapusapkan sehelai kain tadi ke tempat-tempat yang terkena darah haidhmu”. (Muttafaqun ‘Alaih). Tidakkah kita malu untuk bersikap blak-blakan tanpa basa-basi melalui lisan atau tulisan kita dalam hal-hal yang berkenaan dengan hubungan suami istri?. Tidakkah kita mencontoh Nabi shollallahu’alaihiwasallam dalam sikap beliau yang dikisahkan oleh ‘Aisyah ini?! Wahai saudaraku! Inilah di antara adab ilmu dan ulama’ yang seharusnya senantiasa kita perhatikan dan kita indahkan, agar tulisan dan ucapan kita tidak menimbulkan fitnah. Terlebih-lebih permasalahan-permasalahan seperti ini menurut hemat kami tidak layak untuk dibahas di hadapan setiap orang, akan tetapi disampaikan dalam majlis-majlis tertentu, agar tidak menimbulkan kesalah pahaman dan fitnah pada sebagian orang. Karena di antara adab ilmu dan ulama’ ialah kita dianjurkan menyembunyikan sebagian ilmu dari sebagian orang yang dirasa belum saatnya mendengarkan ilmu tersebut, dan ini juga termasuk salah satu adab ilmu dan ulama’. Adab ilmu ini dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu,
Diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal rodiallahu’anhu, ia mengkisahkan, “Suatu saat aku membonceng di belakang Nabi shollallahu’alaihiwasallam menunggangi keledai yang diberi nama ‘Ufair, kemudian beliaupun bertanya, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah?” Akupun menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba-Nya ialah: mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Dan hak hamba atas-Nya ialah Allah tidak menyiksa siapa saja yang tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya”. Maka aku bertanya kepadanya, “Wahai Rasulullah, apa tidak lebih baik bila saya sebarkan kabar gembira ini kepada para manusia?” Beliau menjawab, “Janganlah engkau sampaikan kabar gembira ini kepada mereka, akibatnya mereka akan bermalas-malasan (dalam beramal).” (Muttafaqun ‘alaih). Wahai saudaraku, para ulama’ menyatakan bahwa hadits ini merupakan dalil nyata bagi disyari’atkannya untuk menyembunyikan sebagian ilmu dari sebagian orang yang dirasa belum atau tidak mampu untuk memahaminya dengan baik. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud berkata,
21
“Tidaklah engkau berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak dapat difahami oleh akal mereka, melainkan pembicaraanmu itu akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka”. (Riwayat Muslim). Di antara penerapan salaf terhadap adab ini, adalah apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i rahimahullah, sebagaimana yang dituturkan oleh murid beliau Ar Rabi’ bin Sulaiman rahimahullah, “Dahulu Imam Syafi’i, berpendapat bahwa para pengrajin (seperti penjahit baju, pengrajin sepatu dll-pen) yang menerima pesanan tidak berkewajiban untuk mengganti bila terjadi kerusakan pada bahan baku kerajinan tersebut, kecuali bila ia berbuat kesalahan. Walau demikian, beliau (Imam As Syafi’i) tidak menyebar luaskan pendapatnya ini, agar para pengrajin tidak ceroboh ketika mengerjakan pesanannya”. [Al Faqih wal Mutafaqqih 2/416]. Semoga Allah Ta’ala melimpahkan kepada kita semua ilmu dan pemahaman yang barakah, sehingga setiap sikap dan ucapan kita bermanfaat dan tidak mengundang fitnah bagi siapapun dari kaum muslimin, Amiin. HAL KEEMPAT: AWAS ADA TAQLID & FANATIK MODEL BARU. Di antara prinsip Ahlissunnah wal Jama’ah, dan merupakan ciri khas yang membedakan mereka dari yang lain ialah, mereka senantiasa mengikuti kebenaran, darimanapun datangnya, dan mereka tidak pernah menjadikan manusia selain Nabi shollallahu’alaihiwasallam sebagai tolok ukur kebenaran dan kesalahan suatu hal. Oleh karena itu diriwayatkan dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam,
“Tidaklah ada seorangpun, melainkan pendapatnya bisa diambil dan juga bisa ditinggalkan, kecuali Nabi shollallahu’alaihiwasallam”. [Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir 11/339, dari sahabat Ibnu Abbas dengan sanad yang marfu’ (sampai kepada Nabi ?) dan dinyatakan oleh Al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah. (Majma’ Az Zawaid 1/179). Walaupun yang masyhur, ini adalah ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah.]. Dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam telah banyak ditegaskan akan kewajiban taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam dan yang selaras dengan syari’at-Nya, di antara dalil-dalil kewajiban taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan haramnya taqlid kepada yang lain adalah firman Allah,
Artinya: “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah”. (As Syura 10). Dan juga firman Allah Ta’ala:
Artinya: “Kemudian jika berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al 22
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’ 59). Dalil-dalil tentang wajibnya mengembalikan setiap permasalahan kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya terlalu banyak dan kami yakin ikhwani telah banyak membaca dan mendengarnya, sehingga kami merasa tidak perlu berpanjang lebar dengan menyebutkannya. Akan tetapi yang ingin kami singgung pada kesempatan ini ialah sikap sebagian kita yang secara fakta telah terjerumus ke dalam lumpur ta’ashub madzhabi (fanatis kepada madzhab tertentu, atau syeikh tertentu). Di antara sikap yang memilukan ini ialah sikap tidak mau menerima dalam hal-hal yang diperselisihkan kecuali bila yang memutuskan adalah syeikh fulan, atau fulan atau Hai’ah Kibarul Ulama’ Arab Saudi atau syeikh dari Madinah, atau syeikh dari Yaman atau syeikh dari Yordania atau lainnya. Subhanallah, apakah tidak ada ulama’ lain kecuali mereka, sehingga pendapat atau keputusan mereka adalah ijma’ yang tidak boleh diselisihi?! Apakah selain mereka yang tidak tergolong ke dalam Hai’ah Kibarul Ulama’ bukan ulama’ yang bermanhajkan manhaj salaf?! Apakah kalau seorang syeikh tidak datang dari Yaman atau Madinah atau Yordania selalu salah pendapatnya? Subhanallah, Dzat Yang Membolak-balikkan hati, kita menyerukan manusia agar tidak fanatik kepada Imam Malik, As Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dll, akan tetapi kita terjerumus ke dalam taqlid kepada ulama’-ulama’ yang jauh lebih rendah kadar ilmu dan ketaqwaannya bila dibandingkan dengan mereka. Inikah hakikat manhaj salaf yang kita dengung-dengungkan, yaitu taqlid kepada sebagian ulama’ zaman sekarang?! Na’uzubillah min dzalik. Pada kesempatan ini, kami tidak hendak mengajak saudara-saudaraku untuk lepas kontrol dengan meninggalkan seluruh ulama zaman sekarang, akan tetapi marilah bersikap wasath (tengah) dan senantiasa mengikuti kebenaran, walau datangnya dari selain syeikh yang kita idolakan. Dan bahkan pada kesempatan ini kami ingin menekankan: marilah kita benar-benar mencontoh dan mengikuti ulama’ kita yang ada di zaman kita ini, yaitu dengan cara meninggalkan sikap taqlid buta kepada seseorang selain Nabi shollallahu’alaihiwasallam, karena itulah wasiat dan ajaran yang senantiasa mereka tekankan dan ajarkan kepada kaum muslimin secara umum, dan kepada thullabul ilmi secara khusus. Pada akhirnya, semoga apa yang kami tuliskan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi setiap yang membacanya, dan bila ada kesalahan, kami memohon ampunan kepada Allah Ta’ala, dan itulah bukti keterbatasan kami yang layak untuk ditegur dan dikoreksi. Dan dengan senang hati bila di kemudian hari ada dari ikhwanku yang menyampaikan kritikan atau teguran yang berdalil.
Madinah, 22 Sya’ban 1426 H/25 September 2005 M - Muhammad Arifin bin Badri
23
Realita Dan Ilmu Fiqih September 19th, 2005 10:34 am (Fiqh, Nasehat) Mungkin diantara kita pernah mendengar istilah “fiqhul Waqi’”. Istilah ini lazim digunakan oleh saudara-saudara kita yang katanya ‘aktivitis islam’, kata mereka “kita harus mengerti fiqhul waqi’… lihat tuh negara barat sudah menerkam kaum muslimin, jangan cuma ngaji aja kerjaannya tiap hari!”. Tapi, kita balik bertanya “Apakah mereka memahami perkataan mereka tersebut?”, “Sebatas apa pemahaman kita terhadap istilah fiqhul waqi’?”. Oleh karena itu, melalui risalah ini ustadz kami, ustadz Arifin Badri -hafidhohullahu- mencoba menjelaskan apa itu fiqhul waqi’. Semoga risalah ringkas ini dapat memberikan manfa’at bagi kita semua… Judul asli : Realita Dan Ilmu Fiqih* Penulis : Ustadz Arifin Badri Lc., MA.
Adalah sebuah kebahagian dan kenikmatan yang harus disyukuri, disaat seseorang mendapatkan taufiq dari Allah untuk menempuh jalan menuntut ilmu. Banyak dalil-dalil, baik ayat maupun hadits yang menunjukkan akan keutamaan amalan ini, diantaranya sabda Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, Artinya: “Barang siapa yang menempuh jalan guna menimba ilmu, niscaya Allah akan mudahkan baginya, berkat amalan ini jalan menuju ke surga” (HRS. Muslim). Pada kesempatan ini, saya hendak mengingatkan diri saya dan rekan-rekan saya akan sebuah hal yang mungkin dilalaikan oleh sebagian orang. Hal ini dikarenakan adanya sikap trauma dari hal ini, akibat dari penyelewengan yang dilakukan oleh sebagian ahlil bid’ah dalam memahaminya. Oleh karena itu, saya anggap perlu hal ini didudukkan dan diluruskan, semoga tidak terjadi sikap-sikap yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum dalam ilmu syari’at. Hal ini adalah yang dinamakan dengan realita atau waqi’. Realita atau yang disebut dalam bahasa arab dengan Waqi’ merupakan hal penting dalam kehidupan seorang ulama’ dan thullabul ilmi, agar benar-benar ilmu yang kita peroleh berguna bagi kita dan juga masyarakat kita, hal ini disebabkan beberapa faktor berikut: 1. Setiap nama dalam syari’at, adalah merupakan hakikat syar’iyyah (istilah syar’i), sehingga tidak cukup untuk memahaminya hanya dengan ditilik dari sisi bahasa, akan tetapi harus difahami sesuai dengan definisi kata tersebut dalam syari’at, dan ulama’ islam dengan berbagai disiplin ilmu telah menjelaskan makna setiap istilah tersebut. Realita ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan pembahasan 2. Banyak hukum dalam syari’at yang didasari oleh adat istiadat. 3. Banyaknya perubahan, perkembangan dan hal-hal baru dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yang lebih terkenal dengan masalah-masalah kontemporer. Sehingga kita tidak akan dapat mengetahui hukum syari’at dalam masalah-masalah tersebut, kecuali setelah kita memahami realita dan permasalahan yang serupa dengannya dalam fiqih ulama’ terdahulu (tashwir fiqhy & tanzilul fiqhy). 1
4. Kesempurnaan sulit dicapai. Inilah yang saya maksud dengan realita atau waqi’, bukan seperti yang didengung-dengungkan oleh ahlul bid’ah, karena yang mereka maksudkan dengan realita atau waqi’ tak lain hanya sekedar mengetahui permasalahan politik, dan kesalahan-kesalahan pemerintah. Mereka melakukannya dengan cara mengikuti dan mempercayai berita-berita yang ada di koran-koran, stasiun televisi, radio internet, dll. Maka hendaknya orang yang membaca tulisan saya ini senantiasa memperhatikan maksud saya ini. Pada kesempatan ini, penulis hendak mengajak rekan-rekan semua untuk sedikit merenungkan keempat faktor ini, kemudian mengetahui metode ilmiyyah dalam menghadapi setiap faktor: Hakikat syar’iyyah dan hakikat Lughowiyyah Yang dimaksud dengan hakikat syar’iyyah adalah setiap kata yang digunakan dalam syari’at, dan memiliki kandungan makna tertentu. Adapun yang dimaksud dengan hakikat lughowiyyah, adalah makna setiap kata dalam bahasa [Lihat Raudhotun Nadlir 2/10, Irsyadul fuhul1/112]. Sebagai contoh: Kata (Assholah/sholat), dalam kamus-kamus bahasa, kata ini bermaknakan: doa’ akan tetapi dalam syari’at bermaknakan lain, yaitu sebuah ibadah yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam [Lihat As Syarhul Mumti’ 2/5]. Jumhur ulama’ mengatakan bahwa setiap kata dalam syari’at, harus diartikan sesuai dengan hakikat syar’iyyah, kecuali bila ada qorinah (alasan) yang menjadikannya harus diartikan sesuai dengan makna kata tersebut dalam bahasa arab [Lihat Raudhotun Nadlir 2/15, Irsyadul fuhul1/113]. Hal ini jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dalam sebuah hadits: Dari Abu Malik Al ‘Asy’ari rodhiallahu’anhu, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sungguh akan ada sekelompok orang dari ummatku yang minum khomer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya” (HR. Abu Dawud, dan hadits ini memiliki banyak syawahid). Kalo kita lihat dalam kamus-kamus bahasa arab, kita akan dapatkan bahwa yang dinamakan khomer secara bahasa, adalah perasan (jus) anggur yang memabokkan. Sehingga kalo kita memahami ayatayat dan hadits-hadits yang mengharamkan khomer hanya berdasarkan pemahaman bahasa, maka kita akan katakan bahwa jus selain anggur bukan khomer, walaupun memabokkan. Oleh karena itu, banyak orang (tolabatul ilmi) yang mengharamkan minuman memabokkan yang terbuat dari selain anggur, dengan dalil qiyas. Padahal kalo kita memahami kata khomer secara istilah syar’i, kita tidak perlu terhadap dalil qiyas dalam mengharamkan minuman tersebut. Sebagai buktinya, mari kita simak dan renungkan hadits berikut: Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Setiap yang memabokkan adalah khomer, dan setiap yang memabokkan adalah haram” (HR. Muslim). Dalam hadits Abi Malik Al ‘Asy’ary diatas, kita mendapatkan beberapa pelajaran penting: 1. Kata khomer dalam syari’at memiliki makna khusus, sehingga setiap minuman yang terdapat padanya makna tersebut, dinamakan khomer, walaupun masyarakat menamakannya dengan nama lain. 2
2. Bahwa yang menjadi pedoman (manathul hukmi) dalam menghukumi suatu masalah adalah hakikatnya (realita), bukan sekedar penamaan. 3. Hakikat khomer dalam syari’at tidak berubah hanya sekedar perubahan nama, atau dengan kata lain, nama tidak dapat merubah hakikat. 4. Ketiga hal diatas berlaku pula pada kata-kata (istilah-istilah) lain dalam syari’at, misalnya: riba, mudhorobah, mubtadi’, kafir, fasik, mukmin, muhsin, zakat, dll. Sebagai contoh lain, mari kita simak ayat berikut, yang artinya: ”Dan makan dan minumlah kamu hingga menjadi jelas bagimu (perbedaan) benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah 187). Al Bukhory meriwayatkan dari sahabat Sahel bin Sa’ad rodiallahu’anhu: “Tatkala Allah menurunkan firman-Nya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” dan belum menurunkan firman-Nya “Yaitu fajar”, sehingga sebagian orang apabila hendak berpuasa, ia mengikatkan di kakinya benang putih dan benang hitam. Dan ia terus makan, hingga telah terlihat dengan jelas baginya kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya “yaitu fajar”, sehingga mereka mengetahui bahwa yang dimaksud ialah (hitamnya) malam dan (putihnya) siang”. Dan dalam riwayat lain, dari sahabat Adi rodiallahu’anhu, ia berkata: “Adi mengambil tali putih dan tali hitam, dan pada tengah malam, ia melihat kepada (keduanya), dan keduanya tidak jelas olehnya. Kemudian tatkala esok hari, ia (bertanya kepada Rasulullah, seraya) berkata: Wahai Rasulullah, aku letakkan (kedua benang tersebut) dibawah bantalku, maka Rasulullah bersabda: Sungguh bantalmu sangat lebar, bila benang putih (waktu siang) dan benang hitam (waktu malam) berada dibawah bantalmu” (HRS. Bukhory dan Muslim). Sebagai contoh lain yang sering kita dengar dan mungkin kita alami sendiri, yaitu kata titipan/tabungan (Al Wadi’ah) dan hutang (Ad Dain), silahkan anda pergi ke bank-bank yang ada di negeri kita atau di negeri lain, anda pasti akan dapatkan fenomena manipulasi istilah, sehingga hutang dinamakan dengan tabungan/ titipan. Oleh karena penamaan ini tidak merubah hakikat, kita dapatkan para ulama’ mengharamkan bunga tabungan (deposito), dan menghukuminya sebagai riba, karena pada hakikatnya, yang dinamakan dengan tabungan (deposito) adalah hutang, bukan tabungan atau titipan atau wadi’ah. Sebagai contoh lain, kata hukum (Al Hukmu), betapa banyak orang yang membatasi makna kata ini pada peradilan dan undang-undang pemerintah, sehingga berbagai ayat dan hadits serta keterangan ulama’ yang menjelaskan haramnya berhukum dengan selain hukum Allah hanya ditujukan kepada mereka (pemerintah). Adapun berbagai peradilan dan keputusan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok atau organisasi, tidak pernah dipermasalahkan. Inilah salah satu perbedaan antara metode berfikir orang khowarij dengan metode berfikir ahlis sunnah wal jama’ah. Wahai saudaraku, marilah kita lihat dan simak kembali dengan seksama ayat-ayat, hadits-hadits, dan keterangan para ulama’ seputar masalah ini, agar kita sampai pada kesimpulan yang benar. Dan sekedar sebagai bahan acuan saja, mari kita bersama-sama simak perdebatan antara orang-orang khowarij dengan anak paman Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, Abdullah bin Abbas rodiallahu’anhuma, beliau berkata kepada mereka : “Kabarkan (katakan) kepadaku, apa yang kamu benci (musuhi) dari anak paman Rasulullah (Ali bin Abi Tholib rodiallahu’anhu), sekaligus menantunya, dan juga dari kaum Muhajirin dan Anshar? Mereka berkata: Tiga perkara, Aku berkata: Apakah ketiga perkara itu? Mereka berkata: Adapun yang pertama: Sesungguhnya dia telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama) Allah, apa hubungan manusia dengan hukum (Allah)?! ……. Maka aku berkata: Adapun 3
anggapan kalian, bahwa dia (Ali) telah menjadikan manusia sebagai hakim dalam urusan (agama) Allah, maka akan aku sebutkan untuk kalian beberapa masalah yang keputusannya diserahkan kepada manusia, yaitu dalam masalah yang seharga ¼ dirham, sebagai harga seekor kelinci dan binatang buruan yang serupa dengannya, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. ..s/d .. menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu” (QS Al Maidah 95), Aku sumpah kalian, apakah hukum (keputusan manusia pada seekor kelinci dan yang serupa, lebih utama, ataukah keputusan mereka pada hal yang berhubungan dengan (pertumpahan) darah dan perdamaian antara mereka? Dan hendaknya kalian juga tahu, bahwa seandainya Allah menghendaki, niscaya Ia akan menurunkan keputusan-Nya, dan tidak menyerahkannya kepada manusia. Dan dalam urusan seorang suami dan istrinya, Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu” (QS An Nisa’ 35), Allah (pada ayat ini) menjadikan keputusan manusia sebagai jalan yang harus ditempuh” (HRS. Ahmad, At Thobrony, Al Baihaqy dan dishohihkan oleh Al Hakim). Dalam perdebatan ini kita dapat melihat dengan jelas, bahwa berhukum dengan hukum Allah, bukanlah kewajiban para pemerintah semata, akan tetapi kewajiban setiap orang. Oleh karena itu kita dapatkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan kita berhukum dengan hukum Allah, datang dengan teks yang bersifat umum. Fenomena ini mengharuskan kita mendalami dan mengkaji setiap kata dan istilah yang ada dalam syari’at, dan memahaminya sesuai dengan yang dimaksudkan dalam syariat, bukan hanya sekedar mengetahui arti kata tersebut menurut bahasa arab, agar kita dapat sampai kepada sebuah keputusan hukum yang benar dalam masalah tersebut. Sebagai penerapan lain bagi hal (realita) ini, adalah yang disebutkan dalam sebuah kaidah fiqih (Pertanyaan bagaikan diulang dalam jawaban) - [Lihat Al Asybah Wa An Nazhoir 141, Al Mantsur 2/214, Irsyadul Fuhul 1/361]. Maksud kaidah ini: apabila kita bertanya kepada seseorang tentang sesuatu, maka tatkala orang itu menjawab pertanyaan kita, maka kandungan/inti pertanyaan kita terkandung dalam jawabannya, misal: kita bertanya kepada seorang ulama’: Apa hukumnya orang mabok hingga hilang kesadarannya kemudian menceraikan istrinya? Maka ulama’ tersebut menjawab: Istrinya tidak tercerai. Ulama’ ini seakan-akan menjawab dengan berkata: Orang mabok hingga kesadarannya hilang tidak tercerai istrinya. Dalam kehidupan dakwah salafiyah di negeri kita dan juga di negeri lain, sedang dilanda musibah yang diakibatkan oleh banyak dari kita yang tidak memahami kaidah ini. Sehingga sering terjadi salah pemahaman dan salah penerapan terhadap jawaban ulama’ terhadap sebagian pertanyaan. Sebagai contoh saja: ada seseorang yang bertanya kepada salah seorang ulama’ tentang seorang da’i di indonesia yang berkata atau bersikap tertentu, maka ulama’ itupun menjawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Dan akhirnya jawaban beliau ini dijadikan untuk mengkalim bahwa ulama’ itu telah memvonis da’i tersebut, atau telah menghukuminya sebagai mubtadi’ atau fasik atau lainnya. Padahal ulama’ tersebut hanya menghukumi sebatas pertanyaan yang beliau dengar, terlepas dari fakta dan realita yang sebenarnya terjadi pada da’i tersebut. Hal ini bukanlah kesalahan bagi ulama’ tersebut, karena beliau telah menjalankan tugas dengan benar, yaitu menjawab sesuai pertanyaan. Akan tetapi yang tercela adalah sang penanya yang bertanya tidak sesuai dengan realita. 4
Dari Ummu Salamah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sesungguhnya aku adalah manusia, dan sesungguhnya kalian berhakim kepadaku, dan mungkin saja sebagian kalian lebih pandai dalam menyampaikan alasannya dibanding yang lain (lawannya), kemudian aku memutuskan sesuai dengan apa (alasan) yang aku dengar, maka barang siapa yang untuknya aku putuskan dengan sebagian hak saudaranya (orang lain), hendaknya jangan ia ambil, karena sesungguhnya aku telah memotongkan baginya sebongkah api neraka” (HRS. Bukhory). Hadits ini merupakan kaidah dan pelita bagi kita semua dalam menghadapi berbagai kasus pertanyaan dan fatwa yang ada di medan dakwah di negeri kita Indonesia. Banyak hukum dalam syari’at yang didasari oleh adat istiadat Saya rasa hal ini bukanlah hal yang aneh lagi bagi seorang tholibul ilmi, bahkan hal ini adalah satu dari kelima kaidah besar dalam ilmu fiqih, yang disepakati oleh para ulama’, hanya saja mungkin dalam praktek dan penerapannya yang terjadi perbedaan [Al Ihkam Fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam 232, I’ilamul Muwaqi’in 3/77-78]. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang mufti, untuk berfatwa dalam masalah seputar iqrar (pengakuan), aiman (sumpah), wasiyat, dan lainnya, yang ada hubungannya dengan (penafsiran) lafdl (kata-kata), berdasarkan kebiasaanya sendiri dalam memahami kata-kata itu, tanpa mengetahui terlebih dahulu adat dan tradisi orang yang mengucapkan kata tersebut, sehingga ia dapat menafsirinya sesuai dengan adat dan tradisi mereka. Walaupun adat dan tradisi mereka itu bertentangan dengan hakikat dasar (makna asli) kata-kata tersebut. Tatkala ia (seorang mufti) tidak melakukan hal ini, niscaya ia akan sesat dan menyesatkan” [I’ilamul Muwaqi’in 4/228]. Dan dalam kesempatan lain, setelah ia menjelaskan kewajiban mufti agar ketika berfatwa senantiasa memperhatikan perubahan adat istiadat pada setiap masyarakat, ia berkata: “Barang siapa yang berfatwa kepada orang lain, hanya berpedoman dengan yang disebutkan dalam kitab-kitab, tanpa memperdulikan perbedaan adat dan tradisi masyarakat, masa, situasi, kondisi, dan berbagai faktor yang ada pada mereka, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Dan kejahatan yang ia lakukan terhadap agama, lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter gadungan, yang mengobati badan orang lain, dengan berbagai perbedaan negri, tradisi, masa dan tabiat mereka, hanya berpedoman dengan sebuah buku kedokteran saja” [Idem 3/78]. Sebagai salah satu contoh penerapan kaidah ini, bila kita membaca kitab-kitab para ulama’ yang membahas tentang dlihar, niscaya kita akan dapatkan bahwa: barang siapa yang mengatakan kepada istrinya: ibu (mama, ummy), atau saudaraku perempuan (mbak/adik dll) atau sebutan yang semakna, dihukumi dlihar, sehingga ia tidak boleh berhubungan dengan istrinya, hingga membayar kafarah, yaitu memerdekakan budak, kalau tidak dapat, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan kalau tidak dapat, bersedekah memberi makan kepada enam puluh orang miskin. Nah, kalau kita terapkan begitu saja fatwa ini pada masyarakat indonesia, niscaya 70 % dari para suami harus membayar kafarah ini. Sebagai contoh lain, kata nafkah, kalo kita lihat masyarakat di negeri arab, setiap istri jatah makannya (kebiasaannya) sekali makan dengan lauk ½ ekor ayam, minum susu, sarapan roti dan keju, dll, nah kalo hal (adat) ini kita jadikan ukuran dalam berfatwa seputar kadar nafkah di masyarakat indonesia, tentu tidak sesuai. Dan masih banyak hal lagi yang semakna dengan dua contoh ini, bagi yang ingin memperdalam dan mengkaji lebih luas masalah ini, hendaknya merujuk kitab-kitab qowaid fiqhiyyah, misal: Al Asybah wan Nazhoir oleh As Suyuthy, Al Asybah wan Nazhoir oleh Ibnu Nujaim dll. 5
Metode yang efektif untuk mensikapi berbagai masalah seperti ini, hendaknya sebelum menjawab pertanyaan, kita bertanya daerah asal penanya? apakah adat dan tradisi daerahnya berbeda dengan adat dan tradisi kita? [lihat Al Ihkam Fi Tamyizil Fatawa ‘Anil Ahkam 232, I’ilamul Muwaqi’in 4/228]. Ada satu hal yang tidak kalah pentingnya dengan hal ini (memperhatikan perbedaan adat dan tradisi dalam berfatwa) adalah memperhatikan perbedaan mazhab yang berlaku di setiap masyarakat. Sebagai contoh, di negeri Saudi Arabia, mazhab yang diterapkan oleh pemerintahnya adalah mazhab Hambali, dan mazhab ini pula yang diterapkan di pengadilan serta oleh para mufti negeri ini, sedangkan mazhab yang dianut di negeri kita adalah mazhab syafi’i, oleh karena itu dalam masalah-masalah yang tergolong dalam masalah ijtihadiyyah (masalah yang tidak ada dalil shohih lagi shorih/nyata) hendaknya kita memperhatikan fenomena ini, agar tidak menimbulkan fitnah. Sebagai contoh nyata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, Abu Bakar, dan Umar radliallahu ‘anhuma tatkala berhaji dan berada di Mina, mereka mengqoshor sholat ruba’iyah (Zhuhur, Ashar, Isya’) menjadi dua rakaat-dua rakaat, akan tetapi pada zaman khilafah Utsman bin Affan rodiallahu’anhu beliau sholat empat-empat, maka perbuatan beliau inipun diingkari oleh para sahabat yang ada kala itu. Diantara sahabat yang mengingkari adalah Abdullah bin Mas’ud rodiallahu’anhu, ketika hal ini sampai kepada beliau, beliau mengucapkan istirja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), akan tetapi tatkala datang waktu sholat, beliau sholat berjamaah bersama sahabat Utsman bin Affan, dan mengikutinya sholat empat-empat. Tatkala beliau ditanya tentang sikap beliau yang mengikuti ijtihad kholifah Utsman ini, beliau berkata: “Perbedaan itu buruk” (Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Thobrony, Al Baihaqy dll). Contoh lain: Dalam mazhab hambali [Lihat Al Mughny149, Al Inshof 2/48] , dan yang diterapkan di negeri ini (Arab Saudi), ketika sholat jahriyyah, tidak disunnahkan untuk membaca basmalah dengan suara keras, akan tetapi dibaca dengan pelan-pelan, baik ia seorang imam atau bukan. Akan tetapi dalam mazhab Syafi’i [Lihat Al Majmu’ 3/289, Mughni muhtaj 1/157], dan yang diterapkan di negeri kita Indonesia, mengeraskan suara dengan bacaan basmalah adalah sunnah. Betapa banyak masalah yang timbul karena sikap sebagian kita yang kurang memperhatikan fenomena ini, sehingga ketika ia ditunjuk menjadi imam dikampungnya, ia tidak mengeraskan bacaan basmalah. Sebagai contoh lain: dalam Mazhab Syafi’i, seorang khotib jum’ah diwajibkan membaca ayat, hamdalah, sholawat kepada Nabi, dan berwasiat dengan ketaqwaan, keempat hal ini termasuk rukun-rukun khutbah, tidak sah khutbah seseorang kalau tidak melakukan hal-hal itu [Lihat Al Um 1/230, Al Aziz 2/283, Al Majmu’ 4/388]. Dan karena sebagian tholibul ilmi mengikuti pendapat sebagian ulama’, ketika ia ditunjuk menjadi khotib, ia tidak membaca sholawat kepada Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Akibatnya sebagian jama’ah, selepas sholat, ia mengulang sholat dhuhur, karena ia menganggap bahwa khutbah sang imam tidak sah, sehingga sholat jum’atnya juga tidak sah. Kejadian ini sempat diangkat dalam sebuah majalah yang terbit di salah satu kota di Indonesia. Dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa. Fenomena ini, mengharuskan kita untuk sedikit membuka mata, dan telinga kita, guna melihat dan mendengar kenyataan, dan kemudian mengkaji setiap masalah yang terjadi perbedaan mazhab (terutama antara yang dijalankan di negri kita dengan yang kita anggap rojih, sehingga kita amalkan). Dengan demikian kita akan dapat bersikap bijak lagi arif dalam menghadapi perbedaan itu, karena para ulama’ telah menggariskan sebuah kaidah penting lagi berguna dalam situasi seperti ini, yaitu:
6
“Disunnahkan menghindari khilaf (perbedaan pendapat), yaitu dengan cara melakukan hal yang dikhilafkan akan kewajibannya, dan meninggalkan hal yang dikhilafkankan akan keharamannya” [Lihat Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam 1/215-216, Al Asybah wa An Nazloir 136-137]. Mungkin ada yang berkata, apakah semua khilaf harus diperhatikan, dan dihindari? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka hendaknya diketahui bahwa kaidah ini, memiliki tiga syarat dalam penerapannya: 1. Hendaknya sikap menghindari khilaf tidak menyebabkan kita bertentangan dengan satu hal yang disunnahkan dengan dalil yang nyata (shohih lagi shorih), sebagai misal: Kita tetap mengangkat tangan ketika sholat, walaupun menurut mazhab Hanafy, hal ini membatalkan sholat. Dalam jual beli, kita memiliki khiyar majlis, walaupun Imam Malik tidak membenarkan adanya khiyar majlis, karena dalil adanya khiyar majlis jelas-jelas shohih lagi shorih, bahkan diriwayatkan oleh Imam Malik sendiri, dalam kitabnya “Al Muwatha’”. 2. Hendaknya sikap ini tidak menjatuhkan kita pada khilaf lain. sebagai misal: Bila kita hendak sholat witir tiga rakaat, maka yang afdlol adalah dengan cara sholat dua rakaat, kemudian salam, lalu nambah satu rakaat, walaupun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa sholat witir tiga rakaat harus disambung tidak boleh dipisah (dengan dua salam). Hal ini karena sebagian ulama’ mengatakan bahwa menyambung witir (3 rakaat langsung dengan satu salam) tidak sah. 3. Dalil atau alasan pendapat yang hendak kita hindari khilafnya kuat juga. Akan tetapi kalau dalilnya lemah sekali atau bahkan dianggap sebagai kelalaian, maka tidak dianjurkan untuk dihindari khilafnya. Sebagai misal: Mengucapkan niat ketika hendak wudlu, atau sholat, tidak disunnahkan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dalam mazhab Syafi’i, mengucapkan niat sunnah, hal ini dikarenakan dalil atau alasan mereka sangat lemah [idem]. Masalah-masalah kontemporer Tidak kita pungkiri, bahwa metode kehidupan yang ada pada zaman sekarang telah banyak berubah dengan metode kehidupan yang ada pada satu abad silam, apalagi dengan yang ada pada zaman Nabi shollallahu’alaihiwasallam. kenyataan ini dapat kita lihat dan buktikan melalui studi banding antara berbagai metode transaksi dan interaksi yang disebutkan dalam berbagai hadits dengan yang ada pada zaman sekarang. Sebagai contoh: Sering kita membaca hadits yang mengharamkan jual beli dengan cara mulamasah (yaitu menjual barang pada tempat yang gelap gulita, sehingga tidak mungkin bagi penjual atau pembeli untuk menyaksikan barang yang hendak dibeli dengan baik). Nah, kalo kita renungkan dan kita bandingkan dengan kenyataan yang ada pada zaman kita sekarang, mungkin kita akan berkata, mustahil pada zaman sekarang ada seorang pedagang yang menjual barangnya ditempat gelap, karena lampu listrik telah dinikmati oleh kebanyakan manusia, walupun yang tinggal dilerenglereng gunung. Akan tetapi, kalo kita sedikit memikirkan alasan diharamkannya mulamasah, kita akan berkata sebaliknya. Karena alasan haramnya mulamasah, adalah terjadinya jahalah (ketidak jelasan) pada barang yang dijual. Dan hal ini justru dapat terjadi pada toko-toko yang memiliki lampu penerangan yang berwarna-warni, sehingga barang yang berwarna coklat tua, terlihat berwarna coklat muda, dan yang berwarna krem, terlihat putih, baju kusut lagi kasar, terlihat halus mengkilat, dsb. Contoh lain, bila kita tidak memiliki uang, dan memiliki barang berharga, kendaraan, rumah atau tanah, dan sering kali kesusahan untuk mendapatkan pinjaman, sehingga tidak jarang kita menempuh jalan lain, yaitu dengan mendatangi kantor-kantor pegadaian, guna menggadaikan aset kita tersebut, tindakan kita ini diistilahkan Ar Rahnu (penggadaian). Mungkin sering sekilas kita akan berkata, bukankah kita dibolehkan menggadaikan barang? Akan tetapi bila kita melihat fakta 7
dan praktek-praktek pegadaian yang ada dinegri kita, niscaya kita akan berkata lain, karena yang terjadi, pegadaian mengambil keuntungan (bunga) dari kita, dengan berbagai alasan dan cara. Dan kalau sudah jatuh tempo, dan kita tidak dapat melunasi hutang kita, maka aset kita itu, mereka jual dengan harga yang telah mereka tentukan, bukan dengan harga yang semestinya di pasaran. Hal ini menjadikan kita berkesimpulan lain tentang sistem pegadaian tersebut, kesimpulan yang didasari oleh sebuah kaidah: “Setiap piutang yang mendatangkan manfaat, maka itu adalah riba”. Dan banyak lagi masalah-masalah yang serupa dengan yang disebut diatas, misalnya: hukum jual beli surat berharga, saham, perbankkan, berbagai transaksi model baru, semacam MLM (multi level marketing), transaksi jual beli menggunakan berbagai alat komunikasi masa kini, mencangkok organ manusia, berbagai masalah dalam dunia kedokteran, dll. Fenomena ini mengharuskan kita memahami dan mengetahui bagaimana metode menghubungkan masalah-masalah baru (kontemporer) dengan masalaha-masalah yang disebutkan dalam dalil-dalil dan kitab-kitab ulama’, pekerjaan ini diistilahkan dengan At tashwirul fiqhy & At Tanzilul fiqhy. Realita ini, tidak berarti seseorang tidaklah dikatakan sebagai ulama, kecuali bila telah menguasai berbagai permasalahan kontemporer ini, karena kekurangan dalam hal ini dapat dipenuhi dengan mendatangkan para pakar dan ahli dalam setiap permasalahan, sebagaimana yang diterapkan oleh Badan Riset dan Fatwa di Kerajaan Arab Saudi dan juga oleh berbagai badan perkumpulan ulamaulama fiqih di berbagai negeri islam. Ibnul Qayyim berkata: “Seorang mufti dan seorang hakim tidak mungkin dapat berfatwa atau memutuskan dengan benar, kecuali bila ia menguasai dua macam pemahaman, pertama: memahami dan mengetahui realita kejadian, dan menarik kesimpulan dari hakikat kejadian yang terjadi dengan menggunakan berbagai tanda dan indikasi yang ada padanya, hingga ia benar-benar menguasai ilmu tentangnya. pemahaman kedua: memahami kewajiban (yang harus diterapkan) pada kejadian itu, yaitu dengan memahami hukum Allah yang Ia putuskan dalam kitab-Nya atau melalui lisan RasulNya tentang kejadian ini. Dan kemudian ia mencocokkan antara kedua pemahaman ini. Barang siapa telah mengerahkan seluruh daya dan upayanya guna menguasai kedua pemahaman ini, niscaya ia meraih dua atau satu pahala” [I’ilamul Muwaqi’in 1/87-88]. Kesempurnaan sulit dicapai Sebagaimana yang kita dapatkan dan rasakan, betapa banyak kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri kita sendiri, hal serupa juga dialami oleh orang lain. Fenomena ini menuntut kita untuk mengakui kekurangan dan siap menerima kekurangan dari orang lain. Tidak mungkin kita mendapatkan orang yang sempurna, dan tidak mungkin kita menemukan kawan yang tidak memiliki kekurangan. Oleh karena itu nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda, yang artinya: “Setiap anak Adam sering melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat (kembali kepada kebenaran)” (HR. Ahmad, At Tirmizy, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Al Hakim). Akan tetapi, kadang kala kita terjerumus kepada satu sikap yang mengherankan, yaitu: menuntut orang lain untuk memaklumi kekurangan dan kekeliruan kita, akan tetapi kita sendiri tidak siap untuk menerima kenyataan bahwa kawan kita memiliki kekurangan. Sebagai salah satu sikap yang -menurut hemat saya- tidak obyektif, bila salah seorang dari kita hendak mencari pasangan hidup, kita membuat berbagai persyaratan kriteria yang, mungkin hanya ada pada bidadari, cantik, pandai, sholehah, trampil, kaya raya, putih, muda belia, berdarahkan biru, menyandang gelar pendidikan tinggi dsb. Akan tetapi, di sisi lain, kita enggan untuk menoleh dan 8
meraba tengkuk sendiri, sambil bertanya: Siapakah aku?! Kita hanya bisa membayangkan dan menghayal, kapankah aku dapat meminang seorang bidadari?, tanpa bertanya: apakah mahar seorang bidadari? Mungkin ini yang menjadikan kita kebingungan, bagaimana dan dengan siapa saya harus menikah, bidadari dari langit mana yang harus saya nikahi? Akan tetapi, mari kita lihat dan simak bersama realita yang Nabi shollallahu’alaihiwasallam gambarkan, dan hendaknya menjadi pedoman bagi setiap kita dalam mencari pasangan hidup dan memperlakukannya: “Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda: “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, (karena) bila ia tidak menyukai satu perangai padanya, pasti ia menyukai perangainya yang lain” (HR. Muslim). Dalam hadits ini, kita (kaum laki-laki) mendapatkan sebuah pelajaran penting tentang realita kaum muslimah, yaitu: setiap muslimah pasti ada padanya beberapa perangai yang membuat suaminya suka, walaupun disisi lain ia memiliki perangai yang kurang disenangi. Fenomena ini dijadikan oleh Nabi shollallahu’alaihiwasallam sebagai pedoman bagi kaum muslimin dalam mensikapi kaum muslimat, terutama istri-istri mereka. Hal ini juga membuktikan kepada kita (kaum laki-laki) bahwa, khayalan dan impian sebagian orang, ingin mendapatkankan seorang istri yang sempurna, bak bidadari yang turun dari surga, tidak akan pernah terwujud didunia fana ini. Oleh karena itu, menurut hemat saya, apabila kita mencari pasangan hidup, hendaknya kita mempersiapkan mental dan i’tikad kita, guna menghadapi kekurangan dan beberapa perangai calon istri kita yang kurang disukai. Contoh lain, kita sering mengucapkan kritikan kepada orang lain, dengan berkata: seharusnya ia berbuat demikian, demikian, akan tetapi kita jarang atau bahkan enggan untuk mengatakan kepada diri sendiri: dapatkan saya melakukan seperti yang ia lakukan? apalagi mendengarkan kritikan orang lain. Di negri kita ada sebuah pepatah: penonton lebih pandai daripada pemain. Fenomena ini hendaknya senantiasa kita ingat, agar kita tidak gampang kecewa dan dapat berhubungan dengan orang lain dengan baik. Walaupun hal ini tidak menutup pintu kitrik membangun, dan nasehat menasehati dengan cara yang baik lagi sopan. Semboyan kita adalah: “Tempuhlah jalan yang benar, berusahalah sekuat tenaga, dan berikanlah kabar gembira (kepada yang beramal, bahwa ia akan mendapatkan pahala)” (HRS. Bukhory dan Muslim). Wallahu a’lam bishowaab. Semoga tulisan ini menjadi pilar bagi kita dalam menuntut ilmu, dan menempuh perjalanan dakwah kita. Dan saya mengharapkan dan sangat berterima kasih, bila ada dari saudaraku yang mendapatkan kesalahan atau kritikan pada tulisan ini, hendaknya ia menyampaikannya, tentunya dengan metode dan etika yang ilmiyah. Semoga sholawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabat. Madinah, 22 Ramadhan 1425 H
9
Racun Fiqhul Waqi October 1st, 2005 8:53 pm (Fiqh, Manhaj) Melanjutkan tulisan beliau sebelumnya (Realita dan Ilmu Fiqh), ustadz Arifin Badri mencoba mengulas seputar permasalahan fiqhul waqi’ yang ada sekarang ini disertai dengan dalil-dalil ilmiah. Untuk memudahkan pemahaman kita dalam menangkap pesan yang disampaikan oleh beliau, alangkah baiknya ikhwah membaca tulisan beliau sebelumnya (Realita dan Ilmu Fiqh). Semoga bermanfa’at… Segala puji hanya milik Allah, yang telah melimpahkan kepada kita umat Islam berbagai kemurahan dan kenikmatan-Nya. Dan kenikmatan terbesar yang telah Ia limpahkan kepada umat ini ialah disempurnakannya agama ini, sehingga tidak lagi membutuhkan tambahan, dan juga tidak perlu dikurangi, Allah berfirman:
Artinya: “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu”. (QS Al Maaidah: 3). Ibnu Katsir menerangkan ayat ini dengan perkataannya: “Disempurnakannya agama Islam merupakan kenikmatan Allah ta’ala yang paling besar atas umat ini, karena Ia telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak memerlukan lagi agama lainnya, dan tidak pula perlu seorang nabi selain Nabi mereka sendiri. Oleh karena itu Allah Ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada seluruh jin dan manusia. Dengan demikian tidak ada suatu yang halal, melainkan yang beliau halalkan, tidak ada sesuatu yang haram, melainkan sesuatu yang beliau haramkan, dan tidak ada agama melainkan ajaran agama yang telah beliau syari’atkan. Setiap yang beliau kabarkan pasti benar lagi jujur, tidak mengandung kedustaan sedikit pun, dan tidak akan menyelisihi realita” (Tafsirul Qur’an Al ‘Adlim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/12). Ayat ini, sebagaimana telah diketahui, diturunkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pada hari Arafah, pada Hajjatul Wada’. Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Thariq bin Syihab, ia mengisahkan: Orang-orang Yahudi berkata kepada Umar bin Khattab rodhiallahu’anhu: Sesungguhnya kalian membaca satu ayat, seandainya ayat itu turun pada kami kaum Yahudi, niscaya (hari diturunkannya ayat itu) akan kami jadikan hari ‘Ied (perayaan). Maka Umar berkata: “sungguh aku mengetahui kapan dan di mana ayat itu diturunkan, dan di mana Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam berada di saat ayat itu diturunkan, yaitu di padang arafah, dan kami juga sedang berada di padang arafah… yaitu firman Allah:
Artinya : “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan atasmu kenikmatan-Ku, dan Aku ridho Islam menjadi agamamu”.( Riwayat Al Bukhori, 4/1683, hadits no: 4330 ). Pada riwayat ini, dapat kita ketahui bahwa kesempurnaan agama Islam ini bukan hanya diketahui dan disadari oleh kaum muslimin saja, bahkan orang-orang Yahudi pun mengetahuinya, bukan
10
hanya sebatas itu, bahkan mereka berangan-angan seandainya ayat ini diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan merayakannya. Sebagai bukti lain bahwa orang-orang non-Islam menyadari akan kesempurnaan agama Islam, ialah kisah berikut: “Ada sebagian orang musyrikin berkata kepada sahabat Salman Al Farisi rodhiallahu’anhu: Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan kalian segala sesuatu, hingga tata cara buang hajat. Maka sahabat Salman Al Farisi menimpalinya dengan berkata: Benar, beliau sungguh telah melarang kami untuk menghadap ke arah kiblat di saat buang air besar atau buang air kecil, dan beristinja menggunakan tangan kanan, dan beristijmar (istinja dengan bebatuan) dengan kurang dari tiga batu, atau beristijmar menggunakan kotoran binatang atau tulang-belulang.” (Shohih Muslim, 1/223, hadits no: 261). Bila kesempurnaan agama Islam dalam segala aspek kehidupan telah diakui dan diketahui oleh orang-orang non-Islam, maka betapa sengsara dan bodohnya bila ada orang Islam yang masih merasa perlu untuk mencari alternatif lain dalam beragama, yaitu dengan cara menambah, atau memodifikasi, atau menggabungkan, atau dengan cara mengadopsi teori-teori dan ajaran-ajaran umat lain, baik yang berasal dari negeri India, atau Mesir, atau Yunani atau Barat. [Suatu fakta yang memilukan, disaat di negri kita sedang menjamur sekolahan-sekolahan islam, dimulai dari SDIT hingga perguruan tinggi, akan tetapi ternyata teori-teori pendidikan yang diterapkan, ialah teori pendidikan barat, dan bukan teori pendidikan islam, diantaranya ialah teori pendidikan yang melarang seorang guru mengajarkan muridnya dengan metode perintah, juga melarang dari memberikan hukuman fisik –misalnya: pukulan dll-, ini semua tidak selaras dengan prinsip dan tahapan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam agama islam, wallahul musta’an.]. Tidaklah ada kebaikan di dunia atau di akhirat, melainkan telah diajarkan dalam agama Islam, dan tidaklah ada kejelekan melainkan, Islam telah memperingatkan umat manusia darinya, Allah berfirman:
Artinya: “Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Kitab ( Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS An Nahl: 89). Ibnu Mas’ud berkata: “Telah dijelaskan kepada kita dalam Al Quran ini seluruh ilmu dan segala sesuatu.” Dan Mujahid berkata: “Seluruh halal dan haram telah dijelaskan.” Setelah Ibnu Katsir menyebutkan dua pendapat ini, beliau berkata: “Pendapat Ibnu Mas’ud lebih umum dan menyeluruh, karena sesungguhnya Al Quran mencakup segala ilmu yang berguna, yaitu berupa kisah-kisah umat terdahulu, dan yang akan datang. Sebagaimana Al Quran juga mencakup segala ilmu tentang halal dan haram, dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, dalam urusan kehidupan dunia dan agama mereka.” (Tafsirul Qur’anil ‘Adhim oleh Ibnu Katsir As Syafi’i 2/582). Oleh karena itu, orang yang paling hafal dan memahami ilmu Al Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kemudian mengamalkannya adalah orang yang paling berguna bagi perjalanan umat, baik untuk masa kini atau masa depan mereka, di dunia atau di akhirat. Mereka itulah para ulama’ rabbaniyyin, yang ucapannya patut dijadikan panutan dan fatwanya dijadikan pedoman. Merekalah yang akan dapat menegakkan kebenaran, dan memperjuangkannya. Merekalah yang akan menepis dan menyingkap tabir dan kedok setiap musuh yang menyusup ke barisan umat. Dan mereka pulalah yang memadamkan api dalam sekam, dan menangkap musuh 11
dalam selimut, dan mereka pulalah tonggak kekuatan umat islam. Karena mereka adalah ahli waris Nabi shollallahu’alaihiwasallam, yang mewarisi ilmu dan semangat perjuangan beliau.
“Para ulama’ ialah ahli waris para nabi, dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar, juga tidak dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu, maka barang siapa yang mendapatkan ilmu, maka ia telah mendapatkan bagian warisan yang banyak. (Hadits Abi Ad Darda’, dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad 5/196, Abu Dawud, 3/317, hadits no: 3641, At Tirmizy 5/48, hadits no:2682, Ibnu Majah 1/81, hadits no: 223, dll.). Inilah sebabnya, mengapa setan dan ahli warisnya paling berang bila melihat ulama’ yang benarbenar komitmen dengan Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga mereka berusaha menghalang-halangi setiap usaha dan gerak para ulama’ dan menjauhkan mereka dari kehidupan masyarakat, dengan berbagai cara. Semua ini mereka lakukan agar mereka dapat dengan leluasa menebarkan makar dan tipu muslihatnya. Kadang kala, dengan kekuatan, dan kadang kala pula dengan cara-cara yang lembut, yaitu dengan melontarkan berbagai tuduhan buruk kepada ahli waris Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Sebagaimana dahulu mereka telah melakukan usaha-usaha ini guna menghadapi dakwah Nabi shollallahu’alaihiwasallam. Diantara sebab terjadinya perolok-olokan terhadap ulama’ ialah merajalelanya kebodohan terhadap ilmu syari’at, dalam pepatah arab dinyatakan:
“Manusia itu akan senantiasa memusuhi setiap yang tidak ia ketahui” Sebagaimana yang kita rasakan, betapa banyak dari kaum muslimin pada zaman ini yang menentang syari’at islam dan mengatakan bahwa islam itu keji, dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman, ini semua salah satu bukti bahwa kaum muslimin telah jauh dan bodoh tentang ajaran islam, dan bahwa islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga tidak heran bila mereka memusuhi ulama’ yang komitmen dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan seandainya masyarakat mengetahui bahwa peran ulama’ sangat besar, dan tugas yang mereka emban suci lagi berat, dan berkat –setelah rahmat dari Allah- perjuangan dan jasa mereka Allah menurunkan berbagai kenikmatan dan kerahmatannya, sehingga seluruh penghuni langit dan bumi senantiasa memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya tidak akan ada orang yang memperolokolokkan mereka. [Sebagaimanan yang disebutkan dalam hadits Abi Ad Darda’ rodiallahu’anhu: Barang siapa yang menempuh suatu perjalanan guna menuntut ilmu, niscaya dengannya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga. Dan para malaikat akan menutupkan sayapnya, karena ia suka dengan seorang penuntut ilmu. Dan sungguh seorang ulama’ akan dimohonkan ampunan oleh seluruh penghuni langit dan bumi, sampaipun ikan di lautan…”, lihat Tahrij hadits ini pada footnote sebelumnya]. Dan diantara perangkap yang mereka pasang dan upaya yang mereka tempuh guna menjauhkan masyarakat dari ulama’ ialah tuduhan baru tapi kuno, baru karena dikemas dengan ungkapanungkapan yang seakan-akan sopan, kuno karena kandungannya keji dan jahat dan tujuannya sama dengan tujuan setiap ahli waris setan di setiap zaman. Tuduhan ini ialah mengatakan: bahwa mereka para ulama’ tua sudah kadaluwarsa, habis masa berlakunya, mereka hanya dapat membaca kitab-kitab kuning yang telah usang diterpa zaman, sehingga mereka tidak 12
memahami realita dan perkembangan zaman. Mereka hanya mampu memahami dan mengajarkan berbagai masalah seputar haid dan nifas, atau ilmu mereka tidak lebih dari sebatas celana dalam wanita. Bahkan ada lagi yang lebih keji tuduhannya dengan mengatakan: mereka hanya memahami kulit luar agama islam, sedangkan inti dan kandungannya belum atau tidak mereka pahami. [Syeikh Ahmad bin Yahya An Najmi berkata: “Agama islam semuanya haq, tidak ada salahnya, benar lagi jujur tidak ada dustanya, sunguh-sungguh tidak ada faktor main-main, dan semuanya inti tidak ada kulitnya. Saya takutkan orang yang menyangka bahwa dalam ajaran agama islam ada yang dianggap kulit, ia telah keluar dari keislaman dan telah menjadi murtad”. Al Maurid Al Azbu Al Zulaal 235.]. Syeikh Sholeh bin Fauzan Al fauzan mengatakan tentang kenyataan ini dengan berkata: “Ada oknum-oknum yang berusaha menjatuhkan kedudukan para ulama’, melalui media elektronik, dan koran-koran, disana juga ada orang yang mencela ulama’-ulama’ terdahulu, seperti Imam Ahmad, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syeikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab, dan lainnya. Disana juga ada oknum-oknum yang meremehkan peran ulama’-ulama’ sekarang, dengan mengatakan: mereka ekstrim, dangkal pemikiran, picik pandangan, tidak memahami realita, mereka hanya ulama’ picisan, gila jabatan, kaki tangan pemerintah, dan julukan-julukan jelek lainnya. Kemudian mereka berusaha mempropagandakan para penyeru pembaharuan dan intelek, yang tidak menguasai hukum-hukum syari’at, dan hanya memiliki pengetahuan umum, tidak mampu membedakan antara akidah yang benar dan yang salah.” [Majalah Al Jazirah edisi 12 rajab 1424]. Mungkin ada yang mengatakan, ah ini kan hanya sebatas tuduhan saja. Guna membuktikan bahwa orang semacam ini ada dan bahkan banyak berkeliaran di mana-mana, akan saya nukilkan perkataan salah seorang dari mereka. berkata: “Dan pada hari ini, -sangat disayangkanPenulis buku kita memiliki ulama’ (syuyukh) yang hanya memahami kulit agama islam, layaknya ia sedang hidup pada zaman dahulu, padahal sitem kehidupan dan metode transaksi masyarakat telah berubah. Apa gunanya seorang ulama’ yang membaca ayat-ayat riba sedangkan ia tidak memahami berbagai transaksi riba yang berjalan pada zaman sekarang, dan apa gunanya seorang ulama’ yang tidak mampu untuk membantah perkataan seorang ateis yang mengatakan bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri ialah tindakan bengis, dan menikah dengan empat wanita itu gaya hidup orang-orang rimba dan tidak moderen …………” [Dinukil melalui kitab Al Maurid Al Azbu Az Zulaal, hal 234]. Tuduhan ini dalam bahasa arab sering disebut dengan Fiqhul Waqi’. Syeikh Ibnu Baz –rahimahullah- tatkala mengomentari tuduhan-tuduhan ini berkata : “Kewajiban setiap orang muslim untuk selalu menjaga lisannya dari hal-hal yang tidak layak, dan hendaknya ia tidak berbicara kecuali dengan dasar pengetahuan. Ucapan bahwa si fulan tidak memahami realita, memerlukan pengetahuan, dan tidak boleh dikatakan kecuali oleh orang yang berilmu, hingga ia dapat menghukumi bahwa dia benar-benar tidak memahami realita. Adapun mengucapkannya dengan tanpa dasar, dan mengklaim atas dasar pemikiran sendiri tanpa ada bukti, maka ini adalah kemungkaran besar, tidak boleh dilakukan. Dan untuk mengetahui bahwa pemberi fatwa ternyata tidak memahami realita, membutuhkan bukti, dan ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh para ulama’”.[Majalah Rabithoh Alam Islamy, edisi 313, dengan perantara kitab: Qowaid fi Ta’amul ma’a Al Ulama’, oleh Syeikh Dr. Abdur Rahman bin Mu’alla Al Luwauhiq]. Komentar beliau ini singkat tapi padat dan penuh dengan pelajaran penting, diantaranya: Pelajaran Pertama: Bahwa menuduh ulama’ dengan tuduhan semacam ini ialah suatu tindakan yang tidak layak, bahkan haram hukumnya, karena ucapan ini selain merupakan penghinaan terhadap orang lain, juga berakibat terwujudnya jurang pemisah antara ulama’ para panutan umat 13
dengan masyarakat. Dan bila antara mereka telah terbentang jurang pemisah, niscaya yang akan terjadi ialah seperti yang Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sabdakan:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara mencabutnya dari manusia, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara mematikan para ulama’, hingga bila Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama’-pun, niscaya manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan merekapun menjawab dengan tanpa ilmu, maka merekapun sesat dan menyesatkan” (Hadits Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash rodiallahu’anhu, diriwayatkan oleh Al Bukhory 1/50, hadits no: 100, dan Muslim 4/2058, hadits no: 2673). Syeikh Sholeh bin fauzan Al fauzan berkata: “Orang-orang yang melontarkan tuduhan-tuduhan tersebut kepada para ulama’, berkeinginan untuk mengeser kepercayaan masyarakat kepada mereka, dan memisahkan mereka –terutama para pemuda- dari para ulama’, dan ini merupakan tindak penghancuran dan pengrusakan. Seorang penyair berkata :
Kapan pembangunan akan dapat terlaksana Bila engkau membangun, sedang orang lain merusaknya Penyair lain berkata:
Ku kira seribu pembangun tak kuasa menghadapi seorang perusak Bagaimana halnya seorang pembangun dengan seribu perusak Bila problematika umat tidak dikembalikan kepada para ulama’ yang telah mendalam ilmunya, dan orang-orang yang memiliki pemikiran jernih, niscaya akan kacau dan rusak tolok ukur mereka, sebagaimana disinyalir oleh seorang penyair :
Masyarakat tak layak tuk hidup kacau, tanpa pemimpin Dan tiada kepemimpinan bila orang pandirlah yang memimpin [Fatawa al Aimmah fi An Nawazil al Mudlahimmah 291]. Pelajaran Kedua: Bahwa ucapan semacam ini tidak boleh diucapkan kecuali oleh orang-orang yang berilmu, sehingga ucapannya dapat dipercaya dan dipertanggung jawab- kan. Karena perlu kita ingat bahwa kata Al-Fiqh dalam bahasa arab bermakna pemahaman -ed. Dan pemahaman atau fiqih, dalam ilmu syari’at terbagi menjadi dua, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim dalam perkataannya berikut: “Seorang mufti atau hakim tidak akan dapat berfatwa dan menghakimi dengan benar, melainkan dengan dua jenis pemahaman: 14
1. Pemahaman terhadap kasus atau kejadian, dan mengetahui hakikat kejadian itu dengan menggunakan berbagai qorinah, tanda dan bukti-bukti hingga ia benar-benar menguasai ilmu tentang kejadian itu. 2. Pemahaman tentang kewajiban yang berhubungan dengan kejadian itu, yaitu memahami hukum Allah yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an atau melalui lisan Rasul-Nya tentang kejadian itu. Kemudian ia (mufti atau hakim) mencocokkan keduanya, maka barang siapa yang telah mengerahkan seluruh daya dan upayanya guna menguasai dua hal ini, niscaya ia tidak akan luput dari dua atau satu pahala. Karena ulama’ ialah orang yang menjadikan pemahamannya tentang kejadian sebagai sarana guna mengenali hukum Allah dan Rasul-Nya”. [I’ilamul Muwaqi’in 1/8788]. Kemudian permasalahannya bukan hanya sebatas ini saja, karena pemahaman jenis pertama masih terbagi menjadi dua, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Sholeh in Abdil Azizi Alu As Syeikh, dalam perkataannya berikut ini: “Sesungguhnya memahami realita (realita) -menurut ‘ulama- terbagi menjadi dua bagian: - Bagian pertama: Pemahaman terhadap realita yang dibangun diatasnya hukum syari’at, dan ini merupakan suatu keharusan, dan harus dipahami, dan barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami realitanya, maka dia telah salah. Dan Jika realita tersebut, memiliki pengaruh dalam menentukan hukum, maka kita wajib untuk memahaminya. - Bagian kedua: Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam menentukan hukum syari’at, misalnya: kejadiannya demikian dan demikian, dan kisah cerita yang panjang lebar…, akan tetapi realita dan kisah tersebut, tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam menentukan hukum syari’at. Ketika itulah, para ‘ulama tidak memperdulikannya, walaupun mereka memahami realita tersebut. Dengan demikian tidak setiap realita yang diketahui dibangun diatasnya hukum syari’at”. [Ad Dhowabith As Syar’iyyah Li Mauqifi Al Muslim fi Al Fitan hal:45]. Realita jenis kedua ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan , tentu kita semua tahu bahwa realita jenis ini tidak ada pengaruhnya dalam menentukan hukum sesuatu, atau dengan kata lain “ilmu yang bila diketahui tidak ada manfaatnya, dan bila tidak diketahui juga tidak merugikan”. Untuk dapat membedakan antara realita yang berpengaruh dalam menentukan hukum dengan realita yang tidak berpengaruh sama sekali, kita harus mengetahui hal apa saja yang diperhatikan oleh syaria’at dalam seluruh permasalahan dalam fiqih, dan hal apa saja yang diperhatikan oleh syari’at dalam bab tertentu –misalnya bab ibadat- dalam ilmu fiqih, dan hal apa saja yang diperhatikan oleh syari’at dalam sub bab tertentu, -misalnya bab wudlu dan menghilangkan najis/thoharoh- dalam ilmu fiqih. Untuk memperjelas penjelasan di atas, akan saya contohkan dengan beberapa contoh berikut: - Contoh realita bagian pertama: 1. Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal riba’, apakah berlakunya riba dalam jual beli emas dan perak, karena faktor dijadikannya kedua benda ini sebagai alat untuk transaksi jual beli, sehingga setiap hal yang menggantikan peranan emas dan perak dalam hal ini berlaku pula hukum riba’, sehingga mata uang yang kita gunakan sekarang ini berlaku padanya hukumhukum riba’. Ataukah karena faktor yang ada pada emas dan perak itu sendiri, sehingga selain keduanya tidak berlaku hukum-hukum riba’? Ataukah karena keduanya adalah logam berharga yang selalu ditimbang bila diperjual belikan? Bila ada orang yang hendak berbicara 15
tentang hukum-hukum riba pada zaman ini, kemudian tidak mengetahui realita ini, niscaya ia akan berbicara dengan sembarangan dan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan dan berfatwa tanpa dasar ilmu. 2. Kapankah seseorang dapat diklaim kafir, dan bagaimana tahapan-tahapan untuk dapat sampai kepada kesimpulan bahwa si fulan kafir? Bila ada suatu kejadian –misalnya- : ada si fulan yang bersujud kepada selain Allah, kemudian kita ditanya apakah si fulan telah kafir dengan perbuatannya itu? Maka kita harus tahu tentang realita si fulan itu saat dia bersujud kepada selain Allah. Apakah saat itu dia sedang sadar, berakal, baligh, tahu bahwa sujud kepada selain Allah itu kufur? Atau barang kali ia saat bersujud kepada selain Allah sedang tertidur, atau dipaksa seseorang, atau tidak paham bila sujud itu hanya ditujukan kepada Allah semata …dst?. Bila seseorang hendak menghukumi orang ini tanpa mengetahui realita ini semua, niscaya keputusan hukum yang ia ambil salah dan menyelisihi kebenaran. - Contoh realita bagian kedua: 1. Berlakunya hukum riba pada emas perak (dinar dan dirham) tidak ada kaitannya dengan warna dan bentuk keduanya. Sehingga tidak setiap yang berwarna kuning dan putih berkilau berlaku padanya hukum riba, walaupun realita emas berwarna kuning, dan perak berwarna putih berkilau. 2. Divonisnya seseorang telah kafir karena ia bersujud kepada selain Allah, atau tidak, tidak ada kaitannya, apakah ia seorang lelaki atau perempuan, ia sujud sekali, atau dua kali, ia sujud di waktu pagi atau sore, ia orang seorang intelektual ahli baca koran atau bukan? Karena syari’at islam tidak membedakan manusia berdasarkan hal-hal itu, akan tetapi syariat memiliki tahapan-tahapan dan syarat-syarat yang telah jelas dan baku dalam menghukumi seseorang. [Tahapan-tahapan yang dimaksud ialah: 1- ditegakkannya hujjah kepada orang itu bahwa perbuatannya itu benar-benar perbuatan kufur, 2- Di saat ia melakukan perbuatan itu ia telah berakal baligh, 3- Disaat ia melakukan tindakan itu dalam keadaan bebas, tidak dalam ancaman seseorang, 4- Disaat ia melakukannya ia tahu dan sadar bahwa tindakan itu ialah kufur, dan ia tidak memiliki takwil atau alasan sedikitpun. Untuk mendapatkan penjelasan lebih luas, silahkan baca buku: Mauqif Ahlis Sunnah Wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, oleh DR Ibrahim Ar Ruhaily, 1/163-222.]. 3. Sebagai contoh lain, diharamkannya khomer, apakah hanya karena ia terbuat dari jus anggur, sehingga minuman yang terbuat dari bahan-bahan lain tidak haram, walaupun memabokkan? Apakah minuman yang diolah dengan cara-cara yang moderen, dan disterilisasi, dan dikemas dengan kemasan yang bagus lagi menarik, kemudian diminum di tempat-tempat yang terhormat, di masjid misalnya, tidak dikatakan khomer sehingga halal? Tentu orang yang memahami hukum syari’at tentang keharaman khomer tidak akan berubah fatwanya hanya karena adanya perubah dalam hal-hal ini, sebab Syari’at mengharamkan khomer, bukan karena bahan bakunya, akan tetapi sifat memabokkan yang ada pada minuman tu. Dengan demikian setiap yang memabokkan dalam syariat disebut khomer, dan setiap yang memabokkan ialah haram hukumnya.
Dari Ibnu Umar rodiallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: (Setiap yang memabokkan adalah khomer, dan setiap yang memabokkan adalah haram”. (HR Muslim). Untuk lebih jelasnya, saya anjurkan kawan-kawan untuk mempelajari ilmu ushul fiqih, dan secara khusus pembahasan qiyas, dan secara lebih khusus lagi pembahasan . 16
Pelajaran Ketiga: Orang yang menuduh ulama’ dengan tuduhan ini, ia harus dapat mendatangkan bukti, bahwa mereka benar-benar tidak memahami realita. Bila ia tidak dapat membuktikannya, berarti ia adalah pendusta dan pembohong. Bila ucapan ini hanya sebatas berbicara bukti, menduga tanpa dasar dari kenyataan, maka betapa mudahnya, dan setiap orang dapat melakukannya, akan tetapi bila datang saatnya dituntut untuk membuktikan, apalagi membuktikannya didepan pengadilan, maka tidak semudah yang dibayangkan. Kemudian bila kita sedikit mengikuti keinginan orang-orang yang mendengungkan fiqhul waqi’ ini, dan kita bertanya kepada mereka: Waqi’ dan realita yang mana dan bagaimana yang anda maksudkan? Niscaya kita akan dapatkan bahwa yang mereka maksudkan secara khusus ialah seputar permasalahan politik nasional atau internasional dan berbagai kebijakan pemerintah. Dan bila kita bertanya kepada orang-orang yang mendakwakan dirinya memahami realita (waqi’): Dari manakah anda dapat mengetahui waqi’ atau realita? Niscaya kita dapatkan jawabannya ialah: dari berita radio, televisi, koran, majalah, ulasan si fulan dan si fulan yang di siarkan di stasiun tertentu, yang tidak jarang bila kita teliti lebih mendetail bahwa pengulas berita tersebut ialah orang fasik atau bahkan kafir, atau orang yang memiliki kepentingan tertentu. Bahkan seringnya mereka mengandalkan stasiun-stasiun berita milik orang kafir, semisal : BBC London, CNN Amerika, dll, yang jelas-jelas memusuhi agama islam. Ini adalah suatu kesalahan besar, karena telah mempercayai berita dan ulasan atau pemikiran orangorang yang dalam syari’at islam tidak dapat dipercaya. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menjadikanmu menyesali perbuatanmu itu”. (Al Hujurat 6). Bila kita dilarang menelan bulat-bulat berita yang disampaikan oleh orang-orang fasik, apalagi bila yang menyampaikannya adalah orang-orang kafir. Sebagian ulama’ tatkala membahas kaidah , mereka menyebutkan bahwa tashowwur (gambaran/penjabaran tentang realita suatu kejadian) yang dapat dijadikan dasar dan pedoman dalam berfatwa ialah satu dari dua bentuk gambaran/penjabaran berikut: 1. Gambaran yang disampaikan oleh orang yang meminta fatwa, sebab orang tersebutlah yang sedang menghadapi masalah itu, jika dia bertanya atau menjelaskan permasalahannya, niscaya akan didapatkan gambaran yang jelas darinya, maka sang mufti akan dapat menjelaskan hukum agama, sesuai dengan pertanyaannya. 2. Gambaran tersebut diperoleh dari penjelasan orang muslim adil dan terpercaya, dan ahli dalam bidangnya sehingga tidak ada kerancuan sedikit-pun dalam penjelasannya. cara ini haruslah diambil dari orang muslim adil dan berkompeten dalam masing-masing permasalahan. Sebagai contoh misalnya yang diterapkan oleh Hai’ah Kibarul Ulama’ di Kerajaan Arab Saudi, Majma’ Al Fiqh Al Islami dibawah OKI, dan Al Majma’ Al Fiqhy Al Islamy dibawah pengawasan Rabithoh Al ‘Alam Al Islamy. Dimana tatkala mereka hendak mengeluarkan suatu fatwa tentang permasalahan tertentu, baik yang berhubungan dengan berbagai transaksi dalam dunia perbankan, 17
atau kedokteran atau lainnya, mereka mendatangkan para pakar dan ahli dalam masing-masing bidangnya. Dengan demikian penjelasan dan gambaran tentang setiap permasalahan yang hendak mereka hukumi telah jelas dan terpercaya. [ibid]. Para ulama’ –simisal anggota Hai’ah Kibarul Ulama’- mereka telah menguasai ilmu syari’at, dan sistem islamy dalam berbagai aspek kehidupan, siyasah, transaksi perdagangan (mua’amalah), tatanan rumah tangga (munakahat), hukum pidana dan perdata dll, sehingga acapkali disampaikan kepada mereka sitem dan metode hasil karya pemikiran orang non muslim, mereka dapat mengetahuinya dan membeberkan titik kesalahannya, ini berkat ilmu syari’at yang telah mereka kuasai. Sehingga ilmu syari’at mereka telah menjadi timbangan atau barometer dalam menghukumi setiap hal baru atau kontemporer. Oleh karenanya mereka tidak merasa perlu untuk mempelajari setiap sistem dan metode kehidupan orang-orang non islam, dan mengikuti berita-berita yang disiarkan di berbagai mas media. Sebagai penutup tulisan saya ini, Saya akan sebutkan hukum memperolok-olok ulama’. Para ulama’ membagi sikap mencela ulama’ kepada dua bagian: 1. Mencela badan dan pribadi mereka, maka ini ialah perbuatan haram, berdasarkan firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari mereka (yang memperolokolokan), dan jangan pula wanita memperolok-olok wanita lain, boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang memperolok-olokkan. Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar (julukan-julukan) buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan kefasikan sesudah keimanan, dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Al Hujurat 11). Dan ini merupakan kesombongan, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
“Kesombongan itu ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (Riwayat Imam Muslim, 1/93, hadits no: 90). 2. Mencela mereka disebabkan keimanan, ilmu, amalan, dakwah, dan komitmen mereka terhadap Al Qur’an dan As Sunnah, maka celaan macam ini adalah kekufuran, dan menjadikan pelakunya dikatakan murtad. Karena ini pada hakekatnya adalah celaan terhadap Allah, Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam, dan agama-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
18
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: “sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau, dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman”. (At Taubah 65-66). Al Lajnah Ad Da’imah berfatwa: “Mencela agama, dan memperolok-olok sebagian dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan memperolok-olok orang yang berpegang teguh dengan keduanya, karena sikapnya mengamalkan keduanya, misalnya karena ia memanjangkan jenggotnya, dan seorang muslimah karena ia berjilbab, maka ini bila dilakukan oleh orang yang mukallaf adalah kekufuran, dan harus dijelaskan kepada pelakunya bahwa ini adalah kekufuran, bila ia tetap nekad setelah mengetahuinya, maka ia telah kafir. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: “sesungguhnya kami hanyalah bersendagurau, dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman”. (At Taubah 65-66). [Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah 2/24]. Pada akhir tulisan ini, akan saya sebutkan perkataan dua orang ulama’ besar tentang perbuatan mencela ulama’, semoga menjadi peringatan bagi kita semua: Abdullah bin Mubarak -rahimahullah- berkata: “Wajib atas setiap orang yang berakal sehat untuk tidak meremehkan tiga macam orang: Para ulama’, pemerintah, dan kawan, karena orang yang meremehkan ulama’ niscaya kehidupan akhiratnya akan rusak, dan orang yang meremehkan pemerintah, niscaya kehidupannya didunia akan rusak pula, dan orang yang meremehkan kawan, niscaya kewibawaannya akan sirna”. [Siyar A’alam An Nubala’ 17/251]. Al Hafiz Ibnu ‘Asakir –rahimahullah- berkata: “Ketahuilah –wahai saudaraku, semoga Alah senantiasa membimbing kita kepada keridhoaan-Nya, dan menjadikan kita semua sebagai orang yang benar-benar bertaqwa kepada-Nya- sesungguhnya daging (menggunjing) para ulama’ itu beracun, dan kebiasaan Allah dalam menyingkap kedok para pencela mereka (ulama’) telah diketahui bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka, merupakan petaka besar, dan melecehkan kehormatan mereka dengan cara dusta dan mengada-ada merupakan kebiasaan buruk, dan menentang mereka yang telah Allah pilih untuk menebarkan ilmu, merupakan perangai tercela”. [Tabyiin Kazibil Muftary: 28]. Semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada kebenaran, menjaga lisan kita dari kedustaan, dan hati kita dari kemunafikan.
Wallahu A’alam bis showaab. - Muhammad Arifin Badri 19
Menjawab Tudingan Pada Dakwah Salafiyah September 14th, 2005 2:26 pm (Hadits, Manhaj) Menanggapi beberapa pertanyaan (baca: tudingan) dari salah seorang saudara kami mengenai syubhat yang ditujukan kepada dakwah salafiyah, maka kami mencoba menanyakan syubhatsyubhat yang dilontarkan tersebut kepada ustadz kami, yaitu ustadz Abdullah bin Taslim. Alhamdulillah ustadz Abdullah bin Taslim menyempatkan diri untuk menjawab syubhat tersebut disela-sela kesibukan beliau. Semoga risalah ringkas dari ustadz kami ini mampu untuk menjawab berbagai keraguan yang belum terjawab di dada para penuntut ilmu syar’i yang rindu akan kebenaran.
Bismillahirrohmaanirrohiim
Menanggapi tulisan dan pertanyaan al akh Kurniadi, menurut ilmu saya yang sangat terbatas, saya ingin memberikan jawaban sebagai berikut : Istilah “salafi” atau dalam bentuk majemuknya “salafiyun” adalah penisbatan kepada generasi salaf, yaitu generasi para sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, tabi’in (pengikut para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in), yang mereka ini telah dijamin kebenaran pemahaman dan pengamalan agama mereka oleh Allah dan Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam, Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100). Dan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda : “Sebaik-sebaik (generasi) di umatku ini adalah generasiku (para sahabat), kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’in), dan kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’ut tabi’in)” (HSR Bukhari dan Muslim). Istilah lain dari “salafi” adalah “Ahlus sunnah wal jama’ah”, artinya orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan pemahaman al jama’ah (para sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam rodhiallahu’anhum ‘ajma’iin) dalam beragama, hal ini ditunjukkan dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam memberitakan tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda : “Semua golongan itu masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah”, dalam riwayat lain Beliau shollallahu’alaihiwasallam sendiri yang menafsirkan makna Al Jama’ah dalam hadits ini dengan sabda Beliau shollallahu’alaihiwasallam : “Mereka adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimi, Al Hakim dll, dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi, juga oleh syaikh Al Albani, lihat “Zhilal al jannah” hal. 33).
Dalam hal ini, harus dibedakan antara “salaf” dengan orang yang mengaku sebagai “salafi” atau “salafiyun”, karena “salaf” telah dijamin kebenarannya, adapun orang yang mengaku “salafi” tidak ada jaminan baginya, kecuali jika dia benar-benar mengikuti pemahaman dan pengamalan generasi salaf. Dan tidak semua orang yang mengucapkan kata-kata yang benar, ucapan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Sebagaimana slogan yang diucapkan oleh orang-orang khawarij ketika mereka keluar untuk memberontak di jaman kekhalifaan Ali bin Abi Thalib rodhiallahu’ahu, mereka mengatakan: “tidak ada hukum selain hukum Allah”, maka Ali bin Abi Thalib rodhiallahu’ahu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau yang terkenal: “(slogan mereka itu adalah) kalimat yang (tampaknya) benar, tetapi dimaksudkan untuk kebatilan” HSR Imam Muslim (2/749). Sebagai contoh nyata dalam hal ini adalah apa yang al akh Kurniadi sebutkan sendiri tentang kelompoknya ust. Muhammad Umar As Sewed, tentang sikap mereka yang terlalu keras terhadap orang-orang yang berbeda pendapat (dalam masalah-masalah yang bukan merupakan prinsip dasar ahlu sunnah) dengan mereka, bahkan sampai menggunakan kata-kata yang keji dan tidak pantas untuk diucapkan. Kalau kita bandingkan sikap mereka ini dengan sikap para ulama besar yang ada di Arab saudi (yang mereka telah diakui sebagai ulama yang benar-benar mengikuti pemahaman dan pengamalan generasi salaf) dalam menyikapi perbedaan pendapat, kita akan dapati perbedaan yang sangat jauh sekali antara keduanya, seperti perbedaan antara langit dan bumi! Saya dan temanteman yang – alhamdulillah - belajar di Islamic University of Medina, Saudi Arabia, selama sekitar 6 tahun (mengambil master -ed) (bahkan ada yang sudah 9 tahun - mengambil doctor -ed) kami tinggal di kota Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kami menghadiri ceramah-ceramah para ulama di Arab Saudi dan melihat langsung sikap mereka dalam masalah ini, kami dapati sikap mereka yang sangat lemah lembut dan jauh dari sikap kasar apalagi mengucapkan kata-kata yang keji. Mereka yang pernah kami jumpai bersikap seperti ini di antaranya: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Sykh Shaleh Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh (Mufti negara Arab Saudi saat ini), Syaikh Shaleh Alu Asy Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (ulama yang paling senior di Madinah), kemudian yang lebih muda dari mereka di antaranya: Syaikh Rabi’ Al Madkhali, Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Syaikh Shaleh As Suhaimi, kemudian Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, Syaikh Abdur Razzak, Syaikh Tarhib Ad Dausari (penulis kitab “Al Quthbiyyah hiyal fitnah”), demikian juga para ulama yang mengikuti manhaj salaf dari luar Arab Saudi, seperti murid-murid Syaikh Al Albani yang berada di Yordania, yaitu Syaikh Ali Hasan, Syaikh Salim Al Hilali, Syaikh Mashur Hasan Salman, Syaikh Muhammad Musa Nashr dll. Sikap lemah lembut ini pun jelas kita dapati pada dua ulama besar jaman ini, yang terkenal sangat gigih dalam mendakwahkan dan membela manhaj salaf, yaitu Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al Albani, melalui ceramah-ceramah dan fatwa-fatwa yang mereka sampaikan. Mungkin juga perlu diketahui, saya sendiri (penulis makalah ini) dulu pernah menjadi santri angkatan pertama ust. Muhammad Umar As Sewed dan ust. Ja’far Umar Thalib di Ponpes Ihya us Sunnah, Jln. Kaliurang km 15, Degolan, Yogyakarta, dan sedikit banyak tentunya saya terpengaruh dengan sikap-sikap keras mereka, tapi kemudian - alhamdulillah – setelah saya belajar di Madinah dan membandingkan sikap mereka ini dengan sikap para ulama di Arab Saudi, saya merubah diri dan meninggalkan sikap-sikap keras tersebut. Kemudian, bukan berarti dengan makalah ini saya menghukumi bahwa kelompoknya ust. Muhammad Umar As Sewed telah keluar dari manhaj salaf/ahlus sunnah, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka, karena yang saya bicarakan dalam makalah ini adalah kesalahan mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat, bukan masalah manhaj secara keseluruhan. Juga ingin saya ingatkan kepada al akh Kurniadi, untuk lebih berhati-hati dalam menilai dan menghukumi, apalagi jika yang dinilai itu pemahaman salaf/ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah
dijamin kebenarannya oleh Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam dalam banyak ayat al Qur an dan hadits yang shahih, di antaranya ayat dan hadits yang saya sebutkan di atas. Maksud saya, jangan hanya dikarenakan kesalahan seseorang/kelompok yang menisbatkan diri kepada pemahaman salaf, lantas menjadikan kita menyalahkan atau minimal, meragukan kebenaran pemahaman salaf!, Apalagi sampai menyebutkan dua orang syaikh besar yang telah disepakati keimaman mereka berdua dan kuatnya mereka dalam berpegang teguh, membela dan mendakwahkan manhaj salaf, yaitu syaikh Bin Baz dan syaikh Al Albani, silahkan baca kitab-kitab mereka dan dengar kaset-kaset ceramah mereka untuk membuktikan hal ini. Demikian juga penilaian terhadap apa yang disebut sebagai faham/gerakan wahabi, yang hanya berdasarkan hadits-hadits yang bersifat umum, yang dipahami dengan keliru (insya Allah akan saya jelaskan). Seharusnya untuk menilai benar/tidaknya faham ini, yang kita lakukan adalah membaca langsung buku-buku tulisan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, agar kita dapat menilai apakah betul pemahaman beliau seperti pemahaman khawarij, apakah beliau suka dan mudah membid’ahkan dan mengkafirkan sesama muslimin, seperti yang dikatakan oleh al akh Kurniadi? Saya pribadi telah membuktikan bahwa pemahaman dan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sesuai dengan pemahaman dan dakwah salaf/ahlus sunnah wal jama’ah dan sangat jauh dari pemahaman khawarij yang mudah mengkafirkan kaum muslimin. Atau barangkali al akh Kurniadi punya bukti yang jelas tentang penyimpangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwah beliau dalam kitab tulisan beliau? Kalau memang ada, tolong disebutkan meskipun satu saja!. Di antara bukti nyata yang menunjukkan hal ini, sikap para ulama besar pengikut manhaj salaf yang ada di arab saudi, yang disebut oleh al akh Kurniadi sebagai ulama-ulama sunni wahabi mutakhirin, mereka sangat keras dalam menentang pemahaman khawarij yang mudah mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum muslimin tanpa alasan yang benar, dan sangat lembut dalam menyampaikan perbedaan pendapat (dalam masalah-masalah yang bukan merupakan pokok-pokok agama), yang semua ini kami dengarkan dan saksikan langsung selama kami belajar di arab saudi. Adapun pertanyaan al akh Kurniadi tentang makna hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari tentang penolakan Nabi shollallahu’alaihiwasallam untuk mendoakan Najd, maka hadits ini telah dijelaskan maknanya oleh para ulama terdahulu yang menjelaskan makna hadits-hadits kitab shahih Bukhari, shahih Muslim dll, dan para ulama ini semuanya wafat jauh sebelum lahirnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (tahun 1115 H, ada juga yang mengatakan tahun 1111 H), jadi mereka sama sekali bukan termasuk pengikut wahabi. Ada sekitar enam kitab syarah (penjelasan) hadits-hadits shahih Bukhari dan satu kitab syarah hadits-hadits shahih Muslim yang sempat saya baca, dengan izin Allah subhanahuwata’ala, tentang makna hadits ini, kitab-kitab tersebut: A’lamul Hadits (jld 4/hal. 2330, cet. Ummul Quro, Mekkah) karya Al Khaththabi (wafat tahun 388 H), Syarh Ibnu Baththaal (10/44, cet. Maktabah Ar Rusyd) karya ‘Ali bin Khalaf Ibnu Baththaal (wafat 444/449 H), Al Kawakib Ad Darari (24/168, cet. Dar ihya at turats al arabi) karya Muhammad bin Yusuf Al Kirmani (wafat 786 H), Fathul Baari (13/58-59, cet. Dar as salam, Riyadh) karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat tahun 852 H), ‘Umdatul qaari (24/200, cet. Dar al fikr, Beirut) karya Badrudiin Al ‘Aini (wafat 855 H), Irsyadus saari (10/41, cet. Dar al kutub al ‘ilmiyah) karya Ahmad bin Muhammad Al Qusthallani (wafat 923 H) dan Syarah Shahih Muslim (18/238-239, cet. Dar al ma’rifah) karya Imam An Nawawi (wafat 686 H). Semua kitab tersebut menjelaskan bahwa makna “Najd” dalam hadits tersebut adalah wilayah timur Madinah, yang meliputi wilayah Irak dan sekitarnya. Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi ketika menjelaskan makna hadits ini berkata: “Najd adalah di sebelah timur, dan orang yang tinggal di Madinah ‘Najd’nya adalah pedalaman Irak dan sekitarnya. Arti kata ‘Najd’ sendiri secara etimologi adalah tanah (dataran) tinggi, berbeda dengan kata ‘Al Ghaur’ yang berarti tanah (dataran) rendah…” (kitab A’lamul Hadits 4/2330), ucapan Imam Al Khaththabi ini dinukil dan dibenarkan oleh Al Kirmani, Al Qusthallani, Badruddin Al ‘Aini dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Bahkan sebelum para ulama di atas, Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri telah mengisyaratkan makna tersebut di atas, buktinya, Imam Bukhari membawakan hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya dalam kitab shahihnya dalam bab: “Fitnah itu (muncul) dari arah timur” (Shahih Bukhari – Fathul Bari 13/57). Adapun Imam Muslim, setelah membawakan hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas, beliau mengakhiri bab tsb dengan sebuah atsar (riwayat) dari seorang Tabi’in senior Salim bin Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Wahai penduduk Irak! Betapa seringnya kalian menanyakan tentang dosa kecil, padahal kalian selalu melakukan dosa besar! Aku pernah mendengar ayahku Abdullah bin Umar rodiallahu’anhuma berkata bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sungguh fitnah itu akan muncul dari arah ini”, sambil Beliau shollallahu’alaihiwasallam menunjuk ke arah timur, “dari arah munculnya dua tanduk setan”, dan sebagian dari kamu memukul leher (membunuh) sebagian yang lain …” (Shahih Muslim 4/2229). Atsar ini menunjukkan bahwa Tabi’in senior ini memahami hadits tsb seperti makna yang saya sebutkan di atas, karena dia menujukan dan menyampaikan hadits tersebut di hadapan penduduk Irak. Kemudian, untuk memperjelas keterangan di atas, saya coba merujuk kepada kitab-kitab yang memuat keterangan tentang nama-nama wilayah/negeri, saya sempat membaca dua kitab: “Al Ansab” karya As Sam’ani (wafat 562 H) dan “Mu’jamul buldan” karaya Yaqut Al Hamawi, kedua kitab tersebut menjelaskan pengertian wilayah “Najd” kurang lebih sama seperti keterangan yang saya sebutkan di atas. Penjelasan ini sama sekali tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh al akh Kurniadi bahwa Irak merupakan dataran rendah (meskipun hal ini perlu diteliti kembali kepastiannya), karena makna wilayah Irak sebagai ‘Najd’ (dataran tinggi) adalah jika dibandingkan dengan wilayah Madinah yang lebih rendah, karena semua wilayah yang tanahnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah setelahnya, dinamakan ‘Najd’, sedangakan wilayah yang tanahnya lebih rendah dinamakan ‘Gaur’, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/59). Hal lain yang mungkin perlu diketahui disini, bahwa nama-nama wilayah/negeri yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam janganlah dipahami dengan nama-nama negara yang ada saat ini, misalnya saja: wilayah ‘Yaman’ yang banyak disebutkan dalam haditshadits Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, batas wilayahnya bukan hanya wilayah negara republik Yaman yang ada sekarang, tapi jauh lebih luas dari pada itu, demikian pula wilayah Irak. Demikian pula bukan berarti dengan kita menetapkan bahwa wilayah Iraklah yang dimaksud dalam hadits tersebut di atas sebagai tempat munculnya fitnah, bukan berarti semua kegiatan keagamaan yang dilakukan di sana itu salah dan semua tokoh-tokoh islam yang berasal dari sana mempunyai penyimpangan dalam agama, bahkan kita dapati banyak ulama besar ahlus sunnah yang berasal dari sana atau pernah menetap di sana untuk menyebarkan agama islam yang benar, seperti sahabat yang mulia ‘Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud rodiallahu’anhuma, demikian pula para ulama besar ahlu sunnah setelah mereka seperti Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, Qotadah, Al A’masy, Sufyan Ats Tsauri, Ahmad bin Hambal, Al Khatib Al Baghdadi dll, Imam Asy Syafi’i juga pernah tinggal di sana sebelum kemudian pindah ke Mesir. Sebagaimana tidak mesti karena cikal bakal Khawarij yang bernama Dzul khuwaisirah dari Bani Tamim, maka semua orang yang nasabnya sampai kepada Bani Tamim, seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lantas dianggap berpemahaman Khawarij! Bahkan ini merupakan cara mengambil kesimpulan yang sangat aneh dan jauh dari tuntunan ajaran islam yang selalu mengajarkan untuk selalu bersangka baik kepada sesama muslim kecuali jika ada bukti nyata dan jelas yang mengharuskan kita bersangka buruk kepadanya. Apakah karena Fir’aun itu berasal dari Mesir maka semua orang yang berasal dari Mesir kita curigai sebagai pengikut Fir’aun? Atau
apakah karena gembong besar penentang dakwah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam seperti Abu Lahab dan Abu Jahal cs berasal dari suku Quraisy maka semua orang yang berasal dari suku Quraisy dianggap sama seperti mereka?, Juga perlu diketahui bahwa Bani Tamim adalah salah satu Qabilah Arab yang sangat besar dan darinya bercabang banyak Qabilah-qabilah lainnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari Qabilah Bani Sinan. Para Sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam rodhiallahu’anhum ‘ajma’iin sendiri banyak di antara mereka yang berasal dari Bani Tamim dan dikenal berislam dengan baik sampai mereka wafat, seperti Khabbab bin Al Aratt, Al Aqra’ bin Habis, Al Ahnaf bin Qais dll, demikian pula ulama-ulama besar ahlus sunnah yang nasabnya sampai kepada Bani Tamim, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Yahya bin Yahya (salah seorang guru imam Muslim yang terkenal), Ibnu ‘Abdil Bar dll. Juga sebagai himbauan kepada al akh Kurniadi agar dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam hendaknya selalu merujuk kepada para ulama ahli tafsir dan ahli hadits, karena memang mereka itulah yang membidangi masalah ini, supaya nantinya tidak timbul kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahaminya. Jangan terburu-buru dipahami dengan akal sendiri! Bukankah Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”, (QS. An Nahl: 43). Kalau dalam masalah-masalah dunia kita selalu merujuk kepada orang yang ahli di bidangnya, seperti kalau sakit kita ke dokter dll, maka mestinya dalam urusan agama yang menyangkut keselamatan kita di akhirat nanti kita harus lebih berhati-hati lagi dan hanya merujuk kepada ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Terakhir, saya ingin menanggapi masalah persatuan dan perpecahan umat yang disinggung oleh al akh Kurniadi. Memang benar, Allah subhanahuwata’ala memerintahkan dan mewajibkan kaum untuk bersatu dan melarang mereka berpecah belah, tapi persatuan yang dimaksudkan disini adalah persatuan yang dilandasi kebenaran, yaitu kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi salaf, bukan persatuan yang hanya sekedar berkumpul bersama-sama tanpa berkomitmen untuk berpegang teguh kepada kebenaran. Allah subhanahuwata’ala Berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu berceraiberai (berpecah belah)” (Ali ‘Imran: 103), dan Allah subhanahuwata’ala mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpecah belah setelah datangnya kebenaran dan petunjuk Allah subhanahuwata’ala kepada mereka, Allah subhanahuwata’ala Berfirman: “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas (petunjuk Allah) kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat”, (QS. Ali ‘Imran: 105). Maka persatuan dan ukhuwah (persaudaran) islam yang benar sama sekali tidak bertentangan dengan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar serta saling menasehati dengan cara yang benar dan lemah lembut di antara kaum muslimin, bahkan persatuan dan ukhuwah islam yang benar tidak akan tegak tanpa adanya saling menasehati, karena bagaimana mungkin kita mencintai saudara kita, lalu kita membiarkan dia melakukan kesalahan dalam memahami dan mengamalkan agama ini tanpa kita berusaha menegur dan meluruskannya? Padahal Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Seorang (muslim) tidaklah dikatakan beriman sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya (sesama muslim) sebagaimana dia mencintai (kebaikan itu) untuk dirinya sendiri” (HSR Bukhari dan Muslim). Dalam hadist shahih lainnya, dari Anas bin Malik rodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tolonglah saudaramu sewaktu dia berbuat
kezhaliman dan sewaktu dia dizhalimi!”, maka ada sahabat yang bertanya: wahai Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, kami akan menolong saudara kami sewaktu dia dizhalimi, tapi sewaktu dia yang berbuat zhalim bagaimana kami menolongnya? Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menjawab: “Kamu mencegah dia dari perbuatan zhalim tersebut, itulah bentuk pertolonganmu kepadanya” (HSR Bukhari). Maka persatuan yang benar ini jelas sangat berbeda dengan persatuan (?) yang digembargemborkan oleh sebagian kelompok-kelompok dakwah saat ini, yang hanya menitikberatkan pada upaya menghimpun dan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan perbedaan pemahaman bahkan perbedaan aqidah dan keyakinan di antara mereka, dan tanpa berusaha untuk membenahi dan meluruskan aqidah dan pemahaman tersebut. Maka persatuan (?) model ini justru pada hakikatnya adalah perpecahan, karena tidak dibangun di atas kebenaran. Dalam sebuah atsar yang shahih Abdullah bin Mas’ud rodhiallahu’anhu berkata: “Al jama’ah (persatuan) itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu sendirian” (Riwayat Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” dengan sanad yang shahih). Jadi jelas sekali bahwa yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran, bukan hanya sekadar mengutamakan jumlah yang banyak. Dalam Al Qur’an Allah subhanahuwata’ala mencela persatuan yang tidak dilandasi kebenaran, bahkan Allah subhanahuwata’ala menegaskan bahwa persatuan tersebut pada hakikatnya adalah perpecahan, Allah subhanahuwata’ala berfirman: “Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka berpecah belah.Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti” (QS. Al Hasyr:14). Semoga Allah subhanahuwata’ala selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua untuk selalu istiqamah di atas jalan yang benar sampai kita menghadap-Nya kelak. Dan khususnya kepada al akh Kurniadi saya benar-benar mohon maaf jika ada kata-kata saya yang kurang berkenan di hati, Allah subhanahuwata’ala Maha Mengetahui bahwa saya tidak menghendaki kecuali kebaikan untuk kita semua. Dan sebagai penutup saya ingin mengatakan kepada al akh Kurniadi: saya mencintai anda karena Allah subhanahuwata’ala.
Madinah, Ahad, 24 Rajab 1426 H/ 28 agustus 2005 - Abdullah bin Taslim
Penyakit Riya’ dan Gila Popularitas (Hadits ke-1 Arba’in AnNawawiy) October 15th, 2005 10:19 pm (Hadits, Nasehat) Fenomena da’i kondang sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Bahkan ‘katanya’, salah satu stasiun televisi di negeri ini mengadakan kontes da’i beken untuk memilih da’i-da’i yang nantinya akan diorbitkan. Maka, tidaklah heran jika kita mengetahui si dia dahulu dikenal sebagai artis atau model, eh… eh… sekarang ternyata sudah jadi ustadz loh!. Julukan ustadz dan ulama begitu murahnya di negeri kita ini, tidak perlu belajar ilmu syar’i secara mendalam, tidak perlu tahu bahasa arab, tidak perlu memahami ilmu hadits dan tafsir, tidak perlu tahu ilmu fiqh, dan lain-lain. Cukup dengan modal tampil beda, tahu sedikit tentang agama dan pintar ngomong, jadi ustadz deh… Tulisan ini tidak hendak membahas da’i-da’i kondang tersebut, akan tetapi hanya akan mengulas beberapa sisi saja, yaitu ikhlas, riya dan popularitas. Semoga tulisan ini dapat mengingatkan kita agar tidak terjebak ke dalam penyakit yang akan merusak amalan kita. Judul Asli: Ikhlas dan Bahaya Riya Penulis: Ustadz Firanda “Dari Amirul mu’minin Umar bin Al-Khotthob rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhari: 1). Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Kalau seandainya aku menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab maka aku akan menjadikan hadits Umar bin Al-Khattab yaitu hadits Al A’maalu bin Niyyaat di setiap bab” (Jami’ul Ulum 1/8). Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah sepertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9). Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam ada tiga hadits, hadits Umar rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal-amal itu berdasarkan niatnya”, hadits ‘Aisyah rodiallahu’anha, Barangsiapa yang berbuat perkara-perkara yang baru dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia tertolak” dan hadits Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang halal jelas dan yang haram jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9). Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3). Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh Abdul Malik ArRomadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan dia dan ksyirikannya”). Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta (seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401). Definisi ikhlas menurut etimologi (menurut peletakan bahasa) Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50). Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66). Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka. Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu). Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari
ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13). Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”. Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhatihati…” (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas). Syuhroh (Popularitas) Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi
90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim). Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah dilihat oleh Syaikh Abdur Rozaq), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umroh), ada yang dipotong seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan halhal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal diantara para hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya. Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakekatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi dihadapan manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang). Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah. Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni , “Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/68), dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45). Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”.
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Namun mengapa kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki Allah” (Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas). Oleh karena itu banyak para imam salaf yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia. Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang (selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni: “Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)). Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210). Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini bukanlah istidroj”. (As-Siyar 11/211). Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita termasuk orang-orang yang riya”. (As-Siyar 11/211). Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211). Berkata Hammad, “Pernah Ayyub membawaku ke jalan yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya, “Jalan yang ini yang lebih dekat”, maka Ayyub menjawab: ”Saya menghindari majelismajelis manusia (menghindari keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka Ayyub berkata: ”Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah menginginkan hal ini!.” Berkata Syaikh Abdul Malik: ”Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya shahih”. (Sittu Duror hal 47). Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr, “Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya awan. Maka beliau berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: ”Dimana Yazid bin AlAswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya para hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata: ”Ya Allah, sesungguhnya hal ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.” Lihat takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Romadloni hal. 47.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar.. ! inilah akhlak salaf (Berkata Guru kami Syaikh Abdul Qoyyum, “Adapun orang-orang yang memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal”). Namun banyak orang yang terbalik, mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macm cara. Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata: ”Ali bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia sedekahkan, dan dia berkata, ”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan kemarahan Allah”. Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu “Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” (As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908). Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata, ”Tatkala Ali bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam pada pundaknya, lalu mereka bertanya: ”Apa ini”, lalu dijawab: ”Beliau selalu memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir miskin yang ada di Madinah”. Berkata Ibnu ‘Aisyah: ”Ayahku berkata kepadaku: ”Saya mendengar penduduk Madinah berkata: ”Kami tidak pernah kehilangan sedekah yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain” Lihat ketiga atsar tersebut dalam Sifatus Sofwah (2/96), Aina Nahnu hal. 9. Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan amalannya hingga penduduk Madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau. Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari ”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku sholat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada manusia” (Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam Ahmad). Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhnya (kecuali yang dirahmati oleh Allah), Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia mengetahuinya). Ada yang berkata, ”Dakwah saya disana…, disini…”, ada juga yang berkata,”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian…” (padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan, atau yang hadir banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang berkata, “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan penghormatan dari manusia.
Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang ibadahnya, atau dakwahnya, atau perkara yang lainnya. Ayyub As-Sikhtiyani sholat sepanjang malam, dan jika menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat tidurnya. Dan jika telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya seakanakan dia baru saja bangun pada saat itu. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/8). Berkata Muhammad bin A’yun, ”Aku bersama Abdullah bin Mubarok dalam peperangan di negeri Rum. Tatkala kami selesai sholat isya’ Ibnul Mubarok pun merebahkan kepalanya untuk menampakkan padaku bahwa dia sudah tertidur. Maka akupun –bersama tombakku yang ada ditanganku- menggenggam tombakku dan meletakkan kepalaku diatas tombak tersebut, seakanakan aku juga sudah tertidur. Maka Ibnul Mubarok menyangka bahwa aku sudah tertidur, maka diapun bangun diam-diam agar tidak ada sorangpun dari pasukan yang mendengarnya lalu sholat malam hingga terbit fajar. Dan tatkala telah terbit fajar maka diapun datang untuk membagunkan aku karena dia menyangka aku tidur, seraya berkata “Ya Muhammad bangunlah!”, Akupun berkata: ”Sesungguhnya aku tidak tidur”. Tatkala Ibnul Mubarok mendengar hal ini dan mengetahui bahwa aku telah melihat sholat malamnya maka semenjak itu aku tidak pernah melihatnya lagi berbicara denganku. Dan tidak pernah juga ramah padaku pada setiap peperangannya. Seakan-akan dia tidak suka tatkala mengetahui bahwa aku mengetahui sholat malamnya itu, dan hal itu selalu nampak di wajahnya hingga beliau wafat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih menymbunyikan kebaikan-kebaikannya daripada Ibnul Mubarok” (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim 1/266). Wahai saudaraku, ketahuilah… sesungguhnya ikhlas adalah sesuatu yang sangat berat, penuh perjuangan untuk bisa meraihnya. Pintu-pintu yang bisa dimasuki syaitan untuk bisa merusak keikhlasan kita terlalu banyak. Tatkala kita sedang beramal maka syaitanpun berusaha untuk bisa menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita riya’ di permulaan amal, maka dia akan berusaha agar kita riya’ di pertengahan amal. Kalau tidak mampu lagi maka di akhir amalan kita. Oleh karena itu kita dapati para salaf dahulu memngecek niat mereka ditengah amalan mereka, apakah masih tetap ikhlas atau sudah berubah?. Diriwayatkan dari Sualaiman bin Dawud AlHasyimi: ”Terkadang saya menyampaikan sebuah hadits dan niat saya ikhlas, (namun) tatkala saya sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niat saya, ternyata satu hadits saja membutuhkan banyak niat” Disebutkan oleh Al-Khotib Al-Bagdadi dalam Tarikh beliau (9/31), Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (11/412), dan Ad-Dazahabi dalam Siyar (10/625), lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal 83, tahqiq Al-Arnauth). Lihatlah bagaimana hati-hatinya salaf dalam menjaga niat mereka, untuk bisa menyampaikan satu hadits saja (yang mungkin hanya beberapa buah kata) dia memperhatikan niatnya berulang-ulang. Bagaimana dengan kita sekarang? Bukan cuma berpuluh-puluh kata yang kita lontarkan, bahkan beribu-ribu kata (tatkala mengisi pengajian, atau memberi pendapat atau nasehat tatkala diminta, atau yang lainnya…) pernahkah kita mengecek niat kita disela-sela pembicaraan kita??. Terkadang seseorang di awal sedang mengisi pengajian, dia mendapati niatnya ikhlas. Namun tatkala di tengah pengajian, disaat dia memandang bagaimana para pendengarnya terkagum-kagum dengan kefasihannya melontarkan dalil disaat itulah syaitan berperan aktif untuk merubah niatnya. Waspadalah wahai para saudaraku… sesungguhnya hanya sedikit yang selamat dari tipu daya syaitan. Sungguh benarlah perkataan Sufyan Ats-Tsauri, ”Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada niat, karena niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)” (Hilyatul Auliya (7/ hal 5 dan 62), lihat Jami’ul ‘Ulul wal Hikam hal 70, tahqiq Al-Arnauth).
Kalau seseorang telah selamat dari tipu daya syaitan hingga selesai amalnya, ingatlah…syaitan tidak putus asa. Dia mulai menggelitik hati orang tersebut dan merayu orang tersebut untuk menceritakan amalan solehnya pada manusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, ”Ini bukanlah riya…, supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya terjebaklah orang tersebut dan diapun mengungkapkan kebaikan-kebaikannya dihadapan orang, maka bisa jadi diapun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada manusia karena riya’, maka ini merupakan kecelakaan baginya, atau kalau tidak maka minimal pahalanya berkurang. Karena pahala amalan yang sirr (disembunyikan) lebih baik daripada amalan yang diketahui orang lain. Allah berfirman, yang artinya: “Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271). Berkata Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, ”Asalnya isror (amalan secara tersembunyi tanpa diketahui orang lain) adalah lebih afdol dengan dalil ayat ini dan hadits dalam shohihain (Bukhori dan Muslim) dari Abu Huroiroh, beliau berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh golongan yang berada dibawah naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah, Imam yang adil, dan seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim (2377). Berkata Imam Nawawi: ”Berkata para Ulama bahwanya penyebutan tangan kanan dan kiri menunjukan kesungguhan dan sangat dismbunyikannya serta tidak diketuhinya sedekah. Perumpamaan dengan kedua tangan tersebut karena dekatnya tangan kanan dengan tangan kiri, dan tangan kanan selalu menyertai tangan kiri. Dan maknanya adalah seandainya tangan kiri itu seorang laki-laki yang terjaga maka dia tidak akan mengetahui apa yang diinfak oleh tangan kanan karena saking disembunyikannya.” (Al-Minhaj 7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr (AlFath 2/191). Rosulullah bersabda: ”Tatkala Allah menciptakan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah pun menciptakan gunung-gunung kalau Allah lemparkan gunung-gunung tersebut di atas bumi maka tenanglah bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan penciptaan gunung, mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk Mu yang lebih kuat dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat dari besi?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu api.”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhluk Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya lalu dia sembunyikan agar tidak diketahui tangan kanannya”. Diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam Musnadnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik. Berkata Ibnu Hajar, ”Dari hadits Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath 2/191). Sungguh benar orang yang berkata, “Jangan heran kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, karena syaitan juga bisa berjalan di atas air. Janganlah heran kalau engkau melihat seorang yang berjalan terbang diudara, karena syaitan juga bisa terbang di udara. Tapi heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang bersedekah dengan tangan kanannya namun tangan kirinya tidak mengetahuinya, karena syaitan tidak bersedekah (apalagi dengan ikhlas) (Untaian kalimat ini, penulis tidak mengetahui siapa yang mengucapkannya. Namun penulis pernah mendengarnya dari seorang petugas penjaga mushola dikapal laut, tatkala menyampaikan nasehat pada awak
penumpang kapal. Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkataan ini pertama kali. Namun bagaimanapun perkataan ini benar maknanya jika ditinjau dari kacamata syar’i, Wallahu A’lam). Ingat perkataan Ibnul Qoyyim, “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati (manusia) tetapkanlah hatiku di atas agamaMu. Hukum menyembunyikan amal Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat. Imam Al-Iz bin Abdus Salam telah menjelaskan hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci sebagai berikut. Beliau berkata, “Keta’atan (pada Allah) ada tiga: 1. Yang pertama, adalah amalan yang disyariatkan secara dengan dinampakan seperti adzan, iqomat, bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara jahr, khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan sholat jumat dan sholat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, maka hal-hal seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya, maka hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menolaknya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakannya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menolak riya, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain. 2. Yang kedua, amalan yang jika diamalkan secara tersembunyi lebih afdhol dari pada jika dinampakkan. Contohnya seperti membaca qiro’ah secara perlahan tatkala sholat (yaitu sholat yang tidak disyari’atkan untuk menjahrkan qiro’ah), dan berdzikir dalam sholat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan. 3. Yang ketiga, amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika dinampakkan. Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua keadaannya: 1. Yang pertama, dia bukanlah termasuk orang yang diikuti, maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan sedekahnya. 2. Yang kedua, dia merupakan orang yang dicontohi, maka dia menampakan sedekahnya lebih baik karena hal itu membantu fakir miskin dan dia akan diikuti. Maka dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga menyebabkan orang-orang kaya bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.” Qowa’idul Ahkam 1/125 (Sebagaimana dinukil oleh Sulaiman Al-Asyqor dal kitabnya Al-Ikhlash hal 128-129).
Tentunya kita lebih mengetahui diri kita, kita termasuk orang yang aman dari riya atau tidak. Mengobati penyakit cinta ketenaran Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382). Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((“Untaian kalimat ini adalah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragukan lagi karena tersohornya seseorang mungkin terjadi jika orang tersebut memiliki kelebihan diantara manusia, bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa jadi orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berjalan di belakangnya. Seseorang jika semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan sadar dan mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat banyak. Oleh karena tidaklah suatu hal yang mengherankan jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan kepada Abu Bakar –padahal ia adalah orang yang terbaik dari umat ini dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam - yang selalu membenarkan (apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang iman Abu Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih berat iman Abu Bakar”, namun Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk berdo’a di akhir sholatnya, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak mendzolimi diriku dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau maka ampunilah aku dengan pengampunanMu”. Yang mewasiatkan adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq. Semakin bertambah ma’rifat seorang hamba kepada Robnya maka ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara manusia, khawatir diangkat-angkat diantara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan salah satu bentuk dosa. Diantara manusia ada yang merupakan qori’ Al-Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya, keindahan bacaannya, maka orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. Diantara manusia ada yang alim, tersohor dengan ilmunya, dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, kewaro’annya, maka orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya. Diantara mereka ada yang menjadi da’i yang terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam berdakwah maka orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya karena Allah telah memberi petunjuk kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ada yang terkenal dengan sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terkenalnya seseorang merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan seseorang, oleh karena itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengikut… Hendaknya setiap orang yang tersohor (dengan kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk selalu merendahkan dirinya diantara manusia dan menampakkan hal itu, bukan malah untuk semakin naik derajatnya di hadapan manusia namun agar semakin terangkat derajatnya di hadapan Allah, dan ini semua kembali kepada keikhlasan, karena diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini adalah termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di hadapan manusia dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar dengan sikapnya itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana dibalas apa-apa yang terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa yang ada disimpan di hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka tidak bisa menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan Allah.
Ini adalah pelajaran yang berharga bagi setiap yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia tahu bahwa orang yang diikutinya itu tidak boleh diagungkan, namun hanyalah diambil faedah darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh masyarakat, karena yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Adapun manusia yang lain maka jika mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada diri kita. Dan hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, rendah, dan mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, ingat bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di belakangnya. Oleh karena itu tatkala Abu Bakar dipuji di hadapan manusia maka ia berkutbah setelah itu dan riwayat ini shahih sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata: “Ya Allah jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa ini dengan keras untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga mereka tidak berlebih-lebihan kepadanya. Apakah hal ini sebagaimana yang kita lihat pada kenyataan dimana orang yang diagungkan semakin menjadi-jadi agar diagungkan dirinya??, orang yang mengagungkan juga semakin mengagungkan orang yang diikutinya?? Ini bukanlah jalan para sahabat radhiallahu ‘anhum, Umar terkadang ujub dengan dirinya -dan dia adalah seorang khalifah, orang kedua yang dikabarkan dengan masuk surga setelah Abu Bakar-, maka ia pun memikul suatu barang di tengah pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa dirinya besar. Diantara kesalahan-kesalahan adalah sifat ujub (takjub dengan diri sendiri), yaitu seseorang memandang dirinya waw (hebat). Ada diantara salafus shalih yang jika hendak menyampaikan suatu (mau’idzoh) dan jika ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan majelis tersebut, kenapa?, karena keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan keselamatan jiwa orang lain, karena ia melihat ramainya orang yang telah berkumpul dan ia menyadari bahwa dirinya mulai merasakan bahwa dirinya senang karena kehadiran mereka, yang pada diam memperhatikannya, dan memperhatikannya, maka iapun mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun membicarakannya akibat hal tersebut, Namun yang paling penting adalah keselamatan jiwa dan hatinya dihadapan Allah. Dan keselamatan hatinya lebih utama dibandingkan keselamatan hati orang lain…”)). (Dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang berjudul Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud). Riya itu samar Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaikbaiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15). Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih perkataanmu yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah memilih perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan aku pun telah berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada
tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404). Perhatikanlah wahai saudaraku… sesungguhnya hanyalah orang-orang yang beruntung yang memperhatikan gerak-gerik hatinya, yang selalu memperhatikan niatnya. Terlalu banyak orang yang lalai dari hal ini kecuali yang diberi taufik oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan memandang kebaikan-kebaikan mereka pada hari kiamat menjadi kejelekan-kejelekan, dan mereka itulah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya. “Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zumar: 48). “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfy: 104). Maroji’: 1. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh, cetakan pertama Tahun 2000 masehi 2. Al-Minhaj syarh Sohih Muslim, Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah 3. Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, tahqiq Al-Arnauth 4. Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, Syaikh Abdul Malik Romadhoni, maktabah Al-Asholah 5. Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama 6. Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi 7. Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais 8. Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani 9. Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf, Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil, Dar Toibah 10. Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, transkrip dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh 11. Tazkiyatun Nufus, Ahmad Farid
Titian Ilmu October 15th, 2005 1:04 pm (Manhaj, Nasehat) Salah seorang ustadz seringkali mengungkapkan bahwa “manusia zaman sekarang sangat menghargai spesialisasi bidang ilmu, kecuali ilmu agama!”. Perhatikan saja, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, semua berita di media massa merujuk kepada pendapat ahli gempa bumi. Ketika terjadi wabah penyakit flu burung, maka dokter spesialis di bidangnya pun angkat bicara. Akan tetapi, jika sudah berbicara urusan agama, maka semua orang merasa pantas untuk memberi fatwa dan menafsirkan ayat Al-Qur’an, bahkan seorang yang pandir sekalipun!. Adakah kita menyadari hal tersebut?? Sungguh sangat lucu dan mengherankan jika seorang yang bodoh dalam masalah agama menafsirkan ayat (Al-Qur’an & Hadits) serta membahas suatu permasalahan agama dengan kerangka berpikir yang terbalik dan timpang, akan tetapi tetap ngeyel mempertahankan pendapatnya tersebut, tanpa mau bertanya kepada yang ahli dibidangnya. Tulisan ustadz Ali Musri yang dibingkai dengan judul yang puitis ini, cukuplah menjadi pembangkit semangat kita untuk menuntut ilmu agama. Semoga bermanfa’at… Judul Asli: Titian Ilmu Penulis: Ust Ali Musri MA. Pendahuluan Segala puji bagi Allah, Pencipta alam semesta, salawat beserta salam untuk Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, keluarga beserta seluruh para sahabatnnya, selawat dan salam yang tiada hingganya. Berikut ini adalah pembahasan ringkas tentang keutamaan ilmu, langkah-langkah yang harus ditapaki dalam menuntut ilmu serta parasitisme yang harus dibersihkan dari jalan ilmu, semoga bisa menjadi titian bagi pencinta ilmu. Pada Allah kita mohon pertolongan, sesungguhnya tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah. Kemulian Ilmu dalam Al Quran Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dalam kitabNya yang mulia tentang ilmu dan macam-macamnya, suatu kali dalam bentuk pujian yaitu ketika menyebutkan tentang ilmu yang bermanfaat, suatu kali dalam bentuk celaan ketika menyebutkan tentang ilmu yang tidak berguna. Contoh untuk bentuk yang pertama yaitu dalam bentuk pujian: Orang yang berilmu berbeda dari orang tidak berilmu dalam segala aspek kehidupan. Allah swt memuji orang-orang berilmu dalan firmanNya mulia, “Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Az Zumar: 9). Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada RasuNya Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam atau kepada orang-orang yang mengikuti petunjuknya untuk bertanya kepada umat manusia seluruhnya, apakah sama orang-orang yang memiliki ilmu dengan orang-orang yang tidak memiliki ilmu; baik dalam keyakinan, perbuatan dan perkataannya, maupun amal ibadahnya, tindak-tanduk dan perilakunya serta tutur bicaranya, jelas jawabannya tentu tidak sama, fakta sendiri membuktikan orang yang berilmu sangat berbeda kehidupan dan perilakunya dengan orang-orang yang tidak berilmu.
Sebagai contoh orang yang berilmu tentang keesaan Allah, sesungguhnya orang yang beri lmu tentang keesaan Allah, ia akan mengikhlaskan seluruh ibadahnya untuk Allah semata, karena Allah itu Maha Esa dalam segala penciptaan dan perbuatan-Nya, dalam segala nama dan sifat-sifat-Nya, tidak seorang pun yang mampu meniru ciptaan Allah, dan tidak seorang pun yang memiliki sifat seperti sifat Allah, oleh sebab itu Allah mengharamkan menyembah kepada selain-Nya, karena Allah itu Maha Sempurna dalam segala ciptaan dan Maha Sempurna dalam segala sifat-sifat-Nya, maka selain Allah adalah makhluk yang tidak lepas dari segala kekurangan dan kelemahan, maka makhluk itu tidak berhak untuk disembah karena ia tidak ikut andil sedikit pun dalam mengatur kehidupan alam ini, bahkan ia sendiri dibawah kekuasan Sang Maha Kuasa, ia tidak mampu untuk memberikan manfaat untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, begitu juga ia tidak mampu menolak bencana dan bahaya serta penyakit dari dirinya sendiri bagaimana pula ia akan mampu untuk menolak bahaya dan bencana dari selainnya. Orang yang berilmu juga sangat berbeda dalam hal perbuatan, sikap dan tindak tanduk sehari-hari. Dirinya maupun manusia lain serta alam semesta selamat dari kerusakan dan kejelekan perbuatannya, ia akan menjauhi sikap merusak, karena ilmu yang dimilikinya menuntunnya ke arah yang benar, ia tidak mau berbuat kerusakan karena yang akan menanggung akibat dari sikap merusak itu adalah dirinya sendiri, ia tidak akan melakukan penipuan, pengkhianatan, dan lain sebagainya dari berbagai macam tindakan moral dan anggota tubuhnya. Orang yang berilmu lidahnya akan selamat dari sikap suka bohong, bergunjing serta adu domba, dan lain sebagainya dari perbuatan lidah. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya, “Apakah orang-orang yang suka melakukan bermacam kejahatan itu mengira bahwa kami akan memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang yang beriman dan beramal saleh?, (apakah mereka mengira bahwa) kehidupan dan kematian mereka sama!, betapa jeleknya prasangkaan mereka”. (QS. Al Jatsiyah: 2). Bahkan hewan sekalipun berbeda antara yang memiliki ilmu dengan yang tidak memilikinya, oleh sebab itu Allah menghalalkan buruan yang ditangkap oleh binatang yang terdidik. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu, apa yang dihalakan untuk mereka, katakanlah; dihalalkan untuk kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang yang telah kamu ajar untuk berburu, menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu”. (QS. Al Maaidah: 4). Allah mengangkat orang-orang yang berilmu sebagai saksi bahwa tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang berilmu dalam firman-Nya yang mulia, “Allah bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, para malaikat dan orangorang yang berilmu (juga) menegakkan (persaksian itu) dengan adil”. (QS. Ali Imran: 18). Keutamaan-keutamaan yang tersimpul dalam ayat ini untuk orang-orang yang berilmu terdapat dalam bentuk-bentuk berikut ini: 1. Dari segi materi persaksian; yaitu kalimat tauhid, adalah kalimat yang sangat agung, kalimat dengan tujuan untuk merealisasikannya, diciptakannya jin dan manusia, kalimat yang menjadi pembeda antara mukmin dan kafir, antara penghuni surga dan neraka.
2. Dari segi tingkat persaksian; yaitu digandengnya persaksian orang-orang yang berilmu dengan persaksian Allah dan para malaikat-Nya. 3. Dari segi sifat persaksian, yaitu persaksian yang sangat adil, keadilan yang utama sekali yang wajib ditegakkan, adalah keadilan terhadap hak Allah, yaitu tidak memberikan sesuatu yang menjadi hak Allah kepada selain Allah, ibadah adalah hak Allah semata, yang tidak boleh di berikan kepada selain Allah. Kezaliman yang amat besar adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak Allah kepada selain Allah, yaitu berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya yang mulia, “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezoliman yang amat besar”. (QS. Luqman: 13). Maka golongan yang sesungguhnya menegakkan keadilan di muka bumi ini adalah golongan para ulama dan orang-orang yang memiliki ilmu, baik keadilan terhadap hak Allah maupun keadilan terhadap makhluk, maka oleh sebab itu Allah telah mengangkat mereka sebagai saksi-saksi yang adil di permukaan bumi ini dan menyebutkan persaksian mereka setelah persaksian Allah dan persaksian para malaikat. Selama keadilan kepada Allah belum ditegakkan selama itu pula keadilan di tengah-tengah umat manusia tidak akan tegak. Oleh sebab itu seluruh para nabi dan Rasul memulai dakwah mereka kepada keadilan terhadap hak Allah demi untuk tegaknya keadilan dalam kehidupan manusia. Mencari ilmu yang bermanfat adalah perintah Allah kepada Nabi yang paling mulia dan penghulu segala rasul, yaitu Nabi kita Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa salam. Sebagaimana Allah perintahkan Nabi kita Muhammad Shalalahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu berdo’a supaya ilmunya ditambah Allah, disebutkan Allah dalam firman-Nya yang mulia, “Katakanlah (wahai Muhammad): Ya tuhanku !, tambahlah ilmuku”. (QS. Thahaa: 114). Perintah ini adalah ajaran kepada umatnya untuk tetap berusaha mencari ilmu yang bermanfaat dan supaya berdoa selalu untuk mendapat ilmu tersebut, setelah melakukan usaha-usaha yang mendukung untuk tercapainya ilmu tersebut. Hal ini direalisasikan sendiri oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan beliau seharihari, sebagaimana yang diriwayatkan oleh istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha: Ummu Salamah meceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah mengucapkan salam saat selesai sholat subuh ia membaca (do’a): “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada engkau ilmu yang bermamfaat, rezki yang baik dan amal yang diterima”. Allah memuji orang yang berilmu, bahwa mereka adalah hamba yang paling takut kepada Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah yang mulia, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28). Di antara karismatik yang sangat menonjol dalam diri seorang yang berilmu adalah rasa takut kepada Allah, takut dari melanggar larangan Allah, takut dari meninggalkan suruhan Allah, takut terhadap azab dan siksaan Allah, sebagaimana mereka juga takut untuk berbicara tentang hukumhukum Allah tanpa ilmu yang dimiliki, rasa takut tersebut semakin memotivasi mereka untuk
menggali ilmu agama dan untuk beramal dengan ilmu mereka serta menyampaikan ilmu tersebut kepada seluruh umat manusia. Di antara sebab-sebab yang menyebabkan seseorang seringnya melanggar perintah Allah, adalah karena jahil atau bodoh dengan hukum perbuatan tersebut, atau jahil dengan sifat-sifat Allah, atau jahil dengan ancaman dan azab yang akan ditimpakan terhadap orang yang melakukan perbuatan maksiat tersebut, atau jahil dengan pahala dan ganjaran yang dijanjikan Allah terhadap orang yang menjauhi perbuatan maksiat tersebut, atau jahil dengan hari akhirat (hari pembalasan), atau jahil dengan surga dan segala nikmat yang terdapat di dalamnya, atau jahil dengan neraka dan segala macam azab yang terdapat di dalamnya. Allah mengangkat derajat orang-orang yang berilmu di dunia dan di akhirat. Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang diberi ilmu (diangkat lagi) beberapa derajat”. (QS. Al Mujaadalah: 11). Dalam ayat ini menunjukkan kepada kita seorang muslim betapa eratnya hubungan antara iman dan ilmu, antara satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keimanan akan semakin meningkat nilainya apabila ditopang oleh ilmu, mencari ilmu yang bermanfaat adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas keimanan, begitu juga sebaliknya, ilmu akan semakin berguna apa bila membuatnya semakin tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Oleh karena itu Allah katakan bahwa orang-orang yang berilmu adalah hamba yang paling takut kepada Allah. Berikutnya ayat di atas juga menunjukkan tentang kemuliaan orang yang berilmu, di mana Allah mengangkat derajat mereka di hadapan manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak, kemuliaan mereka di dunia terlihat di saat semua makhluk menyenangi dan mencintai mereka termasuk makhluk selain manusia, seperti malaikat dan binatang melata sekalipun, karena itu terdapat dalam sebuah hadis bahwa para malaikat melanglang buana di atas bumi ini mencari tempat perkumpulan penuntut ilmu, ikan di laut sekalipun memohon ampunan untuk para penuntut ilmu, mereka di tengah-tengah makhluk bagaikan pelita di tengah gelap gulita, seluruh lapisan umat membutuhkan mereka mulai dari rakyat jelata sampai kepada penguasa sekalipun, mereka tempat bertanya di saat pergi dan tempat memberi berita di saat kembali, itulah sebuah kata pepatah mengatakan, mereka bagaikan matahari di kala siang dan bagaikan bintang di kala malam, di akhirat kelak mereka akan di tempat di tempat yang amat mulia, di tempat yang tinggi, di surga yang keindahannya tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak bisa dibayangkan dengan hati, ucapan selamat untuk anda wahai para penuntut ilmu. Keutamaan ilmu dalam As Sunnah Banyak hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan ilmu, namun dalam tulisan singkat ini kita sebutkan beberapa hadis saja. Dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda radhiallahu ‘anhu. Ia berkata “aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah telah membentangkan baginya jalan ke surga, sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka (dengan) penuh keridhaan bagi penuntut ilmu, sesungguhnya penghuni langit dan bumi sekalipun ikan dalam air memohon ampunan untuk seorang alim, sesungguhnya keutamaan seorang alim di atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan (cahaya) bulan purnama atas (cahaya) bintang-bintang, sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan emas dan perak, tetapi mereka mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya berarti ia telah mendapat bagian yang cukup banyak”. (Hadits hasan lihgairihi, diriwayatkan oleh; At Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, dll).
Dalam hadis yang mulia terdapat beberapa keutamaan ilmu yang sangat agung sekali, pertama; jalan menuntut ilmu adalah salah satu jalan menuju surga, kedua; malaikat mencintai dan mendoakan para penuntut ilmu, ketiga; makhluk yang berada di langit dan di bumi termasuk ikan di dalam air memohonkan ampunan untuk penuntut ilmu, keempat; orang berilmu jauh lebih mulia dari seorang pelaku ibadah, kelima; penuntut ilmu adalah pewaris para nabi. Ilmu adalah salah satu amalan yang tidak terputus pahalanya, sekalipun tulang belulang pemiliknya telah hancur ditelan tanah namun pahala ilmunya yang diajarkannya tetap mengalir. Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya; “Apabila anak adam meninggal terputuslah segala amalannya, kecuali tiga bentuk; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh”. (HR. Muslim). Betapa agungnya keutamaan ilmu dalam hadits di atas, yang mana ilmu yang bermanfaat merupakan kekayaan yang tak akan sirna di sisi Allah, sekalipun si pemiliknya sudah sirna dari alam yang fana ini. Hal ini akan terasa sekali bila kita melihat gambaran kehidupan akhirat yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya yang mana manusia yang berbuat baik sekalipun akan menyesali amalannya dikarenakan begitu besarnya keuntungan yang diperoleh oleh orang yang beramal baik waktu hidup di dunia pada hari itu, sehingga orang yang mati syahid kalau bisa mereka dihidupkan kembali dan terbunuh dijalan Allah untuk beberapa kali, apalagi orang yang datang dengan amalan jelek pada hari itu akan lebih menyesal lagi, oleh sebab itu Allah kisahkan dalam kitab-Nya tentang permintaan orang kafir supaya mereka dihidupkan kembali untuk menghabiskan umur mereka dalam beramal baik. Tapi lain halnya dengan orang yang menyebarkan ilmu mereka tanpa meminta sekalipun pahala amalan mereka tetap mengalir, apakah kita tidak merindukan hal seperti ini untuk diri kita?… Ilmu adalah pintu untuk segala kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini, “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk kebaikan, Allah (berikan) pemahaman kepadanya dalam agama”. (HR. Bukhari dan Muslim). Kebaikan yang dimaksud dalam hadits ini adalah umum, mencakup segala kebaikan duniawi maupun ukhrawi, di dunia ia akan diberikan kehidupan yang baik, selamat dari berbagai macam kesesatan dan kemungkaran, ia akan membawa kebaikan kepada segenap umat manusia yang berada di sekitarnya, dari perkataan dan perbuatannya lahir nilai-nilai kebaikan, ia bagaikan air yang melepaskan kedahagaan di kala manusia haus, yang memadamkan api di kala manusia kebakaran, yang membersihkan noda di kala manusia berlumur kotoran, adapun di akhirat kelak ia akan mendapat balasan kebaikan di atas segala kebaikan yaitu surga yang jauh lebih baik dari segala kebaikan dunia beserta segala isinya, betapa agungnya ilmu, sungguh beruntunglah orangorang yang melakukan perjalanan di muka bumi ini demi untuk mendapatkan ilmu. Sebahagian para ulama salaf pernah berkata: “Barang siapa yang tidak mengenal ilmu tidak berguna baginya banyak amalan, karena amal tanpa ilmu hanya membawa kemudharatan, sesungguhnya kerusakan yang ditimbulkan oleh seorang yang beramal tanpa ilmu lebih besar dari kebaikannya”.
Langkah-langkah yang harus ditapaki dalam menuntut ilmu. Berikut ini ingin kita bicarakan perbekalan yang harus dimiliki dalam perjalanan menuntut ilmu, karena tanpa perbekalan mustahil perjalanan bisa dilakukan, sesungguhnya perahu tak pernah berlayar di atas daratan kering. Pertama: Ikhlas dalam menuntut ilmu Modal dasar yang harus kita miliki dalam setiap amalan kita adalah ikhlas kepada Allah, apalagi dalam tugas yang mulia ini yaitu menuntut ilmu syar’i, banyak kita lihat sebahagian orang sudah menghabiskan waktunya untuk mencari ilmu namun ilmu tersebut tidak membawa bekas dalam kehidupannya, ilmu hanya sebatas onggokan yang membeku tanpa bisa dimanfaatkan, atau lebih tepat lagi disebut ilmu hanya sebatas tsaqofah belaka, atau sebagai pengasah otak belaka, hal ini sangat dipengaruhi oleh niat dan tujuan seseorang tadi dalam menuntut ilmu, sebagian orang hanya untuk mencapai gelar dan kehormatan saja, atau untuk mencari ketenaran di kalangan para intelek, atau demi untuk berbangga di tengah-tengah orang awam, dan lain-lain sebagainya. Banyak sekali ayat-ayat maupun hadits-hadits yang mewajibkan kita untuk ikhlas kepada Allah dalam melakukan segala bentuk ibadah, sebaliknya banyak pula ayat dan hadits yang memberikan ancaman kepada orang yang tidak ikhlas dalam amalannya. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang manusia yang pertama sekali dihitung amalan mereka, yaitu tiga jenis; di antara mereka adalah orang yang menuntut ilmu, “Orang yang pertama sekali dinyalakan api neraka dengan mereka ada tiga; salah satu di antara mereka adalah seorang yang menuntut ilmu dan membaca Al Quran, maka ia dipanggil dan diperkenalkan kepadanya tentang nikmat Allah, maka ia pun mengakuinya, lalu Allah bertanya kepadanya; apa yang ia lakukan terhadap nikmat tersebut?, ia menjawab: aku pergunakan untuk menuntut ilmu dan mengajarkannya serta untuk membaca Al Quran pada Mu, Allah menimpali jawabnya; kamu telah berdusta, tetapi engkau menuntut ilmu supaya mendapat (sanjungan) supaya dikatakan sebagai seorang ‘alim, dan engkau membaca Al Quran supaya dikatakan orang sebagai seorang Qoori, sungguh telah terbukti demikian, kemudian ia diusung di atas mukanya sampai ia dilemparkan ke dalam neraka”. (HR. Muslim no: 1905). Ilmu bisa membuat seseorang mencapai tingkat yang mulia di sisi Allah di dunia maupun di akhirat kelak, bila dibarengi dengan niat yang ikhlas, tapi sebaliknya bisa membawa malapetaka dan kesengsaraan di akhirat kelak, bila kehilangan sifat ikhlas dalam menuntut, mengamalkan dan menyebarkannya. Dalam hadits yang lain disebutkan. “Barang siapa yang mempelajari ilmu, dari ilmu mencari wajah Allah, tidaklah ia mempelajarinya kecuali untuk mencari tujuan duniawi, ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat, yaitu harumnya surga”. (HR. Abu Daud no, 3664). Konteks hadits ini menjelaskan kepada kita balasan bagi orang yang menuntut ilmu demi mengejar kesenangan duniawi semata, betapa kecewanya seseorang seketika ia melihat orang-orang yang seiring dengannya dalam menuntut ilmu mereka di payungi menuju surga, namun dirinya yang telah tertipu oleh gemerlapnya dunia digiring menuju neraka. Disebutkan lagi dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi sallam yang berbunyi: “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang-orang awam, atau untuk berbangga di hadapan para ulama, atau untuk mendapat ketenaran di hadapan manusia maka (tempatnya) di neraka”. (HR. Ibnu Majah no: 253).
Hadits yang satu ini merinci beberapa bentuk ketidakikhlasan dalam menuntut ilmu berikut balasan bagi orang melakukannya, ketidakikhlasan bisa berbentuk; pertama untuk memperbodohi orangorang awam, seperti halnya sebahagian ulama sufi, mereka memperbodohi dan mempemainkan orang-orang awam demi untuk mengeruk keuntungan duniawi, dengan berbagai dalih yang licik dan busuk, bisa dengan dalih kewalian, keberkahan, atau tawassul, syafaat dan sebagainya. Kedua; untuk berbangga di hadapan para intelek dan ulama, banyak kita saksikan di kalangan cendekia, untuk mencapai tingkat intelek harus melakukan hal-hal yang bersifat kekufuran, atau mengubah hukum-hukum yang sudah falid dan solid dalam Islam, seperti masalah jender, hijab, toleransi antar agama, dan banyak lagi yang lainnya. Ketiga; untuk mengejar kepopuleran dan ketenaran di hadapan manusia, barang kali bentuk ketiga ini tidak jauh beda dengan bentuk kedua, untuk mencapai kepopuleran bisa dengan mengemukakan pendapat yang nyeleneh, bisa pula dengan gaya dan penampilan yang menarik perhatian orang lain, seperti gaya dalam berdzikir, berpakaian serta metode-metode dalam berdakwah yang menyimpang dari petunjuk ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua: Memiliki sifat sabar. Memupuk kesabaran dalam menghadapi berbagai aral yang melintang di tengah-tengah jalan menuntut ilmu penting sekali untuk kita miliki dalam menapaki tujuan mulia ini, rintangan yang akan kita hadapi sesuai dengan tujuan yang hendak kita capai, bila tujuan kita besar rintangannya pun besar. Sifat sabar adalah modal dasar dalam menuntut ilmu, begitu juga dalam hal mengamalkan ilmu dan mengajarkannya, oleh sebab itu syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Ushul Ats tsalatsah mengutip perkataan imam Syafi’i tentang keutamaan kandungan surat Al ‘Ashr, setelah beliau menyebutkan empat tingkatan dalam berilmu; Pertama: mempelajari Ilmu. Kedua: mengamalkannya. Ketiga: mendakwakannya. Keempat: bersabar dalam setiap tiga tingkatan yang telah disebutkan sebelumnya. Kemudian beliau menyebutkan surat Al ‘Ashr sebagai landasannya: “Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran”. (QS. Al Ashri: 1-3). Dalam ayat yang mulia ini Allah menyebutkan bahwa umat manusia itu berada dalam kerugian dalam setiap masa, kecuali orang yang mengisi masanya dengan; iman, amal sholeh, dan menyebarkan kebenaran dan kesabaran. Maka manusia yang beruntung adalah orang yang mengisi aktivitasnya dengan hal-hal yang disebutkan dalam ayat ini, sedangkan aktivitas-aktivitas tersebut tidak akan bisa kita lakukan kecuali dengan ilmu, baik dalam memperoleh keimanan perlu dengan ilmu, melakukan amal sholeh perlu dengan ilmu, merealisasikan kebenaran pun perlu dengan ilmu, bagaimana seseorang akan bisa menyuarakan kebenaran kalau ia tidak tahu tentang kebenaran, kebenaran yang mutlak hanya ada dalam Islam, kalau seseorang telah beriman maka ia dituntut untuk sabar dalam keimanannya, baik dalam hal memupuk keimanan itu sendiri maupun dalam hal mempertahankannya dari berbagai godaan dan cobaan, begitu pula dalam melakukan amal sholeh perlu kesabaran, apalagi dalam hal menyampaikan kebenaran yang lebih dikenal dengan amar ma’ruf - nahi mungkar, kesabaran adalah salah fondasi untuk tegaknya kebenaran, kesabaran dalam arti yang luas sabar dalam menghadapi segala cobaan dan rintangan, serta sabar dalam menunggu hasil dari sebuah
perjuangan, begitu pula cobaan dan rintangan juga dalam arti yang luas, cobaan dan rintangan bukanlah dalam bentuk yang pahit dan menyakitkan saja tetapi juga dalam bentuk yang mengiurkan dan menyenangkan, boleh jadi berbentuk harta, wanita atau jabatan serta kehormatan lainnya. Begitu juga cobaan dan rintangan itu tidak selalu datang pada waktu tertentu bisa di awal perjalanan dan boleh jadi di pertengahan atau di penghujung perjuangan, awal perjuangan adalah menuntut ilmu. Menuntut ilmu perlu kesabaran, karena beratnya tugas yang harus diemban mulai dari cuaca, makanan dan kondisi yang asing dari kondisi yang biasa kita dapatkan di tanah air, begitu pula materi pelajaran yang harus kita hadapi menuntut keseriusan dan kesungguhan yang super prima, oleh sebab kesabaran sangat dituntut dalam menuntut ilmu, sekalipun terdapat dalamnya kesulitan tetapi sekaligus di dalamnya terdapat kelezatan dan kesenangan, ilmu tidak akan pernah didapatkan kecuali setelah melalui titian yang penuh cobaan dan rintangan, barang siapa yang tidak sabar dalam menghadapi kehinaan sekejap dalam ilmu, ia akan meneguk gelas kebodohan selamanya, amal dan ilmu tidak bisa dicapai tanpa kesabaran. Allah telah memuji hambanya yang bersabar dalam agamanya: “Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: celakalah kalian, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak akan memperolehnya kecuali orang-orang yang sabar”. (QS. Al Qashash: 80). Allah telah menjanjikan bagi orang-orang yang sabar balasan yang tidak terhingga, sebagaimana dalam firman-Nya yang mulia, “Sesungguhnya orang-prang yang bersabar mendapatkan pahala mereka tanpa batas (yang tak terhingga)”. (QS. Az Zumar: 10). Ketiga: Mengikuti jejak salafus sholih dalam menuntut ilmu. Berpegang teguh dengan pemahaman salafus sholeh adalah tembok yang membatasi antara kita dengan ahlul bid’ah atau dari berbagai kelompok-kelompok yang melenceng dari sunnah. Yang dimaksud dengan Salaf adalah mereka generasi terkemuka dari umat ini mulai dari para sahabat, para tabi’iin dan para tabi’ ut tabi’iin yaitu mereka yang hidup pada masa tiga generasi utama dari umat ini. Sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik manusia adalah masa generasiku kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka lagi”. (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian penamaan salaf diberikan kepada setiap orang yang berpegang teguh dengan petunjuk dan pemahaman mereka, dengan ungkapan yang lebih dikenal “salafy”. Banyak dalil dari Al Quran dan sunnah serta atsar dari para sahabat dan para ulama yang menunjukkan tentang keutamaan ilmu salaf, oleh sebab itu kita disuruh untuk menapaki jejak mereka, dan berusaha untuk menuntut ilmu yang mereka peroleh, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan kita, selanjutnya kita dituntut untuk menyebarkan ilmu salaf tersebut. Diantaranya firman Allah dalam At Taubah ayat 100 yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah meridhai mereka, mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang amat besar”. (QS. At Taubah: 100). Allah telah menjanjikan pahala yang amat besar, balasan yang amat agung bagi siapa yang mengikuti jalan mereka dan berpegang teguh dengan manhaj mereka dalam berilmu dan beramal, semoga Allah menjadikan kita di antara mereka tersebut. Dalam surat Annisaa ayat: 115 Allah berfirman lagi: “Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelasnya kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman, kami palingkan ia ke mana ia hendak berpaling, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”. (QS. An Nisaa: 115). Dalam ayat yang berlalu berbicara tentang kabar gembira bagi siapa yang berpegang teguh dengan petunjuk dan manhaj mereka, adapun dalam ayat ini berbicara tentang ancaman bagi siapa yang menyalahi jalan mereka, kita berlindung dengan Allah dari hal yang demikian. Adapun hadits-hadits yang menunjukan tentang wajibnya berpegang dengan pemahaman salafus sholeh dalam berilmu dan beramal amat banyak sekali di antaranya hadits yang telah berlalu kita sebutkan, hadits iftiroqul ummah, hadits huzaifah yang masyhur sekali, yang di dalamnya terdapat perintah untuk selalu berpegang denga sunnah mereka. Berikut ini kita akan sebutkan pula beberapa atsar dari sahabat dan ulama-ulama terkemuka dari umat ini. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Senantiasa manusia dalam kebaikan selama masih datang kepada mereka ilmu dari sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dari generasi tertua mereka, apabila datang kepada mereka ilmu dari generasi terbelakang dan beragamnya hawa nafsu mereka, itulah saatnya kebinasaan mereka”. (Ibnu Mubarak, Az Zuhud, Hal: 281, no: 815). Dalam riwayat lain Ibnu Mas’ud radhialahu ‘anhu berkata: “Barang siapa yang ingin untuk mengikuti sunnah hendaklah ia mengikuti sunnah orang-orang yang telah telah mati (para sahabat), sesungguhnya orang hidup tidak aman dari fitnah, mereka itu adalah para sahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang paling baik hatinya di antara umat ini, yang paling dalam ilmunya, yang paling sedikit dalam berlebih-lebihan, kaum yang telah dipilih Allah untuk menjadi sahabat nabi-Nya, sebagai penegak agama-Nya, maka hendaklah kalian mengenali hak mereka, dan berpegang teguhlah dengan tuntunan mereka, mereka telah berada di atas petunjuk yang lurus”. (Ibnu Abdil Barr, Jaami’ Bayanil ‘Ilmi: 2/97). Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para pemimpin setelah beliau telah menentukan jalan-jalan (yang hendak ditempuh), menapakinya adalah merupakan ketundukan kepada kitab Allah, dan kesempurnaan dalam ketaatan kepada Allah, kekuatan dalam menegakkan agama Allah, tidak seorang pun berhak merubahnya, dan tidak pula menukarnya, dan memandang kepada sesuatu yang menyalahinya, barang siapa yang menjadikannya petunjuk sesungguhnya ia adalah orang yang diberi petunjuk, barang siapa yang mencari kemenangan dengannya maka ia adalah orang yang menang, dan barang siapa yang meninggalkannya dan berpaling dari mengikuti jalan orang-orang yang beriman, Allah akan memalingkannya ke mana ia berpaling, dan akan memasukannya ke dalam neraka jahannam, dan neraka jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali”.
Berkata Ibnu Rajab, “maka ilmu yang paling afdhal dalam menafsirkan Al Quran dan makna hadits, berbicara tentang hukum halal dan haram adalah apa yang dinukil dari sahabat, tabi’iin dan tabi’u tabi’iin sampai kepada ulama-ulama Islam yang sudah masyhur sebagai tempat panutan umat. Mengumpulkan apa yang diriwayatkan dari mereka dalam hal demikian adalah ilmu yang paling afdhal berserta dengan memahaminya, memikirkannya, mendalaminya. Apa yang terjadi setelah mereka dari peluasan ilmu tidak membawa kebaikan dalam kebanyakannya kecuali bila merupakan penjelasan terhadap perkataan mereka. Adapun apa yang menyalahi pendapat mereka, kebanyakannya tidak lepas dari kebathilan dan tidak membawa manfaat. Dalam perkataan mereka sudah cukup bahkan lebih, maka tiada dalam ungkapan orang-orang yang setelah mereka dari kebenaran kecuali dalam ungkapan mereka sudah terkandung hal itu dengan perkataan yang ringkas dan padat. Dan tidak didapati dalam ungkapan orang setelah mereka dari kebatilan kecuali dalam perkataan mereka sudah ada yang menerangkan tentang kebatilannya bagi siapa yang memahaminya dan merenungkannya. Dalam perkataan mereka tersimpan makna yang dalam, pandangan yang tajam, apa yang tidak didapati pada orang-orang setelah mereka. Barang siapa yang tidak peduli dengan perkataan mereka, maka ia telah kehilangan segala kebaikan bersamaan dengan itu ia terjerumus ke dalam kebatilan, karena mengikuti orang-orang yang setelah mereka.” (Fadhlu ‘Ilmi Salaf; 42). Parasitisme ilmu Berbagai tujuan yang tidak suci sering mencemari ilmu kita seperti kurangnya keikhlasan, untuk mengejar kesenangan duniawi, ketenaran, pangkat, jabatan, gelar, untuk membodohi orang awam, untuk berbangga dihadapan para ulama, dsb, berikut ini kita singgung sedikit beberapa hal terpenting yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfaat. Pertama: Berpegang dengan hawa nafsu setelah datangnya ilmu. Di antara sebab-sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu ialah tidak mengamalkan ilmu itu sendiri, serta masih mendahulukan emosional hawa nafsu, bentuk-bentuk mendahulukan hawa nafsu itu sendiri beragam, seperti berpegang kepada bukan wahyu ilahi, adakalanya kepada akal semata, atau kepada hawa nafsu, atau kepada mimpi, atau kepada pendapat tuan guru dan pemimpin suatu kelompok tertentu (ta’ashub dan taqlid buta), sekalipun hal itu nyatanyata bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya, baik yang berhubungan dengan aqidah, ibadah maupun dakwah dan muamalah. Hal ini diceritakan oleh Allah dalam Al Quran tentang ulama-ulama orang yahudi, mereka memiliki ilmu, tetapi ilmu tersebut tidak memberi manfaat kepada diri mereka dalam mengambil kebenaran. Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah, “Perumpamaan orang-orang yang dibebankan kepada mereka Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa lembaran-lembaran yang tebal”. (QS. Al Jum’ah: 5). Allah mencela orang-orang yahudi karena mereka tidak mengamalkan Taurat yang merupakan ilmu yang dibawa nabi Musa ‘alaihi salam kepada mereka. Di antaranya adalah mereka tidak mau beriman dengan kenabian Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang sudah diberitakan tentang kedatangannya dalam kitab mereka Taurat, bahkan mereka mengenal ciri-cirinya lebih dari mengenal ciri anak-anak mereka sendiri, bahkan mereka tidak cukup sampai di situ tetapi mereka sesat lebih jauh lagi dengan mengubah isi Taurat itu sendiri sesuai dengan kemauan dan kehendak
mereka sendiri. Contoh lain dalam Al Quran tentang orang yang tidak mengamalkan ilmunya, terdapat dalam firman Allah; “Dan bacakanlah kepada mereka tentang berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayatayat kami (pengetahuan tetang isi Alkitab), kemudian ia berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu syaitan mengikutinya (sampai ia tersesat), maka ia terjerumus menjadi orang-orang yang sesat. Dan jika kami berkehendak, sungguh kami angkat (derajat)nya dengan ayat-ayat tersebut, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya (yang hina)”. (QS. Al A’raaf: 176,175). Dalam ayat ini Allah mengisahkan seseorang yang telah diberi ilmu tentang kebenaran yang harus diikutinya, tetapi orang tersebut berpaling dari mengikuti ilmu yang benar tersebut, saat syaitan melihatnya dalam hal demikian, maka syaitan seketika itu pun ikut mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran itu, lalu syaitan semakin menyesatkannya, akhirnya ia terjerumus ke dalam kesesatan yang amat jauh. Padahal kalau ia mau untuk mengamalkan ilmu dan mengikuti kebenaran yang telah dimilikinya, sesungguhnya Allah akan mengangkat derajatnya dengan kebenaran tersebut, tetapi Allah menghinakannya karena ia terlebih dulu telah menghinakan kebenaran dan membuangnya di belakang punggungnya, ia lebih mengutamakan kesenangan duniawi dari kesenangan ukhrawi, ia lebih suka mengikuti hawa nafsunya yang sesat lagi hina dari mengikuti hidayah yang berkilau bagaikan cahaya. Hal ini pulalah yang menimpa sebagian pribadi dan kelompok dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada pendakwah, terlebih khusus sebagian saudara kita yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk menuntut ilmu di Universitas Islam yang tegak di atas Al Quran dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih, mereka masih mendahulukan hawa nafsunya dan mendahulukan kepentingan duniawi, atau kepentingan kelompoknya di atas kepentingan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyaknya ayat Al Quran mencegah kita dari mengikuti hawa nafsu setelah jelasnya kebenaran dan setelah datangnya ilmu, karena hal inilah yang menyebabkan melencengnya ahlul kitab dari mengikuti kebenaran. Di antaranya firman Allah yang mulia: “Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya, dan jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (niscaya) Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongmu”. (QS. Al Baqarah: 120). Maka di awal tahun ajaran baru ini penulis ingin mengingatkan diri serta para ikhwan seluruhnya baik yang baru datang maupun para ikhwan yang lama, mari kita bersama-sama untuk kembali mengintropeksi diri kita masing-masing dalam hal yang satu ini yaitu jangan kita sampai mendahulukan kepentingan duniawi di atas kepentingan ukhrawi. Di antara keutamaan ilmu salaf adalah dekatnya buah ilmu mereka, artinya ilmu mereka tersebut membuahkan amal sholeh, seperti bersikap lembut terhadap sesama makhluk, mencintai kebenaran untuk seluruh makhluk, bukannya bahagia dengan kesalahan orang lain, sedikit berbicara banyak beramal, menimbulkan kekhusyukan dalam beribadah, menimbulkan rasa takut kepada Allah. Salaf dalam menuntut ilmu lebih banyak mementing buah dari pada mengonggok batang, ibaratkan orang yang berkebun yang penting adalah banyaknya hasil perkebunan, bukan luas dan banyak bibit yang semai, untuk apa banyak pohon yang ditanam tapi tidak satu pun yang menghasilkan buah, dan akan lebih baik lagi orang yang punya perkebunan luas dan memiliki hasil panen yang banyak.
Disebutkan dalam pepatah arab: “Ilmu tanpa amal bagai pohon yang tidak berbuah”. Dalam pepatah lain: “Petiklah ilmu dengan amal, jika tidak ia akan pergi”. Diantara buah ilmu adalah membuahkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firmanNya mulia: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah para ulama”. (QS. Faathir: 28). Berkata sebagian salaf, “Ilmu bukanlah dengan banyaknya riwayat tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah)”. Berkata lagi sebagian yang lain: “Barang siapa yang takut kepada Allah maka ia adalah seorang ‘alim, dan barang siapa yang melakukan maksiat kepada Allah maka ia adalah seorang jahil”. Di antara buah ilmu salaf adalah memberikan kekhusukan kepada mereka dalam beribadah.Ilmu yang bermanfaat adalah memperkenalkan pemiliknya dengan robbnya dan menunjukkan jalan kepada robbnya sehingga ia mengenalNya, mengesakanNya dalam segala bentuk ibadahnya, merasa senang dan dekat denganNya, ia menyembah robbnya seakan-akan ia melihatNya. Oleh sebab itu kebanyakan para sahabat berkata: “Sesungguhnya yang pertama sekali diangkat dari tengah-tengah manusia adalah rasa khusuk dalam ibadah. Berkata Ibnu Mas’ud: “kebanyakan orang membaca Al Quran tidak melewati tenggorokannya, dan tetapi jikalau tertancap dalam hati, ia akan lengket dan bermamfaat”. Berkata Hasan Al Bashri: “ilmu itu ada dua macam; ilmu di atas lidah, itu adalah hujjah Allah di atas anak Adam, ilmu dalam hati, itulah ilmu yang bermanfaat”. Oleh karena kebanyakan salaf berkata, ”ulama itu ada tiga golongan; pertama: ‘alim dengan Allah, ‘alim dengan perintah Allah, kedua: ‘alim dengan Allah tetapi tidak ‘alim dengan perintah Allah, ketiga ‘alim dengan perintah Allah tetapi tidak ‘alim dengan Allah”. (Fadhlu ilmu salaf: 50). Kedua: Suka berdebat dan berjidal. Telah terdapat dalam sebuah hadits tentang larangan berjidal, “Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal” kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertengkar (QS. Az Zukhruf: 58)”. (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shohih). Telah berkata sebahagian salaf: “Apabila Allah mengehendaki suatu kebaikan untuk seorang hamba, Allah membukakan untuknya pintu amal, dan menutup darinya pintu jidal, dan apabila Allah mengehendaki kejelekan untuk seorang hamba, Allah menutup untuknya pintu amal dan membuka baginya pintu jidal”. Berkata Imam Malik: “Berjidal adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 35). Diantara sifat salaf adalah sedikit berbicara, diamnya salaf dari berbantah-bantahan dan berjidal bukannya karena mereka itu lemah dan bodoh, tetapi mereka diam di atas penuh ilmu dan penuh takut kepada Allah. Adapun banyak pembicaraan dan komentar dari orang-orang setelah mereka bukan berarti mereka lebih berilmu dari salaf tetapi disebabkan karena mereka suka banyak bicara dan kurangnya sikap wara’. Sebagaimana yang dikatakan Hasan Al Bashri tatkala ia menyaksikan orang saling berdebat, “mereka adalah kaum yang malas beribadah dan suka berbicara serta tidak memiliki warak makanya mereka suka ngobrol”. (Ibnu Rajab, Fadhlu Ilmi Salaf: 36).
Berkata Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya kalian berada di zaman yang banyak ulamanya sedikit para khatibnya, akan datang sesudah kalian masa yang banyak khatibnya tetapi sedikit ulamanya, barang siapa yang luas ilmunya dan sedikit omongannya, maka ia adalah terpuji, dan barang siapa yang sebaliknya maka ia adalah tercela”. Ibnu rajab berkata; “Kebanyakan generasi sekarang mengira bahwa banyak bicara, suka berjidal, suka berbantah dalam masalah agama, adalah lebih tahu dari orang yang tidak seperti demikian, inilah suatu kebodohan, coba kita lihat bagaimana para sahabat sangat sedikit perkataan mereka bila dibandingkan dengan perkataan tabi’in, sedangkan para sahabat jauh lebih berilmu bila dibandingkan dengan tabi’in, begitu juga halnya tabi’ut tabi’iin dengan tabi’in, ilmu bukanlah diukur dengan banyak riwayat dan tidak pula diukur dengan banyak omongan tetapi ilmu adalah cahaya yang diberikan Allah ke dalam hati seseorang yang menjadikannya paham tentang kebenaran, dan mampu membedakan antara yang hak dengan yang batil, serta mengungkapkannya dengan perkataan yang simpel dan padat serta tepat dalam menyampaikan kepada apa yang di maksud”. (Ibnu Rajab, Fahdul Ilmi Salaf: 37-38). Maka perlu untuk diketahui bahwa sesungguhnya bukanlah setiap orang yang luas pembicaraannya, pintar berbicara lebih berilmu dari orang yang tidak demikian halnya, sungguh di akhir zaman ini kita telah mendapat cobaan dari sebahagian manusia yang berpandangan demikian. Ketiga: Mendahulukan kepentingan duniawi diatas kepentingan ukhrawi Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab beliau (Fadhl Ilmi Salaf hal: 52-54) beberapa bentuk sikap orang yang memburu kesenangan dunia dengan memobilisasi ukhrawi, adakalanya mengaku memiliki ilmu tentang keagamaan, tetapi tujuannya dibalik itu adalah ingin mencari kududukan di tengah-tengah manusia, baik di kalangan penguasa atau lainnya, atau untuk mencari pengikut yang banyak dan berbangga dengannya, seperti mengaku sebagai wali dan sebagainya. Di antara ciri-cirinya lagi adalah tidak mau tunduk kepada kebenaran, dan memiliki kesombongan terhadap orang yang menegakkan kebenaran, apalagi bila orang tersebut tidak terpandang di mata manusia, kemudian tetap berpegang dengan kebatilan karena takut terbukanya kedok kesesatan dan kebodohannya, saat tersebarnya kebenaran di tengah-tengah manusia. Boleh jadi kadangkala ia mencela dirinya sendiri, agar dianggap sebagai orang yang memiliki sifat tawadhu’, supaya orang lain memujinya. Dalam kenyataan sehari-hari kita sering menyaksikan orang-orang yang binasa dan celaka dalam berbagai lembah yang hina, demi mencari kesenangan duniawi dengan memperdagangkan urusan ukhrawi, ada yang binasa di lembah maksiat, bid’ah, popularitas, atau lembah partai politik, dan lain-lain sebagainya. Allah telah berfirman dalam kitab suciNya: “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan duniawi dan perhiasannya, niscaya kami akan memberikan balasan amalan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun didalamnya, mereka itulah orang-orang yang tidak mendapatkan di akhirat kelak kecuali neraka, dan hilanglah segala apa yang mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah segala apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Huud: 15,16). Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhialhu ‘anhu, bahwa ia berkata, “Kalaulah seandainya pemilik ilmu menjaga ilmu dan meletakkannya pada orang yang sebagai pemiliknya, sungguh mereka akan memimpin zaman mereka, tetapi mereka memberikannya pada pemilik dunia, supaya mereka memperoleh keduniaan mereka, maka mereka dihinakan (di hadapan) pemilik dunia, aku telah mendengar Nabi kalian bersabda: “Barang siapa yang menjadikan kepentingannya satu kepentingan yaitu kepentingan akhiratnya niscaya Allah akan
mencukupkan kebutuhan dunianya, barangsiapa yang terpencar-pencar kepentingannya dalam urusan dunia, Allah tidak menghiraukan di lembah manapun ia binasa”. (HR. Ibnu Majah no: 257). Imam Asy Syaukany mengulas dalam kitanya “Adabuthalab wal muntahal’arib”, diantara sebab yang membuat seseorang menjauhi kebenaran, dan menyembunyikan dalil-dalil kebenaran serta tidak menerangkan apa yang diwajibkan Allah kepadanya untuk menerangkannya adalah kecintaan kepada kehormatan dan harta. Banyak fenomena yang kita saksikan di tengah para tholabul ‘ilmi, yang tidak mungkin kita kupas dalam bahasan yang ringkas ini, tetapi orang yang arif dan bijak dengan isyarat sudah cukup untuk mengingatkannya. Wallahu a’alam bishawaab. Untuk lebih menambah kepuasan tetang topik bahasan kita kali ini silakan para ikhwan merujuk buku-buku berikut ini: 1. Kitaabul ‘Ilmi karangan Abu Khaitsamah. 2. Al Faqiih wal Mutafaqqih karangan Khatib Al Baghdady. 3. Iqtidha Al ‘ilmi Al ‘amal karangan Khatib Al Baghdady. 4. Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi karangan Ibnu Abdilbar. 5. Tadzkirotusami’ wal Muta’alim karangan Ibnu Jama’ah. 6. Fadhlu ‘Ilmu Salaf karangan Ibnu Rajab Hambaly. 7. Adabut Thalab karangan Imam Asy Syaukany. 8. Kitaabul ‘Ilmi karangan Syekh Al ‘Utsaimin. 9. Kaifa Tathlubu ‘Ilma karangan Abdullah Jibrain. 10. Hilyah Thalibil ‘ilmi karang Bakar Abu Zaid. 11. Ma’alim fii Thoriqil Ishlah karangan Abul Aziz As sadhaan.