Kampus Pelopor Peradaban? Sejak berkembangnya peradaban Babilonia, manusia mulai menyadari posisinya di semesta sebagai salah satu faktor penentu bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik dan layak, sebagaimana ungkapan Nietcze tentang kehendak bebas, bahwa perbedaan mendasar antara manusia dengan makhluk lainnya adalah tujuan sehingga berbentuk apapun model, tatanan dan sistem kehidupan adalah hasil dari sebuah proses panjang cipta, rasa dan karsa guman Ki Hajar Dewantara, karena selama berabad-abad, manusia seperti diseret ke sebuah pusaran raksasa bernama peradaban. Sedemikian besar peran dari sebuah bangunan peradaban, sehingga saat beralih pada tema keagamaan tertulis dengan lugas, dimana kedatangan para Nabi dan Rasul bertujuan untuk mencerahkan dan membebaskan manusia dari penjara kebodohannya, tanpa bermaksud memprediksi apakah benar titik pijak slogan UNG berdasarkan kenyataan sejarah sebagaimana terpampang dari tiap generasi, atau terdapat asumsi lain sehingga UNG harus secara lantang menggelegarkan slogan ini? memang terdapat sebuah pertanggungjawaban besar untuk mewujudkan peradaban baru, karena harus disadari kerangka peradaban saat ini adalah buah dari masa renaissance, bahwa semua problematika
hidup
berada
dilingkup
material,
sehingga
untuk
menyelesaikannya harus memenuhi persyaratan positivistic Immanuel kant,
karena tanpa bumbu wajib rasionalitas dan empiric sebuah artefak pengetahuan gugur diarea kehidupan, cukup mengherankan sementara di sisi lain terdapat kerinduan untuk meraih kualitas hidup berupa cinta, kasih sayang, kedamaian, kebenaran, keadilan, dan sederet daftar pemenuhan kebutuhan akan kebahagiaan, ini menegaskan topik paling laku dari keseharian kita, lantas apa ide fundament dan subtantif terpanggilnya UNG sebagai garda terdepan pelopor peradaban? penafsiran ulang atas berlangsungnya peradaban masa kini, adalah keharusan untuk diletakkan secara inherent dengan tema besar UNG, sebagai upaya pencegahan agar tidak
kebablasan
dalam
merancang
dekonstruksi
dan
melakukan
rekonstruksi terhadap pilihan sadar bagi terciptanya sebuah paradigma baru peradaban. Beberapa implikasi historis sebenarnya cukup ironi dengan keberadaan kampus, dimana kelahirannya diilhami zaman skolastik, sebagai peralihan dari kebebasan mendapatkan ilmu kapan dan dimana saja, menjadi ter-formal-kan oleh munculnya sekolah-sekolah sebagai hak paten bagi keilmuan, sehingga akar pengetahuan seperti bunker perlindungan yang tidak boleh terjamah oleh individu, kelompok,
dan golongan di luar
komunitas, padahal butuh waktu cukup lama bagi Aristoteles untuk berkesimpulan
bahwa
setiap
manusia
menghasrati
pengetahuan.
Perkembangan kebudayaan manusia memang mensyaratkan
adanya
kecenderungan menciptakan struktur yang menjadi lisensi kualitas sebuah pengetahuan,
dengan
institusi
pendidikan
sebagai
perangkatnya,
kesulitannya adalah parameter kualitas pengetahuan saat ini harus secara sukarela tunduk dibawah kontrol mekanisme pasar kapitalisme global, bahwa sehebat apapun sebuah penemuan baru (ilmu pengetahuan), jika tidak berlabel ISO 9000-an maka segera bersiap untuk tersingkir dan tidak populer, disinilah
kampus diperhadapkan pada konspirasi raksasa tata
system dunia, tanpa menyetujui Samuel Huttington melalui tesisnya benturan antar peradaban, lalu apa perangkat yang bisa dijadikan argumentasi bagi UNG? Melangkahkan kaki di era revolusi digital tentulah terdapat kekhususan yang dimiliki kampus secara universal, walaupun sudah usang tetapi masih banyak kampus tidak menjalankannya secara konsisten, padahal penjabaran fungsional dan cultural termaktub padat, esensialis, dan jelas pada Tri Dharma perguruan tinggi. Penelitian sebagai kata pembuka, menggambarkan sifat dasariah pecinta ilmu yang senantiasa bertanggung jawab terhadap sebuah realitas untuk senantiasa melewati tahapan pengujian, agar dapat diklasifikasi ke arah yang bermanfaat bagi kemaslahatan dan ini membutuhkan pendefinisian yang jeli agar tidak sekedar membeo pada pakem umum, bukankah paling berharga bukanlah sesuatu yang baru tetapi bagaimana sesuatu itu disebut khusus, ini tentunya harus didukung oleh
perangkat penafsir metodologi keilmuan yang telah digunakan selama ini. Point berikutnya menunjukkan transformasi keilmuan dalam lingkup akademik, bahwa Pengajaran tidak becorak statis, tetapi dinamis dengan beragam variasi, bahwa pengajaran ditujukan membuka ruang pikir bagi siapa saja dengan latar belakang multikompleks, yang secara faktual tidak terelakkan,
sehingga
aspek
cultural
dari
tiap
pengajaran
wajib
diikutsertakan. Sebagai salah satu komponen masyarakat, maka menjadi naïf sekiranya kampus berwujud menara gading yang terasing dari peran perubahan social masyarakatnya, untuk itu perlu diletakkan orientasi sejelas mungkin, sehingga subjektivitas di ruang sosial senantiasa berada dipihak termarginalkan, dan akankah UNG bisa mewujudkan ke-ideal-an sejenis ini?## (Redaksi)
ORDE BARU GAYA BARU Pekik merdeka mengangkasa di gedung pegangsaan timur no 56 Jakarta adalah sebuah kehendak dari bangsa terjajah untuk menentukan nasibnya sendiri, setelah tiga setengah abad berada dalam belitan rantai penindasan, pembunuhan dan pemerkosaan,secara materi maupun jiwa, pasca kemerdekaan direbut , mulailah efek penjajahan bermetamorfosa melalui kerapuhan mentalitas di tingkat para petinggi Negara hingga rakyatnya, lebih tepat kiranya kita menggunakan pertanyaan sebuah iklan tanya kenapa ?, penjabaran dari pertanyaan ini membutuhkakan cukup energi untuk memberikan jawaban secara total sebagai perjalanan panjang sebuah fase sejarah bahwa setiap kuasa senantiasa menghasilkan sebuah kuasa baru . Jenuh adalah sebuah kata tepat mengungkapkan ruang kreasi basi dari tiap kuasa yang tampil dengan metamorfosa baru karena tanpa henti kita hidup sebagai bangsa yang selalu berada di lingkaran pengkhianatan, atas segala harapan-harapan perjuangan kolektif rakyat kita, ini tentulah membuka mata kesadaran kita bahwa belum terdapat sebuah sistem perpolitikan yang paling minimal mendekatisehat atau lebih tepat bangunan kebangsaan kita didirikan dengan menggunakan bahan baku kompromi dari sekian ideology, sehingga bukan warna warni pelangi tetapi baju rombengan
dengan tambalan di sana-sini sebagai wujud pakaian kenegaraan kita, tidak mengherankan jika pergantian kekuasaan tidak memberikan jaminan bagi terciptanya perubahan secara utuh