Status Perjanjian Internasional Dalam Tata Perundang-undangan Nasional

  • Uploaded by: Oktavia Maludin
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Status Perjanjian Internasional Dalam Tata Perundang-undangan Nasional as PDF for free.

More details

  • Words: 17,668
  • Pages: 38
APA ARTI PENGESAHAN/RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL? - Damos Dumoli Agusman AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) - Prof Dr. Bagir Manan, SH., M.CL. PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945 - Dr. Harjono, SH., M.CL. STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN NTERNASIONAL DI DALAM HUKUM NASIONAL (PERMASALAHAN TEORITIK DAN PRAKTEK) - Prof. Dr. Ibrahim, SH., MH. PRAKTEK PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PUTUSAN HAKIM - Hj. Suparti Hadhyono STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA) - Prof. Dr. Mohd. Burhan Tsani, SH., MH. –

DAMOS DUMOLI AGUSMAN

APA ARTI PENGESAHAN/RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL? “Dari sisi hukum perjanjian internasional maka ratifikasi pada esensinya adalah konfirmasi.”

Pengesahan/Ratifikasi: Persetujuan atau Konfirmasi? Globalisasi Hubungan Internasional dewasa ini telah semakin meningkatkan persentuhan dan interaksi antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional di Indonesia. Interaksi kedua bidang hukum ini semakin mempertajam pertanyaan tentang arti lembaga “pengesahan” (ratifikasi, aksesi, acceptance, approval) dalam kaitannya dengan status Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia. Dari tataran teoritis dan praktis, pengertian lembaga pengesahan/ratifikasi ternyata dipahami secara berbeda oleh kalangan ahli Hukum Tata Negara dan oleh ahli Hukum Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi itu sendiri pada hakekatnya berasal dari konsepsi Hukum Perjanjian Internasional yang selalu diartikan sebagai tindakan ‘konfirmasi’ dari suatu Negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian sebagai tanda persetujuan untuk terikat pada perjanjian itu. Dari sisi Hukum Perjanjian maka ratifikasi pada esensinya adalah konfirmasi. Konfirmasi ini dibutuhkan karena pada era permulaan berkembangnya Perjanjian Internasional masalah komunikasi serta jarak geografis antar Negara merupakan faktor yang mengharuskan adanya ruang bagi setiap Negara untuk mengkonfirmasi setiap perjanjian yang telah ditandatangani oleh pejabatnya. Namun

demikian, lembaga ini pada perkembangan selanjutnya juga mulai dikenal dan berkembang dalam hukum ketatanegaraan setiap Negara yang digunakan untuk objek yang sama yaitu Perjanjian Internasional. Lembaga pengesahan/ratifikasi dalam hukum ketatanegaraan selalu diartikan sebagai tindakan persetujuan oleh suatu organ Negara terhadap perbuatan Pemerintah untuk membuat perjanjian atau konfirmasi organ tersebut terhadap penandatanganan suatu perjanjian oleh Pemerintahnya.



Bertolak dari perbedaan disiplin hukum tentang pengesahan/ratifikasi tersebut diatas, maka secara tradisional, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional selalu dilihat dari dua perspektif prosedur yang terpisah namun terkait, yaitu Prosedur Internal (Nasional) dan Prosedur Eksternal (Internasional). • Dari perspektif Prosedur Internal, pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional adalah masalah Hukum Tata Negara, yaitu Hukum Nasional Indonesia yang mengatur tentang kewenangan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan Perjanjian Internasional serta mengatur produk Hukum apa yang harus dikeluarkan untuk menjadi dasar bagi Indonesia melakukan Prosedur Eksternal. Sedangkan dari perspektif Prosedur Eksternal maka pengesahan/ratifikasi Perjanjian adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian

“hukum tata Negara ri tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai “persetujuan dpr” bukan “konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam pasal 11 uud 1945. namun dalam praktek ketatanegaraan ri, yang kemudian ditafsirkan oleh undang-undang no. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi dpr” ketimbang “persetujuan dpr”.”

Internasional dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan. (The international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty) yang diatur oleh Hukum Perjanjian Internasional. Para perumus Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (Komisi Hukum Internasional) menyadari adanya perbedaan ini dan bahkan mengakui bahwa kedua perspektif ini selalu membingungkan. Komisi secara tegas menyatakan bahwa “Since it is clear that there is some tendency for the international and internal procedures to be confused and since it is only international procedures which are relevant to international law of treaties, the Commission thought it desirable in the definition to lay heavy emphasis on the fact that it is purely the international act to which the terms ratification relate in the present article.”1 Namun demikian, sekalipun membedakannya, relasi kedua prosedur ini cukup jelas bagi Komisi. Pada bagian lain, Komisi menegaskan bahwa Prosedur Internal harus dipenuhi untuk dapat dilaksanakannya Prosedur Eksternal. Komisi lebih lanjut menegaskan bahwa berlakunya perjanjian terhadap suatu Negara ditentukan oleh Prosedur Eksternal bukan Prosedur Internal. Jika dalam Prosedur Eksternal pengertian pengesahan/ratifikasi adalah “konfirmasi” dari Negara maka pada Prosedur Internal pengertian ini dapat berupa: a. “Konfirmasi”, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan konfirmasi terhadap perbuatan Pemerintah yang telah menandatangani suatu perjanjian, atau b. “Persetujuan”, yaitu organ Negara seperti parlemen memberikan persetujuan terlebih dahulu terhadap perjanjian yang akan ditandatangani oleh Pemerintah. Hukum Tata Negara RI tanpa sengaja mengartikan lembaga pengesahan/ratifikasi sebagai “persetujuan DPR” bukan 1 ILC Draft Articles on the Law of Treaties and Commentaries, AJIL Vol 61, Jan 1967, hal. 285-294

“konfirmasi” dan hal ini tercermin dalam Pasal 11 UUD 1945.2 Namun dalam praktek ketatanegaraan RI, yang kemudian ditafsirkan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, pengertian persetujuan ini bergeser menjadi “konfirmasi DPR” ketimbang “persetujuan DPR”. Itulah sebabnya pasal ini masih menyisakan pertanyaan mendasar tentang “apakah DPR harus terlibat membuat perjanjian sebelum ditandatangani atau hanya terlibat setelah perjanjian ditandatangani oleh Pemerintah?” Dalam hal ini perbedaan pengertian “persetujuan” dengan “konfirmasi” pada lembaga pengesahan/ratifikasi menjadi sangat relevan. Permasalahan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan wewenang membuat perjanjian, apakah wewenang eksklusif eksekutif atau tidak. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional per definisi hanya mengatur tentang pengesahan/ratifikasi dalam perspektif Prosedur Eksternal sehingga berkarakter “konfirmasi”, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Namun demikian Undang-Undang ini juga mengatur tentang persyaratan internal (pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang atau Perpres) sebagai dasar konstitusional untuk dapat melakukan pengesahan/ratifikasi dalam perspektif eksternal. Dalam UndangUndang dan praktek Indonesia, untuk Prosedur Eksternal (yaitu penerbitan notification atau instrument of ratification/ accession / acceptance/approval oleh Departemen Luar Negeri) hanya dapat dilakukan setelah Prosedur Internal terpenuhi. Akibatnya, secara 2

Pasal 11 UUD 1945: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. 2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. 1)

hakiki maka Undang-Undang ini telah memberikan interpretasi bahwa yang dimaksud dengan “persetujuan DPR” pada Pasal 11 UUD 1945 adalah “konfirmasi” yang berarti bahwa keterlibatan DPR adalah untuk menerima atau menolak pengesahan/ratifikasi perjanjian yang sudah dibuat oleh Pemerintah bukan untuk menyetujui perjanjian yang akan dibuat oleh Pemerintah. Dari kekisruhan ini maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi tarik menarik untuk mengartikan pengertian pengesahan/ratifikasi antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Perjanjian Internasional. Pasal 11 UUD 1945 sebagai produk Hukum Tata Negara bergesekan dengan Undang-Undang No 24 Tahun 2000 yang sangat dipengaruhi oleh Hukum Perjanjian Internasional. Dalam kaitan ini, pandangan Prof. Bagir Manan bahwa “wewenang untuk melakukan hubungan luar negeri termasuk membuat dan memasuki Perjanjian Internasional adalah kekuasaan eksklusif eksekutif”3 menjadi sangat relevan. Dalam hal ini maka pengertian “persetujuan DPR” pada Pasal 11 UUD 1945 harus diartikan sebagai “konfirmasi DPR” atas perbuatan hukum eksekutif. Format Undang-Undang sebagai Output dari “Persetujuan DPR”: Formal atau Prosedural? Persoalan mendasar lainnya adalah apa output dari tindakan “persetujuan DPR” seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 UUD 1945? Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11”.4 Dari pandangan Muhammad Yamin tersebut maka sebenarnya “persetujuan DPR” dapat mengambil bentuk apa pun dan hanya merupakan syarat formil untuk dibuatnya suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam perkembangan praktek ketatanegaraan Indonesia output dari “persetujuan DPR” ini telah mengambil bentuk Undang-Undang. Perkembangan ini tercermin dari praktek yang timbul menyusul Surat Presiden No. 2826/HK/1960 kepada Ketua DPR, yang selalu menuangkan “persetujuan 3

Manan, Bagir Prof, Akibat Hukum di Dalam Negeri Pengesahan Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focussed Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November 2008. 4 Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Ketiga, 1960, hal. 784.

DPR” kedalam format Undang-Undang dan dalam praktek istilah ini selanjutnya selalu diartikan secara baku sebagai “pengesahan/ratifikasi”. Pemahaman ini kemudian terkristalisasi dalam UndangUndang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang secara sengaja telah menafsirkan kata “persetujuan DPR” pasal 11 UUD 1945 sebagai “pengesahan dengan bentuk Undang-Undang”. Namun tanpa disengaja Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 ternyata mendefinisikan istilah “pengesahan/ratifikasi” sebagai perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk “Mohammad Yamin sebagai salah satu perumus UUD 1945 pernah menyatakan bahwa “tidak diterapkan dalam Pasal 11 bentuk juridis lain daripada persetujuan DPR, Sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencakupi syarat formil menurut Konstitusi Pasal 11”.”

ratifikasi, aksesi, penerimaan dan persetujuan.5 Sekalipun memakai definisi eksternal, UndangUndang ini juga ternyata mengartikan pengesahan/ratifikasi seperti yang dikenal dalam Prosedur Internal (misalnya pemakaian istilah “pengesahan dengan UndangUndang/Keppres” sehingga tanpa disengaja telah menggunakan istilah yang sama untuk pengertian yang sebenarnya berbeda. Selanjutnya apa konsekeunsi dari UndangUndang atau Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian terhadap Hukum Nasional (aspek internal) ternyata telah pula menimbulkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Masalah ini telah menjadi perdebatan dalam kerangka pergulatan teori monismedualisme tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Konstruksi yang tepat perihal ini (apakah monisme atau dualisme) belum tercermin dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ternyata juga tidak dimaksudkan untuk menyentuh masalah substansi aspek internal dari pengesahan/ratifikasi ini. Dituangkannya “persetujuan DPR” dalam format Undang-Undang/Perpres telah melahirkan diskusi baru tentang apa arti Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan 5 Pasal 1 (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

tersebut, apakah “pengaturan” atau “penetapan”. Dengan formatnya sebagai Undang-Undang/Perpres maka Hukum Nasional dewasa ini cenderung memperlakukan Undang-Undang/Perpres ini sebagaimana layaknya produk legislasi yang dengan demikian tunduk pada kaidah perundang-undangan. Dalam kaitan ini Prof. Bagir Manan memberi pernyataan yang sangat menarik yaitu “Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Di satu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, di pihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (UndangUndang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden).”6 Dari tataran praktis, pemberian bentuk peraturan perundang-undangan terhadap pengesahan Perjanjian Internasional telah menimbulkan berbagai pertanyaan, antara lain: a. Apakah Perjanjian Internasional yang

diratifikasi oleh Undang-Undang/Perpres dapat dibatalkan oleh perundangundangan yang lebih tinggi? b. Apakah suatu Undang-Undang tidak dapat mengakui eksistensi suatu Perjanjian Internasional karena hanya diratifikasi dengan Perpres? c. Apakah Perjanjian Internasional yang disahkan dengan Undang-Undang tidak bisa langsung diimplementasikan dengan Peraturan Pemerintah atau Perpres? d. Apakah Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan Perjanjian Internasional dapat di judicial-review? Jika diidentifikasi dan dipetakan maka secara garis besar setidak-tidaknya terdapat dua pandangan yang secara dinamis hidup dalam dunia akademis dan praktisi tentang arti Undang-Undang/Perpres pengesahan/ratifikasi, yaitu: a. Pertama,

pandangan yang menilai Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah produk Hukum Nasional (substantif) yang mentransformasikan materi perjanjian ke dalam Hukum Nasional sehingga status perjanjian berubah menjadi Hukum Nasional. Undang-Undang/Perpres ini telah memiliki efek normatif. Norma yang

6 Manan, Bagir Hukum2000 di Dalam Negeri Pengesahan “Undang-Undang No.Prof, 24Akibat Tahun Perjanjian Internasional (Tinjauan Hukum Tata Negara), Focussed tentang Perjanjian Internasional Group Discussion, Deplu-FH UNPAD, Bandung, 29 November 2008. ternyata juga tidak dimaksudkan untuk menyentuh masalah substansi aspek internal dari pengesahan/ratifikasi ini.”

diaplikasikan dalam Hukum Nasional adalah dalam karakternya dan formatnya sebagai materi Undang-Undang/Perpres dan bukan dalam karakternya sebagai norma perjanjian. Kelompok ini menilai tidak perlu lagi ada legislasi baru untuk memberlakukan norma perjanjian kedalam Hukum Nasional (dualisme?). Pendekatan ini tampaknya tercermin pada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang pada pasal 7 ayat (2) menyatakan “ketentuan Hukum Internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi Hukum Nasional. b. Kedua, pandangan yang menilai Undang-

Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah bersifat prosedural yaitu hanya merupakan persetujuan DPR/Presiden dalam jubah UndangUndang/Perpres. Undang-Undang/Perpres ini tidak memiliki efek normatif karena hanya bersifat penetapan bukan pengaturan. Pandangan ini pada tahap selanjutnya akan terbagi dua, yaitu: • Pertama, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian adalah ”menginkorporasi” Perjanjian tersebut kedalam sistem Hukum Nasional. Dengan inkorporasi ini maka Perjanjian Internasional dalam karakternya sebagai norma Hukum Internasional telah memiliki efek normatif dan mengikat di dalam Hukum Nasional. Keterikatan penegak hukum terhadap norma yang dihasilkan adalah bersumber dari perjanjian itu sendiri dan bukan dari Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan (monisme?). Pandangan ini tercermin dalam praktek administrasi Negara misalnya dalam penerapan Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik/Konsuler yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 1/1982. Konvensi ini telah dijadikan dasar hukum bagi Pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak serta fasilitas diplomatik lainnya kepada para korps diplomatik di Indonesia. Dalam hal ini tidak diperlukan transformasi kaidah Konvensi kedalam Hukum Nasional dan bahkan

sampai saat ini tidak ada legislasi nasional yang memuat kaidah konvensi ini. • Kedua, pandangan yang menganggap Undang-Undang/Perpres yang mengesahkan suatu Perjanjian hanya sekedar jubah persetujuan DPR/Presiden kepada Pemerintah RI untuk mengikatkan diri pada tataran Hukum Internasional dan belum mengikat pada tataran Hukum Nasional. Untuk itu masih dibutuhkan legislasi nasional tersendiri untuk mengkonversikan materi perjanjian menjadi materi Hukum Nasional. Tanpa legislasi nasional ini maka Indonesia sebagai subjek Hukum Internasional hanya terikat pada tataran internasional, sedangkan warganegaranya tidak terikat (dualisme?). Pandangan ini misalnya tercermin dalam praktek Indonesia menyikapi UNCLOS 1982 yang diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17/1985. Undang-Undang ini hanya bersifat prosedural sehingga masih dibutuhkan suatu UndangUndang lain yang mentransformasikan UNCLOS 1982 ke dalam Hukum Nasional, yaitu Undang-Undang No. 6/1996 tentang Perairan yang pada hakekatnya adalah penulisan kembali (“copy paste”) pasal-pasal pada UNCLOS 1982. Undang-Undang No. 6/1996 inilah (bukan Undang-Undang No. 17/1985) yang mencabut Undang-Undang No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Permasalahan praktis yang muncul dewasa ini yang bersumber dari tarik menarik antara perbedaan berbagai pandangan tersebut adalah adanya gagasan untuk meningkatkan status Keppres No. 36 Tahun 1990 (yang meratifikasi Konvensi tentang Hak Anak 1989) menjadi Undang-Undang dengan dalih bahwa kedudukannya sebagai Keppres telah mempersulit untuk dikeluarkannya UndangUndang atau Peraturan Pemerintah guna mengimplementasikan Konvensi ini. Produk setingkat Undang-Undang (seperti UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) tidak bisa merujuk atau mendasarkan pada Konvensi tentang Hak Anak dengan alasan bahwa Konvensi ini berstatus Keppres. Pemikiran ini mewakili pandangan yang melihat Keppres 36 Tahun 1990 sebagai produk substantif sebagaimana layaknya suatu

Keppres sehingga diberlakukan logika hirarki perundang-undangan. “Apapun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip “predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat.”

Implikasi juridis dari peningkatan status ratifikasi ini akan muncul terhadap Hukum Internasional. Dari sisi Hukum Internasional ratifikasi adalah pernyataan “consent to be bound by a treaty” yang bersifat “eenmalig” (satu kali saja/final) dan tidak melihat bagaimana Hukum Tata Negara mengatur mengenai pernyataan ini. Dengan kata lain, pada saat Indonesia telah menyatakan persetujuan untuk terikat pada Konvensi ini melalui ratifikasi, maka pada saat itu pula Konvensi ini berlaku (entry into force) bagi Indonesia. Peningkatan status ratifikasi (dari Keppres ke Undang-Undang) tidak akan dapat mempengaruhi/mengubah status Konvensi vis a vis Indonesia. Dalam hal ini, peningkatan status Keppres menjadi Undang-Undang tidak akan mungkin dilanjutkan dengan penyampaian ratifikasi baru kepada Sekjen PBB karena “peningkatan tingkat ratifikasi” tidak dikenal dalam Hukum Internasional. Di lain pihak, pandangan kedua akan menolak gagasan peningkatan status ratifikasi ini. Menurut mereka Keppres No. 36 Tahun 1990 bersifat prosedural yang mengantar Indonesia menjadi terikat pada Konvensi tentang Hak Anak. Pandangan bahwa Keppres ini hanya bersifat prosedural didasarkan pada fakta hukum bahwa berlakunya Konvensi ini terhadap Indonesia tidak secara langsung disebabkan oleh Keppres ini melainkan disebabkan oleh “instrument of ratification” yang disampaikan oleh Indonesia kepada Depository (Sekjen PBB). Berlakunya Konvensi terhadap Indonesia bukan pada tanggal berlakunya Keppres melainkan pada tanggal diserahkannya “instrument of ratification” kepada depository. Berdasarkan padangan kedua ini maka Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak seharusnya tidak perlu merujuk Keppres ini namun langsung merujuk

pada Konvensi-nya. Menurut pandangan ini, seyogyanya tidak ada persoalan untuk mengeluarkan produk legislasi (UndangUndang atau Peraturan Pemerintah) untuk mengimplementasikan Konvensi ini karena yang diimplementasikan adalah Konvensi tentang Hak Anak (sebagai norma Hukum Internasional yang telah berlaku bagi Indonesia) bukan Keppres No. 36 Tahun 1990 sebagai suatu produk legislasi.

Sekalipun Hukum Tata Negara Indonesia belum memberi ketegasan tentang arti dan konsekuesi hukum dari suatu pengesahan/ratifikasi, setelah melalui pembahasan dan kajian yang intensif dengan berbagai kelompok akademis tentang pengertian pengesahan/ratifikasi ini maka kecenderungan kuat sebaiknya diarahkan pada konstruksi pemahaman tentang pengesahan/ratifikasi sbb:

Pandangan ini juga akan cenderung mengusulkan bahwa seyogyanya pada preamble Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

a. Pengesahan pada hakekatnya adalah the

international act so named whereby a State establishes on the international

“…sudah waktunya untuk mewacanakan suatu politik hukum tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang dapat menjawab tentang arti dan fungsi pengesahan/ratifikasi khususnya terhadap status hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional.”

menyebutkan Konvensi-nya terlebih dahulu sehingga berbunyi: “...Mengingat Konvensi tentang Hak Anak 1989 yang disahkan melalui Keppres 36 Tahun 1990...” Perlukah Politik Hukum tentang Pengesahan/Ratifikasi? Pandangan-pandangan tersebut diatas tampaknya tidak selalu kaku dan terdapat ruang untuk adanya variasi yang menggabungkan elemen masing-masing pendekatan. Selain itu, tidak tertutup adanya pandangan lain yang mungkin belum terdeteksi dan masih dikembangkan dalam dunia akademisi. Apa pun pandangan yang hendak dianut oleh Indonesia hendaknya dapat ditegaskan dalam sistem hukum Indonesia baik dalam suatu doktrin maupun aturan konstitusi/legislasi guna menciptakan kepastian hukum serta prinsip “predictability” baik kalangan akademisi khususnya praktisi seperti diplomat. Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya untuk mewacanakan suatu politik hukum tentang hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional yang dapat menjawab tentang arti dan fungsi pengesahan/ratifikasi khususnya terhadap status hukum dari Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional.

plane its consent to be bound by a treaty yang diwujudkan melalui penerbitan instrument of ratification/accession oleh Menteri Luar Negeri. Pengesahan ini harus dilihat sebagai proses yang menginkorporasi materi Perjanjian Internasional ke Hukum Nasional. b. Bahwa Pengesahan dilakukan dengan Undang-Undang/Perpres harus dilihat sebagai mekanisme internal hukum ketatanegaraan untuk memberikan landasan hukum bagi Pemerintah c.q. Menteri Luar Negeri untuk mengikatkan Indonesia pada perjanjian. Dalam hal ini, Undang-Undang/Perpres dimaksud adalah instrumen yang memiliki efek prosedural bukan bukan efek normatif. c. Dengan terikatnya Indonesia pada suatu perjanjian (melalui pengesahan eksternal) maka materi perjanjian dimaksud telah mengikat baik pada tataran internasional maupun dalam sistem Hukum Nasional dan tidak dibutuhkan legislasi nasional untuk membuatnya mengikat dalam Hukum Nasional. Dalam hal ini yang dibutuhkan hanya legislasi nasional yang mengimplementasikan (bukan yang mentransformasikan) materi perjanjian. d. Konstruksi ini sejalan dengan maksud perumus Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional pada waktu itu bahwa jika Perjanjian sudah disahkan dengan perundangundangan maka diasumsikan sudah mengikat dalam sistem Hukum Nasional. Hal ini tercermin dari penjelasan Pasal 13

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000: “Penempatan peraturan perundangundangan pengesahan suatu Perjanjian Internasional di dalam Lembaran Negara

dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui Perjanjian yang dibuat Pemerintah dan mengikat seluruh Warga Negara Indonesia”.

Damos dumoli agusman, Lahir di aceh barat, 4 agustus 1963. beliau adalah direktur perjanjian ekososbud, direktorat jenderal hukum dan perjanjian internasional, deplu ri. Lulus dari fh unpad, bandung pada tahun 1987 lalu mendapatkan master of arts dari hull university, inggris pada tahun 1991. beliau sering memberikan kuliah umum di berbagai universitas di indonesia dan juga beberapa kali menjadi narasumber pada kegiatan diklat yang diselenggarakan oleh lemhanas.

PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL. AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL (TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA) Pengertian-pengertian Dalam tulisan ini yang diartikan dengan : “Perjanjian Internasional” adalah perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD.7 “Pengesahan” adalah pengesahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Bentuk Hukum “Pengesahan Perjanjian Internasional”

Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk hukum (Undang-Undang atau bentuk lain). Yang disebut adalah “persetujuan Dewan Focus Group bukan Discussion tentang Status Perjanjian Perwakilan Rakyat”, produk hukumnya. Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia Berbeda dengan UUDS ’50 menyebutkan: (kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Unpad, Bandung, 29 November 2008). “Kecuali jika ditentukan lain dengan UndangUndang, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan Undang-Undang”. Ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.8 8

7 UUD 1945, Pasal 11: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat…membuat…perjanjian dengan Negara lain.

Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: “kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk UndangUndang”.

Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, dalam praktek ketatanegaraan sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 (Perjanjian Internasional), setiap perjanjian yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Mengapa? Pertama: berkaitan dengan makna “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu fungsi legislatif (legislative function), fungsi pengesahan anggaran (budget function), dan fungsi pengawasan atau kendali (control function). Perjanjian Internasional adalah kesepakatan antara dua Negara atau lebih untuk melahirkan hukum atau persetujuan mengikatkan diri pada suatu hukum yang berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).9 Kalau pengertian Perjanjian Internasional tersebut dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk fungsi membuat Undang-Undang, karena menciptakan hukum atau menyetujui suatu hukum yang berlaku lintas Negara. Telah menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak ada bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat atau berlaku umum yang dapat dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. UndangUndang adalah produk fungsi legislatif DPR, karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR akan diberi bentuk Undang-Undang. Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan.

memerlukan persetujuan DPR, maupun yang tidak memerlukan persetujuan DPR (executive agreement). Surat Ketua DPR, karena UUD 1945 tidak memuat ketentuan seperti diatur UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1). Dalam Ilmu Hukum Tata Negara, surat semacam ini – demikian pula memorandum tertulis – dikategorikan sebagai menciptakan Konvensi Ketatanegaraan – walaupun tertulis – bukan hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena bersifat etik belaka (constitutional ethic).10 Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat semacam ini digolongkan sebagai peraturan kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid). Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua. Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua tetap dapat diterapkan, karena tidak bertentangan dengan UUD 1945, bahkan tersirat dalam Pasal 11 yang menyebut “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sekaligus mengandung makna “bentuk UndangUndang”. Sejak tahun 2000, argumen-argumen di atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2), dan Pasal 10.11 Kedudukan dan kekuatan mengikat Undang-Undang Perjanjian Internasional Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata Hukum Indonesia, mengajukan berbagai sumber hukum formal – antara lain – peraturan perundang-undangan dan Perjanjian Internasional (traktat, treaty). Dua sumber tersebut terpisah masing-masing berdiri sendiri.

Telah menjadi praktek ketatanegaraan (konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk Undang-Undang. Di masa sebelum UndangUndang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman 10 atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions…. 11 Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas surat Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan Ketua DPR meminta ketegasan Pemerintah Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No. 24 mengenai bentuk Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan “Jadi ada semacam kontradiksi dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan: hukum Perjanjian keilmuan. Disatu pihak, a. masalahPerjanjian politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara. Internasional, baik yang Internasional ditempatkan b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik sebagai

Indonesia. hukumc. yang berdiri Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasalsumber 1 angka 1: “Perjanjian Kedaulatan atau hak berdaulat Negara. Internasional adalah perjanjian, dalam bentuksendiri, dan nama tertentu, yang d.lain HakPerjanjian asasi manusia dan lingkungan hidup. dipihak diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta e. Pembentukan kaidah hukum baru. diberi bentuk menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukumInternasional publik”. f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri. 9

peraturan perundang-undangan.” (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden)”.

Tetapi dipihak lain, setiap Perjanjian Internasional yang dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum Nasional yaitu Undang-Undang atau Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat Peraturan Presiden).12 Undang-Undang dan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur (Peraturan Presiden), adalah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), bukan sumber hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk sebagai salah satu sumber peraturan perundangundangan. Jadi ada semacam kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain Perjanjian Internasional diberi bentuk peraturan perundang-undangan (Undang-Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan Presiden). Sistematik keilmuan ini berbeda dengan misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak memberi bentuk peraturan perundang-undangan nasional (seperti Undang-Undang). Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan peraturanperaturan yang ditetapkan Uni Eropa, berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan perundang-undangan nasional. Bahkan UUD harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian antar anggota, berada pada urutan teratas sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian Internasional (traktat, treaty), memang mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah dari peraturan perundang-undangan nasional, seperti Undang-Undang.

Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, hubungan luar negeri termasuk membuat atau memasuki Perjanjian Internasional masuk ke dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power) eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR merupakan suatu penyimpangan atas Asas Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa dengan hak budget. Meskipun DPR mempunyai hak budget, tetapi tidak mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU APBN. Membuat dan melaksanakan APBN adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara. Hal semacam ini dapat diperluas pada yang dalam ilmu hukum disebut “Undang-Undang formil” (formeel wet)13 lain, seperti Undang-Undang pembentukan daerah otonom, pembentukan pengadilan tinggi, semestinya inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota, Propinsi atas inisiatif DPR.

Kedua, DPR tidak mempunyai Hak Amandemen dalam pengesahan Perjanjian Internasional. DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui, menerima atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional. Rancangan Undang-Undang suatu Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang sudah diparaf oleh masingmasing Pemerintah. Dalam hal memasuki Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju atau Kembali kepada memberi bentuk Undangtidak setuju mengikatkan diri pada Perjanjian Undang Perjanjian Internasional. Sebagai Internasional yang sudah ada. Jadi, kalau DPR, konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, baik di dalam atau di luar sidang berpendapat maka segala tata cara membentuk Undangagar ada perubahan isi suatu Perjanjian Undang berlaku pada peraturan perundangInternasional, sebagai syarat pengesahan, undangan Perjanjian merupakan sesuatu “DPR tidak mempunyai hak Internasional, kecuali: ucapan atau tindakan amandemen dalam pengesahan tanpa wewenang. Perjanjian Internasional. DPR Pertama, hak inisiatif hanya berwenang menyetujui atau membuat atau tidak menyetujui, menerima atau Setiap Undangmemasuki suatu Undang akan serta menolak mengesahkan suatu Perjanjian Internasional merta mengikat setelah Perjanjian Internasional.” semata-mata ada pada segala tata cara Presiden. DPR tidak 13 Undang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undangmempunyai hak Undang dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil inisiatif membuat atau memasuki suatu adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang Perjanjian Internasional. Mengapa? 12

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat (secara) umum.

melahirkan Undang - Undang dipenuhi, kecuali : (1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan saat (waktu) mulai berlaku. (2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan akan berlaku setelah ada peraturan pelaksana (implementing regulation). Suatu contoh, Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini menegaskan akan berlaku setelah lima tahun dan ada peraturan pelaksana (Peraturan Pemerintah).

serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang tersebut menentukan lain. Salah satu tata cara yang perlu dicatat adalah “memuat dalam Lembaran Negara”. UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak memuat fungsi hukum “memuat dalam Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50 yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula dalam AB dan IS.14

Bagaimana praktek ketatanegaraan yang Kasus yang sama berlaku juga pada berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam Undang-Undang Perjanjian Internasional. Lembaran Negara dimuat dalam UndangUndang-Undang Perjanjian Internasional akan Undang yang bersangkutan dengan serta merta berlaku sebagaimana Undangmenyebutkan: “Agar setiap orang dapat Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada mengetahuinya, memerintahkan pengundangan ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat Republik Indonesia”. ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta merta berlaku. Secara kebahasaan, ketentuan di atas (1) Syarat jumlah Negara penandatangan. seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar Misalnya setelah ditandatangani lebih dari setiap orang mengetahui). Apakah sekedar separoh anggota PBB. pengumuman? (2) Mencantumkan syarat peraturan pelaksanaan (implementing regulation) baik Ketentuan “agar setiap orang mengetahui...” untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. merupakan pengejawantahan fiksi hukum: Misalnya, terhadap ketentuan yang “setiap orang dianggap mengetahui Undangmenimbulkan kewajiban pada warga negara Undang”. Setiap Undang-Undang atau (kewajiban individual). peraturan yang telah dimuat dalam Lembaran (3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, Negara, tidak ada lagi alasan mengatakan tidak seperti penyesuaian UUD yang memuat mengetahui, karena itu tidak terikat. Dengan ketentuan berbeda dengan Perjanjian perkataan lain, memuat dalam Lembaran Internasional yang bersangkutan. Negara yang secara kebahasaan seolah-olah (4) Praktek ketatanegaraan yang senantiasa sekedar untuk diketahui (mengetahui), secara memerlukan peraturan pelaksana sebagai substantif mengandung arti dengan dimuat syarat Perjanjian Internasional berlaku dalam Lembaran Negara berarti setiap orang efektif. Praktek ini seyogyanya tidak terikat. Karena itu Undang-Undang tentang berlaku bagi Negara yang memberi bentuk suatu Perjanjian Internasional dimuat dalam Undang-Undang Lembaran Negara, “Harus diakui ada kemungkinan suatu pada Perjanjian Undang-Undang Perjanjian Internasional, maka dengan seperti juga Undang-Undang lain, Internasional. sendirinya mempunyai mengatur sesuatu sangat umum, lebihkekuatan mengikat, lebih kalau akan berlaku pada individu, Di atas telah sehingga memerlukan peraturan dikemukakan, pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan sepanjang Undang14 dibuat karena kebutuhan penerapan, UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”, Undang Perjanjian bukan sebagai syarat Konstitusi RIS, Pasal 143 ayat berlaku efektif. ” (2) menggunakan kata “pengumuman” dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan Internasional telah bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi RIS dibuat dengan tata cara Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang secara baku diartikan ”pengundangan”. yang diatur UndangAB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door den Undang (UndangGouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het beleid der regering”. Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.

kecuali kalau ada diuraikan di atas.

klausula

yang

sudah

Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk hukum dan prinsip-prinsip pembentukan Undang-Undang, sudah semestinya UndangUndang Perjanjian Internasional mengikat, tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 sebagai Undang-Undang yang mengatur tata cara membuat atau memasuki Perjanjian Internasional, tidak mencantumkan ketentuan mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan yang selalu menyediakan peraturan pelaksanaan agar Perjanjian Internasional berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat, bahkan lebih kuat?

Perjanjian Internasional yang berbentuk Undang-Undang, maka berlaku asas dan ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang. Karena sudah ada Undang-Undang (UndangUndang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur Perjanjian Internasional dalam bentuk UndangUndang, maka segala sesuatu harus diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang termasuk tata cara berlaku suatu Undang-Undang. Harus diakui ada kemungkinan suatu Undang-Undang Perjanjian Internasional, seperti juga Undang-Undang lain, mengatur sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan berlaku pada individu, sehingga memerlukan peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan sebagai syarat berlaku efektif. Penutup

Acap kali ada kekeliruan (misleading) mengartikan hubungan antara hukum atau peraturan perundang-undangan yang umum dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus harus atau pasti mengesampingkan yang umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang bersifat umum tetap berlaku pada peraturan khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi Pasal 1 KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang tidak mengatur berbagai akibat hukum PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL. Bagir Manan adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Pada tahun 2001, beliau diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kariernya di bidang hukum tergolong panjang. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. Sebelumnya, ia menjabat Direktur Perundang-undangan Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995), serta dosen luar biasa di UI, UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia alumnus FH Unpad (1967), Master of Comparative Law Southern Methodist di University Law School Dallas Texas AS (1981), dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan Unpad tahun 1990.

Ditinjau dari teori dan tata cara pembentukkan Undang-Undang, suatu UndangUndang yang materi muatannya berasal dari Perjanjian Internasional akan serta merta mengikat seperti Undang-Undang lainnya. Agar suatu Undang-Undang yang materi muatannya bersumber dari Perjanjian Internasional tidak perlu memerlukan UndangUndang atau peraturan pelaksanaan (implementing regulation), kecuali UndangUndang tersebut menentukan sendiri peraturan pelaksanaan.

DR. HARJONO, SH., M.CL.

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945

Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi

Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, 18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.

dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu Negara oleh karenanya pembuatan Perjanjian Internasional yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaraan Negara sudah seharusnya didasarkan ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai pondasi dalam penyusunan sistem Hukum Tata Negara, oleh karena itu pembuatan Perjanjian Internasional juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik diantara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara Pemerintahan Negara mengenai dasar konstitusional yang mengatur pembuatan Perjanjian Internasional. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang Perjanjian Internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk menemukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan Perjanjian Internasional menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteristik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat:

“there are wholes; they have elements and those elements have relations which form structure”. Lebih lanjut dinyatakan: “Sourcebased system has legal rules or norms for elements. These are related by relations of authority or validity to higher rules. These relations are clasically formed into a pyramidal and hierarchal structure with one ultimate rule, ‘basic norm’ or ‘legal science fiat’ at the top. The wholeness factor is provided by the structure itself and by its function of providing the authoritative basis for all law in community”. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagaimana di atas uraian di bawah ini akan ditinjau dari Perjanjian Internasional dalam UUD 1945. Dasar Hukum Dasar Hukum Perjanjian Internasional dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan: (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. (2) Presiden dalam membuat Perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang Perjanjian Internasional diatur dengan UndangUndang. Pasal 11 UUD tersebut satu-satunya Pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan didalamnya adanya kata “Perjanjian Internasional”, oleh karena itu perlu dikaji lebih dahulu dalam konteks apa UUD 1945 tersebut mengatur hal Perjanjian Internasional.

“Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya.”

Pasal 11 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam substansi pasal-pasalnya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD ini mengalami perubahan yang sangat banyak apabila dibandingkan dengan Bab III UUD sebelum perubahan. Disamping perubahan isi pasal-pasal perubahan UUD juga menambahkan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu : Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C. Pasal 11 sebelum perubahan merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain”, dan setelah perubahan UUD ketentuan yang terdapat dalam Pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk UndangUndang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi: “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20 ayat (1) UUD setelah perubahan berbunyi: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pembuatan Undang-Undang dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga menyebabkan perubahan pada apa yang dimaksud sebagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD. Sebelum perubahan UUD, Kekuasaan

Pemerintahan Negara yang berada di tangan Presiden meliputi: (1) kekuasaan eksekutif (vide Pasal 4 ayat (1) UUD); (2) kekuasaan membentuk Undang-Undang (vide Pasal 5 ayat (1) UUD sebelum perubahan); (3) kekuasaan sebagai kepala Negara. Setelah perubahan UUD, Kekuasaaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi kekuasaan saja yaitu: (1) kekuasaan eksekutif; (2) kekuasaan sebagai kepala Negara. Bab III UUD mengandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 dimana didalamnya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalankan dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala Negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang mewakili Negara dalam melakukan hubungan dengan Negara lain dan bukan lembaga Negara lainnya. Bentuk Hukum Sebuah Perjanjian Internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar Negara yang membuatnya. Dengan demikian dalam sebuah Perjanjian Internasional tercerminkan kehendak dua pihak. Setiap Negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili Negara tersebut dan dari wakil itu pula lah pihak Negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden lah yang akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak Negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden Indonesia tidak lain adalah pernyataan keinginan Negara Indonesia yang artinya Negara lain tersebut tidak harus perlu berhubungan dengan lembaga Negara yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak Negara Indonesia dalam membuat kesepakatan

“Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh Undang-Undang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan Undang-Undang.”

dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan Negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundangundangan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalannya adalah apakah dengan adanya syarat tersebut menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar tersebut harus berbentuk Undang-Undang. Pasal 11 ini tidak mensyaratkan bahwa bentuk hukum tersebut haruslah Undang-Undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan Undang-Undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa bentuk hukum pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain harus dalam bentuk hukum Undang-Undang. Apabila pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain diwadahi bentuk hukum Undang-Undang maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan Undang-Undang dan hal yang demikian akan menimbulkan persoalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain mempunyai karakteristik yang berbeda. Sebagai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu konflik dengan Negara lain yang tidak dapat diselesaikan dengan damai dan kemudian terpaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR

sedang reses. Kalau proses pembuatan Undang-Undang harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menyebabkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu Rancangan Undang-Undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain yang memerlukan kesepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kesepakatan, dalam hal ini antara Negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu perlu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang diperlukan diantara keduanya adalah pernyataan masingmasing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepakati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan Undang-Undang menimbulkan persoalan. Undang-Undang adalah bagian dari Hukum Nasional sedangkan perjanjian dengan Negara lain merupakan kesepakatan antar Negara yang berada di luar ranah urusan internal Negara. Kalau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UndangUndang, apakah ini tidak berarti bahwa kehendak Negara lain tersebut disubordinasikan kepada mekanisme internal Negara lain karena digantungkan kepada pengesahan Undang-Undang. Bagi pihak lain yang diperlukan adalah pernyataan persetujuan untuk terikat dan bukan pengesahan UndangUndang. Praktik pengesahan Perjanjian Internasional menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahannya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindikasikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena

”Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional.”

perjanjian dengan Negara lain dilakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari Perjanjian Internasional. Dalam sebuah Perjanjian Internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diperlukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran Perjanjian Internasional yang disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional yang telah disepakati, maka diperlukan naskah otentik yang menjadi dasar adanya perbedaan penafsiran. Apabila Perjanjian Internasional dituangkan dalam bentuk hukum UndangUndang dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan dengan yang disahkan dalam Undang-Undang apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran Undang-Undang tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan menimbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemerintah Negara lain harus mengakui bahwa lampiran yang terdapat dalam Undang-Undang Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah Perjanjian Internasional yang dilampirkan dalam UndangUndang ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal Undang-Undang telah diundangkan sebagaimana mestinya. Karena Perjanjian Internasional diberi bentuk hukum Undang-Undang tentunya segala tata cara konstitusi yang berkaitan dengan Undang-Undang juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan Perjanjian Internasional. Dalam ketentuan UUD Pasal 20 ayat (5) dinyatakan: “Dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkah oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-

Undang dan wajib diundangkan”. Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah mengajukan naskah Perjanjian Internasional kepada DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanisme pembuatan Undang-Undang, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan perjanjian tersebut menjadi Undang-Undang terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian menyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam Perjanjian Internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak Negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD akan menimbulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam Undang-Undang juga menjadikan tidak fleksibel dalam kasus perlunya dilakukan pemutusan perjanjian dengan Negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel. Adanya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional dapat dilakukan di luar mekanisme pembuatan Undang-Undang. Dalam banyak Undang-Undang telah dikembangkan mekanisme persetujuan DPR terhadap usulan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UndangUndang, sebagai misal pengangkatan jabatanjabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Praktik yang terjadi di Negara lain tidak selalu memberi bentuk Perjanjian Internasional sebagai Undang-Undang atau statute/law, Amerika Serikat menentukan dalam Konstitusi bahwa Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demikian tidak dalam bentuk Undang-Undang, karena Undang-Undang dibuat oleh Congress namun demikian Perjanjian Internasional tetap mengikat Negara tersebut. Persetujuan DPR dalam pembuatan Perjanjian Internasional Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubungan antara Hukum Internasional dan

“… dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya, baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal.”

Hukum Nasional, namun mengatur kewenangan konstitusional Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat Perjanjian Internasional, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitannya dengan aspek Hukum Internasional ketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan Negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitusional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Sedangkan dari aspek internasional sesuai dengan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah Negara akan mengikat seluruh elemen yang diwakilinya baik lembaga Negara maupun warganya, ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus dipenuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan Negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menentukan syarat tersebut. Disamping membuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat ”Perjanjian Internasional lainnya” yang: (1)

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara, (2) mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan kontrak bisnis internasional yang dilakukan Negara sebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban Negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah Perjanjian Internasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk menetapkan apa yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional lainnya. Pengertian “yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalam pengertian Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan Subyek Hukum Internasional lain selain Negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik Hukum Internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untuk membuat perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa perjanjian dengan Organisasi Internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetujuan DPR dengan alasan karena pihaknya bukan Negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertimbangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu Perjanjian Internasional tersebut, tetapi karena perjanjian yang demikian menyangkut beban

yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena perselisihan yang terjadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional. Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada Negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan Negara atau Bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional merupakan kesepakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hukum dari kewajiban untuk terikat adalah kehendak masing-masing pihak. Disisi lain masing-masing Negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ Negara mana yang diberi kewenangan untuk mewakili Negara tersebut dalam berhubungan dengan Negara lain. Perjanjian Internasional yang lahir atas dasar kesepakatan ini menempatkan para pihak dalam posisi setara dan oleh karenanya “Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri.”

perjanjian internasional mempunyai dasar “good faith” antar para pihak. Baik pihak

pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diperjanjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak, atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudian disepakati bersama. Apabila suatu Perjanjian Internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetujuannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian Internasional sebagaimana perjanjian pada umumnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust” antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda” menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal Negara yang menjadi pihak dalam Perjanjian Internasional, ada kewajiban untuk menghargai dan memberi akibat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ Negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili Negara dalam berhubungan dengan pihak luar atau Negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lembaga Negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hukum pada Perjanjian Internasional yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan. Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pihak lain yang tidak secara itikad baik melaksanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan putus atau berakhirnya Perjanjian Internasional tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum Perjanjian Internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas reciprocity yaitu bahwa pelaksanaan Perjanjian Internasional tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan Perjanjian Internasional yang bersangkutan di Negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara reciprocity ini dapat dipastikan dengan meminta konfirmasi kepada Negara yang bersangkutan melalui jalur diplomatik. Hal demikian perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai Perjanjian Internasional hanya membebani kewajiban secara sepihak saja.

Pemberlakukan Perjanjian Internasional ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketatanegaraan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili Negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima sebagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah konstitusi. Pemberian tempat Perjanjian Internasional dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi. Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai the Law of Treaty, dasar mengikat Perjanjian Internasional terdapat dalam konstitusi yang tidak mensyaratkan Perjanjian Internasional diwadahi dalam bentuk Undang-Undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan Perjanjian Internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi Negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap the Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembuatan Perjanjian Internasional dengan Negara lain dan menerima ketentuan the Law Treaty sebagai acuannya, maka the Law Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat menjadi salah satu sumber Hukum Internasional. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sumber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada. Sementara itu Hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bahwa tidak terdapat hukum yang mengatur, oleh karena itu Hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang

“Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan.”

salah satu diantaranya dengan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Kebiasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat Internasional. Perjanjian Internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasi oleh Negara-Negara di dunia, maka secara substantif dapat dianggap sebagai mempunyai nilai keadilan yang diterima oleh banyak Negara, oleh karenanya Hakim nasional dapat mengambil substansi yang terdapat dalam Perjanjian Internasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu Perjanjian Internasional tetapi atas pertimbangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah banyak Negara menerimanya dengan cara melakukan ratifikasi. Dengan demikian banyaknya Negara yang melakukan ratifikasi menjadi bukti bahwa substansi yang diratifikasi telah diterima sebagai sesuatu yang layak dan adil, dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh Hukum Nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Disamping sumber hukum materiil, Hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah Undang-Undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Hakim bahkan wajib untuk mendasarkan putusannya pada Undang-Undang. Kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum bagi Hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil Perjanjian Internasional yaitu Undang-Undang. Kekuatan mengikat tersebut disebabkan Perjanjian Internasional secara substantif telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi

kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, Perjanjian Internasional atau Traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari Undang-Undang. Praktik di Indonesia sementara ini yang mewadahi ratifikasi Perjanjian Internasional dalam bentuk UndangUndang mengesankan seolah-olah kekuatan mengikat Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum didasarkan atas bentuk formil Undang-Undang pada hal bukan. Status Perjanjian Internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusilah yang menjadikan Perjanjian Internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan secara jelas perbedaan tersebut. Law atau Statute yang dibuat oleh Congress merupakan sumber hukum bagi Hakim, sedangkan Perjanjian Internasional tidak dituangkan dalam bentuk Law atau Statute yang dibuat oleh Congress, tetapi Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat, namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa Perjanjian Internasional sebagai the law of the land. Meskipun Perjanjian Internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, namun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang terdapat dalam Perjanjian International. Sangatlah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari Perjanjian Internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau Article 111 dari Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbritral Award 1958 yang berbunyi: “Each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article”. Apabila Konvensi ini diratifikasi oleh Indonesia dan oleh karenanya mempunyai kekuatan mengikat maka seharusnya Hakim menerapkan langsung isi Pasal ini “Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala jika ada Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional.”

permintaan pelaksanaan putusan arbitrase asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article” sebagaimana

disyaratkan Article 111 tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda dengan pelaksanaan dari Article yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan “Subject to its constitution and the fundamental principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income.” Pasal ini tidak dapat diterapkan oleh Hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkah legislatif lebih dahulu guna menetapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat publik yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji

Dr. Harjono, sh., m.cl. • S1, Sarjana Hukum (S.H.) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 1977; • S2, Master of Comparative Law (M.C.L.) School of Law, Southern Methodist University, Dallas-USA, 1981; • S3, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 1994.

resminya. Pengetahuan Hakim tentang Perjanjian Internasional diperlukan manakala Hakim dihadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan Perjanjian Internasional. Kesimpulan Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan Hukum Perjanjian Internasional dapat disimpulkan hal-ha1 sebagai berikut: Sebagai sebuah pernyataan kehendak yang ditujukan ke luar, Perjanjian Internasional seharusnya berwadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil Negara dalam berhubungan dengan Negara lain. a. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti bahwa bentuk hukum ratifikasi Perjanjian Internasional adalah Undang-Undang, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetujuan bersama dalam pembuatan Undang-Undang.

b. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk Perjanjian Internasional lain, karena UUD menganggap penting keterlibatan DPR untuk memutuskan hal-ha1 yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan Undang-Undang, bukan didasarkan atas pembedaan antara Perjanjian Internasional publik dan privat. c. Perjanjian Internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi sumber hukum dalam Hukum Nasional karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam

bentuk Undang-Undang, sehingga Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum di luar sumber hukum UndangUndang. d. Karena telah dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi maka substansi yang terdapat Perjanjian Internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sumber hukum bagi putusan pengadilan. e. Pengesahan Perjanjian Internasional dalam bentuk atau wadah Undang-Undang menimbulkan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.

PROF. DR. IBRAHIM R. SH., MH.

STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI DALAM HUKUM NASIONAL (Permasalahan teoritik dan praktek)

Latar Belakang dan Permasalahan

Jika dilihat dari Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh Focus Group Discussion (FGD), kajian yang harus dilakukan pada tataran teori dan praktek, maka level makalah ini, seperti derajat sebuah disertasi, suatu beban dan tanggungjawab yang tidak ringan, tapi menarik, dan mudah-mudah bisa dicapai, sehingga hasil dari FGD dapat dijadikan pijakan operasional dalam memperjuangkan harkat dan martabat Bangsa di era globalisasi saat ini. Namun, sejarah menunjukkan bahwa segala hal yang dilakukan Bangsa Indonesia sangat tergantung pada selera para penguasa (orde lama, orde baru, orde reformasi), karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak di desain berdasarkan kerangka ketatanegaraan yang terstruktur. Praktek penerapan hukum, diawali dengan identifikasi aturan hukum dan

saat yang sama akan kemungkinan, yaitu:

dijumpai

empat

1. Kesenjangan antara das sollen dan das sein (benturan antara teori dan praktenya); 2. Leemten in het recht (kekosongan hukum); 3. Vege normen (norma kabur); dan 4. Antinomi (konflik norma). Persoalan dasar yang dihadapi Negara lndonesia dari dulu sampai sekarang adalah pada fundamen (grand unified theory). Persoalan dan pertanyaan yang dimunculkan oleh TOR untuk dapat diberikan jawaban, teoritik maupun praktek, sebagai berikut: − Sistem Hukum Nasional belum tegas mengatur mengenai hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional? − Bagaimanakah mengimplementasikan Hukum Internasional ke dalam Hukum Nasional? Lokakarya Evaluasi Undang-Undang No. 24 − Belu Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, m 18 – 19 Oktober 2008, Surabaya.

− −

− − −

berkembangnya doktrin dan praktek tentang Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional? Bagaimana suatu Perjanjian Internasional dapat diterapkan pada suatu persoalan yang dihadapi? Apakah hukum nasional lebih tinggi derajatnya dari pada Hukum Internasional atau sebaliknya lndonesia menganut aliran monisme atau dualisme atau campuran dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional? Posisi Hukum Internasional dalam Hukum Tata Negara Indonesia? Pengaturan Hukum Tata Negara Indonesia tentang status Hukum Internasional? Pengaturan UUD NRI 1945 tentang status Hukum Internasional? Landasan Teoritik

Teori dan praktek merupakan dua hal yang berpasangan, kalaupun tidak jarang keduanya bertentangan, tetapi teori tanpa praktek tidaklah lengkap dan praktek tanpa teori tidak akan pernah mapan. Untuk mengkaji pengaturan, posisi, dan kedudukan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional dapat ditinjau dari berbagai segi sebagai implementasi dari:

a. konsep Negara hukum yang dipengaruh aliran hukum yang melekat padanya; b. sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan Negara yang dianut dan menentukan kedudukan dan hubungan kerja antara lembaga Negara; c. Negara yang berdaulat sebagai Subyek Hukum Internasional yang melahirkan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional (Negara sebagai Subyek Hukum Internasional diwakili oleh eksekutif); d. apakah “Negara hukum menurut Soepomo hirarki (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas.”

perundang-undangan nasional seirama dengan hirarki Hukum Internasional. e. dalam praktek hubungan hukum nasional dengan hukum internasional dikenal dua aliran, yaitu monisme dan dualisme. Teori kewenangan Negara Berdasarkan atas Hukum Negara hukum menurut Soepomo (salah satu the founding fathers Indonesia) memberi arti rechtstaat sebagai Negara berdasarkan atas hukum, sebenarnya yang diinginkan oleh Soepomo adalah mensintesakan unsur rechtstaat dengan rule of law, tetapi belum sempat diselesaikan dan bagaimana bentuk refleksinya belum jelas. Empat unsur rechtstaat dari Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, yaitu jaminan perlindungan HAM, pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika, tindakan Pemerintah berdasarkan atas Undang-Undang, dan Peradilan Administrasi Negara. Ke-empat unsur tersebut belum lengkap untuk dikonstruksikan dalam konsep Negara hukum Indonesia, oleh sebab itu, masih diperlukan dua unsur dari rule of law A.V. Dicey. Unsur yang belum tercermin dari rechtstaat yaitu supremacy of law dan equality before the law. Untuk mensintesakan keduanya dengan jiwa bangsa yang disebut dengan Pancasila, namun harus disadari bahwa karakter rechtstaat ber-umbrella dan refleksi dari civil law system dan rule of law ber-umbrella dan refleksi dari common law system. Kemudian

the founding fathers, memilih sistem pemerintahan Presidensial yang merupakan refleksi dari rule of law, pembagian kekuasaan memilih percampuran yang merupakan model dari pembagian kekuasaan pada sistem pemerintahan Parlementer dalam bayangbayang logika trias politika. Namun, percampuran kekuasaan yang dipilih tidak menggunakan bayang-bayang logika trias politika, tetapi melahirkan Lembaga-lembaga Negara, yaitu Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara dan boleh dikatakan tanpa bentuk. Kini, setelah amandemen UUD 1945 makin tidak menentu, yaitu melahirkan main state’s organ (lembaga negara utama), auxiliary state organ (lembaga negara bantu), dan komisi Negara. Lembaga legislasi nasional berdasarkan UUD NRI 1945 adalah DPR dan Presiden, karena Presiden sebagai bagian dari lembaga legislasi, maka setiap melakukan dan melaksanakan Hukum Internasional harus dengan persetujuan DPR, perhatikan macam dan jenis Hukum Internasional. Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan Pemegang Hak Paten sistem pemerintahan yang menjadi pilihan saat ini adalah Inggris dengan sistem pemerintahan Parlementer sebagai mother of parliament, Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan Presidensial sebagai mother of presidentialism, dan Perancis dengan sistem pemerintahan Semi-Presidensial sebagai mother of semi-presidentialism. Negara-negara lain sebagai pemegang lisensi dengan varian-varian yang disesuaikan perkembangan sejarah ketatanegaraanya, pilihan terbanyak adalah sistem pemerintahan parlementer. Sistem Pemerintahan Parlementer Sistem pemerintahan Inggris di mana kepala Negara adalah Raja/Ratu, Eksekutif adalah Perdana Menteri yang berasal dari anggota Badan Perwakilan yang menang dalam Pemilu (Ketua Partai), maka yang disebut Parlemen di Inggris adalah Raja/Ratu, Perdana Menteri, dan Badan Perwakilan (House of Lords dan House of Commons). Parlemen terdiri dari: raja, wakil bangsawan, dan wakil rakyat. Kerajaan lnggris melaksanakan konsep kekuasaan yang sifatnya monistik, artinya raja, wakil golongan bangsawan, dan wakil rakyat berada dalam satu wadah yang disebut Parlemen. Parlemen merupakan hak untuk membuat atau tidak membuat suatu aturan hukum apapun, tidak

seorangpun atau suatu badan yang diakui oleh hukum mempunyai hak mengubah atau meniadakan hukum yang dibuat oleh Parlemen (dikenal dengan Supremasi Parlemen). Inggris menjalankan pemerintahan yang demokratis dan sangat menghormati kebiasaan. Sistem Parlemen ditandai oleh hubungan kerja sama yang erat antara Raja, wakil, bangsawan, dan wakil rakyat dalam Parlemen. Sifat monistik diperlihatkan dengan meletakkan kedudukan Raja dalam Parlemen sebagai ciri khas sistem pemerintahan parlementer Inggris, dibandingkan dengan pemerintahan parlementer Negara lain. Secara individual dan kolektif menteri bertanggungjawab terhadap Parlemen, sistem pertanggungjawaban kabinet yang merupakan konsekuensi dari pelaksanaan demokrasi di Inggris. Pemerintah terdiri dari tiga unsur: 1. Perdana Menteri, bukan sebagai anggota kabinet, tetapi sebagai pemimpin cabinet; 2. Kabinet, yang beranggotakan manterimenteri yang di-angkat oleh monarch atas usul; 3. Perdana Menteri; 4. Ada menteri yang berfungsi sebagai pejabat administrasi dan tidak duduk dalam kabinet; Kabinet secara formal ditetapkan oleh monarch, keanggotaannya ditentukan oleh hasil pemilihan umum sebagai sifat parlemennya. House of Lords tidak banyak pengaruhnya terhadap pembentukan kabinet. Pertanggungjawaban eksekutif arahnya kepada Parlemen, tetapi evaluasi hanya dilakukan oleh House of Commons. Sistem pemerintahan parlementer Inggris, berjalan melalui proses pengurangan kekuasaan absolut raja dan diberikan kepada perwakilan bangsawan, proses ini, akhirnya melembaga menjadi Majelis. Pertumbuhan sejarah pembentukan Majelis dan sifat monistik yang melahirkan ajaran supremasi parlemen dan berpengaruh terhadap sistem pemerintahan demokrasi moderen. Unsur pokok dalam sistem pemerintahan Inggris adalah keseimbangan, kabinet dan parlemen mempunyai hak-hak yang setingkat dan mampu saling kontrol, terlihat pada mekanisme perimbangan antara tanggung jawab politik para Menteri pada satu pihak dan hak pembubaran dewan di lain pihak yang merupakan persamaan derajat antara eksekutif dengan legislatif. Untuk persamaan dalam ha1 waktu ada arbitrasi, seperti kalau kabinet minoritas atau terancam menjadi minoritas, ia tidak dibubarkan sekonyong-

konyong secara ex abrupto, melainkan dinyatakan pembubaran dewan, sehingga apa yang menjadi persoalan dalam dewan dapat diajukan kepada pemilih. Kalau dalam pemilihan memberikan suara terbanyak kepada dewan, maka para Menteri mengikuti dan tunduk kepada penetapan rakyat dan mengundurkan diri. Kalau sebaliknya, hasil pemilihan membenarkan tindakan kabinet, adalah giliran dewan untuk tunduk kepada kedaulatan rakyat. Parlemen Inggris terdiri dari: Majelis Tinggi (House of Lords) adalah wakil bangsawan dan Majelis Rendah (House of Commons) adalah wakil rakyat, dan Raja (Ratu). Artinya: RajalRatu, House of Lords, House of Commons, berada dalam satu wadah disebut Parlemen. Dalam sistem Inggris memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada House of Commons untuk membentuk Undang-Undang (Act of Parliament). Raja/Ratu yang merupakan bagian dari Parlemen hanya memiliki fungsi formal, artinya setiap UndangUndang wajib diajukan kepada Raja/Ratu untuk ditandatangani. Kedudukan parlemen yang sangat kuat, karena diisi oleh orang-orang partai pemenang pemilihan umum. Perdana Menteri berasal dari kalangan mereka dan memerintah selama kepercayaan masih diberikan kepadanya. Namun, oposisi dibiarkan tumbuh dengan subur, sehingga demokrasi dapat berkembang. Kedaulatan ada ditangan rakyat dan sistem ketatanegaaran Inggris sering disebut Parliamentary Sovereignty dan secara historis kekuasaan tersebut berkembang sejak Glorius Revolution 1688. Kewenangan utama parlemen adalah memiliki hak monopoli dalam membuat dan menyusun peraturan perundangundangan dan pendelegasian wewenang legislatif hanya boleh dilakukan oleh parlemen. Peraturan perundang-undangan dibedakan atas tiga bentuk: (1). Act of Parliament. (2). Delegated Legislation. (3). Autonomic Legislation. Peranan utama anggota Parlemen, berikut: a. Menilai secara kontinyu rekan separtai yang menduduki jabatan-jabatan menteri dan rekan-rekan mereka yang mungkin. Seorang Menteri mungkin memperoleh mosi kepercayaan secara resmi, tetapi sebenarnya kehilangan posisi diantara para rekannya di parlemen, apabila pendapatnya dilumpuhkan dalam perdebatan dan hanya mempunyai pengetahuan yang sangat sedikit tentang hal yang ditangani. b. Undang-Undang yang dilahirkan disebut Acts of Parliament, tetapi Rancangan

Undang-Undang disiapkan oleh ahli hukum di Whitehall yang berkerja atas intruksi para pegawai Pemerintah berdasarkan kebijakan Menteri. c. Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang, seorang anggota parlemen dapat mengajukan secara langsung kepada Menteri terhadap suatu keputusan. Apabila hasil jawaban tidak puas, dapat diajukan dalam sidang House of Commons. d. Parlemen dapat menyampaikan gagasan politik, karena partai mempunyai komitekomite ahli dan mengawasi kegiatan Departemen Pemerintahan. e. Eksekutif dapat menggunakan publisitas Parlemen untuk mendapatkan persetujuan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah, tetapi oposisi justru sebaliknya. Sistem Pemerintahan Presidensial Amerika Serikat membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu legislatif (Senate dan House of Representatives), eksekutif (Presiden sebagai kepala Negara dan kepala Pemerintahan), dan Yudisial (Mahkamah Agung), pembagaian kekuasaan ini berdasarkan atas prinsip pemisahan kekuasaan dari Trias Politika Montesquieu, yang kemudian dilengkapi dengan checks and balances system, yaitu ketiga kekuasaan tersebut dapat saling kontrol secara terbatas oleh kekuasaan yang sama secara terbatas. The United States of America diproklamasikan tahun 1776 dan naskah deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang disusun Thomas Jefferson (1743-1826) dan disahkan oleh Kongres Kontinental di Philadelphia pada tanggal 4 Juli 1776, yang ditandatangani oleh 56 anggota Kongres. Amerika Serikat mempunyai konstitusi setelah tiga belas tahun merdeka, yaitu tahun 1789. Setelah konstitusi disahkan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden, George Washington (1789-1797) terpilih sebagai Presiden pertama secara aklamasi, seperti juga pemilihan Presiden Indonesia pertama Soekarno (19011970), yang dipilih tanggal 18 Agustus 1945 setelah UUD 1945 di sahkan oleh PPKI. Presiden Amerika Serikat yang pertama, telah mewariskan suatu tradisi dua kali masa jabatan Presiden dengan cara menolak dipilih untuk ketiga kalinya. Jika ia mau tidak ada yang akan menghalanginya dan dapat dipastikan bahwa akan terpilih secara aklamasi, karena merupakan mantan panglima perang kemerdekaan dan salah seorang the founding fathers yang sangat disegani dan berpengaruh.

Amerika Serikat, pada saat diproklamasikan terdiri dari tiga belas Negara Bagian dan sekarang lima puluh Negara Bagian. Perang kemerdekaan yang terjadi pada musim semi tahun 1775 di Concord, Lexington, dan Bunder Hill menimbulkan pro dan kontra dikalangan tokoh dan masyarakat, apakah revolusi merupakan satu-satunya jalan untuk merdeka, yaitu: yang mendukung jalan perang adalah Samuel Adams dan John Hancock, tetapi yang memilih cara damai dengan Inggris adalah George Washington (1732-1799) dan Thomas Jefferson (1743-1826). Arsitek konstitusi Amerika Serikat boleh dikatakan dilakukan oleh ahli hukum, pemerintahan, dan politik, yaitu 33 ahli hukum dari 55 peserta konvensi, kalau diperhatikan secara seksama bahwa Amerika Serikat menganut bentuk Negara federal, bentuk pemerintahan republik, dan sistem pemerintahan presidensial. Prinsip dasar dalam konstitusi Amerika Serikat, membagi pemerintahan menjadi tiga cabang, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudisial: Juga menetapkan bagaimana jabatan kenegaraan harus dipilih, batas kekuasaan Federal dengan Negara Bagian, memberikan hukum substantif dasar terbatas yang berhubungan dengan masalah-masalah kontroversial, seperti: perbudakan, kebebasan sipil, hutang Negara, perpajakan, perdagangan, Perjanjian Internasional, dan gelar bangsawan. Sistem pemerintahan Amerika Serikat merupakan yang paling rumit di dunia dengan prinsip Government by the People, artinya kedaulatan ada di tangan rakyat dan dinyatakan melalui pemilihan umum, Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan sesuai dengan tradisi hanya untuk dua periode masa jabatan. Ketika tradisi yang diciptakan Presiden pertama George Washington (17891797) dilanggar oleh Presiden F. D. Roosevelt (1933-1945) yang terpilih untuk keempat kalinya, maka lahirlah amandemen pembatasan masa jabatan presiden dua periode tahun 1951. Tidak seorang pun harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari dua kali, tidak seorang pun yang telah memegang jabatan Presiden atau ditugaskan sebagai Presiden, untuk lebih dari dua tahun dari suatu masa jabatan untuk mana seseorang lain dipilih menjadi Presiden harus dipilih untuk jabatan Presiden lebih dari sekali. Keadilan ditegakan melalui Supreme Court yang merdeka dan bebas dari pengaruh legislatif dan eksekutif, para hakim dan Hakim Agung diangkat oleh Presiden setelah menadapatkan persetujuan Senate, Hakim

“Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus primat Hukum Nasional.”

Agung tidak diangkat seumur hidup, tetapi diangkat sepanjang Hakim tersebut melaksanakan tugas dengan baik dalam rentangan waktu seumur hidup, dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran, kejahatan, dan pemberhentiannya harus didukung dua pertiga anggota Senat. Teori Hubungan Hukum Nasional dan Hukum lnternasional Mengenai hubungan antara perangkat Hukum Nasional (HN) dengan Hukum Internasional (HI), yaitu: a. Monisme menempatkan HN dan HI sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum pada umumnya, keduanya saling berhubungan. Tokoh aliran ini adalah Hans Kelsen dan Georges Scelle, yang memunculkan dua paham: − HN lebih tinggi dari HI (primat HN); − HI lebih tinggi dari HN (primat HI). Negara penganut monisme: Perancis, Jerman, dan Belanda. b. Dualisme menempatkan HN dan HI sebagai sistem hukum yang terpisah, masing-masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya, tokoh aliran ini adalah Triepel dan Anzilotti. Negara penganut dualisme: Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Indonesia menurut Mochtar Kusumaatmadja menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional. Untuk saat ini, Indonesia dan Negara-Negara sedang berkembang seharusnya menganut dualisme, dan kalaupun memilih monisme harus primat Hukum Nasional. Hirarki Hukum lnternasional J.G. Starke membagi sumber materiil Hukum Internasional, dalam lima bentuk:

(1) Kebiasaan;

(2) (3) (4) (5)

Traktat; Keputusan pengadilan atau badan arbitrase; Karya para ahli hukum; Keputusan organisasi lembaga internasional;

Sumber Hukum Internasional berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sebagai berikut: a. International Conventions; b. International Custom; c. General Principles of Law; d. Judicial Decisions; dan e. Teachings of the Most Highfy Qualified Publicists. Sumber Hukum Internasional itu dijadikan dasar untuk membuat Perjanjian Internasional, dan bagaimana menempatkan sumber Hukum Internasional dalam kategori Perjanjian Internasional dalam kerangka dan hirarki Hukum Nasional. Kekuatan mengikat Hukum Internasional menurut Corbett adalah sebagai kehendak Negara-Negara agar hubungan timbal balik yang mereka adakan karena tidak dapat dilepas dari sifat sosial mereka diatur seraga dan serasional mungkin, melalui tahapan: Pertama, tahap atau arti pertama dari perkataan “sumber” ini merupakan yang paling abstrak dan yang paling kontroversial, diartikan sebagai ketentuan yang prosedural (tidak pada cita-cita atau ide). Kedua, tahap kedua kita mengartikan “sumber” sebagai unsur konstitutif bagi aturan Hukum Internasional atau kriteria untuk menyatakan bahwa Hukum Internasional atau bukan, ini sebagai landasan Hukum Internasional sebagai suatu sistem dari peraturan-peraturan yang membentuknya, yaitu kesepakatan NegaraNegara menurut Corbett. Ketiga, sumber dalam arti manisfestasi relevan atas dasar mana ada tidaknya unsur konstitutif dapat dibuktikan dan dalam konsepnya Brownlie sebagai sumber material. Dalam Hukum Internasional, subyek-subyek itu sendiri merupakan pembentuk hukum (legislator) tidak selalu terdapat prosedur serupa. Akibatnya, persoalan tentang apakah suatu peraturan sungguh-sungguh merupakan peraturan internasional harus dijawab atas dasar fenomena yang tidak begitu formal dan terstruktur, yang dalam ha1 ini diberi istilah “manifestasi unsur konstitutif”. Jadi, Hukum Internasional harus memenuhi dua persyaratan, yaitu derajat kepastian dan kejelasan setinggi-

tingginya, perhatian yang cukup terhadap hubungan antar hukum dan hubungan kemasyarakatan. Kesemua itu harus dilihat dalam tiga karakteristik masyarakat internasional yang mempengaruhi Hukum Internasional, yaitu: (1) Ada sejumlah Negara yang hidup berdampingan (co-exist), yaitu Negara merdeka dan berdaulat yang tidak tunduk pada kekuasan yang lebih tinggi. (2) Terjadi interaksi antara Negara-Negara yang termasuk ke dalam sistem internasional, terjadi melalui intensitas tertentu secara historis. (3) Pengakuan atau persepsi pada NegaraNegara tentang perlunya pengaturan hubungan timbal balik antara mereka. Berbicara Hukum Internasional harus memahami 18 istilah yang sering digunakan dalam Hukum Internasional, yaitu: Treaty; Convention; Agreement; Arrangement; Declaration; Charter; Covenant; Statute; Protocol; Pact; Process verbal; Modus Vivendi; Act; Final Act; General Act; Accord; Compromis; Concordat. Dalam praktek, treaty dan convention menduduki tempat paling tinggi dalam urutan Perjanjian Internasional. 1. Traktat, istilah ini yang sudah umum digunakan dalam perjanjian-perjanjian internasional, seperti: 2.1.Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and Underwater of August 5, 1963. 2.2.Treaty on Extradition between the United States of America and Japan of March 3, 1978. 2. Konvensi, digunakan untuk perjanjianperjanjian internasional yang multilateral yang mengatur masalah besar dan penting dan berlaku sebagai kaidah hukum internasional berlaku secara khas, seperti: 2.1.Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide of December 9, 1948. 2.2.Convention on the Law of the Sea of December 10, 1982. 3. Deklarasi, pernyataan atau pengumuman dan isinya kesepakatan yang bersifat umum dan pokok-pokoknya saja, menurut J.G. Starke dibedakan 4 macam: 3.1.Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati, seperti:

4.

5.

6.

7.

Deklarasi Paris 1856; Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967; Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948. 3.2.Deklarasi sebagai suatu instrumen yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian (konvensi atau traktat). 3.3.Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah tidak begitu penting. 3.4.Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konperensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua Negara, seperti: − Declaration on the Prohibition of Military, Political, or Economics Coercion in the Conclution of Treaty (Konvensi Wina 1969); − Declaration of Principles Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the Subsoil thereof, Beyond the Limit of National Jurisdiction. Statuta, biasa dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Statute of Permanent Court of lnfernafional Justice; Statute of International Court of Justice. Piagam, dipergunakan untuk Perjanjian Internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti Charter of the Unifed Nations; Charter of the Organization of African Unity; Charter of the Organization of American States 1948. Kovenan, artinya hampir sama dengan Piagam, digunakan sebagai konstitusi suatu Organisasi Internasional, seperti: Covenan of the League of Nations; International Covenan on Civil and Political Rights of December 16, 1966; International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights, December 16, 1966. Persetujuan, digunakan untuk Perjanjian Internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih tehnis administratif, seperti: − Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed Boundaries, May 18, 1971. − Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the

Republic of India Relating to the Delimination of the Continental Shelf Boundary between the Two Countries, August 8, 1974. 8. Perjanjian, arti generik untuk menyangkut segala bentuk, jenis, macam perjanjian internaional, arti spesifik digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang penting, besar baik yang menyangkut Bilateral dan Multilateral. Dalam praktek di Indonesia: Perjanjian disahkan dengan UU, sedangkan Persetujuan dengan keputusan Presiden. 9. Pakta, biasanya digunakan dalam perjanjian yang berkaitan dengan bidang mliter dan pertahanan, seperti: NATO; Pakta Warsawa. 10. Protokol, menurt J.G. Starke merupakan jenis Perjanjian Internasional yang kurang formal, jika dibandingkan dengan traktat, sebagai instrumen pembantu pada suatu konvensi, tetapi berkedudukan secara berdiri sendiri dan tunduk pada ratifikasi atas konvensi itu sendiri. Teori Kewenangan jabatan kenegaraan pada setiap sistem pemerintahan, wajib dipertautkan dengan pembagian kekuasaan Negara, untuk menentukan batas dan tanggungjawab masing-masing lembaga, sesuai dengan prinsip dan hakikat pembagian kekuasaan, berikut: (1) Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan; (2) Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab untuk setiap penerima kekuasaan; (3) Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada saat menerima kekuasaan; (4) Tiap kekuasaan dittentukan batasnya dengan teori kewenangan. Dalam teori beban tanggung jawab, ditentukan oleh cara kekuasaan itu diperoleh yaitu: pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie, setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan dengan dua cara: delegatie dan mandaat. Delegatie dilakukan oleh yang punya wewenang dan hilangnya wewenang dalam jangka waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri sendiri dan bertanggungjawab secara eksternal. Sedangkan, mandaat tidak menimbulkan pergeseran wewenang dari pemiliknya, sehingga tanggung jawab pelaksanaan tetap berada pada pemberi kuasa. Penerima

kewenangan atribusi, tergantung pada pola sistem pembagian kekuasaan yang membawa nilai kedaulatan rakyat dan menghindari absolutisme. Ketentuan Hukum lnternasional Dalam Hukum Nasional Meletakkan Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia dalam teori dan praktek tidak mudah, karena sistem ketatanegaraan Indonesia masih mengandung problema pada grand unified theory ketatanegaraan, sehingga praktek ketatanegaraan selama ini (sejak proklamasi sampai sekarang) tidak pernah dapat melengkapi dan memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin memburamkan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam mengkaji pengaturan, posisi, dan status Hukum Internasional dalam sistem hukum Indonesia, harus dilihat dalam UUD NRI 1945 dan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan dalam UUD baru diatur pada amandemen UUD 1945 (2001 dan 2002), sebelumnya tidak diatur, hanya diatur dengan Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

menguji ketentuan-ketentuan internasional yang akan menjadi bagian Hukum Nasional dan dalam praktek juga tidak jelas Indonesia menganut monisme atau dualisme dalam hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional. Praktek dari tahun 1945-1960 tidak ada ketentuan, baru tahun 1960 keluar Surat Presiden No. 2826/HK/1960 dan kemudian lahir Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Tetapi, nasib Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tidak jelas, apa sudah dicabut atau belum.

Ketentuan Peraturan PerundangUndangan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, tidak singkrun dengan Jiwa dan Semangat UUD NRI 1945 sebagai mana diamanatkan Pembukaan UUD NRI 1945, kurang pas dengan struktur pembagian kekuasaan Negara, hirarki peraturan perundang-undangan, jika diletakkan pada posisi dan hirarki Hukum Internasional. Ketentuan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 yang akan menimbulkan berbagai implikasi dan persoalan teoritik dan praktek, yang dapat dipertanyakan dan digugat dalam prakteknya, berikut: Pasal 1 ayat (2) Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu Perjanjian Internasional dalam bentuk ratifikasi Ketentuan UUD NRI 1945 (ratification), aksesi (accession), penerimaan Pasal 11, UUD (acceptance) dan “Meletakkan Hukum Internasional dalam NRI 1945 Ayat (1) sistem hukum Indonesia dalam teori dan persetujuan Presiden dengan (approval). praktek tidak mudah, karena sistem persetujuan Dewan Kesemuanya itu ketatanegaraan Indonesia masih mengandung problema pada grand Perwakilan Rakyat dalam bentuk hukum menyatakan perang, unified theory ketatanegaraan, sehingga apa bisa dilakukan praktek ketatanegaraan selama ini (sejak membuat perdamaian dalam warna hirarki proklamasi sampai sekarang) tidak dan perjanjian dengan perundang-undangan pernah dapat melengkapi dan Negara lain. Ayat (2) lndonesia dan juga memperkuat struktur ketatanegaran Indonesia, tetapi justru makin Presiden dalam dalam hirarki warna memburamkan sistem ketatanegaraan membuat Perjanjian Hukum Internasional. Indonesia.” Internasional lainnya Bagi dunia yang menimbulkan internasional soal akibat yang luas dan sumber Hukum mendasar bagi Internasional dalam kehidupan rakyat yang terkait dengan beban pelaksanaannya masih menjadi perdebatan keuangan Negara, dan/atau mengharuskan baik secara teoritik maupun praktek, bahkan perubahan atau pembentukan Undang-Undang ada yang menuduh bahwa Hukum harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Internasional itu bukan hukum. Pasal 1 ayat (3) Rakyat (Ayat (3)). Ketentuan lebih lanjut Surat Kuasa (full powers) adalah surat yang tentang Perjanjian Internasional diatur dengan dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang Undang-Undang. Ketentuan Pasal 11 UUD memberikan kuasa kepada satu atau beberapa NRI 1945 belum cukup mengatur posisi dan orang yang mewakili Pemerintah RI untuk kedudukan Hukum Internasional dalam sistem menandatangani atau menerima naskah Hukum Tata Negara Indonesia dan Pasal 11 ini perjanjian. Perjanjian menyatakan persetujuan belum bisa dijadikan payung hukum jika Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian

adalah menyelesaikan hal-ha1 yang diperlukan dalam perbuatan Perjanjian Internasional. Sesuatu yang sulit bisa diterima bahwa Presiden atau Menteri dapat memberikan Surat Kuasa kepada seorang atau beberapa orang “Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi.”

untuk mewakili Negara Indonesia untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional. Menteri sebagai pembantu Presiden dalam tugas keeksekutifan, memberikan Surat Kuasa kepada seseorang atau beberapa orang untuk menyetujui dan menandatangani Perjanjian Internasional, sama juga persoalan yang akan ditimbulkan oleh Pasal 1 ayat Pasal 2 Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkahlangkah yang diperlukan dalam perbuatan dan pengesahan Perjanjian Internasional, dengan berkonsultasi dengan DPR dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Tidak bisa membedakan mana Pemerintah (eksekutif) dengan Menteri sebagai pembantu Presiden dalam melaksanakan tugas keeksekutifan, sepertinya Menteri sebagai lembaga tinggi Negara, tetapi Menteri disini mewakili Pemerintah (eksekutif). Pasal 3 Pemerintah RI mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional melalui cara-cara, sebagai berikut: (1) penandatanganan; (2) pengesahan; (3) pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik; (4) cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam Perjanjian Internasional. Pasal 10, pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan UndangUndang, apabila berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara RI; c. kedaulatan atau hak berdaulat Negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Komentar

Dari hasil kajian terhadap reference paper dapat diambil suatu komentar dan masukan, bagaimana meletakkan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional. 1. Penempatan Perjanjian Internasional dalam kerangka Hukum Nasional selama ini trgantung dari selera penguasa, karena UUD 1945 atau UUD NRI 1945 tidak tegas memberikan asas sebagai landasan untuk praktek yang nantinya sebagai bagian penyempurnaan sistem ketatanegaraan dan praktek harus mengarah kearah itu. 2. Kerancuan pilihan dalam praktek selama ini untuk menentukan hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional, untuk Indonesia yang paling tepat menggunakan prinsip dualisme, karena dari segi struktur ketatanegaraan Indonesia belum memiliki grand unified desain. 3. Karakter sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum civil law system dan common law system, pengaruh kedua sistem ini belum mampu disintesakan yang melahirkan asas hukum yang menjadi pilihan sesuai dengan jiwa dan karakter bangsa Indonesia. 4. Keanehan yang terjadi dalam praktek, seperti suatu ketika menggunakan logika monisme, saat yang lain menggunakan dualisme, bahkan campuran antara keduanya ini disebabkan tidak ada ketegasan prinsip yang diatur dalam UUD dan Pasal 11 UUD NRI 1945 belum cukup mengatur. 5. Bagaimana ratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, apakah dalam bentuk UndangUndang atau Perpres harus dilihat dari hirarki Hukum Nasional dengan muatan materi untuk meletakkan hirarki Hukum Internasional dengan materi muatannya. Jikapun Indonesia memilih prinsip monisme harus ke primat Hukum Nasional, kesadaran politik yang belum mapan yang membuat Indonesia sering dirugikan akibat Perjanjian Internasional. 6. Ratifikasi Perjanjian Internasional harus merupakan bagian dari Hukum Nasional, asalkan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 merupakan sebuah prinsip, tetapi UUD NRI 1945 masih belum memenuhi syarat sebagai fundamental norm Negara. 7. Secara teori bisa saja menggunakan format Perppu untuk meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional, tetapi akan menjadi dilematis bagi pemerintah, jika Perpu itu ditolak di DPR. 8. Tentang ratifikasi UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985, maka terjadi perubahan rejim perairan dari internal waters menjadi archipelagic waters. UndangUndang No. 17 Tahun 1985 dapat dijadikan

untuk pemberlakuan rejim archipelagic waters. Oleh sebab itu, ratifikasi suatu Perjanjian Internasional harus sudah dipikirkan, apa-apa dan ketentuan apa saja yang dipengaruhinya dan menguntungkan Indonesia atau merugikan. 9. Dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan Perjanjian Internasional yang bertentangan dengan hukum nasional, secara teoritik tidak boleh, tetapi dalam ha1 apa pertentangan itu terjadi dan apakah bertetangan dalam arti filosofis, jika ya maka tidak bisa diratifikasi. 10. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan Undang-Undang yang dilahirkan dengan menabrak UndangUndang No. 5 Tahun 1960, karena UndangUndang No. 25 Tahun 2007 syarat dengan kepentingan investasi dan banyak UndangUndang yang dilahirkan untuk kepentingan kelompok baik kepentingan kelompok dalam negeri maupun kepentingan kelompok luar negeri, bukan untuk kepentingan Bangsa Indonesia. 11. Dari sekian banyak bentuk dan istilah yang dipergunakan dalam Perjanjian Internasional, maka ratifikasi menjadi sangat penting dilakukan dalam bentuk Undang-Undang. 12. Subyek Hukum Internasional adalah Negara, dalam ha1 ini diwakili oleh Pemerintah (eksekutif), maka lembaga yang lain tidak bisa melakukan Perjanjian Internasional secara langsung, harus melalui pintu Pemerintah (eksekutif) yang mewakili Negara sebagai subyek Hukum Internasional. 13. Setiap lembaga atau instansi yang akan melakukan Perjanjian Internasional, harus dilihat dari segi subyek hukum, apakah organisasi ASEAN merupakan Subyek Hukum Internasional, jika ya berarti boleh, tetapi karena ASEAN sebagai organisasi bukan sebagai Negara yang berdaulat, maka perjanjian yang harus dibuat hanya kapasitas untuk melaksanakan Piagam ASEAN.

PROF. DR. IBRAHiM R. SH. MH. • Lahir di Sekotong Lombok, 28 Nopember 1955. • S1 Fakultas Hukum Unud; • S2 Pascasarjana Unpad; • S3 Pascasarjana Unpad; • Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana; • Dosen Pascasarjana Unud, mengajar di Pascasarjana Unram, mengajar di Program Pascasarjana (Magister dan Doktor) Unibraw.

HJ. SUPARTI HADHYONO

PRAKTEK PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PUTUSAN HAKIM “Hakim tidak boleh menolak perkara yang diserahkan kepadanya dengan dalih tidak ada aturan hukumnya atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).”

Pengantar Tugas Hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili atau memutus perkara yang diserahkan kepadanya. Sehubungan dengan tugasnya ini, Hakim tidak boleh menolak perkara yang diserahkan kepadanya dengan dalih tidak ada aturan hukumnya atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 16 ayat (1) UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Terfokus pada tugas Hakim ini maka Hakim harus tetap mengadili/memutus suatu perkara, meskipun hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Bahwa sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah atau Negara RI menjadi sangat penting artinya mengingat tugas dari Hakim tersebut di atas. Perjanjian Internasional yang telah ditransformasi kedalam Hukum Nasional RI tentu akan mengikat para Hakim tersebut dalam memeriksa dan memutus perkara yang berhubungan dengan Perjanjian Internasional dimaksud. Namun demikian Hakim tidak terikat secara mutlak oleh Perjanjian tersebut bila tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, tidak sesuai dengan tertib hukum Indonesia maupun tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia. I.

Perjanjian lnternasional bagi Negara RI dapat ditarik benang merah sbb:

Dalam praktek, Indonesia memandang kedudukan Hukum Internasional dalam sistem Hukum Nasional berpandangan: a) Meski Perjanjian Internasional sudah diratifikasi dengan Undang-Undang, Namun untuk dapat diimplementasikan secara nasional masih dibutuhkan Undang-Undang lagi. Misalnya:

− The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) (Konvensi Hukum Laut Tahun 1982) yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, tetap memerlukan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan. − Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika Tahun 1971) yang disahkan (diratifikasi) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1996, masih memerlukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. − The United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003) telah disahkan melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan masih banyak konvensikonvensi yang setelah diratifikasi masih memerlukan Undang-Undang lagi yang bersifat Nasional. b) Terdapat Perjanjian Internasional yang setelah diratitikasi dapat langsung diimplementasikan, yaitu Konvensi Wina Tahun 1961 dan Tahun 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Hubungan Konsuler, yang diratifikasi melalui UndangUndang No. 1 Tahun 1982. Terkait dengan tindakan suatu Negara yang sifatnya publik yakni tindakan Negara dalam kapasitas sebagai Negara yang berdaulat, Indonesia dalam meratifikasi Perjanjian Internasional banyak diadakan Reservation (persyaratan). Misalnya dalam mengesahkan Konvensi Psikotropika Tahun 1971, Indonesia tidak terikat pada ketentuan tersebut. Indonesia berpendapat bahwa: apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran dan penerapan isi konvensi yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) Pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan

“Masalahnya adalah, apakah Perjanjian Internasional yang sudah disahkan (diratifikasi) oleh Pemerintah, termasuk atau menjadi Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.”

kesepakatan para pihak yang bersengketa. Demikian pula terhadap ratifikasi United Nations Convention Against Corruption Tahun 2003, dengan Reservation terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa, yang substansinya pada pokoknya sama dengan persyaratan dalam ratifikasi Konvensi Psikotropika Tahun 1971 tsb. Hal ini penting artinya bagi Penegak Hukum (Hakim) dalam mengambil putusan terhadap Hukum Internasional yang telah diratifikasi itu, apakah harus terikat secara mutlak dengan Perjanjian Internasional untuk keseluruhan atau tidak. Hakim disini harus sinkron dengan Political Law dari Pemerintah atau Negara RI. II.

Di dalam mengambil suatu putusan seorang Hakim harus mempertimbangkan 3 aspek, yakni Legal Justice, Social Justice, dan Moral (filosofis) Justice.

Pertama-tama yang akan dipertimbangkan adalah dalam segi juridisnya (Legal Justice). Prinsip yang harus ditegakkan, Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah upaya mencari dan menemukan hukum obyektif yang hendak diterapkan, harus dari sumber hukum yang dibenarkan oleh ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang dalam hal ini adalah ketentuan Hukum Positif. Di dalam sistem Civil Law atau Statute Law System (Sistem Hukum Perundang-undangan). Sumber hukum utamanya adalah Hukum Positif dalam bentuk kodifikasi. Berdasarkan asas konkordansi, sistem ini dianut di Indonesia sampai sekarang. Salah satu ciri pokok Hukum Positif adalah diciptakan secara formil yakni sengaja diciptakan secara tertulis, penciptaannya melalui proses dan prosedur yang ditentukan Hukum Tata Negara dan yang berwenang menciptanya hanya Badan yang secara konstitusional ditetapkan dalam UUD. Di Indonesia penciptaan Undang-Undang telah ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, (pembahasan pertama UUD 1945, tanggal 19 Oktober 1999).

Undang-Undang yang sah secara formal harus mendapat persetujuan DPR, dengan mekanisme; bila inisiatif datang dari Pemerintah atau kekuasaan eksekutif/Presiden, berdasarkan Pasal 5 ayat (1), atau dapat juga berdasarkan inisiatif DPR sendiri berdasarkan Pasal 21 ayat (1), selanjutnya diundangkan oleh Pemerintah in casu Presiden, berdasarkan Pasal 20 ayat (4) UUD (vide UUD 1945, perubahan pertama). Masalahnya adalah, apakah Perjanjian Internasional yang sudah disahkan (diratifikasi) oleh Pemerintah, termasuk atau menjadi Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Untuk menjawab masalah ini, kita melihat kepada Undang-Undang pengesahan/ratifikasi Perjanjian Internasional. Misalnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003, ditetapkan: Dengan persetujuan bersama DPR RI dan Presiden Republik Indonesia Memutuskan; Menetapkan.........dst, Bila dihubungkan dengan penciptaan undang-undang yang telah diatur UUD yang sah secara formal harus mendapat persetujuan DPR, bila inisiatif datang dari Pemerintah (eksekutif) dan telah mendapat persetujuan DPR adalah merupakan produk Hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Karenanya sebagai sumber hukum utama, yakni hukum positif yang berlaku, maka Hakim harus menerapkan Perjanjian Internasional yang telah disahkan tsb. dalam pertimbangan jurisdiksinya. Hakim terikat dengan Perjanjian Internasional tersebut yang tentunya dengan segala reservation sebagaimana political law dari Pemerintah RI. Maka jelaslah dalam memutus suatu perkara yang ada hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Hakim terikat dengan Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah RI, yang biasanya masih memerlukan Undang-Undang lagi secara nasional dalam implementasinya.

2) Apabila Hakim tidak menemukan peraturan perundang-undangan atau peraturannya tidak jelas, untuk dasar pertimbangan putusan, Hakim dapat menemukan dari sumber hukum tidak tertulis, dalam hal ini hukum adat yang masih tetap diakui sebagai tata hukum di Indonesia. Kebijakan politik hukum tersebut masih tetap dipertahankan dalam pasal 25 ayat (1) UndangUndang No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 3) Sumber lain tempat Hakim mencari dan menemukan hukum yang hendak diterapkan dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya adalah Yurisprudensi. Bila suatu kasus yang disengketakan tidak diketemukan aturan hukumnya dalam hukum positif dan juga tidak ada dijumpai dalam hukum tidak tertulis, Hakim dibenarkan mencari dan menemukannya dari Yurisprudensi. Mengapa Hakim berkewajiban mencari dan menemukan hukum obyektif atau hukum materiil yang akan diterapkan dalam perkara yang sedang diperiksa yang selanjutnya akan diputus; hal ini disebabkan karena adanya asas; bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dan adanya asas / prinsip JUS CURIA NOVIT. Asas bahwa pengadilan / Hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih hukum yang mengatur tidak ada atau kurang jelas tertera dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam hal apabila memang tidak ada atau kurang jelas hukumnya, Hakim wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, dengan cara berpedoman pada ketentuan pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan adagium Jus Curia Novit, Hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum, dengan demikian Hakim yang berwenang menentukan hukum obyektif / materiil mana yang harus diterapkan sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang bersengketa in konkreto.

Mengenai aspek social justice, Hakim harus mempertimbangkan pula dalam mengadili suatu kasus, tentang aspek sosiologinya yakni tentang pendapat masyarakat mengenai kasus yang dimaksud. Namun Hakim tidak diperkenankan sematamata mengikuti Public Opinion ini, yang akhirnya akan bertentangan dengan kebebasan Hakim sebagaimana diamanatkan oleh pasal 1 Undang-Undang No 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa; Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum RI. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial. Jadi dalam memeriksa dan mengambil suatu putusan, Hakim diharuskan pula memperhatikan aspek sosiologisnya, agar putusan tersebut berimbang antara segi Juridisnya dan segi pendapat umum/masyarakat terhadap suatu kasus. Sedang mengenai aspek filosofinya ( moral justice ) yang melandasi Hakim dalam memeriksa dan mengambil suatu putusan adalah tidak kalah pentingnya. Sebagai bangsa yang religius, Hakim akan menyandarkan putusannya pada sang Khalik, yang dimanifestasikan dengan irah-irah dalam suatu putusan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dasar filosofinya adalah bahwa putusan yang telah diambil oleh Hakim itu diserahkan dan diharapkan mendekati rasa keadilan hakiki yang adanya hanya pada kekuasaan Allah semata. Hal ini diupayakan oleh Hakim dalam memeriksa dan mengambil putusan perkara yang diajukan kepadanya, dengan landasan nurani yang jernih dan bening, diserahkan kepada KEADILAN yang Agung milik Tuhan Yang Maha Esa. III.

Berdasarkan uraian bagaimana Hakim dalam memeriksa dan mengambil suatu putusan seperti tersebut diatas, lalu bagaimana Hakim mengakomodasikan hukum materiil yakni hukum positif yang berlaku di Indonesia termasuk Hukum Internasional yang sudah ditransformasikan ke dalam Hukum Nasional dalam putusannya dapat dijelaskan sbb;

Telah diuraikan di depan bahwa sebagai hukum positif yang berlaku, perjanjianperjanjian internasional yang telah disahkan Pemerintah RI, bagi para Hakim tentu terikat padanya, karena dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara yang ada relevansinya dengan Perjanjian Internasional yang telah disahkan tersebut, niscaya Hakim akan mencari dan menemukan hukum positif dari Perjanjian Internasional dimaksud yang akan diterapkan ke dalam pertimbangan dan putusannya, sesuai dengan aspek Juridisnya. Di dalam mengakomodasikan hukumhukum / peraturan-peraturan pada putusannya termasuk hukum internasional, seorang Hakim tidak terpaku dalam pandangan yang legalistik. Sebab disamping Hakim harus menerapkan segala peraturan perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku, Ia harus pula dituntut untuk menerapkan rasa keadilan yang pada galibnya sering berbenturan dengan hukum positif yang berlaku, yang berupa Undang-Undang. Memang benar menerapkan hukum positif secara mutlak itu bertujuan untuk mencapai kepastian hukum. Namun bila kepastian hukum tercapai tetapi dengan mengorbankan rasa keadilan, adalah merupakan suatu ketidakseimbangan. Dipaparkan disini dengan contoh, mengenai Undang-Undang No. 5 Th 1997 tentang Psikotropika yang dibuat oleh Pemerintah RI berdasarkan Pengesahan Convention On Psychotropic Substances 1971 (dengan Undang-Undang No. 8 Th 1996). Bila misalnya ada seorang pelajar / mahasiswa tanpa hak memiliki, menyimpan dan atau membawa 1 (satu) butir atau ½ (setengah) butir pil ekstasi golongan I, kemudian tertangkap tangan apakah harus dipidana penjara minimum 4 Tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000,sebagaimana ketentuan pasal 59 UndangUndang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Dalam hal seperti ini rasa keadilan terasa terusik bila dihadapkan dengan hukum positif yang berlaku berupa UndangUndang meskipun maksud pembuat UndangUndang dalam penjatuhan pidananya bukan kepada kuantitas obyek (barangnya). Bila terjadi hal seperti ini dapat dikatakan terdapat benturan antara rasa keadilan dengan hukum positif yang berlaku, lalu bagaimana Hakim dalam mengambil Putusannya?

Menurut E. BARNETT, bila terjadi rasa keadilan berbenturan dengan hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka agar kepastian hukum selaras dengan rasa keadilan, hukum positif atau perundang-undangan yang ada perlu “diluweskan”. Jadi dalam mengakomodasi peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif termasuk Hukum Internasional tidak secara mutlak, harus disesuaikan dengan kondisi dan rasa keadilan baik rasa keadilan masyarakat dan rasa keadilan Hakim sendiri. IV.

Dari analisa sederhana disimpulkan bahwa;

ini

dapat

a) Di dalam membuat putusan, Hakim terikat dengan hukum positif yang berlaku termasuk Perjanjian-Perjanjian Internasional yang telah disahkan oleh Pemerintah RI, namun keterikatannya itu tidak mutlak, disesuaikan dengan kondisi dan keadilan masyarakat atau bangsa Indonesia sebagai Negara yang bermartabat. b) Sesuai dengan keterikatan Hakim terhadap Perjanjian Internasional diatas, maka Hakim dalam mengakomodasi Hukum Internasional dalam putusan-putusannya adalah tidak secara mutlak pula. Bila Hukum Internasional tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Indonesia dan kondisi kepentingan bangsa serta tertib hukum Indonesia, maka Hakim dapat “meluweskan” Hukum Internasional yang akan diterapkan di dalam putusan Hakim tersebut. Demikian tentang sedikit uraian topik diatas, dengan catatan bahwa pendapat dan pemikiran ini adalah pemikiran pribadi penulis sebagai Hakim yang di dukung oleh sebagian besar rekan-rekan Hakim Tinggi Jawa Timur namun tidak mewakili pendapat dan pemikiran semua Hakim di Indonesia.

Hj. Suparti Hadhyono Hakim tinggi pengadilan tinggi jawa timur

PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH.

STATUS HUKUM INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL REPUBLIK INDONESIA (DALAM PERSPEKTIF HUKUM TATA NEGARA) Pengantar Dalam Hukum Tata Negara Indonesia tidak mudah untuk menemukan kaidah hukum yang mengatur tentang status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional RI. UUD 1945 tidak mencantumkan satu pasal pun yang mengatur status tersebut. Pasal 11 dan 13 UUD 1945, yang ada kaitannya

dengan Hukum Internasional, mengatur mengenai proses atau prosedur ratifikasi dan pengangkatan serta penerimaan duta dalam ranah Hukum Nasional. Undang-undang yang berkaitan dengan Hukum Internasional, seperti Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional juga tidak mencantumkan pasal tersendiri yang mengatur status tersebut.

Internasional dan Hukum Nasional. Dikenal ada dua paham yaitu dualisme dan monisme.

Indonesia sejak proklamasi Kemerdekaan 1945, sudah mengadakan interaksi dengan Negara maupun Organisasi Internasional, yang tunduk pada Hukum Internasional. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana sikap Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, dan bagaimana Indonesia menerapkan Hukum Internasional, termasuk didalamnya Perjanjian Internasional.

Menurut paham dualisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat Hukum Internasional berbeda dengan Hukum Nasional. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan Hukum Nasional dan mengabaikan Hukum Internasional.

Pada tahun 1969, 1978 dan 1986. Indonesia menetapkan bahwa yang mempunyai kapasitas untuk membuat Perjanjian Internasional adalah Presiden. Sekarang Indonesia mempunyai Undang-Undang mengenai Perjanjian Internasional yakni Undang-Undang No. 24

Berdasarkan paham monisme Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum Nasional atau Hukum

“Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi Indonesia nampak cenderung secara diam-diam menggunakan teori inkorporasi. Dalam menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal, Indonesia tidak pernah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai adopsi khusus.”

Tahun 2000. Pasal 13 UUD 1945 menunjukkan kesediaan Indonesia mengakui keberadaan Hukum Diplomatik, yang juga masih berupa Hukum Kebiasaan Internasional. Hukum tentang hubungan diplomatik dan konsuler dituangkan dalam Perjanjian Internasional baru tahun 1961, 1963, 1969, 1973, 1975 dan 1979. Indonesia menetapkan bahwa Presiden mempunyai kapasitas untuk mengangkat dan menerima duta dan konsul. Sekarang Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Permasalahan yang mungkin masih relevan untuk dibahas adalah bagaimana sikap Negara ketika terjadi pesinggungan atau perbenturan dan bahkan pertentangan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional. Hal ini mungkin terjadi dalam penerapan Perjanjian Internasional di ranah Hukum Nasional. Negara akan mengutamakan Hukum Internasional atau Hukum Nasional? Permasalahan pengutamaan dapat diselesaikan dengan menggunakan paham (teori) dalam hubungan antara Hukum

Internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Nasional, Hukum Internasional merupakan kelanjutan Hukum Nasional. Hukum Internasional merupakan Hukum Nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum Internasional. Berdasarkan paham monisme dengan pengutamaan pada Hukum Internasional, Hukum Nasional secara hirarkis lebih rendah dibandingkan dengan Hukum Internasional. Hukum Nasional tunduk pada Hukum Internasional dalam arti Hukum Nasional harus sesuai dengan Hukum Internasional. Dimungkinkan ada monisme yang menganggap bahwa Hukum Nasional sejajar dengan Hukum Internasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam Statuta Roma atau Konvensi tentang Terorisme Bonn. Hukum Internasional tidak mewajibkan bahwa suatu Negara harus menganut paham dualisme atau monisme. Dalam praktek pilihan pengutamaan pada Hukum Nasional atau Hukum Internasional, ditentukan oleh preferensi etnis atau preferensi politis. Bagi pandangan yang mempunyai sikap politis

nasionalis, akan mengutamakan Hukum Nasional. Sebaliknya bagi pandangan yang simpatik pada Internasionalisme, akan mengutamakan Hukum Internasional.

1. kapan ketentuan Perjanjian Internasional berlaku dalam Hukum Nasional; 2. cara bagaimana ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional.

Dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang yang ada sekarang, belum ada ketentuan (pasal), yang secara tersendiri menentukan sikap Indonesia. Bertumpu pada pengakuan Indonesia terhadap keberadaan Hukum Internasional, Indonesia menganut paham monisme. Berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan Hukum Internasional.

Prosedur dan metode yang digunakan Negara merupakan suatu kelanjutan proses, yang dimulai dengan penutupan (persetujuan) suatu Perjanjian Internasional. Tidak ada transformasi. Tidak ada penciptaan (pembuatan) aturan hukum atau Hukum Nasional yang benar-benar baru. Yang dilakukan hanya merupakan kelanjutan (perpanjangan) dari satu perbuatan penciptaan yang tunggal. Syarat-syarat konstitusional hukum nasional hanya merupakan bagian dari satu kesatuan mekanisme penciptaan (pembuatan) hukum.

Masalah berikutnya yang perlu diperhatikan adalah bagaimanakah penerapan Hukum Internasional dalam ranah Hukum Nasional Indonesia. Mengenai hal ini ada beberapa teori yang dikenal dalam Hukum Internasional, yaitu teori transformasi, delegasi, dan inkorporasi. Menurut teori inkorporasi Hukum Internasional dapat diterapkan dalam Hukum Nasional secara otomatis tanpa adopsi khusus. Hukum Internasional dianggap sudah menyatu ke dalam Hukum Nasional. Teori ini berlaku untuk penerapan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal. Dalam penerapan Hukum Internasional, yang bersumber dari Perjanjian Internasional ada dua teori, yaitu teori transformasi dan teori delegasi. Berdasarkan teori transformasi, Hukum Internasional yang bersumber dari Perjanjian Internasional dapat diterapkan di dalam Hukum Nasional apabila sudah dijelmakan (ditransformasi) ke dalam Hukum Nasional, secara formal dan substantif. Teori transformasi mendasarkan diri pada pendapat pandangan positivis, bahwa aturan-aturan Hukum Internasional tidak dapat secara langsung dan “ex proprio vigore” diterapkan dalam Hukum Nasional. Demikian juga sebaliknya. Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan sistem hukum yang benarbenar terpisah, dan secara struktur merupakan sistem hukum yang berbeda. Untuk dapat diterapkan ke dalam Hukum Nasional perlu proses adopsi khusus atau inkorporasi khusus. Menurut teori delegasi, aturan-aturan konstitusional Hukum Internasional mendelegasikan kepada masing-masing konstitusi Negara, hak untuk menentukan:

Cukup sulit menetapkan teori apa yang digunakan Indonesia. Indonesia tidak secara tegas-tegas menerima teori inkorporasi. Tetapi Indonesia nampak cenderung secara diamdiam menggunakan teori inkorporasi. Dalam menerapkan Hukum Kebiasaan Internasional dan Hukum Internasional universal, Indonesia tidak pernah melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai adopsi khusus. Indonesia nampak tidak sepenuhnya menggunakan teori transformasi. Dalam penerapan Perjanjian-Perjanjian Internasional yang berlakunya tidak memerlukan ratifikasi, Indonesia belum pernah membuat perundangundangan yang mengatur substansi perjanjian yang telah ditandatangani. Berkenaan dengan Perjanjian-perjanjian Internasional yang berlakunya memerlukan ratifikasi, Indonesia dapat dianggap ingin menggunakan teori transformasi. Pengesahan perjanjian-perjanjian tersebut dituangkan dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Dalam hal ini dapat dianggap terjadi penjelmaan dari Hukum Internasional menjadi Hukum Nasional. Akan tetapi perjanjian yang disahkan dilampirkan begitu saja seperti aslinya, bukan dalam bentuk perundangundangan formal mengenai substansi perjanjian yang bersangkutan. Indonesia secara diam-diam menerima bahwa perjanjian yang bersangkutan sudah menyatu dalam Hukum Nasional. Untuk sepenuhnya menggunakan teori transformasi perlu dilampirkan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi yang termuat dalam perjanjian yang bersangkutan.

PROF. DR. MOHD. BURHAN TSANI, SH., MH. Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.

Nampaknya Indonesia cenderung menggunakan teori delegasi. Pengesahan yang dilakukan menurut Hukum Nasional Indonesia, merupakan bagian prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Nasional untuk memperoleh instrumen ratifikasi, yang diperlukan prosedur ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Ratifikasi merupakan bagian prosedur pembentukan Hukum Internasional yang dituangkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Pasal 2 instrumen pengesahan telah menetapkan kapan berlakunya perjanjian yang bersangkutan dalam Hukum Nasional Indonesia. Ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional dengan UndangUndang atau Peraturan Presiden. Ketentuan Perjanjian Internasional dijadikan Hukum Nasional dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Perjanjian Internasional yang bersangkutan dibiarkan dalam naskah aslinya. Prosedur yang dilaksanakan merupakan bagian dari keseluruhan proses

pembuatan Perjanjian bersangkutan.

Internasional

yang

Keterikatan Indonesia pada Perjanjian Internasional yang bersangkutan, dilandaskan pada penyampaian instrumen ratifikasi dalam ranah Hukum Internasional. Apabila Indonesia sudah menjadi Negara pihak, Indonesia wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan melakukan penyesuaian perundangundangannya dengan Perjanjian Internasional yang sudah berlaku secara definitif. Penutup Praktek-praktek yang tidak ajeg dan simpang siur yang mengakibatkan permasalahan perlu diluruskan. Hasil pelurusan dirumuskan dengan baik dan disosialisasikan serta dikomunikasikan kepada semua pengelola Negara dan Warga Negara. Hasil akhirnya dituangkan dalam bentuk perundang-undangan di bawah UndangUndang Dasar.

Related Documents


More Documents from "Oktavia Maludin"