1
MODUL AGAMA ISLAM VIII P O L I T I K Standar Kompetensi Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan : 1. Mengerti tentang makna politik baik secara umum maupun menurut Islam. 2. Pengerti tentang politik Islam. 3. Mengerti tentang kontribusi agama dalam kehidupan politik, yaitu syarat seorang pemimpin, kewajiban seorang pemimpin, hak pemimpin, kewajiban rakyat, hak rakyat, perimbangan antara kewajiban dan hak pemimpin terhadap rakyat dan sebaliknya, prinsip-prinsip demokrasi, dan prinsip syura. 4. Sumbangan praktis Islam dalam perpolitikan di negara kesatuan republik Indonesia 5. Mengerti tentang peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan. A. Pengertian Politik Term politik tidak ditemukan dalam bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Latin ‘politicus’ atau dari bahasa Yunani ‘politicos’ yang berarti berhubungan dengan warga negara atau warga kota. ‘Polis’ berarti kota ( Noah, l980: 437). Kata itu terserap ke dalam bahasa
Indonesia
menjadi
‘politik’
dalam
bahasa
Arab
adalah
as-siyasah
(AlMunawwir,[t.th.]: 724). Secara etimologis (istilah) dalam pengertian yang amat longgar “politik” mengandung arti; (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, sistem pemerintahan, dan dasar-dasar pemerintahan, (2) Semua urusan dan tindakan mengenai pemerintahan terhadap negara lain, (3) Pengembilan keputusan, (4) Kebijaksanaan, dan (5) pembagian atau penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat (Miriam, l993: 8-9). Deliar Noer menjelaskan ‘politik’ adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat. Bertolak dari berbagai pengertian dan kandungan yang terdapat dalam kata ‘politik’, jabarannya dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat amat luas. Pencalonan diri supaya menjadi presiden, anggota DPR, ketua suatu kelompok kesenian, kelompok diskusi, kelompok pengajian sekalipun merupakan tindakan politik karena di balik itu semua berkait dengan kekuasaan. Kegiatan kampanye, propaganda untuk memperoleh kekuasaan tersebut merupakan tindakan pilitik karena secara nyata adalah mempengaruhi orang lain supaya mengikuti kehendak pelaku kampanye atau propagandis tersebut. Ribuan buruh suatu pabrik yang melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah kerja adalah tindakan politik karena mempengaruhi pemilik perusahaan agar mengikuti kehendak para buruh itu. Para mubaligh yang berceramah di hadapan para jamaahnya, meskipun secara umum disebut dakwah dapat pula disebut berpolitik, praktisnya isi kongkrit ceramah adalah ajak-ajak atau mempengaruhi jamaah (audiens) agar berbuat sesuatu yang baik menurut agama. Aneka produk perundang-undangan seperti konstitusi, Undang-Undang Dasar, Peraturan Pemerintah (PP), Surat Keputusan (SK) dari presiden, menteri, gubernur, atau
2 secara umum adalah pemerintah, atau dari badan-badan dan lembaga tertentu juga merupakan tindakan politik karena isi SK pastilah merencanakan susunan tertentu dalam masyarakat atau seseorang, yaitu mengangkat atau memberhentikan status dalam struktur tertentu. Karena istilah politik tidak ditemukan dalam ajaran dasar dalam Islam, tetapi agama ini mengatur secara umum agar sikap, mental, dan perbuatan harus baik, termasuk di dalamnya perilaku manusia dalam berpolitik, maka kalau harus dimunculkan istilah politik Islam, pengertiannya bisa saja persis yang dikemukakan oleh Miriam Budihardjo, Deliar Noer, atau yang lainnya, kemudian ditambah frasa berdasarkan hukum-hukum Allah yang terkandung dalam Alquran maupun as-Sunnah sahihah. Wujud kekuasaan politik Islam diselenggarakan menurut Alquran dan as-Sunnah (Abdul Mu’in Alim: l994: 293). Alquran dan as-Sunnah sebagai dasar sistem poilitik inilah yang membedakan dengan sistem politik apapun yang non Islam (sekuler).
B. Sistem Politik Dalam Islam Jika mengacu kepada sejarah perpolitikan Islam terutama zaman klasik, bahkan hingga zaman kontemporer ini, sebenarnya tidak ada pembakuan secara umum yang berlaku di negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara Islam. Alquran maupun asSunnah tidak memberikan penjelasan yang mnendetail dan rinci mengenai sistem politik. Sumber asasi di dalam Islam hanya memberi rambu-rambu yang amat global, umpama Allah berfirman:
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).....(QS. An Nisa’ : 59). Ayat ini secara implisit menghendaki keberadaan: (1) suatu negara yang ada pemimpinnya, (2) rakyat yang taat kepada pemimpin, (3) Jika ada pertentangan di antara kedua belah pihak hendaklah kembali kepada petunjuk Alquran dan as-Sunnah, dan (4) tidak boleh ada dominasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Jadi pemimpin mengayomi rakyat dan rakyat taat kepada pemimpin. Lanjutan ayat itu berbunyi
Artinya : “...jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“.(QS. An Nisa’ : 59). Empat poin dalam kandungan ayat ini adalah perwujudan iman. Implikasinya lebih jauh adalah: (1) Jika para pemimpin tidak mengayomi rakyat, (2) jika rakyat tidak taat pemimpin atau pemerintah syah, (3) jika ada perpebedaan prinsip antara rakyat dan pemerintah (pemimpin) yang cara pemecahannya tidak dikembalikan menurut petunjuk Alquran maupun as-Sunnah, maka mereka itu tidak termasuk orang beriman.
3 Kata ‘iman’ seakar kata dengan amin, artinya aman tidak ada gangguan dan ancaman. Aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan baik pemerintah maupun rakyat harus bersama-sama menciptakan suasana aman atau kondusif sehingga kehidupan bersama dalam berbagai bidang seperti: ekonomi, sosial, politik, dan yang lainnya berjalan dengan lancar aman, tanpa rasa khawatir akan berbagai macam gangguan. Siapapun yang membuat gaduh atau kacau dalam suatu negara, dia itu bukan orang beriman. ‘al-Amin’ juga berarti kuat dan setia, artinya sebagai warga negara harus setia terhadap negara secara kuat (nasionalisme) yaitu cinta kepada negara (hub al-wathan) sebagai bagian integral dari iman. Siapapun warga negara atau bada apapun dalam suatu negara seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menjadi antek negara asing) dan menjual dokumen-dokumen penting negaranya adalah bukan orang-orang beriman. Mereka amat berbahaya kerena pada hakikatnya mereka itu adalah mesin pengkhianat negara. Sudah sepentasnya jika keberadaan mereka harus dikikis habis tak bersisa. Kata ‘iman juga seakar kata dengan ‘amanah’ yang berarti dapat dipercaya. Kaitannya dengan kenegaraan, baik pemerintah maupun rakyat harus saling dapat mempercayai maupun dipercayai. Rakyat bersifat anarkhis dan pemerintah yang korup, jelas masing-masing tidak dapat dipercaya atau mempercayai. Lebih dari itu mereka sebenarnya tidak beriman. Suatu negara yang pejabatnya korup, mementingkan kekayaan pribadi dengan cara menggerogoti kekayaan negara secara tidak syah, negara ini disebut al-madinah alfasiqah, yaitu negeri yang rusak (Harun Nasution, l981 : 33). Sementara itu, jika rakyat besifat anarkhis dan mamaksakan kehendaknya sendiri sehingga negara itu menjadi semrawut, para pemimpin hanya sibuk mengurusi demo-demo berkepanjangan sehingga tidak bisa mengatur negara secara baik, negara ini disebut, al-madinah al-jama’ah. Negara seperti ini semuanya ingin berkuasa. Al-madinah a-jama’iah adalah salah satu bentuk dari negeri bodoh (almadinah al-jahilah) , yaitu negara baik pemerintah maupun rakyatnya hanya berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, memperkaya diri, ambisi kekuasaan, dan mengumbar hawa nafsu (Harun Nasution, l981 : 33). Suatu bangsa yang bentuk negara dan sistem pemerintahannya bertipologi al-madinah al-jami’ah maupun al-madinah al-jahilah secara prinsip bangsa itu dapat dikatakan sebagai bangsa yang tidak beriman karena tidak amanah. Kata ‘iman’ seakar kata dengan al-amin artinya tenteram, damai dan aman. Kaitannya dalam kehidupan bernegara, seluruh rakyat maupun yang memangku jabatan kepemerintahan harus menciptakan ketenteraman, kedamaian, dan keamanan baik dalam level indfividual, secara batiniah maupun lahiriah, dan dalam level kehidupan bersama. Provokator dari manapun asalnya apakah dari unsur pemerintah maupun rakyat yang menyulut pertikaian antar golongan, antar kelompok, antara pemeluk agama, dan antar suku adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan tidak beriman kepada Allah maupun hari akhir. Kita semua harus mewaspadai para para politikus kotor maupun kelompoknya sehingga ruang gerak mereka terbatas atau dinetralisir sama sekali. Kata at-Ta’min juga seakar kata dengan iman dan artinya gadai. Kaitannya dengan kehidupan negara, setiap warga negara secara prinsip diri mereka masing-masing digadaikan kepada negara, harus tunduk dan patuh kepada negara. Inilah yang dimaksud bahwa proses
4 terbentuknya suatu negara melalui social contract dan pemegang kekuasaan disebut pemegang amanah dari rakyat. Karena begitu longgar petunjuk baik Alquran maupun as-Sunnah, maka aktualisasi politik dari generasi ke generasi atau antara wilayah satu dengan wilayah lain di dunia Islam cukup berfariatif dan lebih bersifat temporal menurut selera masing-masing pendiri negara, umpama dalam dalam menunjuk dan mengangkat kepala negara sebagai yang memerintah. Nabi Muhammad menjadi kepala negara di Madinah terjadi secara otomatis sebagai akibat ditaati oleh setiap warga di Madinah dan seluruh jazirah Arab. Abu Bakar as-Siddiq menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat - bukan dalam arti nabi maupun rasul dipilih secara kerakyatan (Hasan, l968 : 34). Pengganti Abu Bakar adalah Umar bin Khattab menjadi khalifah ditunjuk oleh oleh Abu Bakar kemudian disetujui oleh seluruh warganya (Hasan, l968: 37). Usman bin ‘Affan menggantikan posisi Umar bin Khattab dengan cara Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon, satu diantaranya adalah Usman bin ‘Affan sendiri, ia memenangkan dalam pemilihan yang kemudian membawanya menjadi khalifah. Pengganti Usman bin ‘Affan adalah Ali bin Abi Thalib dengan dipilih oleh mayoritas umat Islam. Ali bin Abi Thalib sebagaimana dua pendahulunya terbunuh dalam insiden politik. Penggamnti Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyah bin Abu Sufyan dengan cara ayang amat licik, yaitu melalui teknik tahkim (arbitrase) di Daumatul jandal. Pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Muawiyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin ‘Aash. Keduanya bersepakat dalam sidang menurunkan pemimpin masing-masing. Waktu itu Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, semerntara Muawiyah hanya sebagai gubernur, bukan level khalifah. Abu Musa diminta supaya berpidato yang pertama. Isi pidatonya menurunkan pemimpin dari jabatannya masingmasing, dan aksi ini disetujui oleh seluruh anggota sidang. Sementara itu, Abu Musa alAsy’ari adalah seorang ulama yang tawadu’ dan wara’, dan amat kurang berpengalaman dalam liku-liku politik kotor. Setelah ia turun dari mimbar Amru bin ‘Ash gilirannya naik ke mimbar untuk berpidato. Isi pidato ada dua hal, (1) menyetujui penurunan Ali bin Abu Thalib dari jabatan khalifah dan (2) mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah dan langsung disambut sorak gempita dari pendukungnya. Pada saat itu kelompok Ali bin Abu Thalib merasa - dan memang benar-benar - ditipu oleh kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan demikian Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah dengan cara kudeta tak berdarah, proses sebelumnya juga telah menumpahkan darah begitu banyak prajurit dari masing-masing pihak. Sejak Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat putra mahkota, maka sistem politik Islam, terutama bentuk negara menjadi sistem kerajaan atau monarkhi (Hasan, 1968 : 54, 62, 66). Tetapi secara makro jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti di Barat, dan Cina yang sama-sama berbentuk kerajaan, Negara yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan disebut sebagai negara kerajaan Islam yang secara teknis disebut daulah atau khilafah (kekhalifahan), yaitu Daulah Bani Umayyah. Kata Umayyah dinisbahkan dari kakek Muawiyah. Untuk selanjutnya bentuk pemerintahan semacam itu berlaku di semua wilayah Islam. Bani Umayyah tumbang digantikan oleh Bani Abbasiyah. Bersamaan dengan ini kerajaan Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) didirikan oleh ketrurunan dari Muawiyyah
5 bin Abu Sufyan yang selamat dari pembumihangusan Abul Abbas Assafah(pendiri Bani Abbasiah). Sesudah dua kerajaan raksasa ini tumbang muncullah berbagai kerajaan di dunia Islam, seperti khilafah Bani Fatimiyah di Mesir(909-ll7l M), Khilafah Bani al-Murabbitun di Afrika Utara (l056-ll45 M), Khilafah Mamalik di Mesir maupun di Suriah (1250-1516 M), Khilafah Usmaniah di Turki (l299-l922 M), Khilafah Mughaliah di India (l526-1858 M), dan masih banyak yang lainnya. Pada abad l8 di Eropa muncdul konsep dan praktik politik yang disebut nasionalisme. Melalui agitasi politik imperialisme (penjajahan) Barat ke seluruh wilayah di dunia, termasuk dan khususnya di dunia Islam pada abad l9, nasionalisme menjadi konsep politik universal (L.Stodart, l966 : l37). Sekarang ini tidak ada di manapun di dunia yang tidak menganut paham nasionalisme, dan di sisi lain tidak bisa keluar dari paham nasionalisme itu. Maka nasionalisme menjadi paham tunggal hingga sekarang ini. Meskipun demikian, negara-negara yang akarnya kekhalifahan tetap mengelaborasi prinsip-prinsip ajaran Islam dan nasionalisme yang wujud akhirnya adalah nasionalisme yang dibedakan dari nasionalisme sekuler. Sekularisme anti atau sekurang-kurangnya memisahkan dari urusan agama, sementara nasionalisme Islam tidak demikian. Agama menjadi dasar dan sendi-sendi praktik kenegaraan. Elaborasi anatara ajaran Islam dan nasionalisme Barat menghasilkan berbagai bentuk negara Islam sesuai dengan akar sejarahnya dari masing-masing yang membentuk negara yang bersangkutan. Saudi Arabia, bentuk negaranya kerajaan, tetapi mengaku sebagai negara Islam. Iran berbentuk republik tetapi juga mengaku sebagai negara Islam. Malaysia berbentuk serikat tetapi mengaku sebagai negara Islam. OIC (Organization of the Islamic Conference) merupakan gabungan dari berbagai negara Islam yang bertujuan melenyapkan pemisahan ras, diskriminasi, dan kolonialisme dalam segala bentuk, juga bergerak di bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kegiatan vital lainnya (Esposito,IV : 201) tidak mengusahakan keseragaman bentuk negara. Urusan ini diserahkan kepada negara masing-masing anggota. Indonesia secara formal mengaku sebagai negara pancasila, bukan negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam dan ikut sebagai anggota OIC.Oleh karena itu, kebijakan apapun yang mengabaikan kepentingan umat Islam di negeri tercinta ini pasti menuai badai yang pada akhirnya akan merugikan negara itu sendiri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembakuan sistem dalam Islam sehingga kepentingan umat Islam dalam membentuk negara menjadi kebebasan mereka,boleh mengambil bentuk negara kerajaan, republik, negara serikat, atau yang lainnya selagi prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bersama ditegakkan untuk kemaslahatan dan kemakmuran bersama (pemerintah dan rakyat).
C. Kontribusi Agama Dalam Kehidupan Berpolitik 1. Syarat Seorang Pemimpin
6 Seorang Pemimpin, utamanya top leader seperti raja, perdana menteri, presiden, sultan, malik dalam suatu negara (al-madinah al’uzma), gubernur untuk tingkat di bawahnya yaitu propinsi (al-madinah al-wustha), wali kota atau bupati untuk tingkat di bawah gubernur al-madinah ash-sughra), camat untuk wilayah yang lebih sempit di bawahnya, Lurah atau Kepala desa, yang seterusnya ketua RW lalu ketua RT idealnya supaya yang paling luas ilmunya dan sempurna secara fisik. Alquran mengatakan:
Artinya : “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui “. ( QS. Al Baqarah : 247 ). Dalam ayat itu kekayaan seorang calon pemimpin tidak menjadi syarat, melainkan ilmunya, ilmu memerintah atau ketatanegaraan. Syarat ini tentu amat penting. Dapat dibayangkan jika pemimpin tidak memiliki konsep yang matang, tepat dan benar untuk membawa negara ke arah keadilan, kemakmuran, dan ketenteraman bersama yang berlatar belakang berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan golongan dari suatu negara . Cepat atau lambat, mungkin yang benar secara cepat negara itu pasti ambruk, kacau, dan penuh huru-hara di negeri tersebut. Kandungan pokok kedua dari ayat tersebut adalah seorang pemimpin haruslah sehat jasmani secara sempurna. Penampilan seorang pemimpin, presiden, perdana mentri, raja atau yang lain yang sejenis, umpama buta, tuli, pincang kronis, gagap kalau ngomong tentu kurang menimbulkan simpati orang banyak. Orang seperti itu, mengurus dirinya butuh bantuan, bagaimana ia bisa mengurus negara ? Kebijakan-kebijakan dalam kenegaraan dari pemimpin yang cacat tubuh dikhawatirkan terjadi secara emosional, lebih-lebih kalau penyakitnya sedang akut. Bisa saja suatu saat di suatu negara mencari putra bangsa yang memiliki prestasi basthatan fi al-ilm wa al-jism sulit. Secara fisik cacat pun boleh jika memang tidak ada yang lain dengan syarat ilmu sebagai perangkat mutlak tetap ada pada diri sang pemimpin. Dalam ayat di atas ada alternatif untuk itu, yaitu kandungan pokok yang ketiga :
Artinya : “ Allah memerintah kepada siapa yang di kehendaki “ ( QS. Al Baqarah : 247 ) Untuk ini Nabi bersabda:
)و لوا ستعمل عليكم عبد يقود كم بكتبا ب هللا فا سمعو له وا طيعوا (رواه مسلم عن جد حسين
7 Seandainya ada yang memerintah atas kamu seorang budak tetapi ia yang kuat/menguasai diantara kamu mengenai kitab Allah hendaklah kamu dengar dan kamu taati perintahnya. H.R.Muslim dari kakek Husain ( Muslim,II : l30). Dan Abu Zar mengatakan
ا ن حليلى ا وصا نى ا ن سمع وا طيع وا ن كا ن مجدع. . . Sesungguhnya kekasihku (Nabi) berwasiat kepadaku supaya aku mendengar dan taat terhadap pemimpin, meskipun ia buntung tangan atau kaki. (H.R. Muslim dari Abu Zar.Muslim,II : 130). Syarat seorang pemimpin harus adil dalam semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Alquran mengatakan:
Artinya : “ dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil “. ( QS. Al Maidah : 42 ).
Artinya : “ dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu “. ( QS. Al Maidah : 48 ).
Artinya :“Maka berilah keputusan antara Kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah Kami ke jalan yang lurus“. (QS. Shad : 22).
Artinya :“ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan “. ( QS. Shad : 26 ). Pengertian adil secara umum adalah wad’u syaiin fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Penerapan adil umpama menghukum yang salah dan membela yang benar dalam suatu perkara delik aduan di pengadilan.
8 Atas dasar syarat-syarat seorang pemimpin sebagai mana dijelaskan oleh Alquran maupun as-Sunnah di atas harus menjadi dasar pemerintahan negara. Baik uji teoritis maupun praktis tentu konsep ini merupakan cara terbaik dibanding dengan teori manapuin. Syarat keadilan yang dikehendaki Islam mencakup lintas ras, sosial, budaya, dan agama sekaligus tidak menghendaki praktik apartheit, rasialis, dan diskriminasi. 2. Kewajiban seorang pemimpin
Bagi seorang pemimpin, umpama presiden, negara dan dan pemerintahannya adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di hari kiamat. (H.R. Muslim,II : 124). Maka kewajiban pemimpin adalah mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Nabi bersabda: . . . فا ال مير ا لذ ى على النا س راع عليهم وهو مسؤل عنهم. . . “…Seorang raja (pemimpin) bagi orang banyak adalah pengembala dan dia dimintai pertanggungjawaban tentang pengembalaannya”. (H.R. Abu Dawud,III : 342); Muslim,II : 125. Lafal bagi Muslim untuk ‘anhum’ adalah ra’iyyatih.Kata ra’in yang berarti pengembala, maksudnya adalah pemimpin umat. Kata itu ( ra’in) berasal dari kata kerja lampau (fi’il madi) ra’a yang berarti mengembala dan arti paraktisnya adalah pemimpin/pengelola negara. Dari kata itu juga dapat dibentuk kata ra’iyyah yang berarti gembalaan. Secara praktis gembalaan dalam suatu negara adalah umat atau orang banyak, dan kata ra’iyyah itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat. Jadi ra’in berarti pemimpin, dan ra’iyyah berarti rakyat. Kewajiban pokok bagi seorang pemimpin mengusahakan negara dalam keadaan aman, tenteram , dan makmur. Allah berfirman :
Artinya : “ ....Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.... “. ( QS. Hud : 61 ). Negara yang makmur adalah negara yang secara umum kondusif dan baik. Allah berfirman:
Artinya : “ ...bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun ". ( QS. Saba’ : 15 ). Jika seorang pemimpin tidak menjalankan amanah dengan baik secara sengaja, ia dikategorikan sebagai pengkhianat. Salah satu pengkhianatan dalam pemerintahan adalah korupsi. Koruptor akan menuai siksaannya di akhirat. Barang yang dikorupsikan akan melilit pada lehernya. Ketika itu ia meminta syafaat kepada Nabi. Nabi menjawab “Aku tidak bisa menolong (mengasihani kamu). Aku dulu pernah menyampaikan (al-haq) kepadamu (H.R.Muslim,II : 126-127). Artinya, di
9
dunia Nabi telah memberikan penerangan supaya memerintah dengan baik, jujur, dan adil, tetapi pemimpin itu tidak mengindahkan penerangan Nabi. Mereka malah mengkhianatinya. Kewajiban lain seorang pemimpin (imam, presiden dan yang sejenis ) merupakan benteng terakhir dalam suatu negara. Di dalam kekuasannyalah rakyat itu wajib berperang mempertahankan negara dari ancaman musuh atau mengajak semua rakyat untuk bertakwa kepada Allah. Nabi bersabda:
ا نما اال ما م جنة يقا تل من ورا ئه ويتفى به فا ن ا مربتقوى هللا عز وجل كا ن له بذا لك ا جر )وا ن يا مر بغيره كا ن عليه منه ( رواه مسلم عن ا بى هريرة “Sesungguhnya seorang pemimpin adalah perisai orang-orang di belakangnya (rakyat) itu berperang atau takwa karena perintahnya. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, maka ia memperoleh pahala karenanya. Jika ia memerintahkan yang selainnya, ia akan memeperoleh akibatnya”. (H.R. Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II : 132). Syarat pemimpin yang demikian itu harus memiliki keberanian memutuskan sesuatu secara cepat dan tepat dalam semua keadaan. Pemimpin tidak bisa bersembunyi di balik layar kenegaraan atau hanya bersenang-senang melulu kemudian urusan negara diserahkan kepada para pembantu-pembantunya. 3. Hak Pemimpin Selagi pemimpin menjalankan kewajibannya secara baik dan tidak mengajak ke arah kemungkaran, mereka wajib ditaati baik dalam keadaan lapang atau sempit, baik dalam keadaan normal atau darurat. Nabi meminta janji setia (baiat) yang digambarkan oleh kakek Ubadah demikian:
با يعنا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على السهع وا لطا عة فى ا لعسر وا ليسر وا لمنشط. . . وا لمكره وعلى ا ثره علينا و على ا ن ال ننا رع ا المر اهله وعلى ا ن نفول با لحق ا يمما لنا ال )نما ف لو مة ال ئم (رواه مسلم عن جد عبا ده “Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW. Untuk mendengar dan taat kepadanya baik dalam keadaan lapang atau sempit,dalam keadaan yang menyenangkan atau menjengkelkan, supaya kami mengikuti jejaknya, supaya kami tidak saling menentang suatu urusan kepada ahlinya, supaya kami senantiasa berkata secara benar di manapun kami berada, dan supaya kami senantiasa takut kepada Allah selamanya”. (H.R.Muslim dari kakek Ubadah (Muslim,II : l3l-l32). 4. Kewajiban Rakyat. Kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpin (pemerintah). Hadis tentang hak pemimpin di atas sekaligus menjadi kewajiban rakyat. Tetapi ketaatan rakyat kepada pemimpin hanya terbatas kepada hal-hal yang baik saja. Nabi bersabda:
) ا لما ا لطا عة فى ا لمعروف (رواه مسلم عن على. . . . . . bahwa taat (kepada pemimpin) hanya dalam kebaikan (Muslim,II : l31). Atau:
على ا لمرء ا لمسلم ا لسمع وا لطا عة فما احب وكره اال ا ن يؤ مر بمعصية فا ن ا مربمعصية )فال سمع وال طا عة (رواه مسلم عن ابن عمر “Bagi seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik terhadap sesuatu yang menyenangkan atau yang menjengkelkan kecuali jika diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah maksiat maka tidak perlu mendengarkan atau taat (kepada pemimpin itu)”. H.R. Muslim dari Ali (Muslim,II : l3l).
10 Jika pemimpin memiliki kebijakan yang kurang menyenangkan hendaklah bersabar, tidak boleh bughat (menentang) apalagi berdemonstrasi secara anarkhis. Nabi bersabda:
من راء من ا ميره شيئا يكر هه فليصبر فا نه من فا رق ا لجما عة شبرا فما ت فميتة جا هلية )(رواه مسلم عن ا بن عبا س “Barang siapa melihat sesuatu dari amir (pemimpin) yang tidak menyenangkan hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya barang siapa keluar dari jamaahnya (menentang kebijakan negara) sejengkal saja kemudian ia mati, maka matinya terhitung jahiliah”. (H.R. Muslim dari Ibnu Abbas (Muslim, II : 131). Sesuatu yang tidak menyenangkan belum tentu melanggar syariat. Rakyat suatu negeri pasti terdiri atas banyak kepentingan, satu dengan yang lain sangat mungkin bertentangan. Pemerintah sering dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang bersifat delimatis. PKL (pedagang kaki lima ) yang mengakibatkan kumuh di suatu area yang demi kepentingan yang lebih luas harus asri dan bersih, dan menyebabkan arus lalu lintas sempit dan macet yang menurut ilmu kepemerintahan area itu harus lancar dan bebas hambatan dalam berlalu lintas dan bermobilisasi, harus ditata ulang yaitu dialihkan ke lokasi lain. Dalam hal ini PKL semacam ‘dikorbankan’. Dalam keadaan seperti ini rakyat, LSM, atau komponen lainnya harus tetap bersabar. Jangan malah sok menjadi pahlawan rakyat tertindas dengan cara meprofokasi rakyat untuk menentang pemerintah. Ancaman Nabi dalam hadis itu jika mereka (para penentang) kebijakan delimatis jika mati, matinya terhitung jahiliah, alias non muslim. Senada dengan hadis itu Nabi juga bersabda”
من حرج من ا لطا عة وفا رق ا لجما عة ثم ما ت ما ت مبتة جا هلية ومن قتل تحت را ية عمية يغضب للعصبة ويقا تل للعصبة فليس من ا متى ومن خرج من ا متى على ا يصرب برها وفا )جرها ال يتحا ش من مؤ منها وال يفى بذ ى عهد ها فليس منى (رواه مسلم عن ابى هريرة "barang siapa yang keluar dari ketaatan (kepada iman ) dan memisah dari jamaah (rakyat dalam kesatuannya) kemudian ia mati, maka ia mati secara jahiliah (non muslim), dan barang siapa yang berperang di bawah kebutaan pendapatnya maka ia dimurkai karena menuntut kepentingan kelompoknya. Barang siapa berperang karena kelompoknya, ia bukan dari golonganku (Nabi). Barang siapa keluar dari umt ku, bagi umatku wajib memerangi pemutusan hubungan dan kelancangannya. Para wanitanya yang tidak takut dan tidak menepati janjinya maka mereka (juga) bukan golonganku (Nabi).” (H.R. Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II : l35). Hadis di atas ini perlu dicermati dengan hati-hati dan tepat. Orang yang menentang pemerintahan dengan catatan pemerintah syah dan kebijakannya benar dengan cara mogok makan atau berdemonstrasi dengan merusak fasilitas negara dan menciptakan opini yang tidak objekktif dan menghasut orang banyak, tindakan ini sebenarnya konyol. Jika ia beragama Islam, pengakuannya tidak diterima oleh Nabi dan jika mati digolongkan non muslim. Berdalih apapun Islam tidak membenarkan mogok makan dan minum yang membahayakan kesehatannya, apalagi berakibat mati. Jika ia tidak bisa bersabar karena perilaku pemimpin (bisa berarti presiden, perdana menteri, amir, sultan, dan khalifah) selagi tidak mengajak kepada rakyat untuk bermaksiat seperti yang ia perbuat, rakyat cukup membenci dalam hati dan tidak perlu mengacuhkan. Dalam hal ini Nabi bersabda: “(suatu saat) akan ada seorang penguasa ( yang berperangai jelek). Kami semua mengetahui (kejelekannya) dan kamu mengingkarinya. Barang siapa mengetahui maka ia bebas (tak ada urusannya) dan barang siapa mengingkari ia pasti selamat, sementara itu ada orang yang senang dan mengingkarinya. Sahabat bertanya: Apakah aku tidak boleh
11 memerangi mereka wahai Rasulullah ? jawabnya: Jangan. Kamu cukup membenci dan mengingkari dalam hatimu saja.” (H.R.Muslim dari Ummu Salamah (Muslim, II : 137). Seandainya perilaku peminpin itu berperilaku munafik umpama ia menggunakan idiom-idiom, ikon-ikon atau simbol-simbol agama sementara rakyat tidak lagi mempunyai wakil untuk memperbaiki keadaan tetaplah konsisten dalam kesabarannya. Nabi bersabda:
فا عتزل تلك ا لفرق كلها ولو ا ن تعض على ا صل شجرة حتى يد ركك ا لموت وا نت. . . )على ذ لك (رواه مسلم عن حذ يفة بن ا ليما ن Hendaklah mengingkari dari semua golongan itu meskipun engkau memakan dangkel pohon dan engkau menemui ajal dalam keadaan demikian .H.R.Muslim dari Huzaifah bin alYaman. (Muslim, II : 135). Maksud hadis itu menggambarkan para pemimpin di suatu negeri dalam keadaan tidak menentu, penuh huru-hara, suasana tidak terkendali, dan kamu - tidak lagi memiliki kawan seperjuangan atau pemimpin seperjuangan untuk mengembalikan keadaan negara yang baik dan stabil, dalam keadaan ini harus tetap beriman, tidak boleh menyeberang agama, meskipun tidak lagi memiliki makanan hingga memakan dangkel pohon, bahkan mati karenanya. Berdemonstrasi, atau bahkan memerangi pemimpin - tetapi tidak berdemonstrasi dengan mogok makan - suatu saat justru dibenarkan dan wajib, yaitu suatu saat suatu negeri ada dua pemimpin, satu diantaranya harus diperangi, yaitu pemimpin yang sebenarnya tidak berhak memimpin, karena tidak mungkin dua-duanya benar. Salah satu dari keduanya pasti salah. Yang pasti salah itulah yang wajib diperangi. Nabi bersabda:
)ا ذا بو يع لخليفتين فا قتلوا اال خر منهما (رواه مسلم عن ا بى سيد ا لخذ رى “Jika (kamu) dibaiat untuk dua khalifah maka perangilah salah satu dari keduanya.” (HR. muslim) Satunya lagi yang tidak diperangi karena memang berhak untuk memerintah, ia wajib ditegakkan dan wajib didukung. Jika pemimpin itu pada akhirnya tidak bermoral, mengacu kepada hadis-hadis shahih tidak ada yang membenarkan untuk menggulingkan pemimpin. Hadis-hadis tentang kewajiban rakyat yang telah diuraikan itu dapat dijadikan acuan bagi kesimpulan ini. Umumnya kaum sunni seperti Asy’ari, al-Baqillani, al-Mawardi, an-Nasafi, at-Taftazani, dan an-Nawawi juga berpendapat demikian. Namun sebagian Syafi’iyyah, kaum teolog seperti al-Baghdadi, al-Ijji, al-Jurjani, Ibnu Hazm, dan kaum Mu’tazilah membenarkan pemberhentian pemimpin yang tidak bermoral, khianat, dan tidak melaksanakan amanahnya (Mumtaz Ahmad, l994 : l03-l04). Dengan dimikian dasar kudeta hanyalah ijtihadiyah dari ulama saja. 5. Hak Rakyat Apa yang menjadi hak rakyat adalah apa yang menjadi kewajiban pemerintah, dengan demikian hak mereka memeperoleh hak hidup secara aman, tenteram, dan perlindungan dari pemerintah selagi mereka tidak mengganggu stabilitas negara dan ketertiban umum.
6. Hak dan Kewajiban Berimbang antara Pemerintah dan Rakyat Secara prinsip hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah itu berimbang. Selagi pemerintah itu melaksanakan amanahnya, yaitu mewujudkan pemerintahan yang
12 bersih (tidak korup) dan berwibawa, memperhatikan dan mengusahakan keamanan dan kemakmuran umum, rakyat dilindungi hak-haknya, rakyat harus patuh terhadap pemerintah. Nabi bersabda:
) ا سمعوا وا طعوا فا نما عليهم ما حملوا وعليهم ما حملتم (رواه مسلم عن سما ك. . . “…dengarkanlah dan taatlah (olehmu rakyat). Apa yang menjadi (hak dan kewajiban) mereka (pemerintah) adalah memang hak dan kewajiban mereka, dan apa yang menjadi hak dan kewajiban mu memang ada padamu.” ( H.R. Muslim, II : l34). 7. Prinsip Demokratis Yang dimaksud demokratis adalah hak kebebasan bagi rakyat untuk memilih siapa pemimpin yang dikehendaki atau yang disenangi dan tidak memilih calon pemimpin yang tidak disenangi. Nabi bersabda:
عن رسول هللا صل هللا عليه وسلم خيا را ئمتكم ا لذ تحبو نهم و ويصو لون عليكم و تصلو ن عليهم و شرا را ئمتكم ا لذ ى تبغضو نهم و يبغضو نهم و تلعنهم و يلعنكم قيل يا رسول هللا ا فال تنا بذ هم با لسيف ؟ فقا ل ال ما ا قا موا فيكم ا لصالة فاء ذا را بنم من وال تكم شيئا نكر هم نه فا )كر هوا عمله وال تنز عوا يد ا من طا عته (رواه مسلم عن عوف بن ما لك “Dari Rasulullah SAW. Bersabda: Pilihanmu terhadap pemimpinmu adalah orang yang kamu senangi dan menjalin persaudaraan denganmu dan kamu juga menjalin persaudaraan dengan mereka. Jeleknya pemimpinmu adalah orang yang kamu memarahi mereka dan mereka memarahi kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu. Dikatakan: Wahai Rasulullah ! apakah kami tidak boleh meluruskan mereka dengan pedang ? Jawab beliau : Jangan ! Selagi di antara kamu (bebas) mendirikan salat. Jika kamu melihat orang yang memimpin kamu berbuat hal yang tidak menyenangkan, maka membencilah kamu terhadap perbuatan mereka dan janganlah kamu menentangnya”.(H.R. Muslim dari ‘Auf bin Malik (Muslim,II : l38). Hadis di atas secara implisit membolehkan adanya kelompok partai. Dari kelompok partainyalah seseorang mengajukan calon pemimpin. Kelompok lain juga berbuat yang sama. Calon pemimpin yang akhirnya menjadi pemimpin, kelompok partai manapun harus menaatinya. Ketaatan yang dimaksud hadis itu begitu ditekankan sehingga kalau kita (rakyat) melihat oknom pejabat berbuat yang tidak menyenangkan (ditinjau dari syariat), rakyat tidak boleh memberontak, melainkan cukup tidak menyenanginya atau bersabar selagi kebebasan beribadah masih tetap berlaku di negara itu. 8. Prinsip Bermusyawarah (syura) Syura berbeda dari demokrasi, khususnya dari aspek generikanya. Syura memiliki dimensi teologis karena bersumber dari wahyu ilahi dan suci (sacral) dan demokrasi tidak memiliki dimensi teologis karena bersumber dari pemikiran manusia dan bersifat provan.Dalam demokrasi secara konseptual memberikan hak kepemimpinan bagi yang memperoleh suara terbanyak dan yang selainnya supaya tetap menghormati, dan masih memberi hak oposisi untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah; sementara itu dalam syura memberikan hak kepemimpinan kepada yang paling sanggup memikul amanah Allah dalam bermasyarakat dan bernegara meskipun tidak didukung (baiat) oleh mayoritas, tidak memberi hak oposisi, semuanya harus taat kepada pemimpin syah. Meskipun demikian secara praktis antara demokratis dan syura amat seiring dan sejalan. Dalam memilih seorang pemimpin, wujud syura adalah baiat dan baiat secara praktis diwujudkan dengan pemungutan suara (Mumtaz, l994 : l04) dan pemungutan suara adalah
13 essensi demokrasi itu sendiri. Selanjutnya baik syura maupun demokrasi dimaksudkan untuk memecahkan semua persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, termasuk di dalamnya mengenai kehidupan politik. Allah berfirman :
Artinya :“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya “. (QS. Ali Imran : l59). Di samping mengadung prinsip syura dalam praktik berpolitik, ayat tersebut memberikan prinsip santun dan lemah lembut, sehingga tidak memberikan peluang praktikpraktik yang bersifat kasar, mengumpat, menghujat, memfitnah, anarkhis dan destruktif. Jika ada perbedaan antara kebijakan pemerintah dan rakyat, Alquran menganjurkan selain bermusyawarah menuju mufakat, supaya kembali kepada petunjuk Alquran maupun asSunnah. Alquran mengatakan:
Artinya :“ ...kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ... “ ( QS. An Nisa : 59 ). Kalau Alquran telah menjadi hakim terakhir, maka apapun keputusan Alquran nmaupun as-Sunnah harus dijujung tinggi, dilaksanakan, dan diamalkan oleh semua pihak yang bertikai. Siapa yang mengkhianati putusan atas dasar petunjuk Alquran maupun asSunnah, wajib diluruskan.
D. Sumbangan Islam dalam Politik di Negara Republik Indonesia Para pelaku sejarah perintis kemerdekaan dan pendiri negara Republik ini mayoritas - untuk tidak mengatakan hampir semua - adalah orang Islam. Mereka memasukkan essensi atau simpul Islam ke dalam dasar-dasar negara. Simpul-simpul Islam itu dapat dijalaskan sebagai berikut. 1. Pembukaan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas empat alinea. Ajaran Islam yang terserap dalam alinea ini adalah rumusan konsep peri keadilan. Adil adalah mempatkan sesuatu pada tempatnya. (wad’u syaiin fi mahallih) Dengan demikian peri keadilan baik menurut sumber (Islam) maupun konsep berbangsa dan bernegara melandasi semua kebijakan yang menyangkut seluruh rakyat Indonesia. Dalam alinea kedua terdapat kata daulat adil dan makmur. Kesemuanya berasal dari kata bahasa Arab dan simpul-simpul dalam Islam. “Daulat” berarti kekuasaan, atau perputaran. Kata daulat termuat dalam Al-Quran satu kali yaitu Surat al-Hasyr/59: 7. kata itu terserap dalam pembukaan UUD’45 dalam konteks negara yang merdeka dan memiliki
14 pemerintahan sendiri (tidak terjajah oleh bangsa asing). Sementara itu kata makmur berasal dari kata bahasa Arab ma’mur. Kata ini terdapat dalam Al-Quran satu kali:
Artinya : “ dan demi Baitul Ma' mur “ ( QS. Ath-Thur : 4 ). Maksud baitul ma’mur adalah Ka’bah. Ka’bah amat ma’mur karena dikunjungi berjuta-juta manusia setiap tahunnya sejak Islam generasi pertama hingga insya Allah hari akhir kelak. Dalam surat Hud/11: 61, kita diperintah supaya bumi ini dibuat menjadi makmur. Kata ma’mur berasal dari kata ‘amara yang berarti umur panjang. Kata itu juga berarti harta kekayaan yang banyak (Anis, II:626). Negara ma’mur berarti negara yang rakyatnya berkecukupan. Dalam alinea ketiga terdapat kata rahmat, Allah, luhur, dan rakyat. Keempat kata ini berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari ajaran Islam. Kata rahmat di dalam pembukaan UUD’45 dirangkai dengan Allah menjadi rahmat Allah. Dalam Islam rahmat Allah merupakan salah satu aqidah pokok dalam Islam. Allah berfirman:
Artinya : “ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam “. ( QS. Al Anbiya : 107 ). Atas dasar pengakuan para pendiri negara ini, di samping usaha mereka dengan penuh nilai-nilai kepahlawanan juga mengaku sebagai rahmat Allah, yang tidak dapat ditafsirkan kecuali rahmat Allah secara Islam. Sementara itu kata luhur berasal dari bahasa Arab zuhur yang berarti puncak gunung (Al-Munawwir:889). Pemakaian kata luhur dalam pembukaan dirangkai dalam ungkapan keinginan luhur yang berarti keinginan amat tinggi. Dan kata rakyat berasal dari kata ra’iyyah yang berarti gembalaan. Secara praktis
gembalaan dalam suatu negara adalah umat atau orang banyak, dan kata ra’iyyah itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat. Jadi ra’in berarti pemimpin, dan ra’iyyah berarti rakyat. Dalam alinea keempat juga banyak unsur serapan dari Islam. Karena di dalam alinea ini terdapat rumusan Pancasila, maka penjelasannya dituangkan dalam ruang sendiri yaitu Pancasila. 2. Pancasila Rumusan sah Pancasila adalah (1) Ketuhanan Ynag Maha Esa, (2) Kemanusiaan ynag adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila pertama sejalan benar dengan prinsip tauhid baik dalam level teks suci maupun pemahaman atas teks. Tidak ada antagonisme sejak bunyi wahyu hingga konsep teologisnya. Allah berfirman:
Artinya : “ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa “. ( QS. Al Ikhlas : 1 ).
15 artinya secara teologis menegaskan bahwa Allah itu Esa semurni-murninya, dan tidak ada rumusan lain yang bersifat dualitas, trinitas, atau kompleksitas. Rumusan murni itu kemudian masuk dalam rumusan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah sumbangan Islam yang justru merupakan inti ajarannya ke dalan negara Republik Indonesia tercinta ini. Dalam sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sumbangna Islam yang langsung dapat dilihat adalah konsep adil dan beradab. Adil adalah ajaran pokok dalam Islam, khususnya dalam kehidupan bersama. Kata adil atau kata yang seakar dengannya disebut dalam Al-Quran sebanyak 28 kali yang jika diringkas hendaklah manusia itu berbuat adil terhadap Allah, dirinya sendiri, sesama manusia, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun secara umum kapada alam semesta. “Beradab” berasal dari kata adab. Kata ini berasal dari bahasa Arab dan juga merupakan ajaran Islam. Adab secara leksikal berarti sopan. Ini berarti hubungan antara yang satu dengan yang lain, termasuk dalam kehidupan berpolitik dan bernegara haruslah siapapun dalam kapasitas apapun - mengambang sifat sopan dan santun. Pemerintah yang bersifat diktator atau rakyat bersifat anarkhis tidak mempunyai tempat baik dalam Islam maupun praktik kenegaraan di negara kita ini. Sila ketiga “Persatuan Indonesia”, seiring benar dengan Al-Quran sebagai berikut:
Artinya :“ manusia itu adalah umat yang satu.... “. ( QS. Al Baqarah : 213 ). Hakikat manusia yang sebenarnya satu itu masih diperintahkan supaya tidak saling bercerai berai. Allah berfirman:
Artinya :“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai .... “ ( QS. Ali Imran : 103 ). Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, merupakan perasan dari sejumlah ajaran Islam. Kata kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, dan perwakilan berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari ajaran Islam. Kata rakyat terambil dari kata ra’iyyyah. Kata ini terambil dari hadis
. .فكلكم راع و مسئول عن رعيته (Kamu semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. H.R. Muslim dari Ibnu Umar (Muslim, II:125)). Kata permusyawaratan terambil dari kata bahasa Arab musyawarah. Kata ini terdapat dalam Al-Quran
Artinya :“ ....dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.. . “ ( QS. Ali Imran : 159 ).
Artinya :“ ...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka....” ( QS. Asy Syura : 38 ).
16 Dan kata perwakilan terambil dari bahasa Arab wakil. Al-Quran menyebut kata wakila sebanyak 13 kali artinya sesuatu urusan itu diserahkan kepada yang lain untuk mengurusnya, al-mutawakilun (orang yang menyerahkan urusannya) tiga kali, dan almutawakkilin (orang yang menyerahkan sesuatu urusan) satu kali. 3. DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Lembaga tinggi negara yaitu DPR terdiri dari bahasa Arab semua. Kata dewan berarti mahkamah atau pengadilan. Untuk kata perwakilan dan rakyat telah dijelaskan dalam sub bab sebelum ini. DPR sebagai lembaga dengan demikian bersumber sepenuhnya dari Islam. Karena itu siapapun yang menjadi anggota DPR, baik berupa personal maupun kelembagaan haruslah bekerja dalam rangka memikul amanah dari Allah. Tidak boleh ada oknum DPR apalagi secara kelembagaan memperlihatkan praktik-praktik yang tidak terpuji dan membebani rakyat. 4. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Kata majelis berasal dari bahasa Arab majlis dan berarti persidangan. Untuk kata perwakilan dan rakyat telah dijelaskan di muka. MPR sebagai suatu lembaga dalam Islam disebut ahlul hall wal ‘aqd, yaitu kumpulan tokoh dan pemimpin masyarakat, dan secara generik semuanya terambil dari Islam yang kemudian di ketatanegaraan negeri ini menjadi lembaga tertinggi negara. 5. MA (Mahkamah Agung) Mahkamah Agung juga merupakan lembaga tinggi negara. Kata “Mahkamah” juga terambil dari bahasa Arab mahkamah. Kata ini berasal dari kata hakama dan menunjuk dengan hukum. Berbagai kata turunan dari hakama seperti hakim, mahkamah, hukmun, hukman, yatahakamu dan masih banyak lagi tercatat 192 kali yang semuanya berhubungan dengan hukum. Mahkamah Agung sebagai suatu lembaga tertinggi di bidang hukum ini dengan demikian dimaksudkan supaya hukum Allah menurut Islam ini berjalan dengan baik dalam gelar ketatanegaraan. Mahkamah Agung merupakan benteng terdepan sekaligus terakhhir bagi tegak atau tidaknya hukum di negeri ini. Jika lembaga ini benar-benar mengedepankan supremasi hukum, tentu tidak banyak penyelewengan dalam negara. Sebaliknya jika Mahkamah Agung tidak menjadikan dirinya sebagai good govern dan clean govern tentu negara dalam waktu singkat akan ambruk karena huru-hara dan aneka penyimpangan terjadi di mana-mana justru, pendahulu dan pemicunya lembaga tinggi negara dalam bidang hukum. Karena itu sesuai dengan tujuan dibentuk lembaga tinggi dan terhormat dalam bidang hukum ini hendaklah mengemban amanat Allah, amanat negara, amanat rakyat dengan sebaikbaiknya. Uraian sub ini dapat diringkas dan disimpulkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara formal disebut negara Pancasila, essensinya adalah negara yang dibangun atas dasar fondasi Islam.
E. Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Agama memberikan penerangan kepada manusia dalam hidup bersama termasuk dalam bidang politik atau bernegara. Penerangan itu antara lain.
17 1. Perintah untuk bersatu Islam melalui Al-Quran menganjurkan agar antar kelompok, antar golongan maupun antar partai saling melakukan ta’aruf (perkenalan). Allah berfirman:
Artinya : “ Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. ( QS. Al Hujurat : 13 ). Ayat ini sekaligus menjelaskan paham persamaan (egalitarianisme) untuk semua manusia atau lintas batas: ras, agama, bahasa, maupun adat istiadat. Allah menegaskan tinggi rendah martabat seseorang hanya ditentukan oleh takwa, itu saja Allah tidak menenttukan di mana batas tertinggi maupun terendah takwa. Hanya Allah saja yang mengetahui karena Dia lah yang menentukan batas-batas itu. Allah justru menjelaskan bahwa kita, manusia adalah suatu organis (umat) tunggal dan Allah lah satu-satunya yang disembah. Allah berfirman:
Artinya : “ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku “. ( QS. Al Anbiya : 92 ).
Artinya :“ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan aku adalah Tuhanmu, Maka bertakwalah kepada-Ku“. (QS.Al Mukminun: 52). Pemahaman terhadap Al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 menunjukkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku, dan surat al-Mukminun ayat 52 menjelaskan bahwa manusia adalah umat yang satu. Ini berarti berbagai suku, berbagai golongan, berbagai kelompok, termasuk di dalamnya kelompok politik atau yang lainnya supaya tetap bersatu. Pengikat persatuan adalah takwa. Karakter takwa antara lain menjalankan semua perintah Allah sejauh yang diketahui dan menjauhi larangan-Nya. Jadi, ukurannya gampang kalau orang itu takwa pasti iman dan senang bersatu dan menjaga persatuan dan kesatuan.
2. Larangan untuk saling curiga Islam melarang kepada semua orang baik dalam kapasitasnya sebagai individu, sebagai kelompok sosial, maupun kelompok-kelompok yang lain termasuk kelompok politik untuk saling curiga, saling melecehkan atau yang semakna dengannya. Allah berfirman:
18
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang “. ( QS. Al Hujurat : 12 ). Dengan demikian, terhadap orang lain atau kelompok lain haruslah saling mengembangkan husnuzhan (berprasangka baik). Kalau masing-masing kelompok saling menaruh husnuzhan tentu akan mempererat hubungan mereka sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 13 surat al-Hujarat tersebut. Kecurigaan dan pelecehan terhadap kelompok lain hanya akan menghasilkan ketegangan antar individu maupun antar kelompok karena kelompok yang dicurigai jika mengetahuinya pasti tersinggung hanya dirinya sebagai individu maupun atas nama kelompok. Kelompok ini tentu membalas mencurigai kepada kelompok pencuriga tersebut. Akibatnya mudah ditebak, pasti timbul saling mencurigai di antara mereka. Saling curiga tentu mudah meningkat menjadi disintegrasi bahkan konflik di antara mereka. Sebagai bangsa akan menjadi lemah jika elemen-elemen di dalamnya saling mencurigai dan bertikai. Itulah sebabnya Allah melarang umat yang saling bercerai berai. Allah berfirman:
Artinya :“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
)
janganlah kamu bercerai berai,.... “ QS. Ali Imran : 103 ). Perintah untuk bersatu dan larangan untuk bercerai berai disertai juga dengan alwa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman). Sudah barang tentu janji dan ancaman Allah pasti terjadi. Rasulullah dibebaskan dari tanggung jawab terhadap umatnya yang bercerai berai. Demikian firman Allah:
Artinya : “ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat “. ( QS Al An’am : 159 ). Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah yang mengurus orang-orang yang memecah-mecah dari keutuhan sebagai suatu umat, dan Allah pula yang akan membalas kelakuan mereka itu, yaitu siksaan yang amat pedih.
19
Artinya : “ dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat . “ ( QS. Ali Imran : 105 ). Sebaliknya orang yang tetap istiqamah dalam kesatuan umat, mereka itulah sebagai orang yang mempererat petunjuk ilahi dan dapat merasakan kenikmatan bersaudara (bersatu). Demikian firman Allah:
Artinya : “ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk “. ( QS. Ali Imran : 103 ). Mencermati perintah Allah agar kita bersatu dan larangan-Nya untuk bercerai berai itu ternyata akibatnya kembali kepada manusia itu sendiri. “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” merupakan kesimpulan padat dari perintah untuk bersatu dan larangan bercerai.
Latihan 1. Istilah politik dikenal dalam Islam, tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal politik. Carilah idiom bahasa Arab yang searti dengan istilah politik. Kemudian bedakan pengertian antara politik Islam dan politik sekuler. 2. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu,kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya). (Q.S. an-Nisa/4:59)”. 3. Ayat tersebut jika dipahami melalui pendekatan ilmu politik, sekurang-kurangnya mengandung 4 hal berkenaan dengan politik. Sebutkan dan jelaskan masingmasingnya.
4. Seorang Presiden, Khalifah, Raja, Malik, Amir, Perdana Menteri adalah orang yang diberi amanah yaitu yang harus dikelola sebaik-baiknya. Kata amanah itu seakar dengan iman, amin, amanah, dan aminah. Jelaskan arti masing-masing dan berilah narasi hubungan antara istilah itu dalam kaitannya dengan kehidupan politik.
20 5. Islam tidak memberikan petunjuk yang mendetail dan terperinci. Ini suatu kelebihan atau kelemahan? Jelaskan pula argumen Saudara. 6. Jelaskan apa saja mengenai kewajiban seorang pemimpin berikut hak-haknya. 7. Jelaskan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban rakyat terhadap negaranya. 8. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara prinsip demokrasi dan prinsip syuro dalam Islam. 9. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam alinea 1, 2, 3, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 10. Jelaskan sumbangan Islam sebagaiman tampak dalam perumusan sah Pancasila. 11. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam format lembaga tinggi negara MPR dan lembaga tinggi negaralainnya seperti DPR dan MA (Mahkamah Agung). 12. Menurut Islam hakikat umat manusia itu satu, dan kesemuanya supaya taat, patuh, dan takut kepada Allah. Tulislah dalil sekurang-kurangnya terjemahannya yang menunjukkan pernyataan ini. 13. Allah menciptakan manusia bersuku-suku, untuk apa maksudnya? 14. Islam memiliki kandungan egalitarianisme. Apa yang dimaksud dengan istilah itu? Kemudian apa yang membedakan martabat manusia yang satu dengan yang lainnya?
\
DAFTAR PUSTAKA Almunawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak. [t.th.]. Anis, Ibrahim (et all.). al-Mu’jam al-Wasith, II. Saudi Arabia: Hasan ‘Ali ‘Aliyyah. Muhammad Syarqi Amim, [t.th.]. An-Naisaburi, Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, II. Makkah: Dar Yahya’ al-Kutub al- Arabiyyah-Indonesia,[t.th]. Al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abu Dawud .III.[t.tp]: Mahmud’Ali as-Sair,[t.th]. Budiharjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982 Daud Ali,Mohamad. PendidikanAgama Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Delian Noer,Pengantar kePemikiran Politik. Jakarta Rajawali 1983. Esposito, John.Ensiklopedi Oxford:Dunia Islam Moderen, IV. Bandung: Mizan, 2001. Maududi, Abul A’la. Human Right in Islam, (terj.), Ahmad Nashir Budiman: Hak Asasi Dalam Islam. Bandung: Pustaka, l985. Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: UI Press, l981. Websters, Noah,Webster Twentieth Century Dictionary, USA: William Collins Publishers, l980.
MODUL AGAMA ISLAM HUKUM SYAR’I Standar Kompetensi Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan:
21 1. Mengerti hukum syar’i dan pembagiannya 2. Mengerti pembagian dan masing-masing bagian tentang hokum syar’i 3. Memahami penerapan syariat Islam di masa kini, antara lain di negeri kita Republik Indonesia 4. Mampu menaati hukum yang berlaku A. Pengertian Hukum Syar’i Dan Pembagiannya Dalil - Dalil Syara’ Serta Pembagian Hukum Syara’ 1. Pengertian Hukum Syar’i Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyah). yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (Sabda) pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Menurut Muhammad Idris As-Syafi’i (Imam Syafi’i) dalam kitab Al-Risalah menyatakan : Syari’at adalah peraturan-peraturan yang bersumber dan wahyu ilahi mengenai tingkah laku manusia. 2. Syari’at Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam herhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam bermasyarakat. Dalam syari’at Islam atau hukum Islam, muncul ilmu pengetahuan yang dinamakan ilmu. Ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari syari’at. Orang yang paham ilmu fiqih disebut Fakih. Ilmu fiqih yaitu ilmu yang bertugas memahami dan menguraikan norma- norma dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an & Hadis. 3.
Perbedaan syari’at Islam dengan fiqih adalah sebagai berikut: a. Syari’at terdapat dalam A1-Qur’an dan Hadits, sedangkan fiqih terdapat dalam kitab fiqih. b. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dan fiqih. Fiqih bersifat instrumental ruang lingkupnya terbatas. c. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rosulnya, karena itu berlaku abadi. Sedang fiqih karya manusia yang dapat beruhah dan masa ke masa. d. Syari’at hanya satu, sedangkan liqih lebih dan satu, sehingga timbul aliran-aliran hukum dan madhab - madhab. e. Syariat menujukkan kesatuan dalam islam, sedangkan fiqih merupakan keragarnan. ( Mukhtar Yahya & Fathurrohman, 1993 : 121 ). B. Pembagian Dalil – Dalil Syara’. Sebagian kecil dan golongan ahli Ushul fiqih membedakan pengertian dalil dengan amarah. Golongan ini mengkhususkan pengertian dalil kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara qath’i, sedangkan amarah dikhususkan kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara zhanni. Biarpun demikian para ahli Ushul fiqih yang mashur menetapkan bahwa pengertian dalil itu sudah mencakup kedua pengertian tersebut secara mutlak, haik secara qath’i maupun secara zhanni. Atas dasara iru!ah lumbur (golongan tersbesar) ahli Ushul membagi dalil itu kepada dalil qath’i yakni Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir dan dalil zhanni yakni Hadits Ahad dan sebagainya. Bukan membaginya kepada dalil dan amarah. Dalil-dalil syara’ yang telah disepakati oleh jumhurahli Ushul ada 4 macam. Dalil - dalil berturut-turut adalah sehagai berikut: Al-Qur’an, As-
22 Sunnah, Al - ijma’, Al - Qiyas. Sebagai bukti keharusan beristidlal dengan 4 macam dalil hukurn tersehut di atas ialah firman Allah: Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. ( QS. An Nisa’ : 59 ). Perintah untuk mengikuti Allah dan RasulNya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan perintah utnuk mentaati orang yang memegang kekuasaan adalah perintah untuk mengikuti hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh badan-hadan yang mempunyai kekuasaan rnemhuat undang - undang dan golongan kaum muslimin. Adapun perintah untuk memulangkan perkara yang dipertengkarkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan analogi (qiyas). selama tidak ada nash dan ijma’. 1. AL-QUR’AN a. Ta’rif Al-Qur’ an adalah ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam bahasa Arab dengan perantara malaikat Jibril. sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup hagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya. Artinya : “ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. ( QS. Al Hijr : 9 ). b. Keistimewaan Al-Qur’an Di antara keistimewaan Al-Qun’an ialah hahwa lafal dan ma’nanya berasal dan Tuhan. Lafalnya yang berbahasa Arab itu dimasukkan oleh Allah ke dalam dada Nabi Muhammad. kemudian beliau membacanyadan terus menyampaikan kepada umatnya. c. Kehujjahan AI-Qur’an Tidak ada perselisihan pendapat di antara kaum muslirnin tentang Al-Qur’an itu berdiri sebagai hujjah (argumentasi) yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum - hukum yang wajib ditaati itu dan sisi Allah. Artinya : “ Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". ( QS. Al Isra’ : 88 ). Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada Nabi Muhrnmad bahwa beliaulah yang membuat Al - Qur’an itu. Kernudian Allah memerintahkan menentang mereka dalam firman-Nya: Artinya : “ atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." ( QS. Yunus : 38 ). Ketika mereka ternyata lemah. tidak sanggup membuat sebuah surat yang ma’nanya dengan Al-qur’an itu, maka Allah rnernerintahkan untuk membuat tantangan kcpada mereka agar membuat sepuluh surat yang memadai seni dan gaya bahasnya, dalarn firrnanNya: Artinya : “ bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat
23 yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar ". ( QS. Hud : 13 ). Kemudian setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah, Allah memerintahkan kembali untuk mengadakan tantangan kepada mereka dalam firmanNya: Artinya : “ dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. ( QS. Al Baqarah : 23 ). Biarpun orang-orang kafir tersebut sudah berusaha dengan sungguh-sungguh membuat surat-surat Al-Quran untuk menandinginya, namun sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Akhirnya mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui bahwa Al-Qur’an adalah di luar kemampuan manusia. lnilah sebagai bukti bahwa A1-Quran itu datang dan sisi Tuhan. d. Macam-Macam Hukum Dalam Al - Qur’an Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al - Qur’an itu ada 3 macam. 1) hukum-hukum i’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk rnernpercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul - rasul-Nya dan hari pembalasan. 2) hukum-hukum akhlaq. Yakni tingkah laku yang berhuhungan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela 3) hukum-hukum amaliah. Yakni yang bersangkutan dengan perkataan - perkataan, perbuatanperbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerja sama) sesama manusia. Macam yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih. e. Dalalah (petunjuk) ayat-ayat Al-Qur’an Nash-nash Al - Quran itu. itu ditinjau dan segi penunjukannya (dalalahnya) terhadap hukum-hukum terbagi kepada 2 macam. 1) Qati’iy ud-dalalah 2) Zhanniyud-dalalah . 2. AS-SUNNAH a. Ta’rif As-sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasullah saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disandarkannya kepada Rasullah saw. Maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam. Yaitu: 1) Sunnah qauliyah (perkataan) 2) Sunnah fi’liyah (perbuatan) 3) Sunnah taqririyah (persetujuan) b. Kehujjahan As-Sunnah 1) Al - Qur’an Misalnya firman Allah: Artinya : “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(QS. Ali Imran: 32) Di dalam surat An Nisa : 80, Allah menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah saw. adalah sama dengan taat kepada Allah. firman-Nya. Artinya : “ Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka “. ( QS. An Nisa’ : 80 ). 2) Kedua, As – Sunnah 3) Ketiga, Ijma’us sahabat 4) Keempat, Logika/Qiyas. Firman Allah: Artinya : “keterangan - keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan“ (QS. An Nahl : 44 ). c. Nisbah (hubungan) as-Sunnah dengan AI-Qur’an Nisbah (hubungan) as-sunnah dengan Al-
24 Qur’an ditinjau dan segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at adalah hahwa as-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dan pada Al-Qur’an. Adapun nisbah as-Sunnah dengan Al-Qur’an dan segi materi hukum yang terkandung di dalarn ada tiga macam. Yakni: 1) Menguatkan (muakkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an, misalnya shalat, dan zakat telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an: Artinya : “ dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat! …" ( QS. An Nisa’ : 77 ). 2) Memberikan keterangan (bayan) ayat-ayat al-qur’an. Dalam memberikan penjelasan ini ada 3 macam. Yakni: a) Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal, misalnya perintah sembahyang di dalarn A1-Qur’an: Artinya : “Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman “. ( QS. An Nisa’ : 103 ). Kemudian Rasulullah saw. Menerangkan waktu-waktu sembahyang, jumlah raka’ atnya, syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya, dengan mempraktikkan sembahyang lalu setelah itu bersabda kepada para sahahat: Bersembahyanglah kamu seperti yang kamu lakukan lihat bagaimana aku mengerjakan sembahyang. (HR. Bukhari). Demikian juga dalam kewajiban berzakat. dan pergi haji Allah berfirman secara global, kemudian Rasulullah saw. Menjelaskan macam-macam dan besarnya harta yang dizakatkan dan menjelaskan cara-cara menjalankan ibadah haji. b) Membatasi kemutlakannya (taqyidul-mutlak,), misal nya Al -Qur’ an mernbolehkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat atas harta peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi rnaksimalnya. dalam frrnan-Nya: Artinya : “ …sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.. “. ( QS. An Nisa’ : 12 ). Kemudian Rasulullah memberikan batasan maksimal wasiat yang diperkenankan dalam salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi waqqash yang meminta agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peniggalannya. Setelah permintaan wasiat sehesar itu ditolak oleh beliau, minta diperkenankan wasiat 1/2 harta peninggalannya dan setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu minta diperkenankan 1/3 hartanya. Rasullah mengizinkan 1/3 ini, katanya: sepertiga itu adalah banyak dan besar. Sebab jika kumu meninggulkan ahli warisan dalam keadaan kecukupun adalah Iebih baik daripada jiku kamu meninggalkan mereka dalam keadaun miskin yang meminta-minia kepada orang banyak. (HR. Bukhari-Muslim). c) Mentakhshishkan keumumannya (takhshishul-‘am). Misalnya Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang tiada disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya: Artinya : “ diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi… “ ( QS. Al Maidah : 3 ). Kemudian Rasulullah saw. Mengkhususkannva dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut. belalang, hati dan limpa dalam sabdanya: Dihalalkan bagi kamu dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang. Sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim). Demikian juga dalam masalah pusaka - mempusakai antara anak dengan kedua orang tuanya disebutkan secara umurn oleh Allah dalam firman-
25 Nya: Artinya : “ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan… ”. ( QS An Nisa’ : 11 ). Dalam ayat tersebut dikatakan secara umum orang tua yang mewariskan harta peninggalannya kepada anak-anaknya. Kemudian keumuman itu ditakhshishkan oleh sabda Rasulullah saw: Kami, khususnya para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah. (Rw. Bukhari-Muslirn). Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan secara umum dengan Iafal “au1adakum” (anak - anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw. Kepada anak yang dapat mewarisi. Sedangkan anak yang tidak berhak mempusakai harta orang tuanya, misalnya karena ia membunuh orang tuanya, dikeluarkan dan pengertian umum itu, mengingat sabda Rasulullah saw: Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan orang yang dibunuh sedikit pun. (HR. An-Nisa’i). d) Mencipiakan hukum baru yang tiada terdapat di dalam Al - Qur ‘an. Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku kuat seperti yang dirwayatkan oleh lbnu Abbas: Rasulullah saw. Melarang memakan setiap binatang yang bertaring dan golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat dan golongan burung. (Rw. Muslim) Dan beliau mengharamkan seorang laki-laki mengawini wanita yang sepersusuan, karena mengawini wanita yang sesusuan itu adalah sama dengan mengawini wanita yang tunggal nasab. Sabda beliau: Sungguh Allah telah mengharamkan sesesorang mengawini wanita karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah mengharamkan mengawini wanita karena senasab. (Rw. Bukhari-Muslim) Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasullah saw. itu adakalnya atas ilham dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijthad sendiri. tetapi karena dasar yang dipergunakan berhjtihad itu adalah jiwa dan dasar perundang - undangan yang umum dalam Al - Qur’an, maka mustahillah ia bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. d. Pembagian Sunnah Sunnah ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya orang-orang yang pada menriwayatkan dari Rasullah saw. dibagi kepada 3 bagian: 1) SunnahMutawatirah 2) SunnahMasyhurah 3) Sunnah Ahad (Shohih, Hasan Dan I)ho’iI) e. Perkataan dan Perbuatan Rasulullah saw. yang bukan merupakan syari’at Sabda, perbuatan dan taqrir rasulullah saw. Adalah syari’at yang harus ditaati oleh kaurn muslimin selama sabda, perbuatan dan taqrir tersebut keluar dari beliau Rasulullah dan memang dimaksudkan sebagai undang-undang umurn yang wajib ditaati. 3. AL - IJMA’ a. Ta’rif Ijma’ menurut istilah ahli ushul fiqih ialah persepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah saw. Terhadap suatu hukurn syar’i mengenai suatu peristiwa. b. RukunRukun Ijma’ 1) Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada heberapa orang mujtahid. 2) Seluruh mujtahid kaum muslimin rnenyetujui hukurn syara’ yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka. 3) Persepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dan mereka secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan. 4)
26 Persepakaan itu haruslah merupakan persepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. c. Kehujjahan ijma’ Sebagai bukti bahwa ijma’ itu menjadi hujjah adalah sehagai berikut: 1) Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu ”. ( QS. An Nisa’ : 59 ). 2) Sabda Rasullah saw.: Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan. (HR. lbnu Majah). Dan sabda beliau yang menejelaskan penghargaan yang baik dari Allah terhadap pendapat yang baik dari kaum muslimin: Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, di sisi Allah pun dipandang baik juga. (HR. Ahrnad) 4. AL-QIYAS a. Ta’rif Yang dinamakan Qiyas, menurut para ahli Ushul Fiqih, adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. b. KehujjahanQiyas Jumhur ulama’ berpendirian bahwa Qiyas itu adalah menjadi hujjah syari’at (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia. dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at. c. Rukun-Rukun Qiyas Setiap Qiyas, mempunyai 4 rukun. yakni: 1) Ashal (pokok) 2) Far’u (cabang) 3) Hukum ashal 4) ‘illat. C. Pembagian Hukum Syara’ Dengan memperhatikan kembali tarif hakikat hukum menurut Ushuliyun sehagaimana dikemukakan di atas, nyatalah bahwa elemen - elemen yang terdapat dalam ta’rif itu membedakan hukum kepada dua macam. Yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i. 1. HUKUM TAKLIFI a. Ta’rif HUKUM TAKLIFI Khitah-khitab tersebut dinamai hukurn taklili karena mengandung pembebanan (taklif) kepada para mukallaf untuk dikerjakan, ditinggalkan atau dipilih antara dikerjakan dengan ditinggalkan. Tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan atau untuk meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai pemberian beban. Adapun pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan satu perbuatan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi hanya alternatif belaka. Para Ushuliyun memasukkannya ke dalam pembebanan (hukumtaklif) adalah berdasarkan kepada urnumnya (ghalibnya). ( Mukhtar Y. dan Fathurrohman, 193 : 124 ). b. Pembagian hukum taklifi Hukum taklifi itu ada 5 macam : 1) Ijab, yang dirnaksud ijab ialah khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Artinya : “…Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman“.(QS. An Nisa’ : 103 ). 2) Nadb. Nadb ialah khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan. 3) Tahrim. Yakni khitab syari yang menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, sebagaimana firman Allah: Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk… “ ( QS. An Nisa’ : 43 ). 4) Karahah. Ialah khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan. 5) Ibahah. Ibahah ialah khitab syari yang mengandung hak pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Berikut ini dikemukakan perbandingan pembagian hukum taklifi menurut ulama jumhur dengan Hanafiah. Menurut Jumhur Menurut Hanafiah 1). Ijab 1. Fardhu, bila
27 ditunjuk oleh dalil qath’i 2. Wajib, bila ditunjuk oleh dalail zhanni 2). Nadb (mandub, sunnat ) 3. Sunnat, bila selalu dikerjakan oleh nabi, kecuali udzur. 4. Mandub, bila banyak beliau tinggalkan aripada beliau kerjakan. 3). Tahrim ( haram ) 5. Haram, bila dilarang oleh qath’i 6. Karabah Tahrim, bila dilarang oleh dalil zhanni. 4). Karahah 7. karahah – tanzil 5). Ibahah ( mubah, jaiz, halal ) 8. Ibahah ( mubah ). Dengan memperhatikan kembali keterangan sebagaiman dikemukakan di atas, maka dapatlah kiranya disimpulkan hahwa: a) Perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu ada 2 macam yakni : wajib dan mandub. b) Perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu ada 2 macam yakni : haram dan makruh. c) Perbuatan yang diperkenankan dipilih untuk dikerjakan atau ditinggalkan ada satu macam saja, yakni mubah. c. Tujuan Umum Syari’at Islam 1) Menegakkan Kemaslahatan Tujuan syari’at Islam itu dapat dipahami dan diterima oleh akal pikiran manusia, kecuali halhal yang bersifat ta‘abbudi dan sesuatu yang hikamnya tidak dima‘qul (tidak dapat dipahami). ( Yusuf Al Qardhawi, 1997 : 55 ). Setiap orang yang belajar syari’at Islam, akan mengatakan hahwa hukum-hukum yang tertuang di dalam syari’at Islam itu berorientasi memelihara kemaslahatan para mukallaf, menolak kemafsadatan (kerusakan), dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad sehagai rahmatan lil alamin, sebagaimana yang tertuang didalarn firman-nya surah Al-Anbiya ayat 107: Artinya : “ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam ”. ( QS. Al Anbiya’ : 107 ). Allah juga menjadikan Al-Qur’an sehagai obat, petunjuk dan rahmat bagi orang yang mau mengikuti dan beriman kepada-Nya, sebagairnana firman Allah surah Yunus ayat 57: Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman “. ( QS. Yunus : 57 ). Barangsiapa yang membaca dan mengamati hukum-hukum yang tertuang dalam syari’at Islam dan memikiran sesuatu yang di ta‘lil (dicari alasan) dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka ia akan menemukan penjelasan bahwa syari’at Islam bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan semua makhluk, terutama dalam bidang-bidang ibadah. Disyariatkannya ibadah adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia yang taklifi. Allah butuh kepada ibadah hamba-Nya. ketaatan dan kesyukuran manusia tidak memberikan manfaat bagi Allah, sebagaimana maksiat hamba tidak memudharatkan Allah, semua perbuatan manusia itu akan berpulang kepada manusia itu sendiri. Ketentuan ini tertuang dalam firman Allah An - NamI ayat 40: Artinya : “dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia ". ( QS. An Naml : 40 ). Sesungguhnya hikrnah, rahmat, kebaikan, dan kemurahan Allah itu menuntut manusia untuk beribadah dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan kebahagian buat mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, dalam kitab Allah (AlQur’an) kita temukan tujuan-tujuan pokok ibadah ritual dalam Islam, seperti dalam persoalan wudu. Allah SWT berfirman Artinya : “..Allah tidak hendak menyulitkan
28 kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur “. ( QS. Al Maidah : 6 ). Mengenai salat, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ankahut ayat 45 Artinya : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al Ankabut : 45 ). Mengenai hukum yang berkaitan dengan zakat, Allah SWT berfirman dalam surah At-tauhah ayat 103 : Artinya : “ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka... “ ( QS. At Taubah : 103 ). Mengenai puasa, Allah SWT berfirman dalam surah Al - Baqarah ayat 183 Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “. ( QS. Al Baqarah : 183 ). Mengenai haji, Allah SWT berfirman dalam surah Al - Hajj ayat 28 : Artinya : “ supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (Hari Raya Haji dan Tasyrik) “ . ( QS. Al Hajj : 28 ). 2) Memusnahkan Kemafsadatan Jika syari’at Islam bertujuan memelihara dan mewujudkan kemaslahatan, maka ia pun mempunyai tujuan untuk menghilangkan dan memusnahkan kemafsadatan serta mencegahnya. Mereka yang menganggap kemaslahatan sebagai dalil syara’ yang berdiri sendiri, berpegang pada hadis yang artinya: “Tidak boleh membinasakan diri dan saling membinasakan.” Maksud kata : Laa Dharara Wa Laa Dhiraara adalah seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan tidak pula boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang itu tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga. Para ulama berpendapat, bahwa hukum asal dalam kata : Dharara pada hadis tersebut itu menunjukan ‘hararn”. Sebab, kata dharara itu nakirah dalarn bentuk nafi. Karena itu, kata-kata tersebut mencakup seluruh jenis kemudharatan. Yakni, seluruh jenis perbuatan yang dapat merugikan dan mencelakakan. Berbeda dengan kemalahan (kebaikan). Hukum asal kemaslahatan adalah halal, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 29: Artinya : “ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu “. ( QS. Al Baqarah : 29 ). Sebagaimana yang telah dijelaskan lmam Asy-Syatibi, bahwa sesungguhnya memelihara kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at Islam itu dapat ditinjau dari dua aspek : aspek positif dan negatif. Aspek positif, memelihara dan menegakkan tiang syari’at Islam, sedangkan aspek negatif mengantisipasi dan menolak kerusakan (mafsadat) baik pada masalah yang belum, sudah, maupun yang akan terjadi. Karena itu, menolak dan mengantisipasi timbulnya kemafsadatan adalah wajib guna menegakkan kemaslahatan. Bahkan, memelihara maslahat itu juga termasuk wajib guna meniadakan kerusakan (mafasadah), seperti yang disinyalir Imam Asy-Syatibi. Di atas kekuatan dan pondasi itulah segala perintah dan larangan dalam syari’at Islam itu di tegakkan. Imam Qarrafi berkata “Jika sudah diketahui, bahwa segala perintah dalam syari’at Islam itu bergantung pada kemaslahatan, sebagaimana larangan juga bergantung pada mafsadah, maka ketahuilah bahwa kemaslahatan itu ada di derajat terendah, maka ada hukum sunnah, dan jika derajat
29 yang paling tinggi, maka ada hukum wajib. Begitu juga mafsadah, jika ia ada diderajat terendah maka ada hukuman makruh. Hukum makruh ini akan naik, sesuai dengan naiknya mafsadah sehingga ia sampai pada derajat makruh paling tinggi, di hawah derajat haram. Jika ia ditingkatkan paling tinggi, maka ada hukum haram. 3) Sikap Syari’at Islam : Antara Kemaslahatan Dan Kemafsadatan Jika antar kemaslahatan saling bertentangan, atau jika kemaslahatan berlawanan dengan kemafsadatan, bagaimana sikap syari’at Islam? Maksudnya, suatu perkara itu terkadang satu sisi memberikan kemaslahatan pada seseorang atau suatu golongan, pada sisi lain menimbulkan kemafsadatan. Hal ini sering muncul di tengah-tengah masyarakat. Untuk menyikapi kondisi tersebut, syari’at Islam mengambil jalan taufiq (mengumpulkan nash - nash yang saling berlawanan). Jika jalan taufiq tersebut tidak mungkin, maka syari’at Islam menempuh jalan tarjih. d) Peran Agama dalam Penegakan Hukum Agama sangat perlu bagi penegakan hukum, terutama lagi bagi Jaksa dan Hakim. Sebab dengan dasar Agama maka ia akan memutuskan suatu perkara yang seadil-adilnya. Sebuah pepatah arab mengatakan “Qu1il haqqa walau kaana murran” / katakanlah yang haq (benar) walau pahit rasanya. ( Idris Ramulyo 1981 – 1999 ). Diantara realisme syariat Islam itu adalah ia tidak hanya memberikan nasihat keagamaan dan bimbingan akhlaq an-sich, tetapi juga ia menetapkan “Undang-Undang Kriminal”, sebab manusia yang berbuat kriminalitas itu tidak hanya bisa dicegah dengan nasihat-nasihat saja, melainkan juga perlu hukuman dan tindakan kekerasan yang sesuai dengan kejahatannya. Mengenai hal tersebut Khaifah Usman bin Affan mengatakan jika nasihat-nasihat keagamaan itu tidak bisa menekan atau menghilangkan angka kriminalitas, maka seseorang harus menggunakan pendekatan kekuasaan. D. Syarat Penerapan Syariat Islam 1. Penerapan Syari’at islam Di Masa Kini Syari’at Islam relevan untuk diterapkan di zaman sekarang, bahkan di negeri - negeri non Islam sekalipun. Sebab, ia cocok untuk setiap zaman dan tempat. Bahkan, ia yang hanya patut untuk zaman sekarang, sementara kondisi ekonomi, sosial, politk, pemerintah, dan kebudayaan berbeda dengan zaman penerapan syariat dahulu? Misalnya, di hidang ekonomi, muncul hal-hal yang aktual, seperti: Bank. Asuransi, dan lain-lain. Bidang sosial kemasyarakatan, merebaknya kaum buruh dalam percaturan kehidupan dan aliran pandangan sosialis di dalam percaturan kehidupan dan aliran pandangan sosial di dalam sistem perekonomian. Tampilnya kaum wanita aktif bekerja di jalan-jalan raya, pabrik - pabrik, dan tokotoko serta kantor sementara kaum laki-laki banyak pengangguran. Pengaruhnya sangat besar bagi tatanan keluarga dan kehidupan seluruhnya. Munculnya teknologi canggih, di banyak negara, ilmu pengetahuan yang telah merebak begitu kuat untuk memerangi kaum yang buta huruf. Keuntungannya, dapat meningkatnya bangunan dan semakin mudahnya sarana kehidupan. Bidang politik, muncul sistem perwakilan sebagai saluran aspirasi rakyat, lahir sistem pembagian kekuasaan. dan sistem-sistem lainnya. Bidang komunikasi antar Negara, Jarak menjadi begitu dekat seakan-akan dunia ini satu negara, sementara umat manusia bosan perang dan dakwah pun mendapat respon posistif baik oleh individu maupun masyarakat. (Yusuf Al
30 Qardhawi 1997 : 285 ) Perubahan dan perkembangan dunia yang begitu mengglobal, apakah syari’at Islam dapat meresponnya? Apakah hukum-hukum Islam itu cocok untuk diterapkan pada zaman sekarang? Jawabannya, syari’at Islam adalah kekal abadi. mampu menghadapi dan merespon problematika kontemporer dan sanggup untuk mengantisipasinya. Ia mampu mengarahkan dan membimbing kehidupan ini di atas jalan hidayah Allah. Problem kontemporer tersebut dapat direspon diatasi oleh syari’at Islam, akan tetapi dengan beberapa syarat yang harus ditempuhnya. Di antaranya adalah membuka pintu ijtihad bagi mereka yang mampu dan kembali mengikuti jejak salaf ash-shaleh serta melepaskan diri dari fanatisme mazhab dalam hal yang berkaitan dengan tasyri’ untuk masyarakat seluruhnya. Pintu ijtihad telah dibuka oleh Nabi SAW. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menutupnya. A1Qur’an maupun hadis tidak kita mengharuskan untuk terikad satu mazhab fiqih tertentu. Bahkan, pernyataan-pernyataan para Imam Mazhab banyak yang melarang bertaqlid dalam hal-hal yang diijtihadi mereka, terlebih-lebih dijadikan agama atau syari’at. Imarn Malik, misalnya. pernah diminta Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur untuk menulis sebuah kitab yang berisi seleksi antara kemurahan lbnu Abbas dan kekerasan - kekerasan hukum Ibnu Umar r.a. Lalu Imam Malik menulis kitab Muwaththa’ itu dijadikan kitab undang-undang resmi negara dan diberlakukan kepada seluruh umat Islam. Imam Malik tidak merestuinya. Dengan kealiman, kefakihan, kebijakan, dan kewara’annya, beliau berkata kepada khalifah : jangan anda lakukan, wahai amirul mukminin! Mereka telah banyak mendengar hadis dan pendapat lain. Biarkanlah mereka mengamalkan sesuai dengan pilihannya. Dalam riwayat, Imam Malik berkata: Para sahahat Rasulullah SAW tersebar diberbagai negeri, dan masing-masing penduduk negeri tesebut belajar kepada mereka. Karena itu, jika mereka kita haruskan untuk mengikuti satu pendapat saja, niscaya akan timbul fitnah. Mendengar jawaban yang bijak dan Irnam Malik tersebut. Kahliiah Ahu Ja’far Al-Mansur puas dan mengurungkan niatnya. Imam Malik tidak akan membenci kita, jika pikiran dan pendapat kita diluar hasil ijtihadnya. Kita tidak akan dibenci para Imam selain Imam Malik, jika kita pindah kependapat lain yang menurut kita benar, meski pendapat tersebut menyalahi pendapat mereka. Sebab, tidak ada dari mereka yang menyatakan bahwa dirinya maksum. Imam Malik pernah mengatakan : “Setiap orang itu pendapatnya boleh diambil dan boleh dibuang, kecuali pendapatnya Nabi Muhammad SAW.” beliau juga pernah mengatakan : “Genersi akhir umat ini tidak akan baik, kecuali dengan faktor-faktor yang membuat generasi pertama dahulu menjadi baik.” 2. ljtihad Dalam Masalah-Masalah Baru Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah bagi umat Islam urnumnya. khususnya bagi para ularna untuk melaksanakan ijtihad dalam masalah baru akibat perubahan zaman dan situasi, dan mengeluarkan hukum yang cocok dengannya dengan berpedoman pada nash-nash, qiyas, istihsan, istislah, sadduddari’ah, ‘urf yang benar, atau lainnya yang dinyatakan dalam ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya. Sekarang dunia mengalarni peruhahan dan perkembangan yang luar biasa. Ada yang menyebutnya dengan era kebangkitan ke dua, yakni, sebuah era di mana manusia mulai disibukkan untuk
31 memerankan kemampuan otaknya melalui media elektronik. Syari’at Islam harus mampu meresponnya untuk memberikan kepastian hukum pada kejadian dan masalah baru tersebut. Di sinilah ijtihad mempunyai peran besar. Latihan 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan As sunnah, dan sebutkan beberapa fungsi Assunnah terhadap Al-Qur’an 2. Apakah yang dimaksud dengan ljtihad? 3. Apakah tujuan Hukum Islam? 4. Apakah yang dimaksud dengan Syariat? dimana letak perbedaan antara Syariat dengan Fiqih.? 5. Jelaskan pengertian A1-Ahkam Al-Khomsah (Hukum Lima)! 6. Jelaskan landasan dan sumber hukum Islam! 7. Coba Saudara jelaskan mengapa syariat islam dikatakan lebih mantap daripada hukum Islam? 8. Didalam hukum islam dilihat asas keadilan, asas kepastian hukum & asas manfaat. Jelaskan! 9. Bagaimana kedudukan Qiyas dalam hubungannya dengan hukum islam? 10. Jelaskan secara ringkas sumber-sumber hukum islam ? 11. Hukum islam menganut sistem hukum terbuka & tertutup. Dapatkah Saudara jelaskan mengapa demikian ? 12. Hukum islam menganut sistem hukum terbuka & tertutup. Dapatkah Saudara jelaskan mengapa demikian ? 13. Bagaimana peranan agama dalam penegakan hukum ? 14. Bagaimana cara melakukan ijtihad dalam masalah-masalah baru? 15. Jelaskan cara penerapan syariat islam dimasa kini? DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali pers, 1982. Idris Ramulya, Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1999. Muhkhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung: Al-Ma’arif. 1993. Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Aneka Ilmu, 1997
Latihan 1. Istilah politik dikenal dalam Islam, tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal politik. Carilah idiom bahasa Arab yang searti dengan istilah politik. Kemudian bedakan pengertian antara politik Islam dan politik sekuler. 2. Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu,kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya). (Q.S. an-Nisa/4:59)”. 3. Ayat tersebut jika dipahami melalui pendekatan ilmu politik, sekurang-kurangnya mengandung 4 hal berkenaan dengan politik. Sebutkan dan jelaskan masing-masingnya. 4. Seorang Presiden, Khalifah, Raja, Malik, Amir, Perdana Menteri adalah orang yang diberi amanah yaitu yang harus dikelola sebaik-baiknya. Kata amanah itu seakar dengan iman, amin, amanah, dan aminah. Jelaskan arti masing-masing dan berilah narasi hubungan antara istilah itu dalam kaitannya dengan kehidupan politik. 5. Islam tidak memberikan petunjuk yang mendetail dan terperinci. Ini suatu kelebihan atau kelemahan? Jelaskan pula argumen Saudara. 6. Jelaskan apa saja mengenai kewajiban seorang pemimpin berikut hak-haknya.
32 7. Jelaskan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban rakyat terhadap negaranya. 8. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara prinsip demokrasi dan prinsip syuro dalam Islam. 9. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam alinea 1, 2, 3, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. 10. Jelaskan sumbangan Islam sebagaiman tampak dalam perumusan sah Pancasila. 11. Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam format lembaga tinggi negara MPR dan lembaga tinggi negaralainnya seperti DPR dan MA (Mahkamah Agung). 12. Menurut Islam hakikat umat manusia itu satu, dan kesemuanya supaya taat, patuh, dan takut kepada Allah. Tulislah dalil sekurang-kurangnya terjemahannya yang menunjukkan pernyataan ini. 13. Allah menciptakan manusia bersuku-suku, untuk apa maksudnya? 14. Islam memiliki kandungan egalitarianisme. Apa yang dimaksud dengan istilah itu? Kemudian apa yang membedakan martabat manusia yang satu dengan yang lainnya?
DAFTAR PUSTAKA
Almunawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak. [t.th.]. Anis, Ibrahim (et all.). al-Mu’jam al-Wasith, II. Saudi Arabia: Hasan ‘Ali ‘Aliyyah. Muhammad Syarqi Amim, [t.th.]. An-Naisaburi, Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, II. Makkah: Dar Yahya’ al-Kutub al- Arabiyyah-Indonesia,[t.th]. Al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abu Dawud .III.[t.tp]: Mahmud’Ali as-Sair,[t.th]. Budiharjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982 Daud Ali,Mohamad. PendidikanAgama Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Delian Noer,Pengantar kePemikiran Politik. Jakarta Rajawali 1983. Esposito, John.Ensiklopedi Oxford:Dunia Islam Moderen, IV. Bandung: Mizan, 2001. Maududi, Abul A’la. Human Right in Islam, (terj.), Ahmad Nashir Budiman: Hak Asasi Dalam Islam. Bandung: Pustaka, l985. Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: UI Press, l981. Websters, Noah,Webster Twentieth Century Dictionary, USA: William Collins Publishers, l980.