Sistem Perjanjian Pertambangan Skala Besar (Kontrak Karya) yang Tidak Adil Sejak tahun 1967 (sejak dimulainya pemerintahan Orde Baru) terjadi perubahan pandangan terhadap investasi asing. Pemerintah orde baru melihat investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini terlihat dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing No. 1 tahun 1967 yang salah satu pasalnya memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di bidang pertambangan (lihat pasal 8 UU No 11 tahun 1967). Tak lama berselang, keluarlah UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan, yang semakin mengukuhkan jalan bagi investasi asing di bidang mineral. Implikasi dari dua kebijakan tersebut adalah dimulainya sistem kontrak dalam eksploitasi mineral, sistem kontrak mengakibatkan Negara Indonesia dan Perusahaan dalam kedudukan sejajar (menjadi para pihak pembuat kontrak). Dalam kedudukan seperti ini sesungguhnya negara telah kehilangan kekuasaan administratif pengaturan perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia. Bahkan, dalam generasi awal kontrak terlihat ketidakcermatan pemerintah dalam membuat kontrak. Salah satunya terbukti dalam pemberian luas wilayah. Pemerintah memberikan begitu saja wilayah yang mencakup tiga propinsi di Sulawesi kepada PT INCO. Begitu pula untuk PT Freeport Indonesia di Papua Barat, di samping mendapat wilayah yang begitu luas dalam salah satu klausul kontraknya juga menyebutkan bahwa PT Freeport Indonesia berhak untuk memindahkan penduduk yang berada di areal Kontrak Karya mereka. Isi kontrak ini jelas-jelas telah melanggar hak asasi penduduk Papua Barat karena klausul tersebut tidak mengakui hak-penduduk atas tanah. Kalaupun kemudian ada perbaikan Kontrak Karya hanyalah pembatasan tentang luas wilayah KK seluas 62.500 ha dalam KK Generasi 6, begitu pula perbaikan pendapatan Indonesia dari Royalti sebesar 4% sejak KK generasi 4. Sampai saat ini, model Kontrak Karya tidak pernah diuji keandalannya dilihat dari sudut pandang ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana aspek yang lain, seperti sosial budaya, hak-hak adat, dan lainnya. Realitas yang terjadi sampai saat ini adalah bahwa penduduk di sekitar pertambangan tanahnya banyak diambil oleh perusahaan dan mengalami kehancuran sumber-sumber kehidupan mereka. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya perlindungan yang cukup dari pemerintah, yang disebabkan ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak penduduk dari perusahaan tambang pada saat pembuatan kontrak. WALHI melihat sistem Kontrak Karya yang berlaku saat ini sangat merugikan negara dan memberikan hak mutlak kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia dan merugikan penduduk setempat. Untuk itu, WALHI menyerukan untuk diadakannya peninjauan kembali sistem perjanjian pertambangan di Indonesia.