SIAPAKAH DAKU? Oleh: Jum’an Basalim Saya sedang berjalan di gang sempit dibelakang pasar Tenabang. Beberapa anak perempuan yang sedang bermain terpaksa berhenti sejenak untuk memberi jalan saya lewat. Sambil menjawab sapaan saya, salah seorang dari mereka terdengar berkata: Mirip babenye Mumun ye? Oh, jadi dimata mereka saya mirip babenye Mumun. Typical pedagang daging pasar Tenabang yang bercelana komprang, kaos oblong dan sabuk hijau lebar berdompet-dompet dengan wajah mirip – sayatentunya? Baiklah, saya rela. Pada kesempatan lain ketika ada shooting film disalah satu rumah di kebonkacang sembilan, saya lewat untuk pulang kegang tigabelas. Tidak lama, asisten sutradara yang kebetulan mengenal saya menyusul kerumah, menawari saya ikut main sebagai figuran. Sebagai om senang berkepala botak yang sedang merayu gadis belasan tahun. Gambarnya akan diambil dari jarak agak jauh dan hanya sekilas. Meskipun upahnya lumayan, mana saya mau... Oh, jadi saya mirip tokoh pelahap daun muda seperti yang ada di filmfilm itu. Tetapi seorang perawat dirumah sakit Guangzhou China pernah mencoba menebak profesi saya: You must be a teacher. Saya jawab: No… I am a field engineer. Tetapi dia tetap pada pendiriannya dan berkata lagi: No way, your face tells me who you are. You must be a teacher. Oh, jadi saya mirip seorang guru. Seorang arif dan bijaksana, dengan jidat lebar dan wajah mirip – saya- tentunya? Baiklah sayapun rela dan senang. Yang diluar dugaan adalah waktu saya mencoba mengisi sederet pertanyaan yang sepertinya disusun oleh seorang psikolog untuk mengetahui kelakuan seseorang. Dari sekitar duapuluh jawaban pertanyaan, saya ddisimpulkan mempunyai sifat dengki dan suka berkata nylekit, yaitu ucapan-ucapan singkat yang menusuk hati. Masa iya? Meskipun saya bulat-bulat mengingkari, tetapi hasil test itu sungguhsungguh menggangu pikiran saya. Saya merenung dan berpikir, bagaimana seorang babenye Mumun, yumasbi-e-ticer, bisa berhati dengki dan bermulut jahat? Saya ingat. Pernah dalam keadaan pikiran kusut dan kelelahan, saya memperhatikan wajah saya didepan cermin. Buruk sekali wajah itu seperti seorang pendengki, tidak ada nurnya sama sekali, sepert
bukan saya. Sampai-sampai saya merasa ragu waktu membaca doa ’semoga Alloh menjadikan akhlaqku secantik wajahku’ – rasanya doa itu kehilangan arti. Lama saya pandangi wajah yang berkerut-kerut dan banyak noda-noda hitamnya itu Wajah itu seperti memberi gambaran bahwa jauh dilibuk hati, saya memelihara seekor kera jahat. Saya mengurungnya dalam krankeng karena selalu meronta dan meraung mau berusaha keluar. Diakah iblisku? Sesekali saya lengah mengawasinya tangannya keluar mencakar. Atau kalau saya terlalu dekat kepalanya keluar dan taring panjangnya mengigit saya. Bila itu terjadi, saya terasuki kedengkian dan dari mulut keluar kata-kata yang menyakitkan orang. Orang dekat saya mungkin membenarkan hal ini dalam hati mereka. Semoga dengan kesadaran yag saya miliki, petuah yang pernah saya terima dan ritual-ritual yang saya jalani serta perlindungan dari Sang Pencipta, kera itu tak akan lepas dari krangkengnya. Dia harus tetap terkurung disana selama hidup saya. Semoga dengki itu sirna dan mulut saya selalu berkata-kata baik atau diam saja. Amin.