Sepertiga Ususku Dipotong Karena Rokok

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sepertiga Ususku Dipotong Karena Rokok as PDF for free.

More details

  • Words: 1,789
  • Pages: 4
2/3 Usus Besarku Dimakan Rokok Oleh: YDS. Agus Surono (Cul, ini maunya dulu untuk Kisah. Tapi berhubung Kisahnya dah almarhum ya saya hibahkan ke reguler. Soalnya yang tak wawancarai dah nanya. Jadi malu aku. Trims. Yds) Penulis: Agus Surono Apa bahaya nikotin yang ada di dalam sebatang rokok, tanyakan ke Berthie Sompie (48). Mantan kapten tim nasional sofbol ini akan nyerocos menjelaskannya. Bahkan ia sampai berani bilang bahwa perokok adalah orang yang goblok! ========================== Setidaknya ada dua kegoblokan seorang perokok. Kegoblokan pertama adalah sudah ada tulisan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin .. eh masih merokok juga. Berthie bisa memaklumi jika peringatan kecil tadi diabaikan. Soalnya, berbeda dengan Baygon yang tidak diberi peringatan tapi orang normal tidak mau meminumnya sebab akibatnya langsung terasa. "Rokok ini akibatnya tidak sebulan atau setahun. Tapi puluhan tahun baru kita akan menuai hasilnya," ujar Berthie. Kegoblokan kedua, mau-maunya perokok diasingkan demi menikmati kesukaannya itu. Lihatlah di banyak mal atau bandara, ada ruangan khusus para perokok. Di restoran pun umumnya ada pembagian untuk pengunjung yang merokok dan bukan. Mau senang tapi kok mau-maunya diatur. Bahkan, meski tidak "jalan", Pemda DKI telah membuat perda larangan merokok. Berthie berani bilang begitu karena ia sendiri sudah merasakan akibatnya. Tiga puluh tahun semenjak ia menghirup nikmatnya asap rokok, ia divonis kanker paru dan kanker usus besar. Alhasil ia pun harus merelakan sebagian paru dan usus besarnya dipotong dan dibuang. Rokok demi sendiri Berthie Sompie mulai merokok sejak usia 17 tahun, sekitar akhir SMP dan awal masuk SMA. "Lingkungan saya mendukung sekali waktu itu. Bapak saya perokok berat," ujar Berthie. Dengan kondisi seperti itu, jelas saja Ayahnya tidak bisa melarang Berthie untuk tidak merokok. Kalaupun melarang lebih ke arah karena saat itu Berthie belum memiliki penghasilan. Kalau sudah punya duit ya silakan. Kira-kira begitu omongan sang Ayah. Akan tetapi Berthie merasa sudah kadung. Untuk membeli rokok ia menggunakan uang jajannya. "Jaman saya itu, harga satu bungkus rokok Rp 100,-" kenang Berthie yang besar di Surabaya ini. Berthie masih ingat merek rokoknya adalah "Remaja", keluaran pabrik Bentoel yang hanya beredar di Jawa Timur. Namun, Berthie tidak larut dalam hura-hura anak muda. Ia menyalurkan gelegak darah mudanya dengan mengikuti semua olahraga yang ada di sekolahnya. Orangtuanya lalu menyuruhnya untuk serius dalam satu bidang saja. Berthie pun memilih sofbol yang sudah dikenalnya sejak tahun 1974 kala ia duduk di bangku SMP. Selain itu, olahraga yang satu ini saat itu sedang ngetren. Hanya butuh waktu lima tahun bagi Berthie untuk kemudian ia dipanggil menjadi atlet nasional. "Soalnya saat itu saya setiap hari latihan.

Pokoknya dari Senin ke Senin." Semenjak menyandang atlet itu, Berthie sudah mirip kereta api seperti di film "Iron Horse". Hanya kala makan, tidur, dan mandi mulutnya tidak berfungsi sebagai cerobong. Sehari tiga bungkus alias 60 batang sudah menjadi santapan setiap waktunya. Dua sisi yang berseberangan itu menjadi rutinitas Berthie. Berolahraga dan merokok. "Bagi saya pribadi, merokok itu tidak ada efek sampingannya," ujar pria yang masih tampak gagah di usianya yang mau menginjak ke kepala lima itu. Tidak asal ngomong Berthie. Setidaknya hasil check up setiap tahun yang dijalani kala memasuki pelatnas menunjukkan bahwa ia layak menjadi atlet nasional. Bahkan ia didapuk menjadi kapten tim sofbol. "Tidak ada masalah dengan merokok. Tapi dokter yang memeriksa tahu bahwa saya perokok sebab dari foto terlihat ada kabut di paruparu," ujarnya sambil menambahkan bahwa 50% atlet sofbol itu perokok. Ketika pelatihnya melarangnya, ia justru menantang untuk diadu dengan atlet yang tidak merokok. Hasilnya, nafasnya tidak sependek yang diasosiasikan orang terhadap mereka yang perokok. Rokok selalu menjadi teman setianya menemani setiap pertandingan. Bahkan ketika harus bertanding ke luar negeri, ia rela menyetok rokok demi menghemat pengeluaran. "Di sana itu rokok mahal sekali lo. Jadi, jika saya harus ke luar negeri selama 14 hari, maka saya akan membawa 52 bungkus rokok. Pelatih saya sampai menyindir, 'Bethie, kamu itu mau bertanding apa jualan rokok?'." Berthie pun cuma bilang bahwa kalau ia tidak diperbolehkan membawa rokoknya, ya lebih baik ia pulang ke Surabaya. "Saya enggak sofbol juga tidak mati kok!" kata atlet yang telah membawa nama Indonesia di beberapa kejuaraan sofbol tingkat Asia ini sambil tertawa. Toh, sekali lagi, Berthie bukan sembarang merokok. Meski menjadi gaya hidupnya, namun ia menghargai gaya hidup orang lain. Jadi, semisal ia bertandang ke rumah orang yang ia tahu si empunya rumah bukan perokok, maka ia tidak akan merokok sampai ia pulang. Begitu juga ketika dalam pertandingan, ia akan keluar pagar lapangan untuk melepaskan hajatnya itu. "Kalaupun rokok itu ada sisi jeleknya, biarlah saya saja yang terkena," begitu kira-kira alasannya. Sikap itu ia pertahankan ketika ia menjadi pelatih sofbol. Ia tidak menggunakan rokok sebagai sponsor dalam setiap kegiatan sofbol. "Ada perusahaan rokok yang menawari saya, tapi saya tolak," kenangnya. Ia pun menyelenggarakan kejuaraan sofbol antar-SMA atau antar perguruan tinggi dengan kucuran dana dari sponsor minuman ringan. "Aman ‘kan?" Sebagian paru diangkat Sampai suatu ketika, Berthie merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Selepas puasa tahun 2005, berat badannya turun 4 kg. Sebelum puasa, berat badannya 65 kg dan diakui sebagai berat tertinggi yang dicapainya sepanjang hidup. Sebagai perokok berat, tentu ia merasa eman dengan turunnya berat badan itu. "Umumnya perokok itu ‘kan kurus-kurus. Kenapa? Karena merokok itu mengurangi nafsu makan." Ia pun menghubungi kakak iparnya, dr. Menaldi Rasmin, Sp. P(K), spesialis paru-paru di RS Persahabatan Jakarta Timur. Berthie agak lega ketika Menaldi menganggap hal itu wajar sebab habis berpuasa. Namun ketika Lebaran berlalu berat badannya tidak juga bertambah, malah turun seperempat kilo setiap harinya, ia mulai was-was. Nafsu makannya pun terganggu. Dalam kondisi seperti itu, ia seperti dituntun untuk menyadari bahwa sudah saatnya ia

memanen hasil merokoknya selama puluhan tahun. Berthie yang jarang membeli koran itu tiba-tiba membeli Koran Tempo. Di halaman dalam matanya tertumbuk pada sebuah artikel yang mengupas tentang kanker paru. Judulnya, "Kanker Paru, Kanker Yang Baik Hati". Penulisnya adalah Prof. Dr. Anwar Yusuf, Sp.P (K), spesialis paru dari RS Persahabatan. Dari gejala-gejala kanker paru yang dipaparkan di situ, dua di antaranya ada pada diri Berthie, yakni berat badan turun dan kalau malam meriang. "Saya pun lalu memvonis diri saya sendiri terkena kanker paru." Segera ia menghubungi Menaldi dan minta surat untuk periksa tubuh. Ia pun langsung menuju ke Prodia untuk melakukan general check up. Berhubung ia perokok, maka ia pun menjalani foto thorax. Hasilnya? Kondisi badannya OK! Hanya saja ada catatan dia harus menjalani pemeriksaan CT Scan. Ia pun bertanya ke dr. Menaldi, yang biasa ia sapa dengan Bung. Namun si Bung ternyata lebih sebagai pendengar dan menyuruhnya untuk menuruti catatan tersebut. Alhasil, Berthie pun menjalani CT Scan. Kembali dr. Menaldi tidak banyak berkomentar soal hasil CT Scan tersebut. Dokter yang tidak pernah merokok ini malah menyuruh Berthie untuk melakukan bronkoskopi, yakni pengambilan sampel paru-paru melalui mulut. Menaldi sendiri yang mengerjakan bronkoskopi ini. Sebelum dibronkoskopi, Berthie sempat bertanya ke dr. Menaldi. "Bung, dua hari setelah dibronkoskopi ini saya boleh main sofbol enggak?" Dr. Menaldi mengiyakan saja. Di luar dugaan, ternyata hasil bronkoskopi tersebut negatif. Ini membuat dr. Menaldi bingung. Dari awal ia sudah yakin bahwa adiknya ini mengidap kanker paru. Tapi kok setelah diambil sampelnya justru hasilnya bertentangan? Kasus unik ini kemudian di bawa ke pertemuan rutin yang diselenggarakan RS Persahabatan. Berthie menyanggupi kasusnya dibahas. Konsekuensinya, ia harus siap menjalani biopsi. "Sebenarnya saya takut dibiopsi sebab berbeda dengan bronkoskopi yang dibius, biopsi ini tidak dibius," kata Berthie. Lagi-lagi hasilnya negatif. Beberapa dokter yang hadir dalam pertemuan itu menyarankan untuk dilakukan pembedahan demi memperoleh kepastian. Mengingat berat badannya yang sudah turun 17 kg, Berthie pun rela dioperasi. Tanggal 27 Desember 2005, Berthie pun menuju ruang bedah. Benarlah dugaan dr. Menaldi. Tumor sebesar telur bebek ditemukan di paru-paru Berthie sebelah kanan. Akhirnya, satu lapisan yang terkena tumor yang kebetulan berada di lapisan atas pun diangkat. (Paru-paru memiliki lima lapisan, kanan tiga dan kiri dua). Akibat operasi ini, punggung sebelah kanan atasnya harus rela disayat pisau bedah. "Sampai sekarang masih sakit jika tangan kanan digunakan untuk memukul bola," kata Berthie. Diberi mukjizat Derita ternyata belum berakhir dari diri Berthie. Sebab, kelanjutan dari operasi itu adalah kemoterapi untuk menghancurkan sisa-sisa tumor yang ditakutkan akan menjalar ke bagian-bagian lain. Mendengar kata kemoterapi, Berthie sontak menolak. Ia pun menantang dr. Menaldi jika dalam kurun waktu dua minggu tidak ada perubahan, barulah ia mau dikemo. Tak sampai dua minggu, ternyata kondisi Berthie menurun meski sisasisa keatletannya mampu membuatnya tidak tampak loyo. Berat badan yang seharusnya naik malah turun. "Dr. Menaldi juga bingung sebab dari kasus yang ditanganinya, selalu ada kenaikan berat badan setelah operasi. Sampai-sampai saya mau dites HIV/AIDS segala. Istri saya sampai terkejut mendengar hal ini." Yang bikin panik, seminggu setelah operasi perutnya terasa sakit. Berthie pun menjalani

pemeriksaan menggunakan alat yang dimasukkan melalui anus. Hasilnya? Kanker kolon! Berthie seakan tidak percaya sebab pola makannya selama ini tidak mendukung ke arah kanker kolon. "Saya ini hanya makan sayuran dan ikan. Daging hanya saya makan kalau benar-benar kepepet tidak ada lauk sama sekali," kata bapak dua anak ini. Ia pun kembali harus rela masuk kamar operasi. Terlebih berat badannya sudah turun banyak. "Sudah seperti tengkorang waktu itu," mata Berthie menerawang. Awal Maret 2006 Berthie menjalani pemotongan usus besar di RS Mitra Keluarga Jatinegara. Tidak tanggung-tanggung, dua per tiga usus besarnya harus dibuang. Jika sebelumnya punggung yang disayat, kini perutnya yang mendapat giliran. Melintang dari bawah ke atas. Sampel usus itu dibawa ke Belanda dan diperoleh hasil bahwa ia menderita kanker stadium 3B. Berthie pun tidak bisa lagi bertaruh untuk menghindar dari upaya kemoterapi. Meski didera musibah berkepanjangan, Berthie tawakal menjalaninya. Baginya itulah upahnya menanam asap di dalam tubuh, khususnya paru-paru. "Tuhan seperti menjewer saya. Namun saya bersyukur bahwa saya dikaruniai mukjizat juga. Orang seperti saya yang usus besarnya dipotong 2/3, biasanya tidak bisa disambung. Jadi, untuk menampung sisa makanan yang sudah diserap tubuh, dipasang kantong di luar tubuhnya. Tapi pada saya hal itu tidak terjadi. Buang air besar saya juga lancar-lancar saja sejauh ini," tutur pria yang kini tampak mulai gemuk ini. Kemoterapi pun dengan tegar diterimanya. Ada enam sesi kemoterapi dengan jadwal dua minggu sekali yang harus dijalaninya. Sempat ada jeda sebab tubuhnya begitu lemah. Januari 2007 kemarin merupakan kemoterapi terakhir bagi Berthie. Kini, berat badannya terus merangkak. Hanya dalam enam bulan berat badannya sudah naik 25 kg, padahal targetnya setahun naik 10 kg. Sofbol mulai ditekuni lagi meski sofbol bola pendek. "Saya bermain seminggu dua kali, bersama dengan para pensiunan atlet sofbol dan para bule." Mengetahui betapa jahatnya rokok, Berthie pun menyediakan tenaga dan waktunya untuk kampanye anti-rokok. Ia tersenyum geli manakala mengingat dulu ia termasuk orang yang lantang menentang aturan larangan merokok. Ia pun membawa istrinya yang dokter gigi di RS Persahabatan dan kedua anaknya memeriksakan diri ke dokter sebab mereka termasuk perokok pasif kelas berat. Dari kedua anaknya ia dihadiahi celengan. "Buat menampung uang yang selama ini saya pergunakan untuk membeli rokok ha ... ha ...," Berthie tergelak.

Related Documents

Rokok ????
June 2020 31
Rokok
July 2020 29
Rokok
July 2020 25
Rokok Oh Rokok...
May 2020 28