262533344-laporan-modul-bengkak-pada-wajah-dan-perut-1.docx

  • Uploaded by: handy
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 262533344-laporan-modul-bengkak-pada-wajah-dan-perut-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,663
  • Pages: 34
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahkami panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan kasih sayang dan karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan PBL modul 1 sistem urogenital sebagai salah satu syarat untuk melengkapi nilai sistem urogenital. Terima Kasih kepada orang tua atas do’a dan dukungannya, selalu mendampingi dan penuh pengertian memberi semangat selama kami mengikuti pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan laporan PBL modul 1 sistem urogenital. Semoga kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada kami mendapat balasan dari Allah Yang Maha Pemurah. Semoga Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Amin.

Jakarta, April 2015 HormatKami

Kelompok 5

BAB I PENDAHULUAN

A. Skenario Seorang anak laki-laki, 12 tahun, dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan wajah, perut serta kedua tungkai bengkak. Pembengkakan terjadi sejak 3 minggu yang lalu yang makin lama semakin bertambah. Tidak ada demam dan tanda-tanda infeksi lainnya. B. Kata Sulit : C. Kata kunci :  Anak laki-laki 12 tahun  Wajah, perut, kedua tungkai bengkak semakin bertambah  Bengkak sejak 3 minggu yang lalu  Tidak ada tanda demam dan infeksi D. Mind Map

Laki – laki 12 tahun

Wajah, perut, dan kedua tungkai bengkak semakin bertambah sejak 3 minggu yang lalu

Differential Diagnosis

Tata Laksana

Tidak ada dema dan infeksi

E. Pertanyaan 1. Jelaskan penyakit Glomerulonefritis akut ! 2. Jelaskan penyakit sindroma nefrotik ! 3. Jelaskan penyakit malnutrisi ! 4. Etiologi yang menyebabkan wajah, perut serta kedua tungkai membengkak ? 5. Bagaimana alur diagnosis sesuai skenario ? 6. Bagaimana patofisiologi bengkak pada wajah, perut serta kedua tungkai sesuai skenario ? 7. Sebutkan dan jelaskan secara singkat penyakit-penyakit yang menyebabkan wajah, perut serta kedua tungkai bengkak ! 8. Mengapa bengkak hanya terjadi pada wajah, perut serta kedua tungkai ?

BAB II PEMBAHASAN

1. Jelaskan penyakit Glomerulonefritis ! Glomerulonefritis Definisi Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit inflamasi atau non inflamasi pada glomerulus yang menyebabkan perubahan permeabilitas,perubahan struktur,dan fungsi glomerulus.Data imunopatologik dan eksprerimental menyokong bahwa kerusakan glomerulus pada GN merupakan mekanisme imunologik. Epidemiologi Data epidemiologi GN yang bersifat nasional belum ada dan laporan dari berbagai pusat ginjal dan hipertensi masih terbatas.Hal ini disebabkan biopsy ginjal tidak selalu dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis etiologi GN. Data perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) menunjukkan bahwa GN sebagai oenyebab PGTA(penyakit ginjal tahap akhir) yang menjalani hemodialysis mencapai 39% pada tahun 2000.Data mengenai GN masih terbatas dan merupakan laoran dari masing-masing pusat ginjal dan hipertensi. Sidabutar RP dan kawan melaporkan 177 kasus GN yang lengkap dengan biopsy ginjal dari 459 kasus rawat inap yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun.Dari 177 yang dilakuakn biopsy ginjal didapatkan 35,6% menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik,19,2% sindrom nefrotik akut,3,9% GN progresif cepat,15,3% dengan hematuria,19,3% proteinuria,dan 6,8% hipertensi. Etiologi Sebagian besar etiologi GN tidak diketahui kecuali yang disebabkan oleh infeksi beta streptokokus pada GN paska infeksi streptokokus atau akibat virus hepatitis C.Faktor presipitasi misalnya infeksi dan pengaruh obat atau pajanan toksin dapat menginsisi terjadinya respon imun serupa yang menyebabkan GN dengan mekanisme sama.GN akut pascastreptokokus(APSGN) paling sering menyerang anak usia3-7 tahun,meskipun orang dewasa muda dan remaja dapat juga terserang.perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1 Patogenesis Kerusakan yang terjadi pada glomerulus tidak hanya tergantung respon imunologik awal tetapi juga ditentukan oleh seberapa besar pengaruhnya terhadap timbulnya kelainan.Inflamasi juga

berpengaruh terhadap terjadinya kelainan pada glomerulus.Kelainan yang terjadi dapat berupa fibrosis,kelainan destruktif atau mungkin berkembang menjadi glomerulosklerosis dan fibrosis interstisialis. Imunopatogenesis GN Glomerulonefritis merupakan penyakit glomerulus akibat respon imunologik dan hanya jenis tertentu yang secara pasti telah diketahui etiologinya.Proses imunologik diatur ioleh berbagai factor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespon terhadap sesuatu kejadian. Secara garis besar dua mekanisme GN yaitu Circulating immune complex(CIC) dan terbentuknya deposit komplek imun in situ.Pada CIC,antigen )Ag) eksogen memicu terbentuknya natibodi (Ab) spesifik,kemudian membentuk komplek imun (Ag-Ab) dalam sirkulasi.Komplek imun akan mengaktivasi system komplemen dan selanjutnya komplemen berikatan dengan ag-ab. Dalam keadaan normal ikatan komplemen dengan ag-ab bertujuan untuk membersihkan komplek imun dari sirkulasi melalui reseptor C3b yang terdapat pada eritrosit.Komplek imun akan mengalami degradasi dan dibersihkan dari sirkulasi pada saat eritrosit melewati hati dan limpa.Apabila antigenemia menetap dan bersihan komplek imun terganggu,maka komplek imun akan menetap dalam sirkulasi.Komplek imun kemudian akan terjebak pada glomerulus melalui ikatannya dnegan reseptor-Fc yang terdapat pada sel mesangial atau mengendap secara pasif didaerah mesangium atau ruang sub-endotel.Aktivasi system komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan komplek imun pada glomerulus. Mekanisme pembnetukan endapan komplek imun dapat terjadi secara insitu apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponene dari membrane basal glomerulus(fixed-Ag)atau Ag dari luar yang terjebak pada glomerulus(plantedantigen).Alternatif lain apabila Ag non-glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anion fari glomerulus,diikuti pengendapan Ab dan aktivasi komplemen secara local. Selain kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular.Studi eksperimental membuktikan bahwa sel T dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.Sel T yang tersensitisasi oleh Ag akan mengaktivasi makrofag dan menghasilkan reaksi local hipersensitisitas tipe lambat. Kerusakan Glomerulus Pada GN Kerusakan glomerulus tidak hanya secara langsung disebabkan oleh endapan komplek imun.Berbagai factor seperti proses inflamasi,sel inflamasi,mediator inflamasi,dan komplemen berperan pada kerusakan glomerulus.Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan system komplemen dan sel inflamasi,melibatkan sistme komplemen tanpa peran sel inflamasi,dan melibatkan sel inflamasi tanpa system kmplemen.Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sel T yang tersensitisasi.

Pada sebagian GN,endapan komplek imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi sel.Pada GN non proliferative dan tipe sklerosing seperti GN membranosa(GNMN) atau glomerulosklerosis fokal segmental(GSFS) tidak melibatkan sel inflamasi.Faktor lain seperti proses imunologik yang mendasari terbentuknya Ag-Ab,lokasi endapan,komposisi dan jumlah endapan,serta jenis Ab berpengaruh terhadap kerussakan glomerulus. Proses Inflamasi Pada Kerusakan Glomerulus Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh endapan komplek imun.Proses inflamasi melibatkan sel inflamasi,molekul adhesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kematotaktik.Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya sel inflamasi pada permukaan sek endotel(tethering and rolling).Proses ini dimediasi oleh molekul adhesi selektin L,E,dan P yang secara berturut-turut terdapat pada permukaan lekosit,endotel dan trombosit.Molekul CD31 atau PECAM-1(platelet-endothelial cell adhesion molecule-1) yang dilepaskan oleh sel endotel akan meragsang aktivasi sel inflamasi.Reaksi ini menyebabkan ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan sel endotel semakin kuat.Perlekatan ini dimediasi oleh VLA4(very late antigen 4) pada permukaan sel indlamasi dan VCAM-1(vascular cell adhesion molecule-1) pada sel endotel yang teraktivasi.Ikatan antara LFA-1(Lymphocyte functionassociated antigen-1) pada permukaan sel indlamasi dan ICAM-1(intracellular adhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih memperkuat perlekatan tersebut.Proses sela njutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel(transendothelial migration).Pada Table 1 disebutkan berbagai molekul adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada GN Tabel 1.Molekul Adhesi Yang Terlibat Proses Inflamasi Selectins Ig-like family E-selectin ICAM-1 L-selectin ICAM-2 P-selectin VCAM-1 Integrins ᵦ-1integrins VLA-4 ᵦ-2integrins LFA-1 MAC-1 P150,95

Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaitu kemampuan menarik sel inflamasi keluar dari pembuluh darah menuju jaringan.Secara garis besar kemokin dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemokin α dan kemokin ᵦ yang berturut-turut mempunyai efek kemotaktik

terhadap lekosit dan monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2.Pengaruh Kemokin akan menyebabkan semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat.

Tabel 2.Beberpa kemokin yang terlibat dalam proses inflamasi Alpha subfamily ENA-78 GCP-2 IL-8(nap-1) ᵞIP-10 NAP-2,NAP-4 PF-4 SDF-1α,SDF-1ᵦ

Beta subfamily Mcp-1(MCAF) MCP-2,MCP-3 MIP-1α,MIP-1ᵦ RANTES

Sel Inflamasi Pada kerusakan Glomerulus Sel Inflamasi yang banyak dikaitkan dengna kerusakan glomerulus pada Gn adalah lekosit polimorfonuklear(PMN) dan monosit/makrofag.Trombosit dan produk koagulasinya juga ikut berpartisipasi pada proses inflamasi.Infiltrasi sel inflamasi ditentukan ditempat mana terjadinya endapan komplek imun.Endapan komplek imun di subendotel atau membrane basal glomerulus umunya dikaitkan dengan akumulasi lekosit yang menyolok.Endapan di mesangium menyebabkan respon sedang,dan endapan di ruang sub epitel misalnya pada nefropati ,e,branosa tidak melibatkan sel inflamasi. Peran lekosit PMN dibuktikan pada GN akut paska infeksi streptokokus.Infiltrasi makrofag pada glomerulus pertama kali ditunjukan pada pasien GN kresentik.Belakangan dilaporkan bahwa infiltrasi makrofag pada glomerulus dijumpai pada berbagai GN and berkaitan dengan beratnya proteinuria.Interaksi antara makrofag dengan sel glomerulus seperti sel mesangial,sel epitel,atau sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebuut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan.Trombosit yang lebihi banyak berperan pada system koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler,proliferasi sel endotel dan sel mesangial pada GN.Trombosit dapat diaktivasi oleh komplek imun atau Ab melalui ikatan dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel.Interaksi ini menyebabkaan agregasi trombosit yang akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.

Komplemen Pada Kerusakan Glomerulus Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop imunofluoresen(IF) biopsy ginjal pasien GN.Kadar serum komplemen yang rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi streptokokus akut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN.Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai mekanisme pertahanan humoral.Pada GN komplemen berfungsi mencegah masuknya Ag,tetapi dapat pula menginduksi rreaksi inflamasi.Terdapat dua jalur pengaktivan system kompelen yaitu klasik dan alternative..Komplek imun yang mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasi jalur klasik,sedangkan aktivasi jalur alternative dipicu komplek imun yang mengandung IgA atau IgM. Kerusakan glomerulus terjadi akibat terbentuknya fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi system komplemen aktif yang berasal dari aktivasi system komplemen.Fragmen komplemen C3a,C4a,C5a bersifat anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap lekosit.Endapan komplek imun sub-epitel akan mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC(membrane attack complex).Dalam jumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada GNMN.Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk kolagen serta produk metabolism asam arakidonat yang bersifat protektif.Endapan C4b pada MBG menyebabkan terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus. Mediator Inflamasi pada kerusakan Glomerulus Mediator inflamasi yang diproduksi sel inflamasi atau sel glomerulus terajktivasi misalnya sitokin proinflamasi,protease dan oksigen radikal,serta produk ekosaenoid berperan pada kerusakan glomerulus.Aktivasi lekosit menyebabkan dilepaskannya granul azurofilik yang mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan MBG.Granul spesifik yang mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen radikal yangberpengaruh pada kerusakan MBG.Makrofag juga melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin pro inflamasi ,PDGF,TGF-ᵦ yang berperan pada pathogenesis dan progresi GN. Manifestasi Klinis        

Hematuria Proteinuria Oliguria Edema(pada wajah terutama periorbitadi bagian bawah) Hipertensi Silinder RBC Azotemia Gejala umum:Lelah,anoreksia,kadang-kadang demam,sakit kepala,mual muntah

Penatalaksanaan 1.Pemeriksaan lab  

Proteinuri/albuminuria Sedimen urin mengandung:leukosit,eritrosit(RBC),silinderRBC/granular

2.Pemeriksaan Khusus  

Imunofluoresens:Pengendapan IgG,C3 Mikroskop electron:humps(pengendapan subepitelial)

3.Pengobatan Pengobatan spesifik GN ditujukan pada penyebab sedangkan nonspesifik untuk menghambat progresivitas penyakit.Pemantauan klinik reguler,control tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi angiotensin(angiotensin coverting enzyme inhibitors-ACE-I) atau antagonis reseptor angiotensin II(Angiotensin II receptor antagonists,AIIRA) bermanfaat sebagai pengobatan konservatif.Pengaturan asupan protein dan control kadar lemak darah dapat membantu menghambat progresivitas GN. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe GN karena dapat menghambat sitokin pro inflamasi.Siklofosfamid,klorambusil,dan azatioprin mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus.Siklosporin walau 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal tapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan GN.Imunosupresif lain seperrti mofetil mikofenolat,takrolimus,dan sirolimus juga belum diindikasikan secara penuh untuk pengobatan GN.Pengobatan yang terbukti memberi keuntungan pada GN kresentrik,GSFS,GNLM,GNMN,dan pada nefropati igA. Pada GNLM prednison dosis 0,5-1 mg/kg berat badan/hari selama 6-8 minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat digunakan untuk pengobatan pertama.pada GSFS kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan pengobatan.Prednisolon diturunkan setengah dosis satu minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis siturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan steroid mencapai 4 bulan.Pada GN yang resisten terhadap steroid atau relaps berulang,siklofosfamid atau siklosproin merupakan pilihan terapi. Mofetil mikofenolat dapat digunakan sebagai alternative terapi pada GN resisten steroid dan relaps berulang.Pada GNMN monoterapi kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan siklofosfamid atau klorambusil mencapai remisi 50%.Kortikosteroid masih efektif untuk pengobatan GNMP aak tetapi tidak pada pasien dewasa.Pada nefropati IgA prednisone efektif menghambat progresivitas penyakit tetapi kombinasi ACE-I dan AIIRA merupakan pilihan pertama. Pengobatan GN akut pascastreptokokus biasanya penisilin untuk memberantas semua sisa infeksi streptokokus,tirah baring selama stadium akut,makanan bebeas natrium bila terjadi edema atau

gagal jantung,dan anti hihpertensi bila perlu.Obat kortikosteroid tidak mempunyai efek yang berguna pada GN akut ini. Pengobatan GN dimasa depan bisa dengan melakukan terapi genetic.Terapi genetic merupakan salah satu upaya pengobatan GN dan penyakit ginjal lainnya di masa depan.Dengan melakuakn transfer genetic ke dalam sel somatic diharapkan dapat memperbaiki kelainan genetic.Sel glomerulus meruakan target utama transfer gen untuk memodifikasi proses inflamasi.Transfer gen in vivo ke dalam glomerulus dapat dilakuakan dengan perantara virus dan liposom.Pada model GN anti-Thy.1,transfer ODN antisens dapat mencegah efek prosklerotik TGF-ᵦ dan terjadinya glomerulosklerosis.Transfer gen pada tubulus lebih sulit karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis sel yang berbeda.

Komplikasi Pada GN dengan gejala SN yang disertai proteinuria massif sehingga menyebabkan hipoalbuminemia dan kadar kolestrol yang tinggi dalam darah merupakan factor penyebab timbulnya komplikasi.Hiperkoagulasi dengan berbagai akibatnya dapat juga ditemukan pada SN yang disebabkan oleh GN tertentu.Gangguan fungsi ginjal dapat timbul pada GN yang disertai SN berat.Pengobatan imunosupresi yang tidak berhasil mencegah progresivitas GN dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal.Gangguan fungsi ginjal jarang terjadi pada GNLM dan lebih sering ditemukan pada GSFS dan GNMN yang dapat berkembang menuju PGTA.Kerentanan terhadap timbulnya infeksi sebagai komplikasi akibat penggunaan imunosupresi pada pengobatan GN perlu diperhatikan. Prognosis Jejas glomerulus yang terjadi pada GN sering tidak dapat pulih kembali sehingga menyebabkan fibrosis glomerulus akibat proses inflamasi.Pada GN bentuk akut biasanya membaik dengan sedikit atau tanpa kerusakan ginjal yang permanen.Kekambuhan sering terjadi pada GNLM walaupun tidak sesering pada anak-anak walaupun biasanya fungsi ginjal masih dalam keadaan normal.Pada GSFS dalam waktu 5-20 tahun dapat terjadi progresivitas penyakit menuju PGTA.Suatu laporan menyebutkan 50% kasus GSFS berkembang menjadi PGTA dalam waktu 5 tahun.Perbaikan spontan dapat terjadi pada sebagian GNMN walaupun sebagian yang lain mempunyai prognosis buruk.

2. Jelaskan penyakit sindroma nefrotik ! Sindrom Nefrotik Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menjadi kronik.

Etiologi : Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara 1990-1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliperatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0% dan GNMN pada 6,5%. Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes melitus. Alur diagnosis: Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan trigliserida juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal

sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayany a mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat. Proteinuria Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocora protein. Pada SN mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Hipoalbuminemia Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma makan hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal. Edema Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser intravaskuler ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hari akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. Berikut mekanisme edema:

Komplikasi pada SN 1. Keseimbangan Nitrogen : Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. 2. Hiperlipidemia dan Lipiduria 3. Hiperkoagulasi 4. Metabolisme Kalsium dan Tulang 5. Infeksi 6. Gangguan Fungsi Ginjal 7. Komplikasi Lain pada SN : Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natirum dan air. Pengobatan Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konfersi angiotensin dan

antagonis reseptor angiotensin II dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria. Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian anti koagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL.

3. Jelaskan penyakit malnutrisi ! Kwashiorkor Kwashiorkor disebabkan protein yang memadai dalam diet meskipun asupan kalori yang memadai. Gejala mungkin termasuk lekas marah dan kelelahan diikuti oleh pertumbuhan melambat, penurunan berat badan, pengecilan otot, pembengkakan umum, perubahan kulit, pembesaran hati dan perut, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh,sehingga dapat menyebabkan infeksi sering. Setelah kwashiorkor berkembang, beberapa efek, seperti perawakan pendek dan cacat intelektual, tidak dapat dikoreksi. Etiologi Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain : 1. Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein adri sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI. 2. Faktor sosial Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor. 3. Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya. 4. Faktor infeksi dan penyakit lain Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. Patofisiologi Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang disebabkan edema dan perlemakan hati. Karena kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam

amino dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian berakibat timbulnya edema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati ke depot terganggu dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati. Peningkatan asupan karbohidrat dengan penurunan asupan protein menyebabkan penurunan sintesis protein visceral. Hipoalbuminemia yang terjadi menyebabkan edema dependen, dan gangguan sintesis β lipoprotein menyebabkan perlemakan hati. Insulin distimulasi dan epinefrin seerta kortisol menurun. Mobilisasi lemak dan pelepasan asam amino dari otot menurun. Pada defisiensi protein, perubahan enzim adaptif terjadi di hati, sintesis asam amino meningkat, dan pembentukan urea menurun, jadi menghemat nitrogen dan menurunkan pembuangannya melalui urin . mekanisme homeostatis awalnya bekerja untuk mempertahankan kadar albumin dan protein transport lain dalam plasma. Kecepatan sintesis dan katabolisme menurun dengan segera. Albumin bergeser dari kompartmen ekstravaskuler ke dalam intravaskuler dan akhirnya kadar plasma menurun yang menyebabkan penurunan tekanan onkontik dan edema. Pertumbuhan, respon imun, reparasi, dan produksi enzim dan hormone semuanya terganggu pada defisiensi protein yang parah akibat kadar protein yang menurun. Gejala Klinik  Pertumbuhandan mental mundur, perkembangan mental apatis  Edema  Ototmenyusut (hipotrofi)  Depigmentasirambutdankulit  Karakteristik di kulit : timbulsisik, gejalakulititudisebutdengan flaky paint dermatosis  Hipoalbuminemia, infiltrasilemakdalamhati yang reversible  Atropi dari kelenjar Acinidari pancreas sehingga produksi enzim untuk merangsang aktivita senzim untuk mengeluarkan juice duodenum terhambat, diare.  Anemia moderat(selalunormokrom, tetapiseringkalimakrositik)  Masalahdiaredaninfeksimenjadikomponengejala klinis  Menderitakekurangan vitamin A, dihasilkankarenaketidakcukupansintesis plasma protein pengikat retinol sehinggaseringkalitimbulgejalakebutaan yang tetap/permanen. Diagnosa Diagnosis ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamesis Keluhan yanga sering ditemukan adalah pertumbuhan anak yang kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan anak lain (yang sehat). Bisa juga didapatkan keluhan anak yang tidak mau makan (anoreksia), anak tampak lemas serta menjadi lebih pendiam, dan sering menderita sakit yang berulang 2. Pemeriksaan Fisik

— — — — — — — —

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain: Perubahan mental sampaiapatis Edema (terutamapadamuka, punggung kaki dan perut) Atrofiotot Ganguansistem gastrointestinal Perubahanrambut (warnamenjadi kemerahan dan mudah dicabut) Perubahankulit (perubahanpigmentasi kulit) Pembesaranhati Tanda-tanda anemia

3. Pemeriksaan penunjang Darah lengkap, urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin, globulin), elektrolit serum, transferin, feritin, profil lemak. Foto thorak, dan EKG. Biasanya pada pemeriksaan lab di dapatkan perubahan yang paling khas adalah penurunan konsentrasi albumin dalam serum. Ketonuria lazim ditemukan pada tingkat awal karena kekurangan makanan,tetapi sering kemudian hilang pada keadaan penyakit lebih lanjut. Kadar glukosa darah yang rendah,pengeluaran hidrosiprolin melalui urin,kadar asam amino dalam plasma dapat menurun,jika dibandingkan dengan asam-asam amino yang tidak essensial dan dapat pula ditemukan aminoasiduria meningkat. Kerap kali juga ditemukan kekurangan kalium dan magnesium.Terdapat juga penurunan aktifitas enzim-enzim dari pancreas dan xantin oksidase,tetapi kadarnya akan kembali menjadi normal segera setelah pongobatan dimulai. Penatalaksanaan Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti diare berat, gagalginjal, dan syok dan penggantian nutrien penting. Dehidrasi sedang atau berat, infeksi nampak atau dugaan, tandatanda mata dari defisiensi vitaminA, anemia berat, hipoglikemia, diare berulang, lesi kulit dan membranamukosa, anoreksia dan hipothermia semua harus diobati. Untuk dehidrasiringan sampai sedang, cairan diberikan secara oral atau dengan pipanasogastrik. Bayi ASI harus disusui sesering ia menghendaki. Untukdehidrasi berat, cairan intravena diperlukan. Jika cairan intravena tidak dapatdiberikan, infus intra osseus (sum-sum tulang) atau intraperitoneal 70 mL/kglarutan Ringer Laktat setengah-kuat dapat menyelamatkan jiwa. Antibiotikefektif harus diberikan secara parenteral selama 5-10 hari (Behrman, 2000).Bila dehidrasi dapat teratasi, makanan peroral mulai dengan susu encersedikit kering, kekentalan dan volume sedikit demi sedikit ditambah danfrekuensi dikurangi selama 5 hari berikutnya. Pada hari 6-8, anak harusmendapat 150 mL/kg/24 jam dalam 6 kali makan. Susu sapi atau yogurtuntuk anak anak intoleran-laktose harus dibuat dengan 50 g gula/L. Makanankhusus tersedia dari UNICEF. Pada masa penyembuhan, makanan energitinggi terbuat dari susu, minyak dan gula diperlukan. Susu skim, hidrolisatcasein, atau campuran asam amino sintetik dapat digunakan untuk menambahcairan dasar dan regimen nutrisi. (Behrman, 2000).Bila diet kalori tinggi dan protein tinggi diberikan terlalu awal dan cepat,hati dapat menjadi besar, abdomen

menjadi sangat kembung, dan anakmembaiknya lebih lambat. Lemak sayur diserap lebih baik daripada lemaksusu sapi. Toleransi glukose yang terganggu dapat diperbaiki pada beberapaanak yang terkena dengan pemberian 250 µg kromium klorida. Vitamin danmineral, terutama vitamin A, kalium dan magnesium diperlukan sejak pengobatan. Besi dan asam folat biasanya memperbaiki anemia. Infeksi bakteri harus diobati bersamaan deng an terapi diet, sedangkan pengobataninfeksi parasit, jika tidak berat dapat ditunda sampai penyembuhan mulai berlangsung. Sesudah pengobatan dimulai, penderita dapat kehilangan berat badannya selama beberapa minggu karena menghilangnya edema yangtampak dan tidak tampak. Enzim serum dan usus kembali normal, dan penyerapan lemak dan protein usus membaik. Jika pertumbuhan dan perkembangan secara luas terganggu, retardasi mental dan fisik dapatperm anen. Makin muda bayi pada saat kekurangan, makin rusak pengaruh jangka lamanya (Behrman, 2000).Semua tatalaksana pada kwashiokor berpedoman pada 10 langkah tatalaksana utama antara lain (Budihardja, 2011) ::1)  Atasi/cegahhipoglikemia  Atasi/cegahhipotermia  Atasi/cegahdehidrasi  Koreksigangguankeseimbanganelektrolit  Obati/cegahinfeksi  Mulaipemberianmakanan  Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth)  Koreksidefisiensinutrienmikro  Lakukan stimulasi sensorikdandukunganemosi/mental  Siapkan dan rencanakan tindaklanjutsetelahsembuh Komplikasi Pada beberapa orang, terutama bayi dan anak-anak, komplikasi yang tidak diobati atau kwashiorkor kurang terkontrol bisa berakibat serius, bahkan mengancam nyawa dalam beberapa kasus. Anda dapat membantu meminimalkan risiko komplikasi serius dengan mengikuti rencana pengobatan Anda dan kesehatan Anda desain profesional khusus untuk Anda. Komplikasi kwashiorkor meliputi: · Anemia (rendah jumlah sel darah merah) · Coma · Infeksi yang berulang · Cacat intelektual · Cacat fisik · Syok hipovolemik · perawakan pendek · Perubahan pigmentasi kulit

·

Steatohepatitis (hati berlemak)

Prognosis Penanganan dini pada kasus-kasus kwashiorkor umumnya memberikan hasil yang baik. Penanganan yang terlambat (late stages) mungkin dapat memperbaiki status kesehatan anak secara umum, namun anak dapat mengalami gangguan fisik yang permanen dan gangguan intelektualnya. Kasus-kasus kwashiorkor yang tidak dilakukan penanganan atau penanganannya yang terlambat, akanmemberikan akibat yang fatal.

4. Etiologi yang menyebabkan wajah, perut serta kedua tungkai membengkak ? Edema pada sindroma nefrotik dapat diterangkan dengan teori under fill dan overfill. Teori under fill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya edema pada sindroma nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeserdari intravascular kejaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemi sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstra selular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomelurus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien sindromanefrotik. Factor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.

5. Bagaimana alur diagnosis sesuai skenario ? I.

ANAMNESIS DAN RIWAYAT PENYAKIT Daftar keluhan (simptom) sistem urogenitalia Nyeri Ginjal/ureter, Buli-buli, Perineam, Testis Keluhan miksi Gejala storage (iritasi) Frekuensi/poliuria, Nokturia, Disuria Gejala voiding (obstruksi): Hesitansi, kencing mengedan, pancaran lemah, pancaran kencing bercabang, waktu kencing prepusium melembung, pancaran kencing terputus Gejala pasca miksi Akhir kencing menetes, kencing tidak puas, terasa ada sisa kencing Inkontinensia, enuresis Perubahan warna urine Hematuria (bloody urine), pyuria, cloudy urine, warna coklat

II.

Keluhan berhubungan dengan gagal ginjal

Oliguria, poliuria, aoreksia, mual, muntah, cegukan (hiccup), insomnia, gatal, bruising, edema, urethral or vaginal discharge

Organ reproduksi

Disfungsi seksual / ereksi, buah zakar tak teraba, buah zakar membengkak, penis bengkok

PEMERIKSAAN FISIK 1. 2. 3. 4. 5. 6.

III.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

IV.

Pemeriksaan Ginjal Pemeriksaan Buli-buli Pemeriksaan genitalia eksterna Pemeriksaan skrotum dan isinya Colok Dubur (Rectal toucher) Pemeriksaan neurologi

Urinalisis Pemeriksaan Darah Analisis semen Analisis Batu Kultur urine Sitologi urine Histopatologi

PEMERIKSAAN RADIOLOGI 1. Foto polos abdomen 2. Pielografi Intra Vena (PIV) 3. Sistografi 4. Uretrografi 5. Pielografi Retrograd (RPG) 6. Pielografi Antegrad 7. USG (Ultrasonografi) 8. Computed tomography (CT) 9. Magnetic resonance imaging (MRI) 10. Sintigrafi 11. Angiografi

6. Bagaimana patofisiologi bengkak pada wajah, perut serta kedua tungkai sesuai skenario ?

Edema terjadi akibat hipoproteinemia terutama pada albumin (hipoalbuminemia). Penurunan kadar protein ini menyebabkan menurunnya tekanan osmotik protein plasma. Sehingga terjadi perpindahan cairan dari cairan intravaskuler ke ruangan interstisial yang dikarenakan perbedaan osmotik protein diruangan interstisial yang lebih tinggi daripada didalam pembuluh darah. Karena penurunan cairan intravaskuler ini menyebabkan rangsangan renin-angiotensinaldosteron sistem. Yang kemudian terjadi perangsangan ADH sehingga terjadi penahanan air dan garam. Sehingga terjadilah edema. Pada sindroma nefrotik edema diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Dimana pada teori underfill dijelaskan bahwa hipoalbuminemia menjadi faktor kunci terjadinya edema pada sindroma nefrotik. Sedangkan pada teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Pada skenario terdapat edema yang semakin bertambah hal ini dikarenakan oleh aktifmua reninangiotensin-aldosteron pada sistem sehingga ginjal menahan air dan garam.

7. Sebutkan dan jelaskan secara singkat penyakit-penyakit yang menyebabkan wajah, perut serta kedua tungkai bengkak ! a) Angioedema Angioedema merupakan edema local dengan batas yang jelasyang melibatkan lpisan kulit yang lebih dalam (jaringan subkutan). Bisa terjadi dimanapun, tetapi paling serimg terjadi pada daerah mulut, kelopak mata dan genitalia. Episode angioedema yang berlanngsung kurang dari 6 minggu disebut angioedema akut sedangkan jika menetap lebih dari 6 minggu disebut angioedema kronik. Etiologi

Umumnya angioderma merupakan kejadia yang menyertai pada urtikaria. Pada angioedema tanpa disertai urtikaria biasanya diawali dengan adanya trauma mekanik ringan sehingga menimbulkan edema subkutan yang cukup besar dan terasa nyeri. Yang perlu diperhatikan pada angioedema tanpa urtikaria ini adalah kemungkinan keterkaitannya dengan kadar C1 inhibitor. Apabila didapatkan pada angioedema dengan kadar C1 inhibitor dibawah normal, kemungkinan diakibatkan oleh faktor yang didapat (misalnya limfoma, lupus eritomatosus sistemik) atau bawaan yang sifatnya diturunkan secara autosomal dominan. Jika didapatkan kadar C1 inhibitor yang normal, umumnya penyebab tersebut tidak diketahui (idiopatik) tetapi perlu dipertimbangkan dengan kemungkinan akibat dari penggunaan obat (aspirin, ACE inhibitor, OAINS) atau episodic angioedema with eosinophilia (EAAE). Gejala Klinis Pada angioedema tanpa disertai urtikaria terdapat edema subkutan yang cukup besar dan terasa nyeri yang disebabkan oleh trauma mekanik ringan. Edema ini bisa terjadi pada jaringan submucosa usus yang dapat memberikan gejala kolik, sedangkan pada laring menyebabkan gejala sufokasi. Gejala ini dapat menetap sampai beberapa hari bila tidak dilakukan pengobatan yang memadai.

b) Gagal Jantung kongestif Gagal jantung kongestif merupakan keadaan dimana fungsi jantung sebagai pemompa untuk mengantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Keadaan dimana darah kembali ke lengan, tungkai, pergelangan kaki, kaki, hati, paru-paru atau organ-organ lainnya; tubuh menjadi macet. Inilah yang disebut gagal jantung kongestif. Etiologi I. penyebab-penyebab umum dari gagal jantung kongestif adalah: 1. penyakit arteri koroner, 2. tekanan darah tinggi (hipertensi), 3. penyalahgunaan alkohol yang berkepanjangan, dan 4. penyakit-penyakit dari klep-klep jantung. II. Penyebab-penyebab yang jarang terjadi 1. infeksi-infeksi virus dari kekakuan otot jantung 2. penyakit-penyakit tiroid 3. penyakit-penyakit irama jantung pasien-pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya, meminum obat-obat tertentu dapat menjurus pada perkembangan atau perburukan dari gagal jantung kongestif. Ini terutama untuk obat-obat yang dapat menyebabkan penahanan sodium atau mempengaruhi kekuatan dari otot jantung. Contoh-contoh dari obat-obat seperti itu adalah obat-obat antiperadangan nonsteroid yang umum digunakan (NSAIDs), yang termasuk ibuprofen

(Motrin dan lain-lainnya) dan naproxen (Aleve dan lain-lainnya) serta steroid-steroid tertentu, beberapa obat diabetes, dan beberapa calcium channel blockers.

Gejala Gejala-gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu-individu menurut sistimsistim organ tertentu yang terlibat dan tergantung pada derajatnya, bagaimana seluruh tubuh telah "mengkompensasi" untuk kelemahan otot jantung. 1. Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. 2. Ketika tubuh menjadi terlalu terbebani dengan cairan dari gagal jantung kongestif, pembengkakan (edema) dari pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-kaki atau perut mungkin tercatat. 3. Sebagai tambahan, cairan mungkin berakmulasi dalam paru-paru, dengan demikian menyebabkan sesak napas, terutama selama olahraga/latihan dan ketika berbaring rata. Pada beberapa kejadian-kejadian, pasien-pasien terbangun di malam hari, megap-megap untuk udara. 4. Beberapa mungkin tidak mampu untuk tidur kecuali duduk tegak lurus. 5. Cairan ekstra dalam tubuh mungkin menyebabkan kencing yang meningkat, terutama pada malam hari. 6. Akumulasi dari cairan dalam hati dan usus-usus mungkin menyebabkan mual, nyeri perut, dan nafsu makan yang berkurang.

c) Nefritis Nefritis adalah kerusakan pada bagian glomerulus ginjal akibat infeksi kuman umumnya bakteri Streptococcus. Akibat nefritis ini seseorang akan menderita uremia atau edema. Uremia adalah masuknya kembali urin (C5H4N4O3) dan urea ke dalam pembuluh darah sedangkan edema adalah penimbunan air di kaki karena terganggunya reabsorpsi air. Nefritis akut banyak diderita oleh anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh infeksi penyakit menular. Sedangkan nefritis kronis yang diderita oleh orangtua ditandai dengan tekanan darah tinggi dan pengerasan pembuluh darah ginjal. Etiologi Terjadinya gangguan utama pada ginjal atau sebagai komplikasi penyakit lain misalnya komplikasi penyakit diabetes mellitus, keracunan obat dan penyakit infeksi yang umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus.

Manifestasi klinis Gejala yang ditimbulkan penyakit ini adalah mengeluh rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, bengkak di daerah sekitar kelopak mata, muntah-muntah, sulit buang air kecil, keluarnya nanah pada air seni, hematuria (darah di dalam air kemih), proteinuria (protein di

dalam air kemih), nyeri pada saat mengeluarkan air seni, dan air seni berubah warna menjadi keruh.

d) Obesitas Obesitas merupakan suatu penyakit multifactorial yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak. Etiologi Hal yang paling mendasar adalah obesitas terjadi ketika tubuh menerima lebih banyak kalori daripada membakarnya. Kalori tersebut kemudian menumpuk dan menjadi lemak. Obesitas biasanya merupakan hasil dari kombinasi antara faktor-faktor berikut :     

Tidak aktif secara fisik sehingga pembakaran lemak menjadi sedikit. Makan makanan tinggi kalori, terutama makanan cepat saji. Beberapa wanita sulit menurunkan berat badan setelah melahirkan, hal ini memicu obesitas. Kurang tidur. Obat-obatan tertentu, seperti obat diabetes, anti kejang, antidepressants, antipsychotic, steroids dan beta blockers.

Manifestasi Klinis Gejala yang berhubungan dengan obesitas antara lain sulit tidur, mendengkur, berhenti napas untuk sementara secara tiba-tiba saat tidur, nyeri punggung atau sendi, berkeringat secara berlebihan, selalu merasa panas, ruam atau infeksi pada lipatan kulit, sulit bernapas, sering mengantuk dan lelah.

e) Sistemik Lupus Eritematosus Definisi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Peristiwa imunologi yang tepat yang memicu timbulnya manifestasi klinis SLE belum diketahui secara pasti. Etiologi Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya

penyakit ini.15 Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. 2. Faktor Imunologi Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu : a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.16 b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal. c. Kelainan antibody

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. 4. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari: a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. c. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. d. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.

Gambaran Klinik











Manifestasi Umum Pada kelainan autoimun yang sistemik biasanya ditemukan kelainan konstitusional seperti: cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan menurunnya berat badan. Hal ini menunjukan gejala awal atau bahkan merupakan komplikasi dari penyakitnya. Manifestasi pada Kulit Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan SLE, kejadiannya berkisar antara 80-90 dari kasus, 4 dari 11 kriteria diagnosis SLE diantaranya merupakan kelainan pada kulit seperti: foto sensitivitas, ruam malar, lesi discoid serta lesi mukokutan (lesi pada mulut). Manifestasi Muskuloskeletal Artritis. Artritis sendi pada SLE umumnya poliartritis mirip dengan artritis rheumatoid yang mana daerah yang terkena sendi sendi kecil pada tangan, oergelangan tangan dan lutut. Sendi yang terkena dapat mengalami pembengkakan atau sinovitis. Miositis dan myalgia. Rasa sakit pada otot pada penderita SLE dikenal dengan sebagai myalgia bila pada pemeriksaan enzim creatine phosphokinase (CPK) alam batas normal, sedangkan myositis bila terjadi kenaikan enzim creatine phosphokinase (CPK), hal ini terjadi seringkali kita sulit membedakan dengan kelainan otot karena fibromyalgia yang disebabkan oleh depresi, yang mana kita perlu ketahui bahwa 22% pasien SLE juga menderita kelainan tersebut. Manifestasi Ginjal Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira 50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomaik sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus, tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas sedimen urin pada ¼ penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi yang serius sehingga menyebabkan kematian. Manifestasi Klinis pada SSP Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke). Manifestasi utama dari Lupus SSP : 1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori) 2. Sakit kepala 3.Seizure 4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma) 5. Meningitis aseptik 6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian – bagian otak yang berbeda) 7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dankaki) 8. Gangguan pergerakan 9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)

10.visual alternation 11.Autonomic neuropathy(contoh: reaksi flushing atau mottled skin) 

Manifestasi Gastrointestinal Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%, sakit abdomen 40-60%, dysphagia5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10%. Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi, perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegaly dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak mengarah pada hepatitis atau cirrhosis

f) Protein-Loss Enteropathy Protein-Losing Enteropathy ditandai dengan hilangnya protein serum berat ke dalam usus. Kehilangan protein normal pada saluran pencernaan terutama terdiri dari enterosit yang terkelupas dan sekresi pancreas dan empedu. Kehilangan albumin melalui saluran pencernaan biasanya menyumbang 2-15% dari total degradasi tubuh albumin, namun, pada pasien dengan gangguan pencernaan protein-losing enteropathy yang berat, hilangnya protein enterik dapat mencapai hingga 60% dari total albumin. Tingkat protein serum menggambarkan keseimbangan antara sintesis protein, metabolisme, dan kehilangan protein. Protein-kalah enteropati ditandai dengan kehilangan lebih banyak protein melalui saluran pencernaan dibandingkan dengan sintesis yang mengarah ke hipoalbuminemia. Ini bukan penyakit tunggal, tetapi merupakan manifestasi atipikal penyakit lainnya. Gejala yang paling umum yang adalah pembengkakan kaki atau area lain karena edema perifer sekunder untuk penurunan tekanan onkotik plasma, dengan transudasi berikutnya cairan dari kapiler ke jaringan subkutan. Jika protein-losing gastroenteropathy berkaitan dengan penyakit lain sistemik (misalnya, gagal jantung kongestif, perikarditis konstriktif, penyakit jaringan ikat, amiloidosis, diskrasia protein), manifestasi klinis mungkin karena proses penyakit primer. Pasien dengan penyakit gastrointestinal primer datang ke dokter dengan diare dengan atau tanpa pendarahan, sakit perut, dan / atau penurunan berat badan. Seiring dengan hilangnya protein, kehilangan yang signifikan dari imunoglobulin dan limfosit juga dapat terjadi. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan defisiensi imunologi, predisposisi infeksi Etiologi Penyakit mukosa gastrointestinal primer (biasanya ulseratif / erosif) adalah sebagai berikut:

            

Erosi dan ulserasi esofagus, lambung, atau duodenum enteritis regional Penyakit graft versus host Kolitis pseudomembran (Clostridium difficile) Neoplasia berbasis mukosa sindrom karsinoid Idiopatik jejunoileitis ulseratif Amiloidosis Kaposi sarcoma protein dyscrasia kolitis ulserativa neurofibromatosis infeksi cytomegalovirus

Kasus protein-losing enteropathy adalah manifestasi awal dari lupus eritematosus sistemik telah dilaporkan.

8. Mengapa bengkak hanya terjadi pada wajah, perut serta kedua tungkai ?

Edema didefinisikan sebagai penumpukan cairan intertisial yang berlebihan. Edema dapat disebabkan oleh tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat, tekanan osmotik koloid yang menurun, permeabilitas kapiler yang meningkat, atau obstruksi aliran limfatik. Penyebaran edema generalisata terutama diatur oleh gaya gravitasi yang memengaruhi tekanan hidrostatik kapiler. Dengan demikian, edema biasanya terjadi pada tempat dengan tekanan hidrostatik kapiler yang paling tinggi (daerah yang rendah, misalnya daerah tungkai atau sakral pada pasien yang berbaring), atau pada tempat dengan tekanan intertisial paling rendah (daerah periorbital, muka, skrotal). Apabila daerah edema ditekan dengan jari, timbul lekukan yang akan menetap dalam beberapa saat karena cairan terdorong ke daerah lain, hal ini disebut sebagai pitting edema. Untuk rongga abdomen yang merupakan rongga potensial mempunyai permukaan rongga tidak mempunyai resistensi yang cukup bermakna bagi jalannya cairan, elektrolit, atau bahkan protein yang dengan mudah keluar masuk antara rongga dan cairan interstisial dijaringan sekitarnya. Akibatnya cairan dalam kapiler yang berdekatan dengan rongga potensial akan berdifusi tidak hanya ke dalam cairan intertisial tetapi juga ke dalam rongga potensial. Rongga abdomen merupakan tempat yang terutama sangat rentan untuk terjadinya pengumpulan cairan

BAB III PENUTUP

Sindrom nefrotik Definisi

Manifestasi klinik Glomerulonefritis (GN)

Etiologi

>> GN primer/idiopatik, GN Sekunder : infeksi, keganasan, obat/toksin, penyakit jaringan penghubung dan penyakit sistemik 75% < 18 tahun, tersering < 6 tahun Terjadinya proteinuria, hipoalbuminemia yang memicu edema

Epidemiologi Patofisiologi

Manifestasi klinik

Anoreksia, nyeri perut, atrofi otot, edema, air kemih berbusa

Komplikasi

Hyperlipidemia dan lipiduria, hiperkoagulasi, infeksi, gangguan fungsi ginjal, malnutrisi, hipertensi

Penatalaksanaan Non-medikamentosa : tirah baring, batasi konsumsi garam dan protein Medikamentosa : diuretic dan golongan statin

Prognosis

Baik

Glomerulonephritis

Kwashiorkor

Inflamasi/non-inflamasi di glomerulus akibat faktor imunologik >> idiopatik, Infeksi, Obat/toksin

Diet rendah protein

>> 3-7 tahun, remaja, dewasa muda Akumulasi kompleks imun di glomerulus memicu inflamasi atau karena imunitas seluler (sel T) Hematuria, proteinuria, oliguria, edema (wajah, >> tubuh bagian bawah), hipertensi,silinder RBC, azotemia, lelah, anoreksia, demam, sakit kepala, mual, muntah Gangguan fungsi ginjal, hiperkoagulasi, hipoalbuminemia, infeksi

>> 6 tahun

Non-medikamentosa : tirah baring Medikamentosa : kortikosteroid dan antibiotik

Buruk

Inadekuat intake protein

Terjadinya edema dan perlemakan hati karena kurangnya protein Edema (muka, punggung kaki, perut), atrofi otot, pertumbuhan & mental menurun, hipoalbuminemia, diare, kulit bersisik, depigmentasi rambut dan kulit, anoreksia, tanda anemia Anemia, koma, infeksi berulang, cacat intelektual dan fisik, syok hipovolemik, perawakan pendek, perubahan pigmen kulit, steatohepatitis Non-medikamentosa : makanan yang menunjang (susu, yogurt, sayur dll) Medikamentosa : rehidrasi, antibiotic, vitamin, besi dan asam folat Tergantung penanganan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok yang telah kami lakukan, kami menyimpulkan bahwa penyakit-penyakit yang paling mendekati skenario adalah sindrom nefrotik, glomerulonefritis, dan kwashiorkor. Adapun diagnosa pasti tidak dapat kami berikan karena perlu adanya pemeriksaan dan data tambahan yang perlu digali kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Branch, William T., R. Wayna Alexande, Robert C. Schlant, and J. Wilis Hurst. 2000.Cardiology in Primary Care. Singapore : McGraw Hill. Price dan Wilson. 2014. Patofisiologi. Jakarta: EGC. Sherwood, Lauralee. 2013. Fisiologi dari Sel ke Sistem. Ed: 6. Jakarta: EGC. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

More Documents from "handy"