Selubung Kekuasaan Atas Tubuh (foucault).docx

  • Uploaded by: Jan Petra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Selubung Kekuasaan Atas Tubuh (foucault).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,224
  • Pages: 11
Selubung Kekuasaan Atas Tubuh: Membongkar Pembentukan Tubuh Masyarakat Eropa Bersama Foucault 2010/12/10 Wildan Sena Utama*

Masalah etika semakin menjadi persoalan yang tidak sederhana menjelang abad modern setelah ditemukannya dan berkembangnya psikiatri, psikologi, psikopatologi, psikoanalisis, kedokteran, klinik, penghukuman dan penjara. Semenjak berkembangnya permasalahan ini, etika tidak lagi menjadi wilayah dominasi perbincangan para filsuf. Para dokter, psikolog, ahli biologi, ahli kesehatan dan ahli ekonomi pun memperbincangkan masalah ini. Disinilah mulai berkembangnya sebuah cabang dari etika yang biasa orang sebut bioethics. Permasalahan mengenai bio-etika saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Terutama pada masyarakat Eropa. Salah satu faktor yang membentuk masyarakat Barat seperti saat ini, banyak berhubungan dengan persoalan bio-etika. Sejak zaman pasca renaisans, kekuasaan berusaha masuk ke wilayah bio-etika untuk mengontrol pembentukan masyarakat Barat. Pembersihan, pengontrolan, praktek-praktek klinis, regulasi, normalisasi, penjara dan segala bentuk pendisiplinan diterapkan dalam masyarakat Eropa. Kekuasaan pun mulai berkerja sama dengan ilmu pengetahuan untuk mengerjakan proyek kontelasi sosial. Selubung kekuasaan atas bio-etika ini bertujuan membentuk docile body. Selubung kekuasaan inilah yang berusaha dibongkar oleh filsuf sejarah sistem pemikiran manusia asal Perancis, Michel Foucault. Dalam studinya Foucault menelusuri tema-tema yang tidak pernah dijamah oleh para filsuf sebelumnya. Tema-tema mengenai kegilaan, penyakit mental, penghukuman, pendisiplinan, penjara, klinis dan seks menjadi bahan-bahan untuk melihat strategi kekuasaan dalam wilayah bio-etika. Penelusuran Foucault atas arkelogi dan juga genealogi[i] bio-etika ini penting untuk melihat betapa berkuasanya kekuasaan menormalisasi tubuh manusia. Kegilaan dan Politik Kesehatan “Manusia pastilah demikian gilanya sehingga, kalaupun ia tidak gila, tetap dianggap gila dari sudut pandang kegilaan yang lain”. “Harus disusun sejarah dari sudut pandang kegilaan yang lain itu, karena di dalamnya manusia, menurut logika orang gila, berkomunikasi dan mengenali dirinya melalui bahasa tegas yang digunakan orang waras” (Foucault, 1975). Dalam bukunya Madness and Civilization, Foucault menelusuri jejak kekuasaan atas penyakit mental dan kegilaan di masyarakat. Studinya saat itu, belum terlalu menunjukkan minat terbesarnya pada kekuasaan. Pertama-tama – layaknya seorang sejarawan profesional – Foucault membagi periode kegilaan dalam tiga periode besar. Periode zaman renaisans, periode klasik dan periode pasca klasik atau modern (Foucault, 1975).

Pada periode renaisans orang-orang gila diizinkan untuk berada di tengah-tengah masyarakat Eropa. Orang-orang gila dikaitkan dengan sekelompok “orang desa dungu” yang tidak menikah, tidak bermain dan tidak bersosialisasi secara wajar (Foucault, 2009). Orang-orang gila ini kadang-kadang ikut dalam rombongan pedagang ataupun masuk ke dalam barak militer. Orangorang gila yang kambuh pula biasanya diasingkan ke luar kota, di luar kota diharapkan ia tidak kembali lagi untuk menggangu ketertiban masyarakat di daerah sebelumnya. Pada zaman renaisans, sebenarnya orang gila mendapatkan penghormatan yang tinggi (Lechte, 1994). Kegilaan merupakan suatu unsur yang tragis namun estetis. Ia berhubungan dengan konteks pertentangan dengan moral truth. Kegilaan dengan rumusannya berusaha mengintervensi rasio dan menjadi rasio itu sendiri. Kegilaan adalah mode dari rasio dan karakteristik dari human beings. Kulminasi tujuan, dari apa yang diharapkan manusia dari kebahagiaan. Ini bisa dilihat dari tema-tema seni dan sastra pada masa renaisans yang banyak menguliti kegilaan. Beberapa diantaranya adalah Erasmus menulis Laus Stultitiae (pujian pada kegilaan) dan Sebastian Brant menulis Stulifera Navis (kapal orang-orang gila). Ditambah lukisan terkenal Bosch mengenai kapal orang-orang gila yang terinspirasi dari puisi Sebastian Brant (Foucault, 1976a). Unreasonable reason dan reasonable unreason pada masa ini eksis seperti dua sisi mata uang (Lechte, 1994). Pada pertengahan abad 17, label mengenai orang-orang gila berubah. Orang-orang yang disebut gila adalah orang-orang yang irasional dan dianggap tidak berguna di masyarakat (Foucault, 1975). Kegilaan pun dikeluarkan dari status intelektual, kegilaan diberikan status unreason atau keadaan tanpa rasio (Bertens, 2006). Upaya pembersihan kota dari para pemalas, gelandangan, pengemis, penggangguran, orang-orang gila dan pelacur mulai banyak dilakukan. Gambaran akan pembersihan orang-orang gila ini dilukiskan oleh sastrawan “gila”, Marquis de Sade, dengan seram, lewat penjemputan paksa oleh orang-orang berkerudung hitam (Foucault, 1975). Mereka ditangkap dan ditempatkan ke dalam hopital general.[ii] Berbagai gedung-gedung, gudang penyimpanan senjata dan kamp peristirahatan bagi militer cacat yang berada dalam satu administrasi, seperti gedung Salpetriere, Bicetre, La Pitie, La Savonnerie, dialih fungsikan menjadi tempat koreksi orang-orang gila (Foucault, 1975). Rumah-rumah lepra yang kosong semenjak perang salib pun menjadi sesak akibat menampung para orang yang tidak berguna dalam struktur norma sosial ini. Semenjak didirikannya hopital general pada tahun 1656 oleh raja Perancis, fenomena pendirian rumah koreksi semakin banyak didirikan di Perancis. Namun, Foucault mencatat bahwa sebelum Perancis, di Jerman hopital telah didirikan pada tahun 1620 dengan nama Zuchthausern (Foucault, 1975). Semenjak pendirian hopital di kedua negara tersebut, belahan Eropa lain mulai menerapkan hal yang sama. Di Basel, hopital dibuka tahun 1667, Breslau tahun 1668, Konigsberg tahun 1691, Leipzig tahun 1701, Halle dan Cassel tahun 1717 dan 1720, Brieg dan Osnabruck 1756 dan Torgau tahun 1771 (Foucault, 1975). Hal yang sama dapat ditemui pada negara lain seperti Spanyol, Belanda, Skotlandia, Italia dan Inggris.[iii] Dengan semakin banyaknya didirikan rumah koreksi ini, masyarakat Eropa dicemaskan oleh teror penculikan baik resmi – melalui surat penangkapan, di Perancis dinamakan lettres de cachet, maupun ilegal. Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan pandangan yang begitu drastis ini ? Penyebabnya adalah mulai terbentuknya masyarakat industri di Eropa (Foucault, 1975, 2009). Para “orang

gila” ini dipekerjakan sebagai tenaga murah di pabrik-pabrik industri. Sebagai misal, di Jerman para orang gila ini dipekerjakan untuk memintal, menenun, membelah kayu dan menggiling tepung. Selain motif ekonomi, Foucault memandang bahwa pembersihan orang miskin merupakan cita-cita moral dari kelas menengah Eropa yang menginginkan terbentuknya penataan sosial yang tertib, teratur dan bersih (Foucault, 1975). Salah satu contohnya adalah pamflet Grievous Groan for the Poor yang menyerukan orang miskin untuk dibuang ke tanah baru di India Timur dan Barat. Zaman pasca klasik, tahun 1790, Pinel membebaskan orang-orang gila dari Hopital Bicetre, ia beralasan bahwa “orang-orang ini menjadi seperti itu karena udara segar dan kebebasan mereka telah dirampas” (Bertens, 2006). Namun, yang dibebaskannya hanya orang sakit, lanjut usia, pemalas dan pelacur. Orang gila tetap dipertahankan. Masyarakat borjuis juga secara tiba-tiba mengutuk keberadaan hopital general. Menurut mereka hopital-hopital ini merupakan sumber dari datangnya penyakit. Isu-isu yang berkembang mengatakan bahwa udara sekitar telah tertular kuman-kuman yang berasal dari Hopital Bicetre. Diutuslah ahli medis untuk meneliti kebenaran berita tersebut. Dari hasil penelitian para ahli medis menyatakan bahwa udara di Bicetre mengandung banyak kuman. Hasil penelitian ini didasarkan atas simptom penyakit orang di dalam Bicetre dan di lingkungan Paris menunjukkan gejala yang sama (Foucault, 1975). Akhir abad 18 kegilaan sudah didakwa sebagai penyakit jiwa (Foucault, 1975). Pada zaman modern ini orang-orang yang dianggap gila atau tidak bisa bekerja mulai dimasukkan ke dalam rumah sakit eksperimen jiwa. Rumah-rumah sakit ini didirikan untuk (1) mengurung orang-orang yang tak mampu bekerja dengan alasan keterbatasan fisik (2) mengurung orang yang tidak bisa bekerja dengan alasan keterbatasan non fisik (Foucault, 2009). Dengan mulai banyaknya didirikan klinik pengobatan mental ini, maka lahirlah ilmu psikiatri. Orang-orang gila dipakai sebagai kelinci percobaan demi eksperimen. Kegilaan dihukum di rumah sakit jiwa oleh psikiatri. Jika sebelumnya pasien bisa menjadi dokter untuk tubuhnya sendiri, pada abad 18 kekuasaan dokter adalah segalanya. Ia yang memvonis apakah manusia itu gila atau tidak. Dalam bukunya The Birth of Clinic, filsuf ini menampilkan relasi antara pasien dan dokter pada akhir abad 18. Muncullah konsepsi yang disebut oleh Foucault sebagai gaze.[iv] Tubuh pasien menjadi ritus dalam penelitian sang dokter. Tubuh pasien terus menerus dipantau untuk melihat reaksi-reaksi patologis dari pasien (Kurzweil, 1980). Lalu, analisis ini dicocokkan dengan katalogisasi baku transkripsi simptom yang telah di dokumenkan. Bahkan untuk mendukung kontrol dokter atas tubuh pasien, pengaturan ruang orang sakit diatur sedemikian rupa demi memudahkan kontrol dokter. Hal ini bisa dilihat dari perdebatan mengenai tata letak ruang orang sakit, mulai dari bentuk arsitekturalnya sampai masalah penempatan ranjang pasien (Foucault, 1976b). Di samping masalah ini, kekuasaan dokter dalam unsur pemerintahan semakin menguat. Dokterdokter bisa menentukan arah kebijakan dalam masalah lingkungan dan penduduk (Kurzweil, 1980). Kuasa ini selain akibat ditemukannya penemuan baru dalam teknik kedokteran,[v] masyarakat Eropa masih menyimpan trauma terhadap wabah penyakit, seperti yang terjadi di Perancis. Politik kesehatan di akhir abad 18 Eropa dengan ditemukannya teknik-teknik baru dalam hal medis berusaha mengontrol tubuh-tubuh individu – berpatok pada gaze – masyarakat Eropa agar steril demi mewujudkan utopia masyarakat industrialis. Politik kesehatan merembes

dimana-mana bukan sekedar milik pemerintah, lembaga-lembaga kesehatan independen pun mulai melakukan eksperimen dan kontrol terhadap masyarakat. Inilah yang menyebabkan lahirnya klinik-klinik disamping rumah sakit dan hopital general. Negara pun mesti menyediakan undang-undang, uang dan iklim yang baik untuk mendukung proyek ini (Kurzweil, 1980). Disiplin, Penjara dan Tubuh yang Patuh Pada era monarki di Perancis metode penghukuman terhadap para kriminal menggunakan penyiksaan yang tidak mengenal unsur kemanusiaan. Dalam pembukaan buku Dicipline and Punish, diceritakan kisah Damiens, seorang pembunuh yang dihukum mati. “Tubuh Damiens dilumuri oleh lilin yang meleleh seberat dua pon. Daging pada tubuh Damiens lalu melepuh dan daging yang melepuh (dada, betis dan paha) tersebut lalu dijepit oleh besi panas. Tangan Damiens dipakasa memegang pisau – alat pembunuhannya – lalu tangannya dilumuri oleh sulfur dan dibakar. Algojo datang mengoyak-ngoyak tubuh Damiens tanpa perasaan. Disiapkan pula kuda-kuda untuk menarik tubuh Damiens tujuannya untuk memisahmisahkan tubuh Damiens menjadi beberapa bagian. Algojo menaiki kuda dan seketika tubuh Damiens berusaha “dimutilasi” oleh kuda. Namun, ternyata upaya ini gagal. Bahkan salah satu kuda terjatuh. Para pendeta yang menerima pengakuan dosa datang menghampiri Damiens. Damiens merintih “cium aku tuan, cium aku tuan”. Para pendeta tidak ada yang berani melakukannya, namun Monsieur de Marsilly berani mencium jidat Damiens. Setelah itu, Damiens memperbolehkan eksekusi dilanjutkan. Para algojo pun langsung mengiris-iris tubuh Damiens. Bagian-bagian tubuh yang diiris seketika langsung ditarik kuda. Lepaslah bagian tubuh Damiens menjadi empat bagian sampai terlihat bagian tulangnya (Foucault,1995). Metode penghukuman diatas merupakan metode yang lazim digunakan oleh rezim monarki terhadap para kriminal. Para kriminal yang terbukti bersalah biasanya disiksa dengan seni siksaan yang hampir mendekati ajal kematian dan dipertontonkan kepada publik. Seni menyiksa kriminal tidak boleh dilakukan sampai mati sebelum dia mengucapkan pengakuan dosanya. Penyiksaan dilakukan bagai pergelaran teater. Penyiksaan dilakukan simbolis seperti adegan pembunuhan yang dilakukan oleh pembunuhnya. Contoh, seorang pembantu wanita yang membunuh nyonyanya saat duduk di kursi, algojo menumpukkan kaki wanita di kursi. Algojo lalu menebas tangannya, kemudian algojo mengambil pisau daging – alat pembunuhan – lalu “membabat” tubuh wanita dan terakhir memenggal kepalanya (Foucault, 1995). Selain itu, simbolisme dilakukan dengan pengandaian, jika pembunuh maka tangannya ditebas, jika penghujat maka lidahnya ditusuk (Foucault, 1995). Akhir abad 18 muncul gelombang protes dari filsuf, ahli hukum dan anggota parlemen menentang aksi “teater sadis”. Penolakan timbul akibat teater neraka tersebut terlalu mengirisiris kemanusiaan dan menimbulkan resistensi di masyarakat. Mengapa resistensi ? Foucault menganalisa bahwa teater penyiksaan menimbulkan suatu ruang publik bagi para penonton kelas bawah – pemalas, pengangguran, pencoleng, pelacur,dll – untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan (Foucault, 1995). Seringkali acara penyiksaan berlangsung ricuh, tatkala masyarakat merasa “tersentuh” terhadap kriminal yang disiksa. Acara penyiksaan pun menjadi berantakan. Seperti kasus Pierre du Fort, algojo yang mengoyak tubuh Pierre menjadi korban kemarahan

massa (Foucault, 1995). Massa secara spontan maju lalu menghakimi algojo dan menceburkan algojo ke sungai. Ide mengenai model penghukuman yang baru menggantikan teater penyiksaan melahirkan proyek baru bernama penjara. Penjara adalah salah satu strategi dan teknik kekuasaan untuk membuat tubuh patuh. Penjara dianggap sebagai laboratarium pentransformasi individu. Dengan hadirnya penjara, maka pendisiplinan individu dapat dilakukan dengan porsi ketat. Terapi-terapi klinis dan kontrol atas tingkah laku dilakukan secara mendetail. Tubuh para kriminal yang “borok” disembuhkan melalui mekanisme penjara tersebut demi tercapai format tubuh yang diharapkan. Teknologi kekuasaan atas penjara pada akhir abad 18, menghasilkan dua pakem model penjara, (1) Maison de Force di Ghent (2) model Philadelpia (Foucault, 1995). Model pertama, penjara dikondisikan sebagai pencetak pekerja. Para tahanan didisiplinkan dan di isolasi untuk selalu bekerja melalui mekanisme cara kerja ekonomi. Model kedua, merupakan model yang paling populer, salah satunya Walnut Street (Foucault, 1995). Disini para tahanan didisiplinkan dengan mekanisme jam kerja yang diatur sedemikian ketat. Jadwal setiap tahanan telah terencana dan terorganisir dengan baik. Apa yang harus mereka lakukan sudah ditata dengan rapi. Disamping itu, mereka mendapatkan pengawasan spiritual dan terapi klinis. Semua perkembangan yang ada pada para tahanan dicatat untuk evaluasi. Apabila masih ada kekurangan maka disiplin dilakukan untuk menghancurkan kekurangan itu. Serentak di seluruh Eropa institusi-institusi lain selain penjara mulai menerapkan model disiplin (Kurzweil, 1980). Di berbagai institusi seperti sekolahan dan asrama model time table seperti penjara diterapkan. Jadwal-jadwal siswa diatur secara ketat. Bahkan gerak tubuh mereka diatur sedemikian rupa mengikuti kemauan institusi. Penempatan ruang pun diatur untuk mendukung proyek disiplin. Di pabrik misalnya, penempatan ruang para pekerja harus ditata agar tubuhtubuh pekerja bisa diawasi dengan detail oleh para pengawas (Foucault, 1995). Pengorganisasian ruang ini untuk mendisiplinkan tubuh demi tercapainya tingkat profit yang diinginkan. Dari semua teknik kekuasaan, model panopticon yang dirancang oleh filsuf Jeremy Bentham lah yang paling pas untuk pendisiplinan tubuh. Panopticon adalah rancangan bangunan bersel keliling atau melingkar yang di tengahnya terdapat sebuah menara. Menara di tengah tersebut mempunyai jendela lebar melingkar yang berhadapan dengan blok-blok ruangan para tahanan. Blok-blok para tahanan mempunyai dua jendela. Satu di depan berhadapan dengan menara dan satu di belakang untuk masuk cahaya. Jendela untuk masuk cahaya inilah yang membuat aktivitas para tahanan selalu terpantau oleh menara pengawas. Lewat model inilah menurut Foucault, para pengawas dapat memantau aktivitas para tahanan secara mendetail dan tubuh para tahanan mau tidak mau terpaksa berlaku normal (Foucault, 1995). Menara pengawas ini bagaikan dewa – orang di dalamnya tidak terlihat – yang selalu memantau aktivitas para manusia. Para tahanan senantiasa merasa diawasi walaupun sebenaranya tidak diawasi. Model panopticon Bentham ini merupakan sebuah karya jenius untuk mendisiplinkan tubuh yang tercemar. Rencananya model ini selain di penjara akan diterapkan di institusi-institusi lainnya. Dengan model ini Bentham berusaha mengajukan praktek narasi disiplin baru. Ia berusaha mengalienasi tubuh dari prinsip abnormalitas. Selain itu, praktek ini bercita-cita untuk

mewujudkan tubuh-tubuh yang steril dan tidak terkontaminasi wabah penyakit (Foucault, 1995). Mengapa demikian ? Karena di dalam struktur pemikiran masyarakat Eropa masih ada peninggalan struktur pemikiran akan ketakutan terhadap wabah lepra dan kusta. Jadi, walaupun di Eropa wabah lepra dan kusta telah hilang struktur ketakutan akan wabah penyakit tersebut tetap tidak hilang (Foucault, 1995). Model panopticon rancangan Bentham lah yang menjadi penegas analisa Foucault tersebut. Seks, Wacana dan Bio Power Sejarah seks mempunyai riwayat historis yang lama. Dalam pandangan Yunani klasik hal yang berkaitan dengan seks bukanlah sesuatu yang tabu seperti abad pastoral Barat. Seks adalah sesuatu yang alami, mendatangkan kenikmatan dua insan dan dianggap mendatangkan ilham dalam ranah berpikir. Seks berkaitan erat dengan etika dan moral. Sehingga wacana tentang seks dibicarakan secara parrhesia.[vi] Disini, seks melibatkan subjek untuk terus berdialog dalam diskursus mengenai seks. Setiap dialog atau kontemplasi melahirkan pandangan yang berbeda mengenai seks. Setiap individu mempunyai pandangan sendiri-sendiri tentang praktik seksualitasnya (Kebung, 2002). Tidak ada wacana seks yang dominan dan universal. Setiap tubuh hanyut dalam kenikmatan seni pengendalian diri dan penelurusan diri terhadap tubuhnya masing-masing. Namun, semuanya berubah pada abad pertengahan awal. Pada masa ini penafsiran atas seks berbeda dengan penafsiran cara pandang masa Yunani klasik. Telah diketahui pada masa ini dominasi kekuasaan gereja begitu kuat. Kontrol gereja terhadap kode-kode seks amat ketat. Kontrol gereja atas seks pada masa ini lebih kepada penahanan diri terhadap kenikmatan atau bisa dibilang seperti asketisme seksual. Segala sesuatu yang berhubungan dengan seks, birahi dan erotisme dianggap sebagai perwujudan dari sesuatu yang kotor dan dekat dengan unsur iblis. Para rahib-rahib bertarung dalam pendendalian diri terhadap unsur-unsur seks, seperti rasa, imajinasi dan mimpi. Rahib-rahib ini harus bisa mematikan unsur-unsur yang bisa memacu bangkitnya libido dalam tubuh mereka. Apabila bisa mengalahkan imajinasi, mimpi, birahi yang bisa memancing luapan seks maka dia telah berhasil membuat tubuhnya bersih dan suci. Berlangsungnya era deseksualisasi pada abad dominasi gereja ini pun mempunyai mekanisme tersendiri terhadap kontrol seks. Pada abad pertengahan dikenal proses pengakuan dosa. Pengakuan dosa ini berlaku terhadap segala macam apapun yang dianggap larangan dalam masyarakat Eropa, termasuk seks. Disinilah berkembang sebuah prosedur untuk mengungkapkan pengakuan tentang seksualitas yang disebut Foucault sebagai scientia sexualis.[vii] Seks seakanakan tidak berwujud tanpa melalui pengakuan (Adian, 2002). Sejak masa ini masyarakat Eropa telah menjadi manusia pengaku yang tidak ada duanya (Foucault, 2008). Jika mereka tidak mengaku atau melakukan pengakuan tidak dengan hati nurani maka akan dikenakan hukuman dan penyiksaan. Pada abad 17, masih berlaku keterbukaan tertentu terhadap seks. Kegiatan seksual tidak ditutuptutupi, kata-kata bernada seks dilontarkan tanpa keraguan, berbagai hal yang menyangkut seks tidak disamarkan (Foucault, 2008). Pada waktu itu bisa ditemukan berbagai kial yang menjurus, kata-kata polos, pelanggaran norma secara terang-terangan, aurat yang dipertontonkan, anakanak bugil yang berlalu lalang tanpa rasa malu dan tubuh-tubuh yang tenggelam dalam

keasyikan (Foucault, 2008). Namun, perlahan kaum borjuis Victorian memingit seks menjadi sesuatu yang dianggap tabu dan rahasia. Diskursus tentang seks tidak bisa dibicarakan secara terbuka. Obrolan tentang seks mempunyai kode-kode yang amat ketat. Seks hanya menjadi urusan suami istri. Wacana tentang seks berlaku di dalam kamar tidur. Hipotesis yang berkembang diantara para sejarawan yang mengatakan bahwa seks di represi oleh kekuasaan ini dibenarkan oleh Foucault. Tetapi, ia melihat bahwa di dalam inside power ini seks justru berkelindan dengan nikmat di dalam kekuasaan. Wacana tentang seks bukan hilang malah diperbicangkan secara terus menerus. Wacana tentang seks justru makin meledak. Tidak ada yang dapat menahan ledakan wacana seks pada abad 18. Di berbagai lembaga pendidikan telah diperbanyak pembentukan wacana tentang seks. Para ahli medis membuat berbagai susunan konfigurasi seks untuk disebarkan kepada direktur sekolah dan guru (Foucault, 2008). Di perpustakaan buku-buku tentang berbagai wacana seks hadir mengisi rak-rak. Sejak abad 18, seks tidak henti-hentinya menimbulkan semacam dorongan yang semakin besar untuk pembentukan wacana. Lagipula, wacana-wacana tentang seks itu tidak berlipat ganda di luar kekuasaan atau melawan kekuasaan ; tetapi di dalam ruang kekuasaan itu sendiri dan sebagai alat penerapan kekuasaan (Foucault, 2008). Berbicara pembentukan wacana tentang seks berarti membicarakan strategi kekuasaan dalam menempatkan jaringan-jaringannya ke dalam bentuk mikro fisika. Kekuasaan selalu mengawasi satu per satu tubuh masyarakat Eropa. Kekuasaan mempunyai beragam teknik dan mekanisme dalam menghadapi sesuatu. Kekuasaan tidak menolak seksualitas ; seksualitas berkembang biak bersama perluasan kekuasaan (Foucault, 2008). Kekuasaan semakin meningkat dengan adanya wilayah-wilayah penerapan seksualitas. Bahkan kekuasaan pun bekerja sama dengan ilmu pengetahuan dalam memproduksi wacana. Ilmu pengetahuan menjadi penasihat dalam menentukan strategi kekuasaan ataupun ia disetir oleh kekuasaan demi tercapainya keinginan kekuasaan (Foucault, 2008). Pada pendekatan pertama abad ke 18, dibedakan empat himpunan utama strategi kekuasaan dengan kaitannya dalam seks : (1) Histerisasi tubuh perempuan. Ada tiga proses, pertama tubuh perempuan telah dianalisis sebagai tubuh yang secara menyeluruh penuh dengan seksualitas. Kedua, tubuh itu telah dimasukkan ke dalam patologi yang intrinsik padanya, ke wilayah praktik medis. Ketiga, tubuh perempuan telah dihubungkan secara organis dengan masyarakat, ruang keluarga, dan kehidupan anak-anak. (2) Pedagogi seks anak-anak. Pernyataan ini bercabang dua : pertama bahwa anak-anak hampir semua melakukan atau mungkin sekali melakukan kegiatan seksual. Kedua, bahwa mengingat tidak pantas, sekaligus “alami” dan menentang “alam”, dan kegiatan itu mengandung bahaya fisik dan moral, kolektif dan individual, anak-anak dirumuskan sebagai manusia seksual “awal”, di luar jangkauan seks dan di dalamnya. Pada garis berbatasan yang berbahaya. Pedagogisasi ini terutama muncul di Barat yang telah berlangsung dua abad melawan onanisme. (3) Sosialisasi perilaku prokreatif. Sosialisasi ekonomi melalui segala rangsangan dan pengereman melalui segala macam kebijakan sosial atau fiskal. Dalam kesuburan pasangan-

pasangan ; sosialisasi politik melalui rasa tanggung jawab pasangan-pasangan terhadap masyarakat seutuhnya, sosialisasi kedokteran melalui patogen, bagi individu atau umat manusia yang terkait dengan praktik anti kehamilan. (4) Psikiatrisasi kenikmatan menyimpang. Naluri seksual telah dikenali sebagai naluri biologis dan psikis yang mandiri. Telah dilakukan analisis klinis atas segala bentuk anomali yang terjadi padanya. Pada naluri itu telah diberi peranan normalisasi dan patologisasi perilaku seutuhnya. Terakhir telah dicari suatu teknologi koreksi bagi berbagai anomali tersebut (Foucault, 2008). Penerapan strategi kekuasaan dalam mengontrol tubuh paling nyata terhadap apa yang dimaksud Foucault sebagai bio power. Bio power adalah teknologi yang dikembangkan seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu kemanusiaan (Adian, 2002). Dalam konsep ini Foucault bermaksud menyatakan sebuah situasi ketika biologi dan kesehatan dipikirkan di dalam politik (Haryatmoko, 2002). Bio power cenderung menormalisasi dan lebih memilih norma daripada sistem hukum yang berlaku. Berarti cara kerjanya tidak melalui represi melainkan dengan teknik normalisasi. Tujuan diterapkannya mekanisme bio power adalah untuk menata, mengawasi, mendisiplinkan, kontrol atas penduduk. Sebagai contoh : penerapan demografi, KB (keluarga berencana), kontrol kesehatan, asuransi kesehatan, jaminan sosial, sterilisasi masyarakat. Wacana bio power semakin mengemuka akibat terjadinya kepanikan terhadap ledakan penduduk di belahan Eropa. Selain disibukkan dengan pembangunan ekonomi, kelas menengah Eropa amat takut terhadap populasi yang tidak terkontrol ini. Kelas menengah Eropa semakin membutuhkan semacam penanggulangan terhadap permasalahan populasi ini. Tumbuh kesadaran untuk menggabungkan manajemen perkawinan dan kematian dalam konteks demografi. Kontrol atas seksualitas inilah salah satu penerapan utama dari strategi bio power ini. Apabila kita sinkronisasikan kontrol seksual dengan cita-cita utopis masyarakat borjuis Eropa kita akan menemukan jawabannya. Masyarakat borjuis Eropa menginginkan lingkungan dan tubuh yang steril pada setiap individu. Agar kelangsungan kehidupan mereka tetap terproteksi dari berbagai macam jenis penyakit, tetap sehat dan produktif dalam bekerja. Rekayasa sosial ini juga berupaya untuk mengontrol banyaknya kelahiran yang bukannya berguna malahan membuat kerepotan di masyarakat. Masyarakat borjuis Eropa abad 18-19 lebih mementingkan tubuh yang berguna, sehat, kuat, aktif daripada populasi yang banyak. Inilah superioritas kelas menengah Eropa dalam membentuk peradaban Eropa modern. Kesimpulan Secara konkret kekuasaan yang berkembang sejak abad ke 17 mempunyai dua bentuk pokok (Foucault, 2008). Keduanya tidak bertentangan. Namun membentuk dua kutub perkembangan yang dikaitkan oleh suatu jaringan hubungan yang mengantarainya. Kutub yang pertama, terhimpun pada tubuh sebagai mesin : dididik, ditingkatkan berbagai kemampuannya, dirampas tenaganya, ditingkatkan sejajar kegunaan dan kepatuhannya, diintegrasikan dalam berbagai sistem kendali yang efektif dan ekonomis. Semua itu telah dijamin oleh berbagai prosedur kekuasaan yang merupakan ciri khas berbagai disiplin : politik anatomi bagi tubuh manusia (Foucault, 2008).

Kutub kedua agak lama terbentuk, pada abad ke 18, terhimpun pada badan sebagai jenis badan yang dialiri mekanika kehidupan dan dijadikan sebagai penunjang bagi berbagai proses biologis : pembiakan, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan, harapan hidup dan kualitas kesehatan. Proses ini diwarnai dengan segala macam upaya pengawasan, pengontrolan dan pengendalian : suatu bio politik tentang populasi. Disiplin-disiplin atas tubuh dan pengendalian atas tubuh membentuk dua kutub dan di sekitarnya berkembang organisasi kekuasaan atas hidup (Foucault, 2008). “Kekuasaan ada di mana-mana ; bukan karena mencakupi segalanya, namun karena datang dari mana-mana. Kekuasaan “itu” – yang permanen, terulang, beku, memproduksi sendiri – hanyalah dampak menyeluruh, yang tampil berdasarkan semua mobilitas itu. Kekuasaan adalah perangkaian yang bertopang pada setiap mobilitas dan sebaliknya berusaha membekukan mereka. Kemungkinan besar kita harus bersikap nominalis disini : kekuasaan, bukan sebuah lembaga, dan bukan pula sebuah struktur, bukan semacam daya yang terdapat pada beberapa orang. Kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu” (Foucault, 2008). [] *penulis adalah mahasiswa sejarah 2007, UGM.

Daftar Pustaka Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer : Prancis (edisi revisi dan perluasan). Jakarta : Gramedia, 2006. Donny Gahral Adian, “Menabur Kuasa Menuai Wacana” Basis, Januari-Februari 2002. Ellen Frankel Paul, Fred D. Miller, Jr dan Jeffrey Paul. Bioethics. Cambridge : Cambridge University Press, 2002. Haryatmoko, “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan : Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan Bersama Foucault ” Basis, Januari-Februari 2002. Konrad Kebung, “Kembalinya Moral Melalui Seks”, Basis, Januari-Februari 2002. Kurzweil, Edith. The Age of Structuralism, Levi Strauss to Foucault. New York : Columbia University Press, 1980. Lechte, John. Fifty Key Contemporary Thinkers : From Structuralism to Postmodernity. London : Routledge, 1994. Foucault, Michel. Dicipline and Punish : The Birth of Prison. New York : Vintage, 1995. Foucault, Michel. Ingin Tahu, Sejarah Seksualitas. Jakarta : Yayasan Obor, 2008.

Foucault, Michel. Madness and Civilization : A History of Insanity in the Age of Reason. London : Tavistock Publication, 1975. Foucault, Michel. Mental Ilness and Psychology. New York : Harper and Row Publishers Inc, 1976a. Foucault, Michel. Pengetahuan dan Metode : Karya-Karya Penting Foucault. Yogyakarta : Jalasutra, 2009. Foucault, Michel. The Archeology of Knowledge and The Discourse on Language. New York : Pantheon Books, 1972. Foucault, Michel. The Birth of Clinic. London : Tavistock Publication, 1976b. Foucault, Michel. The Order of Thing : Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Foucault, Michel. Politics, Philoshopy, Culture : Interviews and other Writings 1977-1984. New York : Routledge, 1988.

[i] Arkeologi menurut pandangan Foucault bertujuan untuk mendeskripsikan aturan-aturan formasi dari kelompok pernyataan. Ia menentukan bagaimana suatu pergantian peristiwa dengan cara yang sama dengan yang direpresntasikan, direkam, dijelaskan, dielaborasikan menjadi sebuah konsep tertentu. Arkeologi berusaha menelusuri sebuah diskursus. Lihat, Hayden White dalam pengantar buku Michel Foucault, The Order of Things. Sedangkan genealogi merupakan mode yang digunakan oleh Nietzsche dalam mengorek permasalahan yang berusaha dibongkarnya. Awalnya Foucault tidak banyak menggunakan genealogi ala Nietzsche, namun dalam bukunya History of Sexuality ia beralih menggunakan genealogi daripada arkeologi. [ii] Hopital general bukan suatu instansi kesehatan, tempat ini didirikan lebih merupakan suatu tempat semi-juridis di mana kekuasaan beroperasi di luar wilayah pengadilan. Hospital general menampung seluruh orang gila, pemalas, gelandangan, pengemis dan orang-orang yang dianggap tidak berguna di masyarakat. Ringkasnya merupakan “rumah koreksi” orang gila. [iii] Di Inggris menurut arsip hopital general telah didirikan semenjak awal abad 17 sebagai tempat pemusatan kerja wajib. [iv] Gaze adalah nama pandangan yang diberikan oleh Foucault untuk merumuskan sorot mata sang dokter yang begitu menyelidiki tubuh sang pasien sampai elemen-elemen yang paling kecil.

[v] Penemuan ini tidak lain adalah penemuan otopsi. Dengan otopsi para dokter bisa menggambarkan anatomi tubuh manusia secara rinci tidak dengan imajinasi. Berkembangnya penemuan otopsi dipelopori oleh Morgagni, Valsava, Bichat, dll yang diam-diam mencuri mayat-mayat dari pemakaman sebagai bahan praktiknya. [vi] Istilah ini digunakan oleh Foucault dalam seri seminar di Berkeley, AS, tahun 1983. Kata ini berasal dari bahasa Yunani pan berarti semua dan rhesis berarti ekspresi. Dengan kata lain konsep dari kata ini adalah keterbukaan untuk berbicara dengan jujur dan terbuka diantara dua subjek. Lihat, Konrad Kebung, “ Kembalinya Moral Melalui Seks”, Basis, Januari-Februari 2002. [vii] Scientia sexualis menurut Foucault adalah prosedur untuk mengungkapkan seks secara gamblang melalui praktik pengakuan dosa. Sumber: https://kbgmrk.wordpress.com/2010/12/10/selubung-kekuasaan-atas-tubuh-membongkarpembentukan-tubuh-masyarakat-eropa-bersama-foucault/

Related Documents


More Documents from ""