Balzac - Cinta Tak Pernah Mati.docx

  • Uploaded by: Jan Petra
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Balzac - Cinta Tak Pernah Mati.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,686
  • Pages: 23
Cinta Tak Pernah Mati Oleh Honoré de Balzac Penerjemah: Atta Verin dan Anton Kurnia Diterjemahkan dari cerpen A Passion in the Desert “KESELURUHAN PERTUNJUKAN itu mengerikan!” jeritnya. Kami baru saja menyaksikan pertunjukan binatang oleh Pak Martin. Ia ‘bekerja dengan dubuk’ dalam mempertontonkan kebolehannya pada pertunjukan itu. “Bagaimana ia berpikir bisa menjinakkan binatang-binatang itu sehingga ia yakin mereka mencintainya?” lanjutnya. Aku merasa harus mengatakan sesuatu. “Apa yang sepertinya menjadi masalah bagimu sebenarnya sesuatu yang sangat alamiah.” “Oh!” serunya tak percaya. Lalu dia tersenyum kepadaku. “Kau pikir binatang-binatang itu tidak memiliki hasrat?” Aku bertanya kepadanya. “Sebenarnya justru sebaliknya. Mereka memiliki perasaan-perasaan seperti kau dan aku.” Dia menatapku seakan-akan dia tak bisa memercayaiku. “Bahkan,” lanjutku, “pertama kali aku melihat Pak Martin, aku merasakan hal yang sama sepertimu. Aku bersikap sepertimu juga, tetapi kemudian aku memandang ke sekelilingku. Aku mendapati diriku bersebelahan dengan seorang tentara tua yang kaki kanannya telah diamputasi. Wajah tirusnya terlihat menarik. Itu salah satu raut wajah yang tertulis dalam cerita tentang pertempuran-pertempuran

Napoleon. Dan lelaki tua itu memiliki tampang riang dan jujur yang selalu ingin kulihat. “Tak diragukan lagi ia orang yang tidak mudah terkejut. Ia seperti jenis lelaki yang mampu berdiri dan tertawa di tengah-tengah peperangan. Ia seperti salah satu dari sekian banyak orang yang tidak membuangbuang waktu untuk berpikir terlalu banyak. Tahukah kau jenis lelaki semacam itu? Ia tidak akan merasa takut untuk berteman dengan setan sekalipun. “Seusai kami berdua menyaksikan pertunjukan Pak Martin, aku secara khusus menyatakan keberanian si pelatih yang luar biasa melatih binatangbinatang itu. Si tentara tua itu tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya merasa lebih tahu tentang sesuatu dan berkata, ‘Itu mudah dipahami.’ “‘Apa maksud Anda?’ tanyaku. ‘Maukah Anda berbaik hati menjelaskannya kepadaku?’ “Kami berbincang-bincang selama beberapa menit dan saling memperkenalkan diri. Lalu kami pergi untuk makan di restoran pertama yang kami temui. Sebagai makanan penutup, kami memesan sebotol sampanye. Minuman itu membantu mencerahkan ingatan si tentara tua. Saat ia menyelesaikan ceritanya, aku harus menyatakan bahwa ia benar. Seperti yang diucapkannya, ‘Itu mudah dipahami.’” Aku baru saja mengantarkan teman perempuanku hingga ke depan pintu rumahnya. Sekarang dia memintaku untuk menceritakan kepadanya kisah itu. Dia menjanjikan banyak hal yang membuatku menyetujui usulnya. Keesokan harinya, aku bercerita kepadanya tentang kisah yang akan kuceritakan kepada Anda semua ini. Ada yang memberinya judul “Seorang Lelaki Prancis di Mesir”.

••• SAAT PERANG di daerah perbukitan Mesir, seorang tentara Prancis jatuh ke tangan tentara Arab. Mereka membawanya ke tengah gurun pasir melalui beberapa air terjun Sungai Nil. Para tentara Arab itu ingin segera pergi sejauhjauhnya dari pasukan Prancis. Untuk melakukannya mereka memaksa barisannya bergerak lebih cepat, beristirahat hanya pada malam hari. Mereka tidur di dalam tenda di sekitar sebuah sumur, dikelilingi pohon-pohon kurma. Di bawah naungan pohonpohon ini, mereka telah menyembunyikan persediaan perbekalan. Mereka sama sekali tak menduga bahwa tawanan mereka bisa melarikan diri di gurun pasir. Karena itu, mereka hanya mengikat tangannya dan membiarkannya sendirian. Setelah menyantap beberapa butir kurma dan mengurus kuda-kuda mereka, pasukan Arab ini tidur. Tak lama kemudian, si tentara pemberani melihat kesempatan bahwa musuh-musuhnya sudah tidak mengawasinya. Ia menggunakan giginya untuk mencuri sebilah pedang. Lalu, ia menjepit pedang itu di antara kedua lututnya dan memotong tali yang mengikat kuat pergelangan tangannya. Begitu tangannya terlepas, si tawanan mengambil sepucuk senapan dan sebilah belati. Kemudian, ia mengambil sekantung kurma kering, gandum dan beberapa butir peluru. Ia mengikatkan sebilah pedang di pinggangnya dan melompat ke punggung salah seekor kuda. Dalam sekejap ia melesat menjauh. Ia berkuda secepat yang ia mampu ke arah pasukan

Prancis berada. Tentara itu sangat ingin kembali ke pasukannya sehingga ia memacu kudanya terlalu kencang. Akhirnya hewan malang itu roboh dan mati. Sekarang lelaki Prancis itu tinggal sendirian di gurun pasir yang amat luas dan lengang. Selama beberapa waktu ia berjalan di hamparan pasir. Ia membangkitkan seluruh nyalinya sebagai seorang tawanan yang melarikan diri. Namun, pada akhirnya ia harus berhenti seiring tenggelamnya matahari. Ia menatap ke arah langit malam yang indah. Untung saja ia telah sampai di sebuah bukit kecil dengan pepohonan kurma di atasnya. Melihat dari kejauhan, kehijauan kurma-kurma itulah yang telah memberikan sebersit harapan baginya meskipun ia kemudian merasa tidak cukup kuat untuk terus berjalan. Ia begitu kelelahan sehingga terkapar di atas sebongkah batu besar. Bongkahan batu itu berbentuk seperti selembar kasur tenda. Di situ ia tertidur pulas tanpa sempat berpikir untuk menyembunyikan diri. Ia telah melakukan tindakan yang paling berani dalam hidupnya walaupun pikiran terakhirnya itu menjadi salah satu penyesalan. Ia kini merasa kecewa karena telah meninggalkan pasukan Arab yang menawannya. Kini saat ia sendirian dan tanpa bantuan, kehidupan mereka sebagai kaum pengelana seakan-akan mencemoohnya. Tentara itu terbangun oleh sinar matahari. Sinarnya yang terik jatuh tepat di atas bongkahan batu dan membuatnya menjadi sangat panas. Ia telah bertindak sangat tolol! Mengapa ia menggunakan bongkahan batu itu sebagai tempat tidur di tempat pepohonan tak bisa memunculkan bayangan pagi hari? Sekarang ia menatap pepohonan itu dan bergidik. Demi melakukan sesuatu

yang harus dilakukannya, ia menghitung pohon-pohon kurma itu. Lalu ia menatap sekelilingnya dan merasakan sapuan keputusasaan yang mengerikan. Di belakangnya terbentang lautan pasir tanpa batas. Gurun pasir yang gelap tampak terhampar lebih luas lagi dari yang bisa dilihatnya ke arah mana pun. Hamparan itu berkilau seperti besi yang disorot seberkas cahaya menyilaukan. Baginya saat itu gurun pasir telah menjelma seperti sebuah samudra yang terbuat dari cermin. Atau seperti hamparan beberapa danau yang meleleh bersamaan dalam sebuah cermin. Dan langit di atas gurun bercahaya dengan anehnya. Seolah-olah langit dan bumi sedang terbakar. Keheningan gurun pasir itu mengerikan, liar, dan menakutkan. Sekarang seluruh jagat raya seakan tertutup untuknya dari segala sisi. Tak ada segugus awan pun di langit, tidak ada seembus napas pun di udara. Cakrawala tampak seperti di tengah laut saat hari cerah. Hanya ada segaris cahaya—lurus dan tak berampun bagaikan goresan sebilah pedang. Tentara itu melingkarkan lengannya di sekeliling sebatang pohon kurma. Ia memeluknya seakan batang itu adalah tubuh seorang sahabat. Di antara bayangan tipis yang ditimbulkan pepohonan tinggi itu, ia menangis tersedu. Ia memikirkan pemandangan di belakangnya dengan kesedihan yang mendalam. Lalu ia menjerit keras-keras untuk mengukur kesunyian. Suaranya lenyap di kekosongan bukit. Hanya terdengar sayup-sayup dan tak bergema sama sekali. Gema yang ia dengar hanyalah yang datang dari jantungnya sendiri.

Sang tentara saat itu baru berusia dua puluh dua tahun. Perlahan ia mengisi senapannya. “Akan ada cukup waktu untuk itu,” ujarnya pada dirinya sendiri. Lalu ia meletakkan senapannya di tanah. Mungkin hanya senapan itulah yang bisa membawa kedamaian baginya. Memandangi gurun yang sunyi, si tentara memimpikan negeri asalnya. Dalam angannya, ia menyenangi aroma selokan-selokan Paris. Ia mengingat kota-kota yang dilewati pasukannya. Ia memikirkan wajah teman-teman sepasukannya. Detail terkecil dari kehidupan masa lalunya muncul kembali dalam ingatannya. Ia bahkan mengingat batubatu di jalanan kampung halamannya tercinta. Ia membayangkan bahwa ia bisa melihatnya saat itu di bawah kakinya. Lalu tiba-tiba ia terbangun dari angan-angannya. Ia mengetahui bahwa semua itu hanyalah khayalannya—dan ia ketakutan karenanya. Untuk menggugah diri sendiri, ia lari menuruni sisi lain bukit. Di sana ia menemukan sebuah gua. Di dalamnya, ia menemukan sisa-sisa selembar permadani tua. Ada orang lain yang pernah tinggal di sini! Dalam jarak tak begitu jauh, ia melihat beberapa pohon kurma yang berbuah lebat. Perlahan-lahan keinginan untuk tetap hidup bangkit kembali di hatinya. Harapan menyeruak dengan cepat. Ia memutuskan hidup lebih lama lagi untuk bisa mendengar kembali letusan-letusan meriam. Saat ini pasukan Napoleon seakan sedang mengalahkan pasukan Arab. Cita-cita ini memberinya kehidupan baru. Pohon kurma itu seolah merunduk karena beratnya buah-buah matang yang menggantung. Ia menggoyangkan beberapa di antaranya

hingga berjatuhan. Ketika ia mencicipi buah-buah kurma itu, ia merasa yakin bahwa seseorang telah memelihara pohonpohon kurma tersebut. Kenikmatan dan rasa segar buah kurma itu yang membuktikannya. Pikirannya beralih seketika dari keputusasaan yang gelap menjadi rasa senang yang wajar. Lagi-lagi tentara itu mendaki puncak bukit. Di sana ia menghabiskan waktu seharian untuk memotong-motong sebatang pohon kurma. Selama ia bekerja, ingatan yang samar membuatnya berpikir tentang binatang-binatang gurun. Ia berpikir bahwa mereka bisa muncul untuk minum di mata air. Untuk melindungi dirinya dari kedatangan mereka, ia menempatkan serupa pembatas antara dirinya dengan mata air. Terlepas dari kerja keras dan ketakutannya, ia tidak mampu memotong batang kurma itu menjadi bilah-bilah kecil. Ia hanya mampu menebangnya. Suara pohon yang roboh terdengar hingga jauh dan bergema. Terdengar bagaikan sebuah tanda di kesunyian. Sekarang si tentara menggigil. Ia merasa bahwa suara itu seperti tanda bahaya. Namun, ia seperti seorang pewaris yang tidak akan berduka terlalu lama untuk kematian orangtuanya. Dengan cepat ia mengoyak dedaunan dari pohon itu. Ia menggunakannya untuk membuat kasur tempat alas tidur. Lalu, merasa kelelahan karena sudah bekerja keras dan panas yang terlalu menyengat, ia tertidur lelap di bawah tirai-tirai merah guanya yang basah. Pada tengah malam, kelelapan tidurnya terganggu. Ia terduduk tegak saat mendengar sebuah suara aneh dan mengerikan. Namun, kini kesunyian di sekelilingnya terisi suara napas yang terdengar ganjil. Ia yakin napas itu bukan berasal dari seorang manusia.

Perasaan ngeri yang amat kuat dalam dirinya diperburuk kegelapan, kesunyian, dan khayalannya sendiri. Jantungnya terasa membeku di dalam tubuhnya. Tentara itu merasa rambutnya berdiri meremang. Sambil menajamkan matanya sekuat yang ia mampu, ia memandang berkeliling. Akhirnya, lewat bayang-bayang samar ia melihat sepasang sinar kuning. Pada mulanya, ia menduga sinar-sinar itu hanyalah khayalannya saja. Namun, lambat laun ia mampu mengenali dengan lebih jelas benda-benda di sekelilingnya. Sekarang ia dapat melihat seekor binatang besar berbaring hanya berjarak dua langkah darinya. Apakah itu seekor singa, harimau, atau buaya? Tentara itu bukan orang yang amat terpelajar. Ia tidak tahu binatang jenis apakah itu. Itu justru membuatnya semakin ketakutan. Ketidaktahuannya malah membuatnya membayangkan berbagai kengerian sekaligus. Sekarang ia merasakan sebuah siksaan yang kejam. Tanpa berani bergerak, ia menghitung setiap kesempatan dalam desahan napas binatang itu. Semacam bebauan mengisi gua itu. Aroma itu seperti bau seekor rubah, tetapi lebih menyengat. Saat si tentara membayangkannya, teror yang dirasakannya sampai ke puncaknya. Ia tidak mampu lagi meragukan kenyataan bahwa sesosok teman yang mengerikan berada sangat dekat dengannya. Sekarang baru disadarinya bahwa gua itu sudah menjadi milik makhluk tersebut sebelum ia sendiri menemukannya. Setelah beberapa lama kemudian cahaya bulan yang terang menerobos masuk ke dalam gua. Saat itulah si tentara

bisa melihat mantel bintik-bintik seekor macan—seekor macan gurun. Menggulungkan tubuhnya seperti seekor anjing besar, macan tutul itu terlelap. Matanya terbuka beberapa saat dan kemudian menutup lagi. Wajahnya berbalik menghadap si lelaki. Ribuan pikiran penuh kebingungan terlintas di benak si tentara. Pertama, ia berpikir untuk membunuh binatang itu dengan sebutir peluru dari senapannya. Namun, ia melihat bahwa saat itu jaraknya tidak cukup untuk melakukan bidikan jitu. Tembakannya tentu saja akan meleset. Namun, bagaimana jika binatang itu terbangun? Pikiran itu membuat lengan dan kakinya kaku. Ia mendengarkan jantungnya sendiri berdegup di kesunyian. Ia mengutuk dentumannya yang keras. Apa yang terjadi jika degup jantungnya mengusik binatang yang tertidur itu? Ia tidak akan punya waktu untuk melarikan diri! Dua kali ia meletakkan tangan di pegangan pedangnya. Haruskah ia menebas kepala musuhnya itu? Namun sulitnya memenggal kepala berambut pendek dan kaku seperti itu membuat si tentara membatalkan rencana nekatnya. Salah sedikit saja berarti kepastian atas kematiannya. Ia berpikir akan lebih baik jika yang terjadi sebuah perkelahian seimbang. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu hingga pagi. Namun, ternyata pagi datang dengan cepat. Tak tersisa waktu lama baginya untuk menunggu. Tentara itu kini bisa memandangi macan itu dengan jelas. Ia melihat hidung dan moncongnya yang belepotan darah. “Dia telah mendapatkan makan malam yang nikmat,” pikirnya. Tidak terpikirkan

olehnya bahwa binatang itu mungkin saja telah berpesta dengan daging manusia. “Dia tidak akan kelaparan saat terbangun nanti.” Macan itu seekor betina. Bulu-bulu di perut dan panggulnya putih berkilauan. Bintik-bintik kecil membentuk gelang cantik mengelilingi kakinya. Ekornya juga berwarna putih, tampak dihiasi cincin-cincin kehitaman. Bagian atas tubuhnya berwarna kuning keemasan. Binatang itu tampak sangat anggun dan selembut beludru. Bintik-bintik di tubuhnya menjadikannya amat berbeda dengan jenis kucing lainnya. Binatang cantik itu tampak damai dan sekaligus menakutkan. Dia mendengkur dengan anggun seperti seekor kucing yang terbaring di atas sofa. Cakar-cakarnya yang berlumuran darah terjulur keluar. Raut wajahnya yang tegas dan terang, dihiasi kumis tipis. Kumis itu secantik benangbenang perak. Jika macan itu berada dalam kurungan, tentara itu akan mengagumi keanggunannya. Ia mungkin akan menikmati warna-warni cantik yang menyelimutinya seperti penampilan seorang anggota keluarga kerajaan. Namun, ia terlalu repot untuk merasakan apa pun, kecuali rasa takut. Meskipun terlelap, keberadaan sang macan memang cukup menakutkan. Makhluk itu memunculkan efek-efek tertentu pada si lelaki. Efek yang sama seperti sorot mata ular yang menatap burung bulbul. Sejenak keberanian si tentara mulai rontok. Ia tidak akan begitu ketakutan jika ia harus berhadapan dengan moncong meriam. Namun, sejenak sebersit pikiran berani memberi cahaya ke dalam jiwanya. Pikiran ini menghentikan bulir-bulir keringat dingin yang mengucur di keningnya. Layaknya orang-orang yang sedang menghadapi

kematian, ia memutuskan untuk menjalani nasibnya dengan penuh kehormatan hingga akhir. “Tentara Arab bisa saja telah membunuhku,” pikirnya. Jadi bukankah itu sama saja berarti ia sudah mati? Sekarang ia memutuskan untuk menunggu dengan berani—dan menggerakkan rasa ingin tahunya—hingga macan itu terbangun. Ketika matahari menampakkan diri, macan itu sekonyong-konyong membuka matanya. Dia merentangkan cakar-cakarnya dengan sekuat tenaga. Sepertinya dia meregangkan cakarnya untuk menghilangkan pegal. Kemudian dia menguap, memperlihatkan taringnya. Lidahnya yang terjulur keluar terlihat sekasar sebilah kikir. “Si mungil yang manis,” pikir si tentara, mengawasi macan itu bergulung dengan lembut. Dia menjilati darah yang melumuri cakar dan mulutnya lalu meregangkan kepala dengan sebuah gerakan halus dan indah. “Baiklah, jalani semua rutinitas pagimu,” ujar si tentara pada dirinya sendiri. “Saat kau siap, kita akan saling mengucapkan selamat pagi.” Lalu ia mengambil belati kecil dan pendek yang dirampasnya dari tentara Arab. Seketika itu, macan itu memutar kepalanya menghadap si lelaki. Dia menatap tentara itu tanpa bergerak sedikit pun. Pancaran mata macan betina itu membuatnya bergidik, khususnya saat hewan itu mulai berjalan mendekatinya. Namun, si tentara balas menatap sang macan dengan tatapan penuh kelembutan. Ia menatap ke dalam matanya seperti sedang berharap ia mampu menghipnosis si macan. Tentara itu membiarkan sang macan berjarak amat dekat dengannya. Lalu, dengan lembut ia mengusapkan tangannya ke seluruh bagian tubuh si macan. Itulah saat-saat penuh cinta dan kelembutan, seolah-olah lelaki

itu sedang merangkul orang yang dicintainya. Ia menyentuh sang macan betina dari kepala hingga ekornya, menggaruk lembut tulang belakang yang membelah punggung kuningnya. Binatang itu menggoyangkan ekornya perlahan. Sorot matanya meredup. Ketika si tentara mengeluselusnya untuk ketiga kalinya, dia mulai mendengkur. Dengkuran ini sama sekali tak sama dengan dengkuran kucing rumahan. Dengkurannya datang dari sebentuk kerongkongan yang kuat, menggema di dalam gua itu seperti bunyi orgel di dalam gereja. Lelaki itu paham benar pentingnya perilaku penyayangnya. Dengan cepat ia memberikan macan itu perlakuan lebih. Ketika ia merasa yakin bahwa macan betina itu tidak akan menyerangnya, ia beranjak untuk keluar dari gua. Macan betina itu membiarkannya lewat. Namun, saat ia mencapai puncak bukit, ia melihat macan betina itu melompat maju di belakangnya. Binatang besar itu berlari dengan ringan laksana burung gereja melompat-lompat dari dahan ke dahan. Lalu, macan itu menggosokkan tubuhnya pada kaki-kaki si tentara. Dia melengkungkan punggungnya seperti yang dilakukan semua jenis kucing. Lalu dia menatap tamunya. Pijaran matanya tampak melembut sedikit. Aumannya menghasilkan suara yang oleh sebagian orang akan dibandingkan dengan ungkapan salam sebuah perjumpaan. “Dia benar-benar suka dielus-elus,” ujar si tentara, tersenyum. Ia kemudian cukup berani untuk bermain-main dengan telinga sang macan. Lalu, ia menggosok perutnya dan menggaruk kepala besarnya sekuat-kuatnya. Ketika ia melihat bahwa macan betina itu

menyukainya, ia menggelitik tulang kepala si macan dengan ujung belatinya. Saat itu ia melakukannya seraya melihat momen yang tepat untuk membunuh si betina. Namun, kerasnya tulang-tulang sang macan membuatnya gugup. Ia tidak merasa yakin mampu menebas tulang-tulang yang keras itu. Ratu gurun itu bersikap sangat anggun kepada budak barunya. Dia mengangkat kepalanya, meregangkan lehernya, dan memperlihatkan rasa senangnya dengan tindak tanduknya yang tenang. Tibatiba saja si tentara mengetahui bahwa hanya ada satu cara untuk membunuh tuan putri yang buas ini dengan satu kali tebasan. Ia harus memenggal lehernya. Tentara itu mengangkat belatinya. Namun, kemudian si macan betina membaringkan dirinya dengan anggun di kaki si tentara. Dia menatap lelaki itu dengan tatapan lugu dan niat baik. Tentara malang itu menyantap buah kurmanya, bersandar ke salah satu pohon kurma. Ia terus menatap ke arah gurun dan macan betina itu berganti-ganti. Apa yang harus dilakukannya? Macan itu melihat ke arah biji-biji kurma berjatuhan. Setiap kali si tentara itu melemparkan sebutir biji kurma, mata macan betina itu berkilat menakutkan. Dia menatap lelaki itu dengan pandangan yang nyaris penuh cinta. Ketika si tentara menyelesaikan santapannya, ia lalu meregangkan kakinya. Macan betina itu menjilat sepatu bot si tentara dengan lidahnya yang kasar dan kuat. Dengan sangat terampil dia menghapus semua kotoran yang terkumpul di celah-celahnya. “Ah, tapi apa jadinya jika dia benar-benar kelaparan!” pikir si tentara. Ia menggigil membayangkan kemungkinan itu. Namun, kemudian ia mulai mempelajari si macan. Dia sudah pasti

sesosok makhluk cantik di antara jenisnya. Ia menaksir macan betina itu tingginya satu meter dan panjangnya satu setengah meter, tidak termasuk panjang ekornya. Ekor yang kuat, bundar seperti sebuah tongkat pemukul, panjangnya hampir semeter juga. Kepalanya, sebesar kepala seekor singa, memiliki bentuk aneh yang berkesan murni dan lembut. Memang benar bahwa sebentuk kekejaman yang buas dari seekor macan tampak juga di wajahnya. Namun, di wajah itu juga tampak sesuatu yang menyerupai raut seorang perempuan cantik. Memang, ratu yang kesepian ini memiliki sesuatu di wajahnya seperti seorang Nero si pemabuk. Dia telah memuaskan dirinya sendiri dengan darah—dan sekarang dia ingin bermain-main. Tentara itu berusaha berjalan naik turun dan si macan betina seolah-olah membiarkannya melakukan itu. Dia tampak cukup bahagia dengan hanya mengikuti si lelaki lewat tatapan matanya. Tampaknya saat itu, dia agak mirip seekor anjing yang setia daripada seekor kucing anggora besar. Dia mengawasi setiap gerakan yang dibuat tuannya. Ketika ia memandang berkeliling, si tentara melihat sisa-sisa kudanya di dekat mata air. Macan itu telah menyeret tubuh kudanya sampai ke situ! Sekitar dua pertiga dari kuda malang itu telah dimangsanya. Pemandangan tersebut membuat si tentara merasa sedikit nyaman. Makanan si macan menjelaskan mengapa ia tidak melihat si macan betina itu sebelumnya. Itu juga menjelaskan rasa hormat yang dimiliki si macan kepadanya ketika ia tertidur. Ia menyadari bahwa ia telah sangat beruntung. Sekarang ia memiliki satu harapan gila bahwa ia akan mampu menjinakkan macan betina itu.

Sepanjang hari hal itulah yang coba dilakukan si tentara, sedangkan macan betina itu tetap bersikap anggun. Ketika ia berjalan kembali ke arah sang macan, ia merasakan kesenangan luar biasa demi melihat goyangan ekor si betina. Lalu, tanpa rasa takut, ia duduk tepat di samping sang macan. Mereka mulai bermain bersama. Ia memegangi cakar dan wajahnya, menarik telinganya, dan memukul panggulnya yang hangat. Si macan membiarkannya melakukan apa pun yang disukai lelaki itu. Ketika ia menepuk rambut di kaki si macan, dia dengan berhati-hati menarik kuku-kukunya masuk. Sambil tetap menggenggam belatinya di salah satu tangan, lelaki itu berpikir ia akan membenamkan belati itu ke perut si betina. Namun, ia merasa ketakutan. Bisa saja macan itu menyerangnya sebagai perlawanan terakhir. Lagi pula, ia merasakan semacam rasa segan yang berkembang di hatinya pada makhluk yang tak mencelakainya itu. Betapa aneh! Di sini di gurun pasir tak berbatas, ia seakan menemukan teman. Entah bagaimana macan itu membuatnya memikirkan jantung hatinya yang pertama. Ia menjuluki gadis itu “Mignonne” yang berarti mungil dan lembut, si mungil tercinta. Julukan itu sebuah gurauan antara mereka karena gadis itu selalu cemburuan. Saat merajuk, dia terkadang mengancam si tentara dengan sebilah belati kecil. Saat ini cinta dan ketakutan yang dimilikinya kepada si macan menyodorkan julukan yang sama. Tak lama setelah ia mulai memanggil si macan dengan sebutan “Mignonne”, macan betina itu mulai menjawab panggilan tersebut. Kala matahari terbenam, Mignonne mengaum dengan dalam dan bernada sedih. “Dia telah dibesarkan dengan baik,”

pikir si tentara. “Aku yakin dia sedang mengucapkan doadoanya!” Namun, gurauan ini hanya muncul ketika ia melihat betapa damainya sang teman. “Mari, sayangku yang mungil. Aku akan membiarkanmu terlelap lebih dulu,” katanya pada si betina. Namun, sesungguhnya ia sedang memikirkan kekuatan tungkai-tungkainya sendiri. Ia berencana melarikan diri secepat mungkin setelah macan betina itu tertidur pulas. Di tempat yang sangat jauh ia berharap dapat menemukan tempat berlindung lainnya untuk melewatkan malam. Tentara itu menunggu. Ketika ia mendengar macan itu mendengkur, ia berjalan ke arah Sungai Nil. Namun belum sampai satu kilometer ia pergi ketika didengarnya suara macan itu berlari mengejarnya. Dia mengaum dengan tatapan mata seolah-olah sedang menangis yang bahkan lebih menakutkan daripada geramannya. “Ah!” ujar lelaki itu. “Dia betul-betul menyukaiku. Mungkin dia belum pernah bertemu manusia sebelumnya. Aku cukup tersanjung mendapatkan cinta pertamanya.” Beberapa saat kemudian, tentara itu terjerumus ke dalam pasir isap yang mengerikan. Tak mungkin menyelamatkan diri dari lubang yang membenamkan ini. Merasa dirinya terjebak, ia memekik penuh rasa ngeri. Macan itu menggigit bagian kerah baju si tentara dengan gigi-giginya. Lalu, seraya melompat dengan kuat ke belakang, dia menarik lelaki itu keluar dari pusaran pasir itu seperti sulap. “Ah, Mignonne!” seru si tentara, membelai punggung lembutnya. “Sekarang kita akan terikat bersama sehidup semati!” Lalu ia kembali bersama macan betina itu ke dalam gua. Sejak saat itu, gurun itu tidak lagi terasa begitu sunyi bagi si lelaki. Sekarang

ada sesosok makhluk yang bisa diajaknya bercakap-cakap. Perlahan-lahan macan betina itu berhasil dijinakkannya. Bahkan dirinya sendiri tidak mampu menjelaskan hubungan persahabatan mereka yang agak ganjil itu. Sekuat keinginan tentara itu untuk tetap terjaga, secepat itu pula ia tertidur lelap. Ketika ia terbangun, ia tidak mendapati Mignonne. Ia berjalan ke arah puncak bukit. Di kejauhan, ia bisa melihat macan betina itu melompat-lompat ke arahnya. Saat dia tiba, lelaki itu melihat taring-taringnya berlumuran darah. Ia membelai macan itu dengan penuh kasih sayang. Dengan dengkuran-dengkuran senang macan itu menunjukkan betapa bahagianya dia melihat lelaki itu lagi. Matanya bergerak menatap si tentara. Sepasang mata itu bahkan menjadi tampak lebih lembut daripada hari sebelumnya. Sekarang ia berbicara pada macan itu layaknya ia berbicara pada seekor binatang jinak. “Ah! Manis, kau benarbenar seorang gadis yang manis, ya? Lihatlah itu! Kita jadi seperti dipasangkan, bukan? Nah, begitu, itu baru namanya kekasih!” Macan betina itu membiarkan si tentara bermainmain dengannya seperti seekor anjing dengan tuannya. Dia membiarkan tubuhnya digulingkan, ditindih, dan dipukuli. Dan terkadang dia sendiri akan menempelkan cakarnya di tubuh lelaki itu secara bercanda dan bersahabat. Beberapa hari terlewati dengan perilaku seperti ini. Persahabatan ini memungkinkan si tentara lebih menghargai keindahan luar biasa gurun tersebut. Sekarang ia memiliki banyak persediaan untuk dimakan dan sesosok makhluk hidup untuk menemaninya. Hidup jadi kembali menarik. Suasana sunyi memungkinkan lelaki itu mengetahui

semua rahasia sang macan betina. Itu menyelimutinya dengan segala kesenangan si macan. Saat terbit dan tenggelamnya matahari ia menemukan pemandangan-pemandangan yang tak diketahui dunia. Ia tergetar dalam kesenangan saat mendengar desis kepak sayap burung di atas kepalanya. Burung-burung yang melintas amat jarang! Ia semakin menghargai pemandangan berupa gumpalan awan dan perubahan warnanya yang beraneka rupa. Selama berjam-jam ia akan memandangi awan-awan itu membaur satu sama lain. Pada malam hari ia mempelajari bagaimana bulan terlihat di atas hamparan lautan pasir. Ia menyaksikan angin telah membuat gelombang-gelombang yang bergerak cepat dan berubah-ubah. Terkadang pasirpasir yang berputar tampak seperti memerah dan kabut kering melintasi daratan. Setiap malam ia akan menyambut semua itu dengan rasa senang. Untuk kemudian ia menyaksikan gemerlap bintang-bintang dan mendengarkan musik bayangan di langit. Kesunyian juga mengajarkannya untuk menyingkap kekayaan mimpi-mimpinya. Ia melewatkan seluruh waktunya untuk hampir tidak mengingat apa pun dan membandingkan kehidupannya yang sekarang dengan masa lalunya. Akhirnya ia menumbuhkan rasa senangnya kepada sang macan dengan penuh gairah—semacam rasa cinta kasih. Seakan-akan itu amat penting dalam hidupnya. Untuk beberapa alasan yang ia sendiri tak cukup paham, macan itu menghormati kehidupan si lelaki. Ia mulai tidak merasa takut lagi terhadap macan betina itu yang tampak begitu baik dan jinak. Tentara itu menghabiskan sebagian

besar waktunya untuk tidur. Namun, itu adalah tidur seekor laba-laba di dalam jaringnya sendiri. Selalu ia awasi dari dekat kemungkinan munculnya kesempatan baginya untuk melarikan diri. Jika terlihat seseorang melewati garis yang dibuat cakrawala maka ia tak akan melewatkannya. Ia telah memanfaatkan kausnya untuk dibuat bendera. Kaus itu digantung di ujung sebuah pohon kurma yang daun-daunnya telah dirontokkannya. Ia menggunakan tongkat kecil untuk membuat kaus itu tetap terbentang karena angin tidak selalu bertiup. Ia ingin merasa yakin bahwa pelancong yang lewat akan melihat dengan jelas kaus itu. Berjam-jam sudah lewat ketika ia mulai kehilangan harapan. Itulah saat ketika ia menghibur diri dengan si macan. Ia telah belajar mendengarkan suara berbeda-beda yang keluar dari mulut macan betina itu. Dan sekarang ia memahami semua ekspresi yang terpancar di matanya. Mignonne bahkan tidak pernah marah ketika ia memegangi ekornya untuk menghitung cincin hitamnya. Cincin-cincin itu berkilauan terkena sinar matahari seperti perhiasan. Amat menyenangkan baginya mempelajari garis-garis anggun di tubuh macan betina itu. Namun, ketika macan itu bermain, ia merasa lebih senang lagi memandanginya. Melihat betapa luar biasa ringan gerakannya selalu membuatnya terheran-heran. Ia mengagumi cara macan itu melompat dan mendaki, mencuci diri, dan menyuarakan dengkurannya. Ia bahkan sangat suka melihat macan itu merunduk dan bersiap menerkam. Tanpa memedulikan apa yang sedang dilakukannya, si macan akan menjawab jika dipanggil dengan sebutan “Mignonne”. Satu hari, pada suatu

siang yang terik, seekor burung besar terbang melintas di udara. Lelaki itu meninggalkan macannya untuk memandangi tamu barunya. Namun, setelah menunggu beberapa saat, Mignonne menggeram dalam. “Ya, Tuhan! Aku sungguhsungguh yakin dia sedang cemburu!” pikir si tentara. “Seolaholah roh dari kekasih yang terdahulu telah merasuki tubuh macan itu.” Elang itu menghilang di udara saat si tentara mengagumi lengkungan tubuh si macan. Tampak sosok itu begitu muda dan bentuk tubuhnya yang anggun! Dia tampak sangat cantik layaknya seorang perempuan! Bulu-bulu pirang di punggungnya tumbuh subur dengan bintik-bintik putih samar di kakikakinya. Si lelaki dan macan betina itu saling menatap penuh arti. Macan betina itu gemetar saat dia merasakan temannya mengelus kepalanya. Matanya berpijar seperti halilintar. Lalu macan betina itu mengatupkan kelopak matanya kuat-kuat. “Dia punya jiwa,” ujar si lelaki, menatap sang macan. ••• “BAIKLAH,” KATA temanku, “terima kasih kau telah menceritakan kepadaku kisah itu. Namun, apa yang akhirnya terjadi? Bagaimana akhir cerita dua sahabat ini?” “Ah, baiklah!” kataku. “Kau tahu, cerita itu seharusnya berakhir layaknya semua cerita tentang gairah yang luar biasa. Akhirnya ada sebuah kesalahpahaman. Untuk suatu alasan, salah satu dari mereka mencurigai pihak lain atas sebuah pengkhianatan. Mereka tidak membicarakan hal itu karena

harga diri mereka. Mereka justru berkelahi dan akhirnya berpisah. Hanya karena mereka berdua terlalu keras kepala untuk mau berkomunikasi!” “Ya, kadang-kadang,” ucap temanku, “sepatah kata atau satu tatapan mata sudah cukup. Namun, bagaimanapun kau harus melanjutkan cerita itu.” “Ini agak sulit, tetapi kau akan memahaminya. Inilah yang dikatakan tentara tua itu kepadaku sambil minum sampanye. “Ia berkata—‘Aku tak tahu apakah aku telah melukainya, tetapi dia kemudian berputar seakan dia sedang marah. Dengan gigi-giginya yang tajam, dia menerkam kakiku. Gigitannya sebenarnya lemah, seingatku. Namun aku terlalu takut dia akan melukaiku. Sejurus kemudian aku menancapkan belatiku di kerongkongannya. Dia balik memutar tubuhnya seraya menjeritkan sebuah auman yang membekukan jantungku. “‘Sementara dia terbaring sekarat, aku melihat dia menatapku tanpa amarah. Aku akan memberikan apa pun di dunia ini untuk menghidupkannya lagi, seakan-akan aku telah membunuh seorang manusia. Para tentara yang berhasil menemukan dan menyelamatkanku mendapatiku bercucuran air mata.’ “‘Nah,’ katanya, setelah beberapa saat terdiam, ‘sejak itu aku mengalami beberapa peperangan. Aku telah berkelana ke seluruh penjuru dunia. Namun, aku tak pernah melihat tempat mana pun yang seperti gurun itu. Ah, ya, tempat itu sangat indah!’ “‘Apa yang Anda rasakan di sana?’ tanyaku kepadanya. “‘Oh, itu tak mungkin digambarkan, anak muda. Lagi pula, aku tak selalu menyesali waktuku bersama pohon-pohon kurma dan macan betinaku. Aku akan sangat sedih dan pilu sepanjang waktu jika aku melakukannya. Di

gurun pasir itu, kau tahu, di sana ada segalanya, sekaligus tak ada apa-apa.’ “‘Ya, tetapi jelaskanlah—’“‘Hm,’ jawabnya, dengan bahasa tubuh yang menunjukkan sikap tak sabar, ‘itu rahmat Tuhan tanpa kemanusiaan.’”•

-

Tamat -

HONORÉ DE BALZAC (17991850), pengarang terkemuka Prancis abad kesembilan belas. Karya utamanya adalah La Comédie humaine, kumpulan sembilan puluh satu novel pendek yang mengisahkan sejarah sosial Prancis dari kacamatanya. Karya-karya Balzac kerap bernuansa erotis, tetapi tema utamanya sesungguhnya adalah efek buruk uang terhadap manusia. Dalam karya-karyanya ia menggabungkan realisme dengan romantika dan melodrama. Ia lahir di Tours, tetapi saat ia berusia 15 tahun keluarganya hijrah ke Paris. Balzac adalah seorang perfeksionis. Ia menulis kembali karyakaryanya yang sudah selesai berulang-ulang untuk mencapai kesempurnaan. Percetakan membebankan biaya yang sangat banyak kepadanya karena membuat banyak perubahan. Namun, kesulitan-kesulitan yang ditempuhnya itu membuahkan karya yang luar biasa. Ia wafat pada usia 51 tahun, kesehatannya merosot karena terlalu banyak bekerja. Selama dua puluh tahun Balzac bekerja tanpa henti merampungkan La Comédie humaine. Ia menulis selama 16

jam sehari, terkadang tanpa meninggalkan kamarnya tiga hari berturut-turut.

Related Documents

Depkes Tak Pernah Panik
November 2019 20
Cinta Tak Ada Mati.pdf
November 2019 30
Cinta Tak Bersyarat
November 2019 41
Cinta Tak Terbalas
June 2020 28

More Documents from ""