Seli Struk Hemoragik 2.docx

  • Uploaded by: star kids
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Seli Struk Hemoragik 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,009
  • Pages: 24
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN GANGGUAN TROKE HEMORAGIK (SH) DI RSUD DR. SOEHADI PRIJONEGORO SRAGEN

DISUSUN OLEH : SELI MITSALINA 16051

AKADEMI KEPERAWATAN YAPPI SRAGEN TAHUN PELAJARAN 2018/2019

LAPORAN PENDAHULUAN

STROKE HEMORAGIK (SH)

A. PENGERTIAN Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Ria Artiani, 2009). Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin, 2010). Stroke hemoragik adalah

pembuluh

darah

otak

yang pecah

sehingga

menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan kemudian merusaknya (Ria Artiani, 2009). Stroke

adalah

suatu

keadaan

yang

timbulkarena

terjadi gangguan

perdarahan di otak yang menyebabkan terjadinyakematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang menderitakelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2010). Menurut Muttaqin (2010), ada beberapa faktor risiko stroke hemoragik, yaitu : 1. Stroke hemoragik paling sering disebabkan oleh tekanan darah tinggi yang menekan dinding arteri sampai pecah. 2. Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung. 3. Peningkatan hemotokrik meningkatkan risiko infark serebral. 4. Kontasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi). 5. Konsumsi alkohol. 6. Kanker, terutama kanker yang menyebar ke otak dari organ jauh seperti payudara, kulit, dan tiroid. 7. Cerebral amyloid angiopathy, yang membentuk protein amiloid dalam dinding arteri di otak, yang membuat kemungkinan terjadi stroke lebih besar. 8. Kondisi atau obat (seperti aspirin atau warfarin). 9.

Overdosis narkoba, seperti kokain.

B. ETIOLOGI

Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh adanya perdarahan intracranial dengan gejala peningkatan tekana darah systole > 200 mmHg pada hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah keunguan, sianosis, dan pernafasan mengorok. Penyebab stroke hemoragik, yaitu : 1. Kekurangan suplai oksigen yang menuju otak. 2. Pecahnya pembuluh darah di otak karena kerapuhan pembuluh darah otak. 3. Adanya sumbatan bekuan darah di otak. (Batticaca 2010). Penyebab stroke hemoragik biasanya diakibatkan dari: Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan pendarahan kedalam jaringan otak atau seluruh ruang sekitar otak ). Akibatnya adalah penghentian suplai darah ke otak . Hemoragi serebral dapat terjadi di berbagai tempat yaitu : 1. Hemoragi obstrudural 2. Hemoragi subdural 3. Hemoragi subakhranoid 4. Hemoragi intraserebral Faktor resiko penyakit stroke menyerupai faktor resiko penyakit jantung iskemik : 1. Usia 2. Jenis kelamin: pada wanita premonophous lebih rendah, tapi pada wanita post monophous sama resiko dengan pria 3. Hipertensi 4. DM 5. Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung 6. Koagulopati karena berbagai komponen darah antara lain hiperfibrinogenia 7. Keturunan 8. Hipovolemia dan syook ( Aru W, Sedoyo dkk, 2016) Menurut Sylvia dan Lorraine (2016), SH terjadi akibat : 1. Perdarahan intraserebrum hipertensif. 2. Perdarahan subaraknoid (PSA): ruptura aneurisma secular (berry), rupture malformasi arteriovena (MAV), trauma. 3. Penyalahgunaan kokain, amfetamin 4. Perdarahan akibat tumor otak 5. Infark hemoragik 6. Penyakit perdarahan sistemik termasuk penggunaan obat antikoagulan.

C. PATOFISIOLOGI Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial dan berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman kapiler. Aterosklerosis dapat terjadi dengan bertambahnya umur dan adanya hipertensi kronik, sehingga sepanjang arteri penetrans terjadi aneurisma kecil-kecil dengan diameter 1 mm. Peningkatan tekanan darah yang terus menerus akan mengakibatkan pecahnya aneurisme ini, sehingga dapat terjadi perdarahan dalam parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembas kesekitarnya bahkan dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intrakranial. Perdarahan intracranial biasanya disebabkan oleh karena ruptur arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau subaraknoid, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus willis. Bekuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengecil. Daerah otak disekitar bekuan darah dapat membengkak dan mengalami nekrosis, karena kerja enzim-enzim maka bekuan darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan diganti oleh astrosit dan kapiler-kapiler baru sehingga terbentuk jalinan desekitar rongga tadi. Akhirnya rongga-rongga tersebut terisi oleh astroglia yang mengalami proliferasi (Sylvia & Lorraine 2016). Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya aneurisma. Kebanyakan aneurisma mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan perdarahan mempermudah kemungkinan terjadinya ruptur, dan sering terdapat lebih dari satu aneurisma. Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya perdarahan. Pembuluh yang mengalami gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti cabang lentikulostriata dari arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari 3 ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna. Timbulnya penyakit ini mendadak dan evolusinya dapat cepat dan konstan, berlangsung beberapa menit, beberapa jam, bahkan beberapa hari.

Gambaran klinis yang sering terjadi antara lain; sakit kepala berat, leher bagian belakang kaku, muntah, penurunan kesadaran, dan kejang. 90% menunjukkan

adanya darah dalam cairan serebrospinal (bila perdarahan besar dan atau letak dekat ventrikel), dari semua pasien ini 70-75% akan meninggal dalam waktu 1-30 hari, biasanya diakibatkan karena meluasnya perdarahan sampai ke system ventrikel, herniasi lobus temporalis, dan penekanan mesensefalon, atau mungkin disebabkan karena perembasan darah ke pusat-pusat yang vital (Smletzer & Bare, 2015). Penimbunan darah yang cukup banyak (100 ml) di bagian hemisfer serebri masih dapat ditoleransi tanpa memperlihatkan gejala-gejala klinis yang nyata. Sedangkan adanya bekuan darah dalam batang otak sebanyak 5 ml saja sudah dapat mengakibatkan kematian. Bila perdarahan serebri akibat aneurisma yang pecah biasanya pasien masih muda, dan 20 % mempunyai lebih dari satu aneurisma (Black & Hawk, 2015). Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteriarteri yang membentuk sirkulus Willisi : arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit maka akan terjadi infark atau kematian jaringan. Akan tetapi dalam hal ini tidak semua oklusi di suatu arteri menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai di daerah tersebut. Dapat juga karena keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis atau robeknya dinding pembuluh darah dan terjadi peradangan, berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah misalnya syok atau hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat bekuan atau infeksi pembuluh ektrakranium dan ruptur vaskular dalam jaringan otak. (Sylvia & Lorraine 2016). D. MANIFESTASI KLINIS 1. Kehilangan motorik a. Hemiplegis, hemiparesis. b. Paralisis flaksid dan kehilangan atau penurunan tendon profunda (gambaran lklinis awal ). 2. Kehilangan komunikasi a. Disartria b. Difagia c. Afagia d. Afraksia 3. Gangguan konseptual

a. Hamonimus hemia hopia (kehilanhan sitengah dari lapang pandang) b. Gangguan dalam hubungan visual-spasial (sering sekali terlihat pada pasien hemiplagia kiri) c. Kehilangan sensori : sedikit kerusakan pada sentuhan lebih buruk dengan piosepsi, kesulitan dalam mengatur stimulus visual, taktil dan auditori. 4. Kerusakan aktivitas mental dan efek psikologis : a. Kerusakan lobus frontal : kapasitas belajar memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin mengalami kerusakan disfungsi tersebut. Mungkin tercermin dalam rentang perhatian terbatas, kesulitan dalam komperhensi, cepat lupa dan kurang komperhensi. b. Depresi,

masalah

psikologis-psikologis

lainnya.

Kelabilan

emosional,

bermusuhan, frurtasi, menarik diri, dan kurang kerja sama. 5. Disfungsi kandung kemih : a. Inkontinansia urinarius transia b. Inkontinensia urinarius persisten / retensi urin (mungkin simtomatik dari kerusakan otak bilateral) c. Inkontinensia urin dan defekasi berkelanjutan (dapat menunjukkan Kerusakan neurologisekstensif) (Brunner & Suddart, 2012).

E. PATHWAYS

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penderita dengan stroke hemoragik adalah sebagai berikut : 1. Posisi kepala dan badan atas 20 – 30 derajat, posisi miring apabila muntah dan boleh mulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil. 2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan oksigen sesuai kebutuhan. 3. Tanda – tanda vital diusahakan stabil. 4. Bed rest. 5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia. 6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. 7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu kateterisasi. 8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonok. 9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau cairan suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK. 10. Nutrisi peroral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. apabila kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT. 11. Penatalaksanaan spesifiknya yaitu dengan pemberian obat neuroprotektor, antikoagulan, trombolisis

intraven, diuretic, antihipertensi,

dan tindakan

pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi. G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Batticaca (2010), Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dilakukan adalah : 1. Laboratorium : darah rutin, gula darah, urine rutin, cairan serebrospinal, analisa gas darah, biokimia darah, elektolit. 2. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan dan juga untuk memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark. 3. Ultrasonografi Doppler : mengidentifikasi penyakit arteriovena ( masalah sistem arteri karotis ). 4. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri. 5. MRI ( magnetic resonance imaging ) : menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik ). 6. EEG ( elektroensefalogram ) : memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

7. Sinar-X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas; klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosit serebral ; klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid. H. KONSEP KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN 1. Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil. 2. Keluhan utama Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran. 3. Riwayat penyakit sekarang Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma. 4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

5. Riwayat penyakit keluarga Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dan generasi terdahulu. 6. Riwayat psikososiospiritual Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecemasan, rasa cemas, rasa tidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spritual karena tingkah laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. 7. Pemeriksaan fisik 

Keadaan umum Melangalami penurunan kesadaran, suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/ afaksia. Tanda – tanda vital : TD meningkat, nadi bervariasi. a. B1 (breathing) Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan obat bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Pada klien dengan tingkat kesadaran compas mentis, peningkatan inspeksi pernapsannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan. b. B2 (blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskulardidapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200 mmHg. c. B3 (Brain) Stroke yang menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. d. B4 (Bladder) Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinesia urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandunf kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinesia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas. e. B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada pasien akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinesia

alvi

neurologis luas.

yang

berlanjut

menunjukkan

kerusakan

f. B6 (Bone) Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya

kesulitan

untuk

beraktivitas

karena

kelemahan,

kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial. 2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot facial atau oral. 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular 4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan. 5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi. 6. Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori. 7. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi. 8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama. 9. Gangguan eliminasi uri (incontinensia urin) yang berhubungan dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi. C. RENCANA TINDAKAN 1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam, diharapkan Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal. Kriteria hasil : - Klien tidak gelisah - Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang. - GCS 456 - Pupil isokor, reflek cahaya (+)

- Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, Pernafasan 16-20 kali permenit). Intervensi : 1) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya Rasional : Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan 2) Anjurkan kepada klien untuk bed rest total Rasional : Untuk mencegah perdarahan ulang 3) Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan intrakranial tiap 2 Jam. Rasional : Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk penetapan tindakan yang tepat. 4) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung ( beri bantal tipis) Rasional : Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan drainage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral. 5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan Rasional : Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang 6) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjunng Rasional : Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan mingkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya. 7) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor Rasional : Memperbaiki sel yang masih viabel. 2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kehilangan kontrol otot facial atau oral. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2x 24 jam diharapkan kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi. Kriteria hasil : -

Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik).

-

Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi.

-

Meningkatkan kemampuan untuk mengerti.

-

Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi.

-

Mampu berbicara yang koheren.

-

Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.

Intervensi : 1) Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri. Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan memahami kata yang diucapkan; mengucapkan kata-kata dengan benar; atau mengalami kerusakan pada kedua daerah tersebut. 2) Bedakan antara afasia dengan disartria. Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpretasikan simbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen sensorik dan/atau motorik, seperti ketidakmampuan untuk memahami tulisan/ucapan atau menulis kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disartria dapat memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral. 3) Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik. Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkannya tidak nyata. Umpan balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak

mengerti/berespon

sesuai

dan

memberikan

kesempatan

untuk

mengklarifikasikan isi/makna yang gterkandung dalam ucapannya. 4) Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka mata,” “tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana. Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik). 5) Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut. Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik),

seperti

menyebutkannya.

pasien

mungkin

mengenalinya

tetapi

tidak

dapat

6) Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau “Pus” Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia motorik. 7) Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik. 8) Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila perlu. Rasional

:

Menghilangkan

ansietas

pasien

sehubungan

dengan

ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera. Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel regular. 9) Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi). Rasional :

Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan

keadaan/deficit yang mendasarinya. 10) Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang. Gunakan

pertanyaan

terbuka

dengan

jawaban

“ya/tidak,”

selanjutnya

kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai dengan respons pasien. Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata. 11) Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit; hindari “pembicaraan yang merendahkan” pada pasien atau membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien.

Rasional : Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik. 12) Kolaborasi : Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara. 3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular. Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan 2x 24 jam diharapkan mobilisasi klien mengalami peningkatan. Kriteria hasil: -

mempertahankan posisi optimal,

-

mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terserang hemiparesis dan hemiplagia.

-

mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas.

Intervensi : 1) Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid. 2) Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu. Rasional : Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada kulit/ dekubitus. 3) Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sekali jika pasien dapat mentoleransinya. Rasional : Membantu mempertahankan ekstensi pinggul fungsional;tetapi kemungkinan akan meningkatkan ansietas terutama mengenai kemampuan pasien untuk bernapas. 4) Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas

saat

masuk.

Anjurkan

melakukan

latihan

sepeti

latihan

quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari kaki/telapak. Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya hiperkalsiuria dan

osteoporosis jika masalah utamanya adalah perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi pencetus adanya perdarahan berulang. 5) Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral. Rasional : Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain pihak paralisis spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi. 6) Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan. Rasional : Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku. 7) Tempatkan ”handroll’ keras pada teelapak tangan dengan jari – jari dan ibu jari saling berhadapan. Rasional :

Alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jari-jari,

mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal (posisi anatomis). 8) Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi. Rasional : Mempertahankan posisi fungsional. 9) Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan untuk menyokong berta badan dan kaki yang kuat untuk memindahkan kaki yang sakit; meningkatkan waktu duduk) dan keseimbangan dalam berdiri (seperti letakkan sepatu yang datar;sokong bagian belakang bawah pasien dengan tangan sambil meletakkan lutut penolong diluar lutut pasien;bantu menggunakan alat pegangan paralel dan walker). Rasional : Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respon proprioseptik dan motorik. 10) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/ menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan. Rasional : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas yang terganggu. 11) Kolaborasi -

Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latiahn resistif, dan ambualsi pasien.

-

Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperi TENS sesuai indikasi.

-

Berikan obat relaksan otot, antispasmodik sesuai indikasi seperti baklofen dan trolen(Doenges, 1999).

4. Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi gangguan nutrisi. Kriteria hasil : •

Berat badan dapat dipertahankan/ ditingkatkan



Hb dan albumin dalam batas normal

Intervensi 1) Tentukan kemampuan klien dengan mengunyah, menelan dan refleks batuk. Rasional : untuk menetapkan jenis makanan yang akan di berikan kepada klien 2) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan. Rasional : untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi. 3) Letakkan makanan didaerah mulut yang tidak terganggu. Rasional : membantu dalam melatih sensorik dan meninggkatkan kontrol muskuler. 4) Berikan makanan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang. Rasional : klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makanan tanpa adanya distrakrasi / gangguan dari luar 5) Mulailah untuk memberi makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air. Rasional : makan lunak/ cairan kental mudah untuk mengendalikannya di dalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi. 6) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan. Rasional : menguatkan otot fasial dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak. 7) Koloborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui iv atau makanan melalui selang. Rasional : mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan apabila klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut.

5. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese / hemiplegi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi. Kriteria hasil : - Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan klien - Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan. Intervensi : 1) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri. Rasional : Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual. 2) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh. Rasional : Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terusmenerus. 3) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan. Rasional : Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan 4) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya. Rasional : Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu. 5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi. Rasional : Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus. 6. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.

Kriteria hasil : - Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi persepsi - Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan merasa. - Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi terhadap perubahan sensori Intervensi : 1) Tentukan kondisi patologis klien. Rasional : Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan, sebagai penetapan rencana tindakan. 2) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul, posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian. Rasional : Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan perasaan kinetik berpengaruh terhadap keseimbangan/posisi dan kesesuaian dari gerakan yang mengganggu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma. 3) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti memberikan klien suatu benda untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien menyentuh dinding atau batas-batas lainnya. Rasional : Melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan intepretasi diri. Membantu klien untuk mengorientasikan bagian dirinya dan kekuatan dari daerah yang terpengaruh. 4) Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lindungan yang berbahaya. Anjurkan pada klien dan keluarga untuk melakukan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal. Rasional : Meningkatkan keamanan klien dan menurunkan resiko terjadinya trauma. 5) Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan tangannya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh yang sakit. Buatlah klien sadar akan semua bagian tubuh yang terabaikan seperti stimulasi sensorik pada daerah yang sakit, latihan yang membawa area yang sakit melewati garis tengah, ingatkan individu untuk merawata sisi yang sakit. Rasional : Penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu dalan mengintegrasikan sisi yang sakit.

6) Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan. Rasional : Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan/kebingungan yang berhubungan dengan sensori berlebih. 7) Lakukan validasi terhadap persepsi klien. Rasional : Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan dari persepsi dan integrasi stimulus. 7. Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Jalan nafas tetap efektif. Kriteria hasil : - Klien tidak sesak nafas - Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan - Tidak retraksi otot bantu pernafasan - Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit Intervensi : 1) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas. Rasional : Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas 2) Rubah posisi tiap 2 jam sekali. Rasional : Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran pernafasan. 3) Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari) Rasional : Air yang cukup dapat mengencerkan sekret 4) Observasi pola dan frekuensi nafas. Rasional : Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas 5) Auskultasi suara nafas. Rasional : Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas 6) Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien Rasional : Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-paru. 8. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit Kriteria hasil :

- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka - Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka - Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka Intervensi : 1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin. Rasional : Meningkatkan aliran darah kesemua daerah. 2) Ubah posisi tiap 2 jam Rasional : Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah. 3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol. Rasional : Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol. 4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi. Rasional : Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler. 5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi. Rasional : Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan. 6) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit. Rasional : Mempertahankan keutuhan kulit. 9.

Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam Klien mampu mengontrol eliminasi urinnya. Kriteria hasil : - Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia - Tidak ada distensi bladder Intervensi : 1) Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering. 1. Rasional : Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih yang berlebih. 2) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari. Rasional : Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah

enuresis. 3) Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal). Rasional : Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih. 4) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan. Rasional : Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih. 5) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi) Rasional : Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

Ria Artiani, 2009. Cara Mudah Memahami dan Menghindari Hipertensi, Jantung dan Stroke. Edisi I. Yogyakarta: CV. Dianloka. Batticaca, F. B. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Black, Joice. M., & Hawk, Jane. H. 2015. Medical Surgical Nursing; clinical management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis : Elsevier. Inc Sylvia & Lorraine 2016. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi X. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2010. Asuhan Keperawatan Persarafan. Jakarta : Salemba Medika

Klien

dengan

Gangguan

Sistem

Smeltzer, S. C et.al. 2015. Brunner&Suddarth’s: Textbook of Medical Surgical Nursing.9th. Philadelphia: Lippincott Soepardjo. 2009. Sekilas Tentang Stroke. Yayasan stroke Indonesia. Sudoyo, A. W dkk. 2016. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK-UI. Jakarta. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI.

Related Documents

Struk
August 2019 19
Struk Pembayaran.docx
May 2020 10
Syok Hemoragik
June 2020 37
Etienne Seli Ayiga C.v
June 2020 11

More Documents from ""