Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba as PDF for free.

More details

  • Words: 5,194
  • Pages: 15
Sejarah Penemuan Fosil Manusia Purba, Manusia Kera dan Manusia Modern - Teori Perkembangan Evolusi Antar Waktu Arkeologi Biologi Secara umum penemuan fosil manusia dari jaman ke zaman terbagi atas tiga kelompok, yaitu manusia kera, manusia purba dan manusia modern. Yang perlu diingat adalah bahwa teori ini hanya dugaan dan tidak terbukti kebenarannya karena teori evolusi telah runtuh. Fosil manusia lama yang ditemukan bisa saja bukan fosil manusia atau manusia yang memiliki bentuk ciri tubuh yang unik, atau bahkan hasil rekayasa. A. Manusia Kera dari Afrika Selatan 1. Australopithecus Africanus Australopithecus africanus ditemukan di desa Taung di sekitar Bechunaland ditemukan oleh Raymond Dart tahun 1924. Bagian tubuh yang ditemukan hanya fosil tengkorak kepala saja. 2. Paranthropus Robustus dan Paranthropus Transvaalensis Dua penemuan tersebut ditemukan di daerah Amerika Selatan dengan ciri isi volume otak sekitar 600 cm kubik, hidup di lingkungan terbuka, serta memiliki tinggi badan kurang lebih 1,5 meter. Kedua fosil menusia kera tersebut disebut australopithecus. B. Manusia Purba / Homo Erectus 1. Sinanthropus Pekinensis Sinanthropus pekinensis adalah manusia purba yang fosilnya ditemukan di gua naga daerah Peking negara Cina oleh Davidson Black dan Franz Weidenreich. Sinanthropus pekinensis dianggap bagian dari kelompok pithecanthropus karena memiliki ciri tubuh atau badan yang mirip serta hidup di era zaman yang bersamaan. Sinanthropus pekinensis memiliki volume isi otak sekitar kurang lebih 900 sampai 1200 cm kubik. 2. Meganthropus Palaeojavanicus / Manusia Raksasa Jawa Meganthropus palaeojavanicus ditemukan di Sangiran di pulau jawa oleh Von Koningswald pada tahun 1939 - 1941. 3. Manusia Heidelberg Manusia heidelberg ditemukan di Jerman 4. Pithecanthropus Erectus Pithecanthropus erectus adalah manusia purba yang pertama kali fosil telang belulang ditemukan di Trinil Jawa Tengah pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois. Pithecanthropus erectus hidup di jaman pleistosin atau kira-kira 300.000 hingga 500.000 tahun yang lalu. Volume otak Pithecanthropus erectus diperkirakan sekitar 770 - 1000 cm kubik. Bagian tulang-belulang fosil manusia purba yang ditemukan tersebut adalah tulang rahang, beberapa gigi, serta sebagian tulang tengkorak. C. Manusia Modern

Pengertian atau arti definisi manusia modern adalah manusia yang termasuk ke dalam spesies homo sapiens dengan isi volum otak kira-kira 1450 cm kubik hidup sekitar 15.000 hingga 150.000 tahun yang lalu. Manusia modern disebut modern karena hampir mirip atau menyerupai manusia yang ada pada saat ini atau sekarang. 1. Manusia Swanscombe - Berasal dari Inggris 2. Manusia Neandertal - Ditemukan di lembah Neander 3. Manusia Cro-Magnon / Cromagnon / Crogmanon - Ditemukan di gua CroMagnon, Lascaux Prancis. Dicurigai sebagai campuran antara manusia Neandertal dengan manusia Gunung Carmel. 4. Manusia Shanidar - Fosil dijumpai di Negara Irak 5. Manusia Gunung Carmel - Ditemukan di gua-gua Tabun serta Skhul Palestina 6. Manusia Steinheim - Berasal dari Jerman Ciri–ciri manusia purba Indonesia: Meganthropus • Memiliki tulang pipi yang tebal • Memiliki oto kunyah yang kuat • Memiliki tonjolan kening yang menyolok • Memiliki tonjolan belakang yang tajam • Tidak memiliki dagu • Memiliki perawakan yang tegap • Memakan jenis tumbuhan Pithecanthropus • Tinggi adan sekitar 165 – 180 cm • Volume otak berkisar antara 750 – 1350 cc • Bentuk tubuh & anggota badan tegap • Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat • Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat • Bentuk tonjolan kening tebal • Bentuk hidung tebal • Bagian belakang kepala tampak menonjol Homo • Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc • Tinggi badan antara 130 – 210 cm • Otot tengkuk mengalami penyusutan • Muka tidak menonjol kedepan • Berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna

Hasil budaya manusia purba Indonesia Pithecanthropus Kapak perimbas, Kapak penetak, Kapak gengam, Pahat gengam, , Alat serpih, Alat-alat tulang Homo: Kapak gengam / Kapak perimbas, Alat serpih,, Alat–alat tulang Ciri-ciri Meganthropus • Memiliki tulang pipi yang tebal • Memiliki oto kunyah yang kuat • Memiliki tonjolan kening yang menyolok • Memiliki tonjolan belakang yang tajam • Tidak memiliki dagu • Memiliki perawakan yang tegap • Memakan jenis tumbuhan Pithecanthropus • Tinggi adan sekitar 165 – 180 cm • Volume otak berkisar antara 750 – 1350 cc • Bentuk tubuh & anggota badan tegap • Alat pengunyah dan alat tengkuk sangat kuat • Bentuk graham besar dengan rahang yang sangat kuat • Bentuk tonjolan kening tebal • Bentuk hidung tebal • Bagian belakang kepala tampak menonjol Homo • Volume otaknya antara 1000 – 1200 cc • Tinggi badan antara 130 – 210 cm • Otot tengkuk mengalami penyusutan • Muka tidak menonjol kedepan • Berdiri tegak dan berjalan lebih semp

Homo floresiensis Rentang fosil: Pleistosen Akhir

Pemurnian metal Homo floresiensis. Pada sampul majalah Nature. Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum: Chordata Kelas: Mammalia Ordo: Primates Famili: Hominidae Genus: Homo Spesies: H. floresiensis Nama binomial †Homo floresiensis Homo floresiensis ("Manusia Flores", disebut Hobbit) adalah sebutan yang diberikan oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh kecil, otak kecil, dan kelangsungan hidup sampai waktu yang relatif.[1][2] Antropolog Peter Brown, Michael Morwood, dan koleganya memiliki argumen yang bervariasi dari berbagai ciri-ciri, baik dari segi primitif dan apa yang didapat dari penelitian, pengidentifikasian tulang dari LB1 dari spesies homonin baru hominin, H. floresiensis.[1][2] Spesies tersebut yang telah dibandingkan dengan manusia modern yang sebaya (Homo sapiens) di pulau Flores, Indonesia. Salah satu sub-fosil tulang terbesar dan satu gigi geraham berumur 18.000 tahun telah ditemukan tersimpan di dalam Liang Bua, Flores pada tahun 2003. Bagian dari masing-masing tujuh tulang lainnya (LB3-LB9, bagian yang hampir lengkap adalah LB6), yang semua dalam bentuk yang lebih kecil dari tulang normal, dan juga ditemukannya peralatan batu kecil yang diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.[3] Penggalian terhadap hal tersebut dilakukan pada tahun 2003 dan publikasi terhadap penggambaran aslinya dilakukan pada Oktober 2004. Bantahan. Pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, terutama oleh pihak

Teuku Jacob dari UGM. Berdasarkan temuan beliau, fosil dari Liang Bua ini berasal dari orang katai Flores -- sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan -- yang menderita penyakit mikrosefali. Para peneliti dari Universitas Gadjah Mada kembali menguatkan pendapatnya melalui sebuah jurnal sains Amerika bahwa sisa manusia dari Liang Bua, bukan spesies baru dan merupakan manusia modern. Penguatan tersebut melalui artikel bertajuk Pygmoid Australomelanesian Homo Sapiens Skeletal Remains from Liang Bua, Flores: Population Affinities and Pathological Abnormalities, yang ditulis oleh Teuku Jacob, Ety Indriati, RP Soejono (Indonesia), M Henneberg, AG Thorne (Australia), RB Eckhardt, AJ Kuperavage, DW Frayer (AS), serta K Hou (China), yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the National Acedemy of Sciences edisi 21 Agustus 2006. Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microcephalia, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil. Pada September 2007, para ilmuwan peneliti Homo floresiensis menemukan petunjuk baru berdasarkan pengamatan terhadap pergelangan tangan fosil yang ditemukan. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan manusia modern melainkan merupakan spesies yang berbeda. Hal ini sekaligus menjadi jawaban terhadap tentangan sejumlah ilmuwan mengenai keabsahan spesies baru ini karena hasil penemuan menunjukkan bahwa tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun manusia Neandertal. Melacak Jejak Manusia Neanderthal Bagi mereka yang ingin menyusun kembali sejarah evolusi, sebuah fosil kecil bisa menyimpan banyak cerita. Sekeping tulang rahang atau tengkorak kepala atau sebagian tulang pinggul, bisa menjadi titik tolak seorang palaeontolog mengungkap misteri masa silam. Peralatan kuno atau artefak kebudayaan yang ditemukan bisa membantu mereka mengisi celah informasi yang ada. Namun ibarat mengintip sejarah lewat lubang kunci, hal ini masih membutuhkan lagi amat banyak data dan penjelasan. Majalah New Scientist antara lain melaporkan aktivitas sebuah tim yang dipimpin oleh Svante P‰‰bo, pakar ilmu genetika evolusi di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Leipzig, Jerman. Tim ini berniat merekonstruksi keseluruhan genome manusia Neanderthal (Homo Neanderthalensis) dari berbagai fosil mereka yang telah ditemukan selama ini. Manusia Neanderthal adalah salah satu ras manusia purba yang secara fisik lebih unggul dari ras manusia lainnya, namun telah mengalami kepunahan secara misterius. Ahli antropologi fisik sering melukiskan manusia Neanderthal bertubuh tegap dan kuat. Semuanya membawa penggada atau tombak besar yang ujungnya terbuat dari batu runcing dan tajam. Mereka mengepung seekor

mastodon (gajah purba ) yang tiga kali lipat tinginya dari tubuh para manusia purba itu. Para manusia purba itu lalu berteriak dan menyerang. Terjadilah penye-rangan ganas. Dengan kondisi alam yang begitu keras, cuaca yang begitu ekstrem, lingkungan yang buas dan tidak bersahabat, maka bagi manusia Neanderthal kekuatan menjadi alasan utama untuk bertahan. Mereka hidup sepenuhnya dari pertarungan, perburuan atau peperangan suku yang buas. Mereka belum bisa membuat api dan bercocok tanam. Perjuangan keras inilah yang membuat manusia Neanderthal bertahan lebih dari seperempat juta tahun lalu. Ras manusia Neanderthal ini adalah ras para jagoan penguasa pada zamannya. Karena itu kepunahan mereka secara serempak, sekitar 45 ribu tahun silam, dianggap sebagai misteri besar. Ini tak ubahnya dinosaurus yang pernah menguasai bumi, lalu punah secara mendadak. Penemuan pertama fosil manusia Neanderthal terjadi pada bulan Agustus 1856. Sebagian dari tengkorak manusia purba ini ditemukan di Gua Feldhofer, di Lembah Neander Valley, dekat Dusseldorf, Jerman. Karena itulah mereka disebut sebagai manusia Neanderthal. Di tahun 1908, Palaeontolog Prancis Marcellin Boule, menulis tentang sebuah kerangka Neanderthal yang hampir lengkap dari La Chapelle-aux-Saints, Prancis. Ilustrasi pertama tentang menusia Neanderthal ini pun dipublikasikan bersama temuan ilmiahnya. Maka muncullah imaji pertama tentang manusia Neanderthal. Manusia purba yang tingginya rata-rata 166 cm dan berbobot minimal maksimal 77 kg ini sehari-harinya memakan daging. Dengan ukuran otak yang 12 persen lebih besar dari otak manusia modern, maka musnahlah mitos yang mengatakan bahwa para manusia purba ini kurang cerdas dan lebih mengandalkan nalurinya bila berburu. Sebenarnya cukup banyak mitos yang salah. Misalnya mitos bahwa manusia Neanderthal berkomunikasi satu sama lain dengan menggeram. Di tahun 1983, para ilmuwan menemukan tulang hyoid manusia Neanderthal di sebuah gua di Israel. Hal ini mengakhiri perdebatan tentang apakah manusia purba ini bisa bicara. Hyoid adalah tulang kecil yang terletak di tenggorokan, yang menjadi bagian dari mekanisme pengucapan vokal yang membuat manusia modern bisa berbicara. Mitos lain yang tidak benar adalah anggapan bahwa manusia Neanderthal berjalan membungkuk seperti gorila. Penemuan tulang kerangka yang mendukung teori ini gugur karena melalui pemeriksaan mikro karbon dan pembandingan dengan tulang kerangka lainnya menunjukkan sebuah data. Bahwa tulang punggung yang melengkung itu diakibatkan serangan penyakit sejenis arthritis. KEBOHONGAN "MITOCHONDRIAL EVE" DI DISCOVERY CHANNEL Discovery Channel baru-baru ini menayangkan sebuah dokumenter berjudul The Real Eve, dimana skenario khayalan diajukan untuk menjelaskan penyebaran manusia modern, yang katanya muncul dari evolusi di Afrika, ke seluruh penjuru dunia. Namun, penemuan ilmiah menunjukkan bahwa evolusi manusia tidak lebih dari khayalan, dan pernyataan Discovery Channel tidak berdasar. Tulisan ini membongkar kesalahan ilmiah saluran ini.

Program ini dimulai dengan pernyataan bahwa ras manusia yang ada sekarang berasal dari seorang wanita hidup di Afrika sekitar 130.000 tahun yang lalu, dan wanita ini merupakan Homo sapiens pertama yang katanya muncul melalui proses evolusi. Karena klaim mengenai wanita ini berasal dari analisa DNA mitokondria, wanita dalam mitos ini dikenal dengan nama "mitochondrial Eve" Dikatakan bahwa manusia ini, dengan otak yang lebih besar, meninggalkan benua itu, mungkin untuk menemukan tempat baru, dan mulai menyebar ke seluruh dunia sekitar 80.000 tahun yang lalu. Kemungkinan jalur migrasi sekelompok kecil manusia, digambarkan berpakaian primitive dan dengan kejadian-kejadian yang mungkin terjadi selama perjalanan. Hal-hal seperti perubahan iklim, hubungan antara Neanderthals dan manusia modern, dan sejumlah penemuan fosil juga dijelaskan. Pesan Darwinisnya adalah, setiap orang yang hidup saat ini merupakan hasil evolusi, dan bahwa jejak-jejak evolusi ini dapat ditemukan dalam gen-gen kita. Namun kenyataan genetik yang disebutkan untuk menegaskan pernyataan ini sebenarnya sama sekali bukan penemuan ilmiah yang objektif, melainkan kenyataan-kenyataan yang diterjemahkan dengan prasangka evolusionis. Dengan kata lain, pemahaman gen semacam ini tidak mempunyai dasar yang realistis. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah "DNA mitokondria" (mtDNA), yang digunakan sebagai batu loncatan bagi klaim evolusionis dalam acara ini. Analisis mengenai DNA mitokondia selalu dibangga-banggakan dalam klaim yang mereka tayangkan. Dugaan bahwa Homo sapiens muncul sekitar 130.000 tahun yang lalu di Afrika dan bahwa orang Amerika pertama mendarat di benua itu 20.000 tahun yang lalu, serta rekaan jalur perpindahan yang dilalui manusia saat menyebar dari Afrika, semua berdasarkan mtDNA. Padahal sebenarnya analisa umur berdasarkan DNA mitokondria baru-baru ini tidak lagi diakui! Hingga baru-baru ini, diyakini bahwa mtDNA diwariskan hanya dari Ibu, sehingga mtDNA seorang wanita dapat ditelusuri dari generasi ke generasi. Ahli biologi evolusi seringkali menggunakan analisa mtDNA dan mtDNA untuk mengajukan spekulasi mengenai asal-usul kehidupan. Namun, dengan keterikatan mereka terhadap dogma-dogma evolusi, mereka menerjemahkan mtDNA secara sepihak, dan memaksakan suatu kondisi awal perbedaan antara berbagai contoh mtDNA yang mereka uji harus terjadi dari mutasi. Namun, fakta yang baru muncul setahun yang lalu telah secara mendasar meruntuhkan kredibilitas analisi ini. Sebuah tulisan berjudul"Mitochondria can be inherited from both parents" ("mitokondria dapat diwarisi dari kedua orang tua") dalam majalah terkenal New Scientist menggambarkan bagaimana 90% mitokondria seorang pasien berkebangsaan Denmark diwarisi dari ayahnya. Maka terungkaplah bahwa seluruh penelitian mtDNA yang dilakukan untuk mendukung skenario evolusi khayalan sebenarnya tidak bermakna. New Scientist mengakui kenyataan ini sebagai berikut: Ahli biologi evolusi seringkali menghubungkan keragaman spesies dengan perbedaan urutan genetic dalam

DNA mitokondria. Bahkan, jika DNA ayah sangat jarang diwariskan sekalipun, penemuan-penemuan mereka boleh jadi tidak lagi berlaku.1 Karena alasan ini, pendapat tentang "mitochondrial Eve" yang diajukan Discovery Channel benar-benar tidak lagi berlaku dengan adanya penemuan di atas. Sumber-sumber evolusionis seperti Discovery Channel menerjemahkan perbedaan-perbedaan genetic pada manusia di dunia dengan kacamata prasangka untuk menegakkan teori mereka sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan tidak berlakunya klaim evolusionis berdasarkan analisis genetika. Teknik penelitian lain yang dikenal oleh evolusionis sebagai pendukung teori "out of Afrika" (Keluar dari Afrika) mereka adalah analisa kromosom Y, berdasarkan penelitian tentang kromosom Y, yang hanya diturunkan melalui ayah. Namun ketika analisa kromosom Y dan mtDNA dibandingkan, ketidakkonsistenan pendapat evolusionis semakin nyata. Lebih jauh lagi, sejumlah besar pelaeontolog menolak dengan tegas kronologis berdasarkan analisis genetik. Bukti palaeontolog benar-benar tidak masuk akal jika dibandingkan dengan analisis mtDNA dan kromosom Y. Spencer Wells seorang peneliti, yang mempelajari perbedaan antara berbagai ras manusia menggunakan analisa kromosom Y, berpendapat bahwa seluruh umat manusia berasal dari seorang nenek moyang yang hidup di Afrika sekitar 60.000 tahun yang lalu. Palaeontolog yang menggunakan catatan fosil sebagai dasar gambar-gambar mereka berpendapat bahwa ini terjadi sekitar 40.000 tahun yang lebih awal. Jelas sekali ada perbedaan yang besar antara waktu yang didapatkan dari analisa genetika dengan catatan fosil. Alison Brooks, seorang palaeontolog dari Universitas George Washington mengatakan, "The dates don't compare well to the order or the geography of the migration patterns revealed by the fossil record." ("Waktu yang disebutkan tidak sesuai dengan urutan atau geografi pola migrasi yang diungkapkan oleh catatan fosil.")"2 Perbedaan antara analisis kromosom Y dan mtDNA semakin besar. Penelitian berdasarkan analisis mtDNA menyatakan bahwa perjalanan ini terjadi 90.000 tahun hingga 150.000 tahun lebih awal. Dapat dilihat disini bahwa evolusionis bahkan tidak semuanya setuju mengenai teori "out of Africa" yang dibicarakan dalam Discovery Channel. Kenyataannya, banyak antropolog evolusionis dan palaeontolog yang benarbenar menolak teori "out of Africa". Sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh peneliti seperti Alan Thorne dan Milford Wolpoff membela teori multi-regional dan mengemukakan penemuan yang menunjukkan bahwa pendapat "mitochondrial Eve" adalah pekerjaan khayalan. Mungo Man (orang Mungo) berusia 68.000 tahun yang ditemukan di Australia oleh Alan Thorne telah memberikan pukulan telak terhadap teori "out of Africa" dan juga, tentu saja, mementahkan pendapat "mitochondrial Eve".3 Alasan mengapa banyak sekali pendapat-pendapat yang saling bertentangan adalah karena proses perubahan evolusi hanyalah khayalan belaka dan tidak nyata. Karena tidak ada proses evolusi di masa lalu, semua mengajukan hasil pemikirannya masing-masing. Mutasi dan Kebohongan Jam Molekuler

Acara dalam Discovery Channel menghasilkan berbagai spekulasi mengenai kapan orang Amerika pertama tiba di benua ini. Migrasi ini diperkirakan telah terjadi 15.000 tahun yang lalu. Acara ini menggambarkan bahwa dengan mengikuti analisa mtDNA, perkiraan waktunya mundur 5000 tahun, menjadi 20.000 tahun yang lalu. Seorang peneliti yang pendapatnya dilaporkan berkata bahwa perbedaan mutasi telah tampak pada orang-orang yang menyeberangi Selat Bering dengan mereka yang tinggal di Asia. Kemudian ia melanjutkan komentarnya tentang "jam molekuler", yang sering disebut-sebut oleh peneliti evolusionis, dengan pernyataan "jika kami menduga bahwa mutasi terjadi setiap 20.000 tahun …" Namun penerjemahan seperti ini tidak lebih dari istana di awang-awang, tanpa dasar ilmiah. Konsep bahwa jam molekuler yang digunakan dalam mengidentifikasi mutasi genetis benar-benar merupakan konsep kosong, hasil dari pandangan yang keliru. Akan sangat berguna sekali jika kita memperthatikan lebih dalam lagi konsep yang sudah sering digunakan oleh evolusionis dalam penyimpangan-penyimpangan fakta-fakta genetis. Hipotesa (dugaan) tentang jam molekuler menganggap bahwa asam-asam amino dalam protein makhluk hidup, atau nukleotida dalam gen-gen mereka berubah dengan kecepatan tertentu. Pernyataan yang diajukan dalam Discovery Channel bahwa manusia mengalami mutasi sekali dalam setiap 20.000 tahun dibuat berdasarkan hipotesa tersebut. Evolusionis mempelajari mitokondria simpanse dan manusia, yang dianggap berasal dari satu nenek moyang, dan mengidentifikasi nukleotida berbeda dalam daerah-daerah DNA analog. Dengan anggapan bahwa manusia dan simpanse telah terpisah 6 juta tahun yang lalu, mereka membagi angka 6 juta dengan jumlah nukleotida berbeda di dalamnaya, sehingga didapatkan jadwal mutasi khayalan. Tentu saja, pernyataan ini tidak memiliki dasar apapun kecuali persangka evolusionis, dan tidak berarti di hadapan fakta-fakta ilmiah. (untuk lebih jelasnya lihat Darwinism Refuted:How the Theory of Evolution Breaks Down in the Light of Modern [Darwinisme Tersangkal: Bagaimana Teori Evolusi Runtuh oleh Pengetahuan Modern] Harun Yahya, Goodword Books, 2003) "Memutar" jam molekuler ini seluruhnya didasari oleh prasangka evolusionis. Kenyataannya, "jam" yang sedang kita bicarakan ini tidak diatur untuk keperluan itu: Diklaim bahwa dalam salah satu tulisan di jurnal terkemuka Science bahwa menurut sebuah jam molekuler baru "mitochondrial Eve" pasti hidup tidak lebih dari 6.000 tahun yang lalu. Ini semua menunjukkan bahwa pendapat tentang "mitochondrial Eve" yang dinyatakan dalam Saluran The Discovery Channel sebenarnya tidak berarti. Inti teori ini adalah, evolusionis yang terpesona oleh ilusi Darwinisme tentunya akan melihat pada gen dibawah pengaruh ilusi itu, dan melihat apa yang ingin mereka lihat. Kebohongan Neanderthal Dalam bagian mengenai skenario "out of Africa", kita dibaritahu bagaimana manusia modern bertemu dengan Neanderthal saat tiba di Eropa, dan informasi

singkat tentang Neanderthal diberikan. Meskipun Neanderthal diterima sebagai ras manusia, manusia Neanderthal masih digambarkan sebagai spesies primitive. Hiburan yang ditayangkan Discovery Channel menunjukkan manusia Neanderthal sebagai manusia yang berteriak, bukannya berbicara normal, seekor makhluk buas yang melolong seperti serigala. Meskipun demikian kenyataannya adalah, penemuan mengenai anatomi dan budaya Neanderthal menunjukkan bahwa manusia Neanderthal sama sekali tidak primitive, dan membuktikan bahwa mereka termasuk ras manusia yang hidup, berpikir dan berbicara, serta menyukai kebudayaan dan peradaban sebagaimana halnya manusia modern. Dalam hal ini penyimpangan evolusionis dimulai pada abad ke 19, saat penemuan fosil Neanderthal pertama tahun 1856. Penyimpangan rekonstruksi kerangka yang dilakukan oleh ahli anatomi Prancis Marcelline Boule membuat manusia Neanderthal dianggap sebagai manusia kera yang kasar, yang berjalan merunduk dan tidak berbudaya. Faktanya, kata "Neanderthal" bahkan digunakan dalam Bahasa Inggris sebagai persamaan kata "crude, ignorant" (kasar, bodoh). Namun, penemuan baru mengenai Neanderthal menunjukkan bahwa ini benarbenar sebuah kekeliruan, dan pendapat bahwa mereka manusia kera saat ini telah benar-benar ditinggalkan. Discovery Channel dalam hal ini masih digunakan sebagai alat bagi propaganda Darwinis. Usaha mereka untuk menggambarkan manusia Neanderthal sebagai hasil evolusi dengan melukiskannya sebagai "10 kali lebih dekat pada manusia daripada simpanse" benar-benar pembandingan yang tidak berarti dan fiktif.

Kesimpulan Dokumenter "mitochondrial Eve" yang ditampilkan di Discovery Channel mengandung kebohongan besar. Analisa yang digunakan sebagai bukti tidak valid dan tidak menunjukkan apapun kecuali prasangka-prasangka evolusionis. Propaganda Darwinis yang ditayangkan oleh Discovery Channel, yang sama sekali mengabaikan fakta-fakta ilmiah, telah benar-benar runtuh. Homo sapiens sapiens (manusia modern) dan manusia Neanderthal keduanya sama-sama bukan spesies yang berevolusi. Keduanya manusia, yang diciptakan Allah, dengan kemampuan unggul seperti kemampuan bicara dan berpikir. Dari ”Homo Erectus”, ”Homo Soloensis”, hingga ”Homo Floresienses” Indonesia, ”Sarang” Hobbit yang Pintar. JAKARTA- Dijuluki sebagai Hobbit, entah sebuah kebanggaan atau bukan. Yang jelas memang fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia selalu berukuran lebih kecil dibanding fosil di negara barat. Tapi semuanya sama-sama pintar menciptakan peralatan penunjang hidup sehari-hari. Mahluk bangsa Hobbit tidak hanya ada dalam karya fiksi JRR.Tolkien, Lord of The Ring. Suku bangsa yang digambarkan bertubuh cebol menyerupai manusia itu sudah ada sejak 13.000 tahun silam. Dan mereka hidup di pulau

Flores, Indonesia. Manusia mungil ini memiliki tengkorak kepala seukuran dengan buah anggur. Mereka disinyalir hidup sezaman dengan gajah pigmi dan komodo di pulau tersebut. Membantah Teori Lama Temuan yang dihasilkan oleh ilmuwan Indonesia dan Australia ini berupa miniatur tubuh manusia di sebuah gua di Flores. Para ilmuwan mengumumkan bahwa ini merupakan fosil manusia purba paling lengkap dalam dunia arkeologi. Dinamakan Homo floresiensis, fosil manusia cebol ini berasal dari manusia purba perempuan dengan tinggi tubuh hanya satu meter, bobot 25 kilogram dan diperkirakan berusia 30 tahun saat meninggal. Homo floresienses disebut sebagai temuan paling spektakuler dalam ilmu paleoantropologi dalam setengah abad terakhir ini. Yang unik, karena hidup sejak 13.000 silam, berarti manusia cebol tersebut hidup bersamaan dengan manusia normal lainnya. “Mahluk ini hidup sama dengan manusia spesies lainnya. Berjalan dengan dua kaki dan memiliki otak berukuran kecil. Fakta bahwa mereka hidup di masa yang sama dnegan manusia lain sungguh di luar dugaan,” komentar Peter Brown, seorang paleoantropolog dari University of New England di New South Wales, Australia seperti yang dikutip National Geographic baru-baru ini. Brown bersama dengan timnya didanai oleh National Geographic Society’s Committee for Research and Exploration untuk ekspedisi tersebut. Diperkirakan pulau Flores telah didiami manusia cebol itu sejak 95.000 hingga 13.000 tahun silam. Ini disimpulkan dari usia tulang belulang dan peralatan yang mereka pakai di pulau tersebut. Dengan temuan ini maka berubahlah pandangan para ilmuwan mengenai bagaimana manusia purba di masa lalu berevolusi dalam hal budaya, biologi dan geografi. Temuan ini membuktikan bagwa genus Homo jauh lebih bervariasi dan lebih fleksibel dalam hal beradaptasi. Yang termasuk genus Homo meliputi pula manusia modern, Homo erectus, Homo habilis, and Neandertals. Kesamaan di antara mereka adalah sama-sama memiliki ruang simpan luas di otak, postur tubuh tegap, dan mampu menciptakan alat-alat. Karena memiliki tubuh yang lebih kecil, ukuran otak lebih mungil dan anatomi tubuh yang lebih primitif, maka Homo Floresienses membantah semua teori yang menyatakan bahwa ciri khas genus Homo adalah ukuran tubuh yang besar. Para ilmuwan memprediksi bahwa mereka ini masih berhubungan dengan populasi Homo erectus yang tiba di Flores sekitar 840.000 tahun lalu. Homo Erectus Temuan fosil Hobbit tersebut bukan yang pertama di Indonesia. Sebelumnya sudah ditemukan spesies Homo erectus dikenal pula dengan nama Pithecanthropus Erectus. Spesies ini ditemukan sekitar dua juta tahun yang lalu, ketika curah hujan di dataran Sunda dan dataran Sahul sangat besar, dan ketika seluruh daerah ini tertutup oleh vegetasi tropikal yang sangat padat. Selama jangka waktu tujuh puluh tahun lamanya, di berbagai tempat di sepanjang lembah sungai brantas di Jawa Timur, telah diketemukan sebanyak 41 buah fosil

manusia purba itu. Situs-situs yang tertua berlokasi di dekat desa Trinil, Ngandong dan Sangiran dan dekat kota Mojokerto. Mereka adalah manusia purba yang diperkirakan hidup dalam kelompokkelompok kecil bahkan mungkin dalam keluarga-keluarga yang terdiri dari enam hingga 12 individu, yang memburu binatang di sepanjang lembah-lembah sungai di dataran Sunda, cara hidup seperti itu agaknya tetap berlangsung selama satu juta tahun. Kemudian ditemukan sia-sia artefak yang terdiri dari alat-alat kapak baru di sebuah situs dekat desa Pacitan, dalam lapisan bumi yang berdasarkan data geologi diperkirakan berumur 800.000 tahun. Dari manusia purba yang baru ini, didapat dua buah tulang kaki dan 11 tengkorak dengan ukuran yang lebih besar dari pada Pithecanthropus yang lebih tua umurnya. Tengkoraknya menunjukkan tonjolan yang tebal ditempat alis, dengan dahi yang miring kebelakang. Suatu analisa cermat atas tengkorak tersebur yang dilakukan oleh ahli paleoantropologi di Indonesia, yakni Teuku Yakup pada tahun 1967, membenarkan bahwa manusia Ngandong itu merupakan keturunan langsung dari Pithecanthropus Erectus. Manusia Ngandong ini biasanya disebut Homo Soloensis yang terus menjadi mahluk manusia Homo Sapiens dengan ciri-ciri ras yang merupakan ciri-ciri ras nenek moyang ras Austro Melanosoid. Sisa-sisa jenis ini ditemukan disuatu tempat di Wajak Jawa Timur (E. Debois 1920) yang ada persamaannya dengan orang Australia pribumi purba. Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah dan sebuah rahang atas dari manusia purba itu sangat mirip dengan manusia purba ras Australoid purba yang ditemukan di Talgai dan Keilor yang rupanya mendiami daerah Irian dan Australia. Archeoastronomy: The "Missing Link" in Darwin's Theory of Evolution Nama Charles Darwin tentu tidak asing lagi bagi kita. Dalam Origin of Sepcies-nya (1859) yagn sangat populer dan merombak pemikiran dunia tersebut, semua bentuk kehidupan di bumi dijejak ulang, baik primata, mamalia, vertebrata, mundur hingga bentuk kehidupan paling sederhana yg dipresumsikan sudah ada sejak milyaran tahun lalu.. Namum seiring dengan bertambahnya penemuan fosil2 di sana sini, bertambahlah kebingungan para ilmuwan. Mereka menarik kesimpulan, bahwa bentuk awal spesies manusia berawal di ASIA sejak 500.000 tahun lalu. Namun dgn ditemukannya fosil2 yg lebih tua usianya, asumsi berubah, dan cikal bakal jenis primata nenek moyang manusia ada pada titik 25jt tahun yang lalu. Penemuan di Afrika Timur membawa tambahan informasi bahwa transisi dari bentuk tersebut ke bentuk kera yang menyerupai manusia (hominids) terjadi pada 14jt tahun lalu, dan baru setelah melewati proses sangat lamban, 11jt tahun kemudian, muncul bentuk yang layak diklasifikasikan sebagai Homo. Jenis pertama dalam klasifikasi ini adalah Advanced Australophitecus dari Afrika sekitar 2jt tahun lalu. Setelah sekitar 1jt tahun, muncul Homo Erectus, dan ditambah lagi 900.000thn (50.000SM) barulah muncul jenis manusia primitf pertama, yaitu Neanderthal. Yang perlu dicatat, perkakas primitif seperti batu tajam yang dipergunakan Advanced Australophitecus dan Neanderthal berbentuk

hampir mirip, padahal rentang masa antara kedua jenis tersebut adalah 2jt tahun. Artinya selama rentang masa 2jt tahun itu perkembangan peradaban dan intelektualitas berjalan dalam percepatan yang sangat lambat sekali. Lalu secara mendadak, tiba2, 35000thn yang lalu muncul satu spesies baru Homo Sapiens (artinya "manusia berpikir") di wilayah Mediterania, setelah punahnya spesies Neanderthal, dengan ebab yagn diperkirakan para ahli karena kondisi iklim bumi yang memburuk pada mas aitu. Spesies baru ini, Homo Sapiens yg memiliki peradaban dan intelektualitas yang jauh lebih maju dibandingkan para spesies pendahulunya. Mereka hidup di gua2 ("cavemen"), mereka sudah mengenal pakaian, perkakasnya dibuat lebih halus dan fungsional dengan bahan kayu atau tulang. Lukisan2 ditemukan di dinding gua2 purba menunjukkan adanya rasa seni, emosi, bahkan religi. Mereka mengubur orang yang telah mati, menunjukkan adanya konsep hidup, mati, bahkan kehidupan setelah kematian. Mereka juga sudah mengenal bicara sebagai alat komunikasi. Di sinilah letaknya "missing link" dari teori Darwin. Mengapa bisa terjadi lonjakan jenis spesies, peradaban, kebudayaan, dan teknologi seperti itu? Menurut Prof. Theodosius Dobhansky, pengarang buku Mankind Evolving, yang paling mengherankan sebenarnya bukan keterbelakangan manusia purba, tapi kemajuan kita, manusia modern, yg sangat pesat. Menurutnya, dengan percepatan evolusi yang normal, manusia seharusnya saat ini pun masih dalam tahap primitif. Untuk megnembangkan perkakas batu saja perlu waktu 2jt tahun. Pengenalan penggunaan material lain, seperti logam misalnya, paling tidak perlu 2jt tahun lagi, dan mungkin perlu proses evolusi 10jt tahun lagi bagi manusia untuk mencapai tahap dasar ilmu pengetahuan seperti matematika dan astronomi. Tapi justru kita, yang berselisih sekitar 50000tahun saja dengan manusia Neanderthal, sudah bisa mendaratkan manusia di bulan dan menciptakan komputer. Adalah Ralph Solecki, seorang arkeolog yg pada tahun 1957 menemukan penemuan yang mengejutkan di gua Shanidar di kawasan Timur Tengah. Pada waktu melakukan penggalian di gua tersebut, terkuak bukti2, setelah dari lapisan demi lapisan tahan digali, bahwa peradaban manusia tidak menunjukkan kemajuan seiring berjalan waktu, bahkan malah menunjukkan kemunduran. Dan dalam hitungan tahun antara 27000SM - 11000SM, ditemukan bukti2 kuat bahwa baik peradaban dan populasi manusia menyusut dan hampir punah dari seluruh area itu selama masa 16000tahun, yg sangat mungkin disebabkan bencana yang bersifat katastropik. Lalu, di titik 11000SM itulah tiba2 muncul jenis manusia Homo Sapiens tersebut, yagn langsung sekaligus membawa peradaban, budaya, dan teknologi yang sangat jauh lebih maju dibandingkan jenis pendahulunya yang hampir punah selama masa 16000tahun itu. Jadi jelas, mulai dari jenis Hominids hingga Neanderthal, proses evolusi lah yang memegang peranan. Namun jenis Homo Sapiens muncul dari suatu proses yang tiba2, revolusioner, dan terlalu dini bila dipandang dari kecepatan proses evolusi yang normal. Ilmuwan lain yang mendukung hipotesis ini adalah Jeffrey Schwartz, melalui bukunya Sudden Origins. Ia menyimpulkan bahwa Homo Sapiens muncul secara tiba2 dan sampai kapan pun fosil missing link untuk membuktikan kebenaran teori Darwin tak akan dapat ditemukan. Namun ia juta

tidak dapat memberikan teori substitusi yg dapat menjawab pertanyaan mengapa Homo Sapiens tiba2 muncul tanpa melalui proses evolusi ala Darwin. Pertanyaan selanjutnya yg pasti akan segera muncul di dalam benak kita adalah: Dari pemaparan di atas, apakah leluhur kita Homo Sapiens bisa mencapai peradaban dan teknologi tersebut dengan usaha kita sendiri? Ataukah ada faktor eksternal lain, misalnya pengadopsian (atau pengwarisan) teknologi dari peradaban lain yang jauh lebih maju?.

Memburu Spesies Manusia Purba di Liang Bua BEGITU hasil temuan fosil manusia kerdil--seperti tokoh hobbit dalam buku legendaris JRR Tolkien, The Lord of The Rings-- di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur, diumumkan hari Kamis (28/10) dalam konferensi pers di Sydney, Australia, dunia keilmuan sontak heboh. Awam pun ikut bergunjing. Apalagi ketika jaringan televisi dan kantor berita dunia menempatkannya sebagai salah satu berita "besar", kemudian dirilis oleh media massa di berbagai belahan bumi, temuan spesies manusia purba yang kemudian dinamai homo floresiensis itu pun menjadi pembicaraan. Pengetahuan tentang adanya kehidupan dari masa ribuan tahun lampau di Liang Bua bukanlah hal baru. Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) sejak tahun 1976 sudah melakukan penelitian secara intensif di Liang Bua. Menjelang akhir tahun 1970-an, tim yang diketuai Prof. Dr. Raden Panji Soejono itu bahkan telah mendapatkan temuan "spektakuler" berupa tengkorak manusia dan kerangka tubuh manusia dewasa. Bersamaan dengan itu ditemukan pula kuburan manusia purba, lengkap dengan bekal kuburnya yang masih relatif utuh. Juga ditemukan lapisan budaya berupa berbagai artefak yang diyakini sebagai sisa pendukung keberadaan mereka. Hanya saja, ketika itu para arkeolog Indonesia belum memiliki alat dan kemampuan yang memadai untuk membuat suatu kesimpulan yang agak menyeluruh. Hanya dikatakan bahwa ras manusia yang tinggal di sana paling tidak berasal dari sekitar 10.000 tahun lalu. Karena ketiadaan biaya, penelitian pun sempat terhenti. Tahun-tahun berikutnya, hingga tahun 1989, penelitian cenderung bersifat sporadis. "Untuk melakukan penelitian di Liang Bua butuh biaya cukup besar. Dengan anggota tim sebanyak 18 orang, ketika itu kami harus naik Dakota ke Flores, setelah singgah di Denpasar dan Kupang. Belum lagi biaya untuk kebutuhan lain," ujar Soejono. Di tengah ketiadaan dana, tahun 2001, datang tawaran kerja sama dari Australia. Mike Morwood dari University of New England memimpin tim dari Australia, sedangkan RP Soejono bertindak sebagai ketua tim dari Puslit Arkenas. Setelah melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua!"Sebetulnya penelitian ini belum sepenuhnya usai. Kok, tiba-tiba saja hasilnya sudah diumumkan oleh pihak Australia. Apalagi ketika itu diumumkan tanpa didampingi oleh satu pun peneliti dari Indonesia. Saya tak tahu di mana etika penelitian dan

etika kerja sama yang selama ini diagung-agungkan di dunia keilmuan," ujar Soejono. Namun, apa mau dikata. "Ini tak lepas karena kita tidak memiliki dana penelitian serta alat dan pakar yang memadai," ujarnya menambahkan. Ia mengakui, kondisi serba kekurangan itu menjadi dilema bagi dunia penelitian arkeologi di Indonesia. Akibatnya, begitu ada tawaran kerja sama dengan luar negeri langsung diterima. Padahal, tidak sepenuhnya kerja sama itu menguntungkan, termasuk dalam konteks penelitian di Liang Bua. Ada kalanya hasil penelitian dibawa ke luar negeri sehingga sebagian besar hasil penelitian berada di pihak Australia dan Indonesia tidak mendapatkan apa-apa. "PENCARIAN terhadap sisa-sisa manusia kerdil dari Liang Bua sesungguhnya dimulai oleh Pastor Verhoeven pada tahun 1958," kata Rokus Due Awe, tenaga teknisi dokumentasi di Puslit Arkenas. Dia ikut serta dalam penggalian yang dilakukan pastor tersebut sejak awal.

ADITYA P. X-D/2

Related Documents