Sejarah Kerajaan Sriwijaya Lengkap. Kerajaan Sriwijaya atau biasa disebut Srivijaya adalah salah satu kerajaan maritim yang kuat di wilayah pulau Sumatera dan memberi pengaruh banyak di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Thailand, Kamboja, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Didalam bahasa Sansekerta, sri artinya “bercahaya” dan wijaya artinya “kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan Sriwijaya ini berawal dari abad ke-7, I Tsing, seorang pendeta Tiongkok, menuliskan bahwa ia tinggal selama 6 bulan saat mengunjungi Sriwijaya tahun 671. Prasasti sejarah yang paling tua mengenai Kerajaan Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, di Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit, pada tahun 682.
Dikarenakan terjadi beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh di tahun 990 dari Jawa menjadikan pengaruh Kerajaan Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai berkurang, dan serangan Rajendra Chola I dari Koromandel di tahun 1025, selanjutnya di tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kekuasaan kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya runtuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensinya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan George Cœdès dari Perancis.
Tidak ditemukan catatan lebih lanjut mengenai Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang sudah terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia terkini yang mendengar mengenai sejarah Kerajaan Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès menyebarkan enemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok dalam “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno bersumber pada kekaisaran yang sama.
Kerajaan Sriwijaya menjadi icon kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara di Jawa Timur selain Majapahit. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi rujukan oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwasanya Indonesia adalah satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.
Tertulis berbagai macam nama Sriwijaya. Orang Tionghoa menyebutnya San-fo-ts’i Shih-li-fo-shih atau atau San Fo Qi. Dalam bahasa Pali dan Sansekerta, kerajaan Sriwijaya disebut Javadeh dan Yavadesh. Khmer menyebutnya Malayu dan bangsa Arab menyebutnya Zabaj.
Banyaknya nama menjadi alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan mengenai adanya 3 pulau Sabadeibei yang dimungkinkan berkaitan dengan Sriwijaya. Pierre-Yves Manguin melakukan observasi Sekitar tahun 1993 dan berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Sabokingking dan Seguntang (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya terletak pada wilayah sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di wilayah tersebut.
Jika Malayu pada wilayah tersebut, ia cendrung pada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah mengeluarkan pendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada wilayah Candi Muara Takus provinsi Riau sekarang),
dengan perkiraan petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini juga dapat dikaitkan denganadanya berita tentang pembangunan sebuah candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou (Candi Bungsu, sebagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukotakan di Kadaram (Kedah sekarang).
Pembentukan dan pertumbuhan Kerajaan Sriwijaya Belum banyak bukti fisik mengenai Kerajaan Sriwijaya yang bisa ditemukan. Kerajaan ini merupakan negara maritim dan menjadi pusat perdagangan, namun kerajaan ini tidak meluaskan kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk sebuah populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di wilayah barat.
Beberapa ahli masih berselisih kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu bisa jadi kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota masih tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya dipimpin oleh datu setempat.
Sesuai dengan catatan I Tsing, Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak tahun 671, pada tahun 682 dari prasasti Kedukan Bukit di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Kedah dan Malayu menjadi bagian kekuasaan Sriwijaya.
Berdasarkan prasasti Kota Kapur pada tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, bagian selatan Sumatera ini telah dikuasai kemaharajaan Sriwijaya, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyatakan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan petualangan militer untuk menghukum Bumi Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah dan Tarumanagara di Jawa Barat yang kemungkinan besar akibat diserang Sriwijaya.
Sriwijaya tumbuh dan sukses mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Sunda, Selat Malaka, Laut Jawa, Laut China Selatan, dan Selat Karimata. Ekspansi kerajaan ini ke Semenanjung Malaya dan Jawa, menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja dan Thailand. Pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina di abad ke-7, mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melakukan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di wilayah tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Kerajaan Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai pendiri imperium Khmer, raja Khmer Jayawarman II, di abad yang sama memutuskan hubungan dengan Sriwijaya.
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Holing dan Tarumanegara berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, wangsa Sailendra pada masa ini pula bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula, di semenanjung Melayu Langkasuka menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Trambralinga dan Pan Pan, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Kerajaan Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, yang menjadi penerus kerajaan adalah Samaratungga. Ia berkuasa pada tahun 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih perkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, Samaratungga membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pembangunannya pada tahun 825.
Agama dan Budaya Sebagai pusat pengajaran Agama Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari berbagai negara di Asia. Antara lain I Tsing seorang pendeta dari Tiongkok, yang melakukan ekspansi ke Sumatera dalam perjalanan belajarnya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, dan di abad ke11, Atisha, seorang sarjana Buddha dari Benggala yang berperan dalam perkembangan Buddha Vajrayana di Tibet.
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya sebagai rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi sebuah pusat pembelajaran agama Buddha. Pelancong yang datang ke pulau ini menyatakan bahwa koin emas telah dipergunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha Mahayana dan Buddha Hinayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
budaya India banyak mempengaruhi Kerajaan Sriwijaya, diawali oleh budaya Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya berhasil menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan kebudayaan Melayu beserta bahasanya di Nusantara.
Sangat memungkinkan bahwa Sriwijaya yang terkenal sebagai pusat bandar perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat dari para pedagang dan ulama muslim dari wilayah Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang awalnya merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh berkembang menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya kekuasaan Sriwijaya.
Ada sumber yang menyatakan, karena adanya pengaruh orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka pada tahun 718 Sri Indrawarman raja Sriwijaya memeluk Islam. Sehingga sangat memungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya ialah masyarakat sosial yang di dalamnya ada masyarakat Muslim dan Budha sekaligus.
Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya mengirimkan surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu teks berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke istana Sriwijaya, surat itu ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M).
Perdagangan Di dalam dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi penguasa dalam mengendalikan jalur perdagangan antara Tiongkok dan India, yakni dengan penguasaan atas selat Sunda dan selat Malaka. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya mempunyai aneka komoditi seperti kayu gaharu, kapur barus, kepulaga cengkeh, pala,, gading, timah, dan emas, yang membuat raja Sriwijaya kaya seperti raja-raja di India.
Kekayaan yang amat banyak ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara jatuhnya dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup heboh, terutama Fujian, negeri kaya Guangdong, kerajaan Min, dan kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya merauk keuntungan dari perdagangan ini.
Kehidupan Politik Kerajaan Sriwijaya Untuk memperkuat posisi kekuasaannyanya atas penguasaan kawasan di Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan sering mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa pertama kerajaan Khmer adalah daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengaku bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan Khmer, pengaruh Sriwijaya terlihat pada bangunan pagoda Borom That yang arsitektur Sriwijaya. Setelah Sriwijaya jatuh, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yaitu (Mueang) Chaiya, Khirirat Nikhom, dan Thatong (Kanchanadit).
Sriwijaya juga ada hubungan dekat dengan kerajaan Pala dari Benggala, pada prasasti Nalanda mencatat bahwasanya raja Balaputradewa memberikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Hubungan dengan dinasti Chola di selat India juga cukup baik, dari prasasti Leiden mencatat bahwa raja Sriwijaya telah membangun vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11 hubungan antara Sriwijaya dan raja Balaputradewa menjadi buruk.
Kemudian pada masa Kulothunga Chola I hubungan ini kembali membaik, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirim utusan yang meminta diikrarkannya pengumuman pembebasan cukai di kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.
Namun pada masa ini Sriwijaya dicap telah menjadi bagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok disebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts’i pada tahun 1079 ikut serta membantu perbaikan candi di dekat Kanton, pada masa dinasti Song candi ini dijuluki dengan nama Tien Ching Kuan sedangkan pada masa dinasti Yuan dijuluki dengan nama Yuan Miau Kwan.
Struktur pemerintahan Pembentukan negara satu kesatuan dalam ukuran struktur kekuasaan politik Sriwijaya, dapat dilcari dari beberapa prasasti yang di dalamnya mengandung info penting tentang mandala, kadātuan, samaryyāda, vanua, dan bhūmi.
Kadātuan dapat diartikan kawasan dātu, (tanah rumah) tempat tinggal, tempat mas disimpan dan hasil cukai (drawy) sebagai wilayah yang harus dijaga. Kadātuan ini dikelilingi vanua, yang bisa dianggap sebagai wilayah kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terkandung vihara untuk tempat beribadah untuk masyarakatnya.
Vanua dan Kadātuan ini merupakan suatu wilayah inti bagi Kerajaan Sriwijaya. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan wilayah yang bersebrangan dengan vanua, yang terhubung ke jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat dimaksudkan kawasan pedalaman. Sedangkan mandala adalah suatu kawasan yang berdiri sendiri dari bhūmi yang berada dalam kontrol kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Maharaja atau Dapunta Hyang, dan dalam silsilah raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menuturkan berbagai jabatan dalam susunan pemerintahan kerajaan di masa Sriwijaya.
Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya Kerajaan maritim menjadi ciri Kemaharajaan Sriwijaya, mengandalkan kekuasaannya pada kekuatan armada lautnya dalam langkah menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam melindungi kapal-kapal dagang, mengawasi, mengambil cukai serta menjaga wilayah kekuasaan dan kedaulatannya.
Sejarah dan bukti arkeologi mencatat, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan rebut kekuasaan di hampir seluruh kerajaan-kerajaan wilayah Asia Tenggara, antara lain: Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Sunda dan Selat Malaka, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali jalan perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mentarif biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya sebagai gudang perdagangan dan pelabuhan yang melayani pasar India dan Tiongkok,.
Sriwijaya juga disebut ikut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di tanah Jawa, dalam prasasti Pucangan dijelaskan sebuah peristiwa Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di tanah Jawa Timur, di mana Haji Wurawari asal Lwaram yang dimungkinkan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang yang menyebabkan terbunuhnya Dharmawangsa Teguh raja Medang terakhir.
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Walaupun Sriwijaya cuma tersisa sedikit peninggalan arkeologi dan juga terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali mengenai kemaharajaan bahari ini oleh Coedès di tahun 1920-an telah memhidupkan kesadaran bahwa dalam bentuk persatuan politik raya berbentuk kemaharajaan yang terdiri atas perpecahan kerajaan-kerajaan bahari, dulu pernah tumbuh, bangkit, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga memuliakan Sriwijaya sebagai sumber yang dibanggakan dan bukti kejayaan pada masa lampau Indonesia. kejayaan Sriwijaya telah menjadi suatu kebanggaan identitas daerah dan nasional, khususnya bagi para penduduk kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan.
Keluhuran Sriwijaya bagi penduduk Palembang, telah menjadi sebuah inspirasi seni budaya, semisal lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga dialami oleh masyarakat selatan Thailand yang kembali menciptakan tarian Sevichai (Sriwijaya) yang berdasarkan pada kemuliaan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah diabadikan dan digunakan sebagai nama jalan di banyak kota, dan nama ini sudah melekat dengan ciri kota Sumatera Selatan dan Palembang. Universitas Sriwijaya yang berdiri pada tahun 1960 di Palembang diberikan nama berdasarkan kedatuan Sriwijaya.
Demikian juga Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Sriwijaya TV, Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian karena untuk memuliakan, menghormati, dan merayakan kejayaan kemaharajaan Sriwijaya.
Raja-raja yang diketahui pernah menjabat sebagai Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
Raja Daputra Hyang: Cerita mengenai raja Daputra Hyang ditemukan melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa kekuasaannya, Raja Dapunta Hyang telah sukses memperluas daerah kekuasaannya sampai ke tanah Jambi. Sedari awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang bercita-cita supaya Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim.
Raja Dharmasetu: Pada masa kekuasaan Raja Dharmasetu, Kerajaan Sriwijaya meluas sampai ke wilayah Semenanjung Malaya. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya disana membangun sebuah pangkalan di wilayah Ligor. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga sanggup menjalin hubungan dengan Negri India dan China. Setiap kapal yang melayar dari China dan India selalu mampir di Bandar-bandar Sriwijaya.
Raja Balaputradewa: Berita mengenai raja Balaputradewa awal diketahui dari catatan Prasasi Nalanda. Raja Balaputradewa menjabat sekitar abad ke-9, pada masa kekuasaannya, kerajaan Sriwijaya berkembang cepat menjadi kerajaan besar dan menjadi sebuah pusat agama Buddha di Asia Tenggara.Ia menjalin sebuah hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India seperti Cola dan Nalanda. Balaputradewa merupakan keturunan dari dinas Syailendra, yaitu putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari kerajaan Sriwijaya.
Raja Sri Sudamaniwarmadewa: Pada masa kekuasaan Raja Sri Sudamaniwarmadewa, Kerajaan Sriwijaya pernah mengalami serangan dari Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Tapi, serangan tersebut berhasil digagalkan oleh para tentara Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman: Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Sriwijaya mengalami sebuah serangan dari Kerajaan Chola. Yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola membuat serangan dan sukses merebut Kerajaan Sriwijaya. Sanggrana Wijayattunggawarman akhirnya ditahan. Tapi pada masa kekuasaan Raja Kulottungga I Kerajaan Chola, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman kemudian dibebaskan.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa Sri Indravarman Rudra Vikraman Maharaja WisnuDharmmatunggadewa Dharanindra Sanggramadhananjaya Samaratungga Samaragrawira Balaputradewa Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi Hie-tche (Haji) Sumatrabhumi Sangramavijayottungga Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo Rajendra II Rajendra III Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Raja-raja yang diketahui pernah menjabat sebagai Kerajaan Sriwijaya adalah sebagai berikut:
Raja Daputra Hyang 1. Ditemukan melalui prasasti Kedukan Bukit (683 M) & Prasasti Talang Tuwo (684 M) 2. Sukses memperluas daerah kekuasaannya sampai ke tanah Jambi.
Raja Dharmasetu 1. Kerajaan Sriwijaya meluas sampai ke wilayah Semenanjung Malaya. Hingga membangun sebuah pangkalan di wilayah Ligor 2. Kerajaan Sriwijaya juga sanggup menjalin hubungan dengan Negri India dan China.
Raja Balaputradewa 1. Diketahui dari catatan Prasasi Nalanda (860 M) 2. Sriwijaya berkembang cepat menjadi kerajaan besar dan menjadi sebuah pusat agama Buddha di Asia Tenggara. 3. Menjalin sebuah hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di India. 4. Keturunan dari dinasti Syailendra (putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari kerajaan Sriwijaya).
Raja Sri Sudamaniwarmadewa 1. Saat masa kekuasaan Raja Sri Sudamaniwarmadewa Kerajaan Sriwijaya pernah mengalami serangan dari Raja Darmawangsa (Jatim). 2. Tapi serangan tersebut berhasil digagalkan oleh para tentara Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman 1. Kerajaan Sriwijaya mengalami sebuah serangan dari Kerajaan Chola (dipimpin oleh Raja Rajendra Chola)
Raja Raja Kerajaan Sriwijaya: 1. Dapunta Hyan Srijayanasa (Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 M dan Prasasti Talang Tuwo tahun 684 M) 2. Sri Indrawarman (Berita Cina tahun 724 M) 3. Rudrawikrama (Berita Cina tahun 728 M) 4. Wishnu (Prasasti Ligor tahun 775 M) 5. Maharaja (Berita Arab tahun 851 M) 6. Balaputera Dewa (Prasasti Nalanda tahun 860 M) 7. Sri Udayadityawarman (Berita Cina tahun 960 M)