Sebuah Kursi Di Teras
Matanya terpejam pelan saat semilir udara senja berhembus menerpa wajah keriputnya. Gerakan-gerakan kecil dari kelopak mata yang sudah sayu oleh usia itu menandakan kalau ia tidak sedang tertidur, tetapi lebih pada suatu pemusatan jiwa batin. Wajah tuanya tidak kalah resah di banding matahari yang memerah yang sedang memasuki wilayah cakrawala barat. Rambut yang sedikit keluar dari kopiahputihnya bergerak-gerak oleh hembusan angin sore yang menyapa teras rumah,tempat ia sekarang duduk mengheningkan cipta. Pikiran-pikirannya terserak pada pecahan-pecahan peristiwa masa lalu. Aroma angin yang sama yang ia rasakan berpuluh tahun lalu seperti kereta kencana yang menerbangkan mulus dirinya ke dalam waktu yang sudah lewat. Pak tua dengan kopiah putih, dengan kaos ‘swan’ tipis yang sama putihnya dengan kopiah yang ia kenakan dan sarung kotak-kotak hijau yang sudah kelihatan sekali lusuhnya, duduk di teras rumah di atas kursi santai yang bergoyang-goyang. Sesekali bibir tuanya menggariskan senyuman namun seketika berubah menggariskan suatu kecemasan. Teh manis di dalam mug plastik yang di letakkan di atas meja kecil di sampingnya sudah mulai kehilangan uap panasnya. Seketika itu terdengar teriakan seorang wanita dari dalam rumah,”Beno..Ario..Ya ampuun, harus berapa kali ibu teriak. Mandi..sudah sore..matikan dulu tv-nya. Ayo cepat..tidak ada nanti…sekarang. Cepat matikan…buru-buru ke kamar mandi..sebentar lagi maghrib, jangan sampai kalian kena marah embah…” Teriakan itu memang tidak terdengar begitu keras dari teras, namun masih cukup untuk bisa didengar si kakek, orang tua yang sudah 30 menit lebih duduk di atas kursi santai di teras rumah. Sampai kemudian adzan maghrib terdengar sayup-sayup dari kejauhan, kakek itu baru membuka matanya dan beranjak masuk ke dalam rumah, menyisakan goyangan pada kursi santainya dan secangkir teh manis yang tinggal setengah. Selepas sholat maghrib, kakek melanjutkan dengan membaca Alqur’an, menatap seksama huruf-huruf Arab satu persatu. Tidak ada suara yang muncul, hanya kadang-kadang saja desisan-desisan dari bibirnya yang komat kamit. Ia sendirian di dalam kamarnya, sementara di luar terdengar suara seorang perempuan, ”Ba..tsa.” Diikuti suara-suara kecil dari anak-anak “Ba..tsa” “Ba..ta” “Ba..ta” “Ba..ja”
“Ba..ja” Suara itu masih terus terdengar ketika si kakek sudah menutup kitab sucinya. Kemudian ia lepas baju koko hitamnya dan berganti dengan baju yang di kenakan sebelumnya sore tadi. “Hore….” Kembali terdengar suara, kali ini dari anak-anakdi luar kamar. Di susul suara langkah-langkah kaki kecil yang berlari. Tidak lama kemudian, suara telah berganti menjadi suara televisi yang menyiarkan film kartun. Si kakek melangkah keluar kamar, di lihatnya dua cucu laki-lakinya sedang tekun duduk di lantai menghadap pada layar tv dengan mulut yang melongo. Ia tatap sejenak dua punggung kecil yang manis-manis itu, hanya sejenak, kemudian ia langkahkan kakinya menuju ke dapur. Di situ sudah ada seorang wanita berusia 30 tahun, ibu dari dua anak itu. “Makan pap..ini sudah ku persiapkan.” Kakek mengambil salah satu kursi yang ada di depan meja makan itu dengan diam. Mengambil salah satu piring yang tertumpuk di antara empat piring lainnya di atas meja, dan wanita itu mengambilkan nasi serta menaruh di atas piring orang tuanya. Hanya mereka berdua di dapur itu, menikmati masing-masing hidangan, juga dengan diam. Sementara suara televisi masih terdengar yang kadang di selingi suara antusias anak-anak yang mencoba meniru jagoannya di tv. Di kejauhan, terdengar sayup-sayup deru lalu lintas kendaraan di jalan raya. Malam semakin larut, suasana rumah sudah hening sepenuhnya. Tidak ada lagi suara-suara televisi atau suara anak-anak kecil atau suara teriakan seorang ibu. Sepenuhnya berganti dengan dengkuran nafas teratur, begitu jelas terdengar menyelusup diantara kesunyian malam, beradu dengan detak jam dinding dan sesekali terselingi deru kendaraan yang melaju di kejauhan yang semakin jelas terdengar di kala malam. Di dalam kamar, si kakek itupun sudah terlelap. Masih dengan kaos putih dan sarung kotak-kotak hijaunya yang lusuh. Kopiah yang tak terpakai memperlihatkan betapa rambutnya sudah sepenuhnya putih. Bulan purnama di luar sedang di puncak tertingginya. Bintang-bintang serasa sepenuhnya hadir di langit, memancarkan cahaya warna khasnya masing-masing dan berkelompok-kelompok membentuk gugusannya masing-masing pula. Fajarpun menyingsingkan sedikit jubah malam di ufuk timur. Pukul 3 dini hari, adalah masa yang paling bersih dan tenang, di udara maupun di pikiran. Dan orang tua itu merasakan juga, namun hanya sebentar kemudian pikiran-pikiran masa lalunya kembali muncul, mendobrak begitu saja ketenangannya. Seketika itu pikiran dan hatinya berubah kembali menjadi gundah. Di saat-saat seperti itu datang, ia semakin memejamkan matanya kuat-kuat dan menajamkan fokus konsentrasinya untuk mendapatkan lagi ketenangan yang hilang itu. Namun
ketenangan itu tidak juga kembali muncul. Dan ia membuka matanya, pasrah hingga tidak terasa mata tuanya kini sudah berkaca-kaca oleh air mata. Begitu juga ketika ia berdiri dalam tahajudnya, atau ketika rukuknya atau ketika sujudnya, bayang-bayang masa lalu datang silih berganti. Bayangan-bayangan itu seperti muka-muka setan yang mentertawakan dirinya yang sudah renta kini. Semakin ia mencoba konsentrasi, semakin kuat pula bayangan itu muncul. Kenangan-kenangan itu semakin di perparah dengan kondisi sekarang yang terjadi di dalam rumah itu. Semakin sesak dada tuanya, semakin besar penyesalan yang di rasakan. Kesadaran itu datang seperti sudah terlambat, ketika nyawa seolah sudah berada di tenggorokan, barulah kesadaran itu muncul dan mengubah wujudnya menjadi sebentuk penyesalan, yang seperti lendir kental yang selalu teronggok di dada dan tidak pernah mau keluar. Ia baru mengalami, beginilah rasanya harus tersadar oleh kehidupan baru namun mesti memanggul sesal di jiwa. 10 tahun lalu ia belum merasakan ini, bahkan 20 tahun lalu kehidupannya sungguh luar biasa hebat. Di puja sana-sini, di hormati, begitu berwibawa. Ia tinggal di rumah mewah dengan kehidupan yang serba berlebih. Namun semua itu ternyata semu. Ketika kenangan-kenangan itu muncul, kehidupan yang saat itu ia rasakan begitu bahagia ternyata sungguh kehidupan yang sangat memalukan. Hingga tiba-tiba ia teringat oleh suatu pepatah yang pernah dikatakan seorang teman yang ia lupa siapa orangnya, mengatakan bahwa manusia cenderung akan mentertawakan kehidupannya saat ini, suatu hari kelak. Dan itulah yang ia rasakan kini, mentertawakan masa lalunya, tepatnya bukan mentertawakan tetapi menyesalinya dengan rintihan penyesalan yang teramat dalam. Rumah mewahnya yang dulu telah tiada, telah terjual oleh putra sulungnya yang begitu ia elu-elukan sebagai calon penerus dinasti kekayaanya, menyekolahkannya hingga ke Eropa. Namun rupanya yang terjadi justru sebaliknya, anak itu terjatuh di pelukan pelacur jalanan yang menghisap harta kekayaan miliknya, dan setelah ia jatuh miskin perempuan itu menghilang. Sedang si sulung, dengan kemarahan dan sesal di dada, pergi entah kemana rimbanya. Begitu juga anak-anaknya yang lain, seolah mereka dilahirkan hanya untuk menghamburkan seluruh harta kekayaan tanpa memikirkan sedikitpun tentang masa depan. Dan sekarang ini, dari ke-5 anaknya kecuali si sulung yang sudah pergi entah kemana, semuanya berada dalam kehidupan yang sulit. Dan lebih memperihatinkan lagi, mereka tanpa segan-segan mengatakan keberatan menampung dirinya yang telah renta itu. Namun untunglah, anak bungsu perempuannya masih memiliki sifat manusiawi di dalam hatinya sehingga di biarkan bapaknya yang sudah tua tinggal di rumah, walaupun keadaan ekonominya juga relatif tidak berbeda sulitnya dengan saudarasaudara kandungnya yang lain. Begitulah, sudah setengah tahun lewat orang tua itu tinggal di rumah putri bungsunya yang sudah memiliki dua putra kembar berusia 10 tahun. Sedangkan
suaminya bekerja di bidang pertanian yang lebih sering keluar kota selama berharihari. Sebelum tinggal di rumah putri bungsunya, ia sudah berkali-kali pindah dari rumah anaknya yang satu ke rumah anaknya yang lain. Hampir di tiap-tiap rumah anakanaknya itu mempunyai satu kesamaan, yaitu penghasilan yang pas-pasan dan cucu-cucu yang pemalas bukan kepalang juga bodoh.
Yang kini dirasakan orang tua itu adalah hukuman sepenuhnya di dunia atas perbuatan-perbuatan kotornya dulu ketika masih duduk di perusahaan minyak Negara. Hukuman itu merembet seperti efek domino, mengalir pada mental anakanaknya yang pemalas dan suka bermewah-mewah hingga harus jatuh pada kesusahan hidup, merembet lagi pada cucu-cucunya yang bandel juga bodoh, yang dari usia 10 tahunpun sudah berani membantah orang tuanya bahkan membentak ketika keinginannya tidak dituruti atau ketika keasyikannya bermain terusik oleh seruan orang tuanya. Cucu-cucu nakal yang kurang perhatian, anak-anak yang depresi oleh berubahnya kehidupan, penyesalan-penyesalan yang meyesakkan tiap rongga dadanya, itu semua yang selalu orang tua itu rasakan tiap harinya. Kerajaan itu telah runtuh sama sekali tanpa menyisakan puing satupun, kerajaan yang di bangun dengan pondasi korup dan angan-angan fatamorgana tanpa kesadaran. Pukul 03 Dini hari setelah ia selesaikan solat malamnya, ia merasakan suasana yang sangat lain dari biasanya. Ia merasakan suasana begitu sepi, sangat sepi bahkan terkesan mencekam. Angin seolah berhenti berhembus sama sekali, tidak ada suara-suara yang terdengar. Detak jantungnya tiba-tiba menjadi cepat, ada perasaan takut yang mendadak menjalari segenap perasaan, ia semakin rapat menutup matanya menenangkan diri menghadapi suasana aneh itu, suasana yang belum pernah ia rasa seumur hidupnya. Semakin rapat ia tutup mata serta semakin kuatmemaksakan dirinya konsentrasi, namun semakin besar kecemasan itu timbul. Kecemasan yang entah dating dari mana asalnya dan tiba-tiba menyelusup masuk ke hati. Sadar dengan ketidak mampuan dirinya mengusir kecemasan aneh itu, iapun pasrah. Dibuka kedua matanya pelan-pelan, setitik air menetes di telapak tanganya yang menumpu di atas lutut. Baru kini ia sadari, di pagi yang masih buta itu, dimana angin dingin masih saja bermain-main bersama alam, seluruh tubuhnya justru bermandikan peluh. Air meresap keluar lewat pori-pori kulit begitu banyaknya hingga baju pada bagian punggungnya ia rasakan basah. Detak jantung yang menggebu-gebu belum mampu ia kuasai. Kecemasan tak beralasan itu masih mencengkeram kuat perasaan. Di dalam kamar yang remangremang oleh cahaya lampu listrik kecil berwarna hijau ia merasakan ada suatu kehadiran mahluk di situ, yang sedang mengawasinya dengan mata yang sangat tajam. Di pojok kamar sebelah kanannya itulah ia melihat bayangan hitam seperti manusia yang berdiri tegak, menghipnotis seluruh panca inderanya dan melumpuhkan persendiaannya. Kecemasan itu semakin kuat mencengkeram dirinya, di paksa kedua matanya tertutup namun tidak mampu memusnahkan bayangan hitam itu dari pandangannya, bayangan itu seolah mampu menembus
kelopak matanya yang tertutup rapat. Diputarnya biji-biji tasbih, namun serasa ada yang menahan, begitu keras dan sulit, di paksakan hatinya untuk menyebut asma Allah, namun begitu kelu, tidak mampu mengucap barang sepatah katapun. Suasana sangat mencekam perasaan itu berlangsung seolah sangat lama, seluruh anggota tubuhnya seolah mati, tak mampu ia gerakkan sedikitpun. Namun tiba-tiba semua itu menghilang begitu saja. Suasana normal dating kembali, bayangan hitam itupun telah tiada, yang ia rasa kini tubuhnya sangat lemas dan keringat begitu banyak keluar hingga membasahi hampir seluruh pakaiannya. Dan ia baru sadar ternyata dirinya sedang terbaring miring dengan kaki melipat pada dada, bukan seperti yang dirasa sebelumnya yaitu sedang duduk, dan di tanganpun tidak ada tasbih. Matanya mendapati biji-biji tasbih tergeletak agak jauh dari dirinya namun badannya terlalu lemas untuk di gerakkan walau menggerakkan tangan untuk meraih tasbih yang tergeletak 10 cm dari telapak tangannya saja tidak mampu. Ia merasakan seluruh tubuhnya telah mati, hanya otak saja yang masih mampu di ajak sedikit bekerja. Dan entah dari mana datangnya, bayangan wajah-wajah masa lalu muncul silih berganti. Dimulai dari wajah masa kecilnya dulu dengan senyum tawanya, kemudian menginjak remaja, dewasa hingga sekarang. Masing-masing muncul begitu saja hingga ia rasakan seperti orang lain yang sedang menatap dirinya, dan tanpa sadar pipinya telah basah oleh air mata. Beberapa detik kemudian, mendadak dingin yang amat sangat luar biasa merasuk ke dalam tubuhnya. Dingin beku itu menjalar mulai dari ujung jempol kaki merayap terus naik ke betis, paha, pinggang, hingga dada. Pelan tapi pasti. Kini tenggorokan ia rasakan mampat sama sekali, ia coba buka mulut untuk berteriak, namun tak ada suara ia dengar. Nafas menjadi begitu sulit, segenap ruangan serasa hampa udara. Masih mencoba teriak namun hanya mulut yang terbuka sedang tidak ada suara yang terdengar. Ia tatap lurus tembok kamar yang kosong itu, ada sebentuk kekuatan yang menggerakkan bola matanya berjalan menatap ke arah atas rambut dan mencoba ke arah ubun-ubun, terus naik hingga hilang warna hitam di matanya, kemudian berakhir dengan kegelapan, yang total. Sementara di luar adzan shubuh sayup-sayup terdengar di kejauhan, mencoba menyelusup di pojok-pojok pagi yang dingin dan sepi. Di suatu pagi yang mendung, berpuluh warga berkumpul di sebuah rumah, sebagian duduk berkerumun di teras dan sebagian lagi di dalam rumah. Sekitar 1 jam yang lalu, tepatnya pukul 5 pagi, seorang kakek telah meninggal dunia. Para warga kebanyakan tidak begitu mengenal sosok almarhum. Setahu mereka, almarhum adalah seorang pria tua yang tiap sore duduk di kursi goyang di teras rumah, orang tua dari nyonya pemilik rumah ini. Sore harinya keadaan rumah kembali seperti biasa. Bersamaan dengan itu, sebuah kursi goyang dengan meja kecil di teras rumah telah tiada. Semilir angin sore lewat menyapa halaman, berputar putar lembut menerbangkan beberapa daun kering, berputar terus, halus dan tidak kencang, seperti seorang yang berputar-putar sedang mencari sesuatu yang hilang.