Rumah Tendaku Tsunami mendamparkanku hingga ke rumah tenda. Rumah baruku. Disini hampir semuanya serba baru. Tenda yang kutempati masih baru. Tenda ini masih kosong waktu pertama kali aku, ibu, ayah dan satu abangku yang masih hidup diantar naik truk ke tempat ini. Kami tak membawa apa-apa kecuali pakaian yang melekat di badan. Itu pun warnanya sudah menjadi kumal karena air tsunami yang hitam, dan sobek disana sini karena tersangkut di sampah waktu ayah menyeretku berlari ke Mesjid. Disitu tanahnya lebih tinggi. Sekarang kami sudah punya barang-barang di tenda. Ada pakaian-pakaian bekas, bahan makanan, alat dapur (2 kompor minyak, piring dan gelas plastik, beberapa sendok), 1 tilam tipis, 2 selimut, 1 radio kecil. Semuanya dikasi gratis. Kemaren anak-anak dipanggil ke tenda besar di depan, lalu abang-abang dan kakak-kakak yang pakai rompi itu kasi kami masing-masing satu tas. Didalamnya ada seragam sekolah lengkap dengan buku, pinsil, rol, sepatu, kaos kaki, dll. Kalau ada yang datang naik mobil ke kampung tenda kami, biasanya ada saja yang dibagi-bagikan. Makanya aku senang kalau lihat ada tamu datang. Tadi pagi ada truk kecil datang bawa jeruk. Begitu truknya berhenti, aku langsung mendekat supaya dapat bagian. Teman-temanku juga. Tapi ternyata jeruk itu bukan untuk dibagi gratis. Aku menggerutu. Kecewa. Kupikir semuanya senantiasa gratis setelah tsunami. Maklumlah seminggu ini kami dapat layanan serba gratis. Aku jadi terbiasa. Sekolah gratis. Berobat gratis. Abang-abang dan kakak-kakak yang pakai rompi itu pasti anak orang kaya makanya bisa punya barang sebanyak itu untuk dibagi-bagikan. Lagipula, mana mungkin kami bisa kalau disuruh bayar. Dari mana uangnya. Ayahku tak bisa lagi melaut karena sampan dan jaringnya sudah hilang entah kemana ditelan tsunami. Di tempat ini ayahku tak mungkin bisa dapat kerja. Dia hanya tahu cari ikan ke laut. Di pegunungan begini mana mungkin ada laut. Mungkin karena itu ayahku sering murung. Entah juga mungkin karena sampai sekarang dia belum temukan satu adikku yang hilang waktu tsunami. Dia sudah capek cari ke tenda-tenda lain. Tapi tak ada kabar sama sekali. Aku kasihan liat dia harus jalan kaki kemana-mana. Ayahku tak sendirian. Beberapa tetangga tenda kami juga masih terus mencari anaknya yang hilang, berharap Tuhan menyelamatkannya dari tsunami. Tadi aku juga lihat beberapa orang datang ke tenda besar di depan menanyakan anaknya yang hilang. Mereka bawa foto. Kakak yang pakai rompi itu memotret foto tersebut dan menempelkannya di dinding. Banyak foto anak-anak terpajang disitu. Andai kami punya foto adikku yang hilang dan punya handphone, mungkin dia cepat ditemukan. Tapi sampai ia hilang, adikku memang belum pernah difoto. Kakak yang pakai rompi itu bilang foto-foto itu akan dikirim kemana-mana. Lalu orang yang menemukan anak hilang itu akan menelfon nomor yang di tulis dibawah foto itu. Andaipun adikku ditemukan masih hidup, takkan ada yang tahu harus bagaimana mencari kami. Ayahku bilang tak lama lagi mungkin kami akan dipindahkan lagi ke tempat lain. Mungkin rumah tenda baru lagi.
Ayahku semakin murung. Aku tak pernah lihat dia senyum lagi sejak seminggu lalu. Dia jarang bicara. Mudah marah. Tak pernah lagi dia cerita dongeng sebelum aku tidur. Akupun tak berani bermanja seperti dulu. Aku lebih suka main-main dengan kakak-kakak pakai rompi di tenda besar di lapangan depan sana. Mereka sering mengumpulkan anakanak. Kami dikasi mainan dan jajanan. Setiap sore kami nyanyi ramai-ramai. Nyanyian bahasa Indonesia. Aku tak tahu apa artinya. Cuma ada dua kakak-kakak itu yang bisa bahasa Aceh. Aku tak perduli. Aku lebih senang main di luar rumah tendaku. Aku rindu waktu kami semua masih tinggal di rumah yang bukan tenda.*** (Dinarasikan ulang oleh Rustam)