Ruang Lingkup Pelayanan Kebidanan Berdasarkan Kepmenkes Nomor 369 Tahun 2007.docx

  • Uploaded by: Fahry Nugroho
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ruang Lingkup Pelayanan Kebidanan Berdasarkan Kepmenkes Nomor 369 Tahun 2007.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,475
  • Pages: 23
Ruang Lingkup Pelayanan Kebidanan Berdasarkan Kepmenkes nomor 369 Tahun 2007. Pelayanan kebidanan berfokus pada upaya pencegahan, promosi kesehatan, pertolongan persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, melaksanakan tindakan asuhan sesuai dengan kewenangan atau bantuan lain jika diperlukan, serta melaksanakan tindakan kegawat daruratan. Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan asuhan anak. Bidan dapat praktik diberbagai tatanan pelayanan, termasuk di rumah, masyarakat, Rumah Sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya. 2.3. Standar Kompetensi Kepmenkes No. 369 1.

Kompetensi ke 1

pengetahuan dan keterampilan dasar Bidan mempunyai persyaratan pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-ilmu sosial, kesehatan masyarakat dan etik yang mmbentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya. 2.

Kompetensi ke 2

Pra konsepsi, KB dan Ginekologi Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan Kesehatan yang tanggap terhadap budaya dan pelayanan menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanan kehamilan dan kesiapan menjadi orang tua. 3.

Kompetensi ke 3

Asuhan dan konseling kehamilan Bidan memberi asuhan antenatal bermu tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama kehamilan yang yang meliputi : deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari komplikasi tertentu. 4.

Kompetensi ke 4

Asuhan selama Persalinan dan Kelahiran Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir. 5.

Kompetensi ke 5

Asuhan pada ibu Nifas dan Mnyusui Bidan memberikan asuhan pada ibu nifas dan menyusui yang bermutu tinggi dan tanggap terhadap budaya setempat. 6.

Kompetensi ke 6

Asuhan pada Bayi Baru. Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.

7.

Kompetensi ke 7

Asuhan pada Bayi dan Balita Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat ( 1 bulan – 5 tahun). 8.

Kompetensi ke 8

Kebidanan Komunitas Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat.

9.

Kompetensi ke 9

Asuhan pada Ibu/ Wanita dengan Gangguan Reproduksi Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ ibu dengan gangguan sistem reproduksi. 2.4.Standar pendidikan bidan a.

Standar I : lembaga pendidikan

b.

Standar II : falsafah

c.

Standar III : organisasi

d.

Standar IV : sumber daya pendidikan

e.

Standar V : pola pendidikan kebidanan

f.

Standar VI : kurikulum

g.

Standar VII: tujuan pendidikan

h.

Standar VIII : evaluasi pendidikan

i.

Standar IX : lulusan

2.5.Standar pendidikan berkelanjutan Standar profesi bidan yang ketiga membahas tentang standar pendidikan berkelanjutan. Standar tersebut berisikan : a.

Standar I : organisasi

b.

Standar II : falsafah

c.

Standar III : sumber daya pendidikan

d.

Standar IV : program pendidikan

e.

Standar V : fasilitas

f.

Standar VI : dokumen penyelenggaraan pendidikan

g.

Standar VII : pengendalian mutu

2.6.Standar pelayanan kebidanan Standar profesi bidan yang ke empat membahas tentang standar pelayanan kebidanan. Standar tersebut berisikan : a.

Standar I : falsafah dan tujuan

b.

Standar II : administrasi dan pengelolaan

c.

Standar III: staf dan pimpinan

d.

Standar IV : fasilitas dan peralatan

e.

Standar V : kebijakan dan prosedur

f.

Standar VI : pengembangan staf dan program pendidikan

g.

Standar VII : standar asuhan

h.

Standar VIII: evaluasi dan pengendalian mutu

2.7.Standar praktik kebidanan Standar kebidanan yang kelima membahas tentang standar praktik kebidanan. Standar tersebur berisikan : a.

Standar I : metode asuhan

b.

Standar II : pengkajian

c.

Standar III : diagnosa kebidanan

d.

Standar IV : rencana asuhan

e.

Standar V : tindakan

f.

Standar VI : partisipasi klien

g.

Standar VII : pengawasan

h.

Standar VIII : evaluasi

i.

Standar IX : dokumentasi

2.8. Pengaplikasian 1. Jika seorang bidan mendapatkan ibu mau bersalin akan tetapi ternyata persentasi bokong berarti tidak boleh bidan melakukan pertolongan persalinan sendiri harus di rujuk ke rumah sakit. Karena standar bidan yaitu menolong persalinan secara normal. 2. Bidan ani mendapatkan klien hamil dengan keluhan sering BAK di kala hamil tua. Standr bidan bisa menjelaskan kenapa sang ibu hamil sering BAK di kala hamil tua. 3. Ibu tuti datang ke BPM susi, ibu itu mengatakan sering mual muntah di pagi nafsu makan berkurang dan telat menstruasi 1 bulan, bidan susi melalukan tes pex kepada ibu tuti ternyata hasil nya positif, dan ternya itu kehamilan yang tidak di ingin kan, ibu tuti menginginkan aborsi untuk janin itu dengan alasan anak yang pertama masih kecil. Disini peran bidan wajib membari masukan dan nasehat ke pada ibu bahwa jangan sampai janin itu di gugurkan. 4.

Standar profesi bidan minimal harus D3 kebidanan untuk. Itu standar bidan yang baru.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN.BAB I KETENTUAN UMUMPasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan; 1.Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2.Praktik Kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh Bidan dalam bentuk asuhan kebidanan. 3.Surat Tanda Registrasi Bidan yang selanjutnya disingkat STRB adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Bidan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 4.Surat Izin Praktik Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada Bidan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kebidanan. 5.Praktik Mandiri Bidan adalah tempat pelaksanaan rangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh Bidan secara perorangan. 6.Instansi Pemberi Izin adalah instansi atau satuan kerja yang ditunjuk oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. -4- 7.Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. 8.Organisasi Profesi adalah wadah berhimpunnya tenaga kesehatan bidan di Indonesia. 9.Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 10.Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 11.Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. BAB II PERIZINANBagian

Kesatu Kualifikasi Bidan Pasal 2 Dalam menjalankan Praktik Kebidanan, Bidan paling rendah memiliki kualifikasi jenjang pendidikan diploma tiga kebidanan. -5- Bagian Kedua STRBPasal 3 (1)Setiap Bidan harus memiliki STRB untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya. (2)STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah Bidan memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3)STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun. (4)Contoh surat STRB sebagaimana tercantum dalam formulir II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 STRB yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga SIPBPasal 5 (1)Bidan yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib memiliki SIPB.(2)SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Bidan yang telah memiliki STRB. (3)SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) Fasilitas Pelayanan Kesehatan. (4)SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama STR Bidan masih berlaku, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Pasal 6 (1)Bidan hanya dapat memiliki paling banyak 2 (dua) SIPB. -6- (2)Permohonan SIPB kedua, harus dilakukan dengan menunjukan SIPB pertama. Pasal 7 (1)SIPB diterbitkan oleh Instansi Pemberi Izin yang ditunjuk pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. (2)Penerbitan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditembuskan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. (3)Dalam hal Instansi Pemberi Izin merupakan dinas kesehatan kabupaten/kota, Penerbitan SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditembuskan. Pasal 8 (1)Untuk memperoleh SIPB, Bidan harus mengajukan permohonan kepada Instansi Pemberi Izin dengan melampirkan: a.fotokopi STRB yang masih berlaku dan dilegalisasi asli; b.surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki surat izin praktik; c.surat pernyataan memiliki tempat praktik; d.surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat Bidan akan berpraktik; e.pas foto terbaru dan berwarna dengan ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; f.rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat; dan g.rekomendasi dari Organisasi Profesi. (2)Persyaratan surat keterangan dari pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat Bidan akan berpraktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikecualikan untuk Praktik Mandiri Bidan. -7- (3)Dalam hal Instansi Pemberi Izin merupakan dinas kesehatan kabupaten/kota, persyaratan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak diperlukan. (4)Untuk Praktik Mandiri Bidan dan Bidan desa, Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota setelah dilakukan visitasi penilaian pemenuhan persyaratan tempat praktik Bidan. (5)Contoh surat permohonan memperoleh SIPBsebagaimana tercantum dalam formulir III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6)Contoh SIPB sebagaimana tercantum dalam formulir IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1)Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diterima dan dinyatakan lengkap, Instansi Pemberi Izin harus mengeluarkan SIPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)Pernyataan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan surat tanda penerimaan kelengkapan berkas. Pasal

10 SIPB dinyatakan tidak berlaku dalam hal: a.tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPB;b.masa berlaku STRB telah habis dan tidak diperpanjang; c.dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin; atau d.Bidan meninggal dunia. -8- Pasal 11 (1)Bidan warga negara asing yang akan menjalankan Praktik Kebidanan di Indonesia harus memiliki sertifikat kompetensi, STR sementara, dan SIPB.(2)Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Bidan warga negara asing setelah lulus evaluasi kompetensi. (3)Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh STR sementara. (4)Untuk memperoleh SIPB, Bidan warga negara asing harus melakukan permohonan kepada Instansi Pemberi Izin dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (5)Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan warga negara asing harus memenuhi persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 STR sementara dan SIPB bagi Bidan warga negara asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang hanya untuk 1 (satu) tahun berikutnya. Pasal 13 (1)Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang akan melakukan Praktik Kebidanan di Indonesia harus memiliki STRB dan SIPB.(2)STRB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah melakukan proses evaluasi kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3)Untuk memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan warga negara Indonesia lulusan luar negeri harus melakukan permohonan kepada Instansi Pemberi Izin dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). -9- Pasal 14 (1)Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan Bidan yang tidak memiliki SIPB.(2)Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melaporkan Bidan yang bekerja dan berhenti bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatannya pada tiap triwulan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada Organisasi Profesi. -10- (2)Bidan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Bidan yang memiliki SIPB di puskesmas,dan bertempat tinggal serta mendapatkan penugasan untuk melaksanakan Praktik Kebidanan dari Pemerintah Daerah pada satu desa/kelurahan dalam wilayah kerja puskesmas yang bersangkutan. (3)Praktik Bidan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tempat praktik bidan desa sebagai jaringan Puskesmas. (4)Dalam rangka penjaminan mutu pelayanan kesehatan praktik Bidan desa sebagai jaringan Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dinas kesehatan kabupaten/kota setempat harus melakukan penilaian pemenuhan persyaratan tempat yang akan dipergunakan untuk penyelenggaraan praktik Bidan desa dengan menggunakan Formulir 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (5)Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)menjadi dasar rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f, sebelum SIPB untuk Bidan desa diterbitkan. Pasal 17 Bidan desa dapat mengajukan Permohonan SIPB keduaberupa Praktik Mandiri Bidan, selama memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)dan mengikuti ketentuan: a.lokasi Praktik Mandiri Bidan yang diajukan, berada pada satu desa/kelurahan sesuai dengan tempat tinggal dan penugasan dari Pemerintah Daerah; b.memiliki tempat Praktik Mandiri Bidan tersendiri yang tidak bergabung dengan tempat praktik Bidan desa; dan c.waktu Praktik Mandiri Bidan yang diajukan, tidak bersamaan dengan waktu pelayanan praktik Bidan desa.

-11- Bagian Kedua Kewenangan Pasal 18 Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki kewenangan untuk memberikan: a.pelayanan kesehatan ibu; b.pelayanan kesehatan anak; dan c.pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pasal 19 (1)Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a diberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui, dan masa antara dua kehamilan. (2)Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan: a.konseling pada masa sebelum hamil; b.antenatal pada kehamilan normal; c.persalinan normal; d.ibu nifas normal; e.ibu menyusui; dan f.konseling pada masa antara dua kehamilan. (3)Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bidan berwenang melakukan: a.episiotomi; b.pertolongan persalinan normal; c.penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;d.penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan; e.pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil; f.pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas; g.fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif; -12- h.pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum; i.penyuluhan dan konseling; j.bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan k.pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran. Pasal 20 (1)Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak prasekolah. (2)Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bidan berwenang melakukan: a.pelayanan neonatal esensial; b.penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan; c.pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah; dan d.konseling dan penyuluhan. (3)Pelayanan noenatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan perawatan tali pusat, pemberian suntikan Vit K1, pemberian imunisasi B0, pemeriksaan fisik bayi baru lahir, pemantauan tanda bahaya, pemberian tanda identitas diri, dan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan tepat waktu ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu. (4)Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: a.penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung; -13- b.penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir dengan BBLR melalui penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara menghangatkan tubuh bayi dengan metode kangguru; c.penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol atau povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan kering; dan d.membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir dengan infeksi gonore (GO). (5)Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan penimbangan berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi badan, stimulasi deteksi dini, dan intervensi dini peyimpangan tumbuh kembang balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) (6)Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi (KIE) kepada ibu dan keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, tanda bahaya pada bayi baru lahir, pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi seimbang, PHBS, dan tumbuh kembang. Pasal 21 Dalam memberikan

pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf c, Bidan berwenang memberikan: a.penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana; dan b.pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan. -14- Bagian Ketiga Pelimpahan kewenangan Pasal 22 Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Bidan memiliki kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan: a.penugasan dari pemerintah sesuai kebutuhan; dan/atau b.pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari dokter. Pasal 23 (1)Kewenangan memberikan pelayanan berdasarkanpenugasan dari pemerintah sesuai kebutuhansebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, terdiri atas: a.kewenangan berdasarkan program pemerintah; dan b.kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan bertugas. (2)Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Bidan setelah mendapatkan pelatihan. (3)Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bersama organisasi profesi terkait berdasarkan modul dan kurikulum yang terstandarisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4)Bidan yang telah mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak memperoleh sertifikat pelatihan. (5)Bidan yang diberi kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan penetapan darikepala dinas kesehatan kabupaten/kota. -15- Pasal 24 (1)Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Bidan ditempat kerjanya, akibat kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus sesuai dengan kompetensi yang diperolehnya selama pelatihan. (2)Untuk menjamin kepatuhan terhadap penerapan kompetensi yang diperoleh Bidan selama pelatihansebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas kesehatan kabupaten/kota harus melakukan evaluasi pascapelatihan di tempat kerja Bidan. (3)Evaluasi pascapelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan setelah pelatihan. Pasal 25 (1)Kewenangan berdasarkan program pemerintahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, meliputi: a.pemberian pelayanan alat kontrasepsi dalam rahim dan alat kontrasepsi bawah kulit; b.asuhan antenatal terintegrasi dengan intervensi khusus penyakit tertentu; c.penanganan bayi dan anak balita sakit sesuai dengan pedoman yang ditetapkan; d.pemberian imunisasi rutin dan tambahan sesuai program pemerintah; e.melakukan pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja, dan penyehatan lingkungan; f.pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah; g.melaksanakan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya; -16- h.pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan edukasi; dan i.melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; (2)Kebutuhan dan penyediaan obat, vaksin, dan/atau kebutuhan logistik lainnya dalam pelaksanaan Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 (1)Kewenangan karena tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal telah tersedia tenaga kesehatan lain dengan kompetensi dan

kewenangan yang sesuai. (2)Keadaan tidak adanya tenaga kesehatan lain di suatu wilayah tempat Bidan bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat. Pasal 27 (1)Pelimpahan wewenang melakukan tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b diberikan secara tertulis oleh dokter pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama tempat Bidan bekerja. (2)Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dalam keadaan di mana terdapat kebutuhan pelayanan yang melebihi ketersediaan dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama tersebut. (3)Pelimpahan tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan: -17- a.tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kompetensi yang telah dimiliki oleh Bidan penerima pelimpahan; b.pelaksanaan tindakan yang dilimpahkan tetap di bawah pengawasan dokter pemberi pelimpahan; c.tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk mengambil keputusan klinis sebagai dasar pelaksanaan tindakan; dan d.tindakan yang dilimpahkan tidak bersifat terus menerus. (4)Tindakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab dokter pemberi mandat, sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai dengan pelimpahan yang diberikan. Bagian Keempat Kewajiban dan Hak Pasal 28 Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan berkewajiban untuk: a.menghormati hak pasien; b.memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan; c.merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu; d.meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan; e.menyimpan rahasia pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundanganundangan; f.melakukan pencatatan asuhan kebidanan dan pelayanan lainnya yang diberikan secara sistematis; g.mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional; h.melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan Praktik Kebidanan termasuk pelaporan kelahiran dan kematian -18- i.pemberian surat rujukan dan surat keterangan kelahiran; dan j.meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 29 Dalam melaksanakan praktik kebidanannya, Bidan memiliki hak: a.memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan pelayanannya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional; b.memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya; c.melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan; dan d.menerima imbalan jasa profesi. BAB IVPRAKTIK MANDIRI BIDANPasal 30 (1)Bidan yang menyelenggarakan Praktik Mandiri Bidan harus memenuhi persyaratan, selain ketentuan persyaratan memperoleh SIPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). (2)Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan, serta obat dan bahan habis pakai. Pasal 31 Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30ayat (2) berupa Praktik Mandiri Bidan harus berada pada lokasi yang mudah untuk akses rujukan dan memperhatikan aspek kesehatan lingkungan.

-19- Pasal 32Persyaratan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) meliputi ruang dalam bangunan Praktik Mandiri Bidan yang terdiri atas:a.ruang tunggu; b.ruang periksa; c.ruang bersalin; d.ruang nifas; e.WC/kamar mandi; dan f.ruang lain sesuai kebutuhan. Pasal 33 (1)Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, bangunan Praktik Mandiri Bidan harus bersifat permanen dan tidak bergabung fisik bangunan lainnya. (2)Ketentuan tidak bergabung fisik bangunan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk rumah tinggal perorangan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis. (3)Dalam hal praktik mandiri berada di rumah tinggal perorangan, akses pintu keluar masuk tempat praktik harus terpisah dari tempat tinggal perorangan. (4)Bangunan praktik mandiri Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan keselamatan dan kesehatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang usia lanjut. Pasal 34Persyaratan prasarana Praktik Mandiri Bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) paling sedikit memiliki: a.sistem air bersih; b.sistem kelistrikan atau pencahayaan yang cukup; -20- c.ventilasi/sirkulasi udara yang baik; dan d.prasarana lain sesuai kebutuhan. Pasal 35Persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) berupa peralatan Praktik Mandiri Bidan harusdalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik untuk menyelenggarakan pelayanan. Pasal 36(1)Persyaratan obat dan bahan habis pakai Praktik Mandiri Bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) meliputi pengelolaan obat dan bahan habis pakai yang diperlukan untuk pelayanan antenatal, persalinan normal, penatalaksanaan bayi baru lahir, nifas, keluarga berencana, dan penanganan awal kasus kedaruratan kebidanan dan bayi baru lahir. (2)Obat dan bahan habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperoleh dari apotek melaluisurat pesanan kebutuhan obat dan bahan habis pakai. (3)Bidan yang melakukan praktik mandiri harus melakukan pendokumentasian surat pesanankebutuhan obat dan bahan habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta melakukan pengelolaan obat yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4)Contoh surat pesanan obat dan bahan habis pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam formulir V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. -21- Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan bangunan, prasarana, peralatan, dan obat-obatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 36tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 38 (1)Praktik Mandiri Bidan harus melaksanakan pengelolaan limbah medis. (2)Pengelolaan limbah medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kerjasamadengan institusi yang memiliki instalasi pengelolaan limbah. Pasal 39 (1)Praktik Mandiri Bidan harus memasang papan namapada bagian atau ruang yang mudah terbaca dengan jelas oleh masyarakat umum dengan ukuran 60x90 cm dasar papan nama berwarna putih dan tulisan berwarna hitam. (2)Papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat nama Bidan, nomor STRB, nomor SIPB, dan waktu pelayanan. Pasal 40 (1)Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan Praktik Mandiri Bidan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 36, dengan menggunakan instrumen penilaian sebagaimana tercantum dalam

Formulir I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2)Hasil penilaian kelayakan sebagaimana dimaksud pada huruf (1), menjadi dasar dalam pembuatan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f. -22- Pasal 41 (1)Praktik Mandiri Bidan tidak memerlukan izin penyelenggaraan sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan. (2)Izin penyelenggaraan Praktik Mandiri Bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melekat pada SIPB yang bersangkutan. Pasal 42 (1)Bidan dalam menyelenggarakan Praktik Mandiri Bidan dapat dibantu oleh tenaga kesehatan lain atau tenaga nonkesehatan. (2)Tenaga kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki SIP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 43 (1)Bidan yang berhalangan sementara dalam melaksanakan praktik kebidanan dapat menunjuk Bidan pengganti dan melaporkannya kepada kepala puskesmas setempat. (2)Bidan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus memiliki SIPB dan tidak harus SIPB di tempat tersebut. Pasal 44 Dalam rangka melaksanakan praktik kebidanan, Praktik Mandiri Bidan dapat melakukan pemeriksaan laboratorium sederhana antenatal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. -23- BAB V PENCATATAN DAN PELAPORAN Pasal 45 (1)Bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan yang diberikan. (2)Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan ke puskesmas wilayah tempat praktik. (3)Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan disimpan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4)Ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi Bidan yang melaksanakan praktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan selain Praktik Mandiri Bidan. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 46 (1)Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan/atau Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan praktik bidan sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2)Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengikutsertakan organisasi profesi. (3)Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. -24- (4)Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik. (5)Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a.teguran lisan; b.teguran tertulis; c.pencabutan SIP untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau d.pencabutan SIPB selamanya. BAB VII KETENTUAN PERALIHANPasal 47 (1)Praktik Mandiri Bidan yang telah terselenggara berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan tetap dapat menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa berlakunya izin. (2)Praktik Mandiri Bidan yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, harus

menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. -25- (3)Proses permohonan SIPB baru atau perpanjangan SIPB yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, dan diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, tetap diprosesberdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010. Pasal 48 Bidan desa yang telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, dan tempat praktiknya di desa/kelurahan belum mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, harus menyesuaikan diri paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 49 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 50 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal di undangkan. Studi Kasus Ada seorangcalon ibu yang sedang hamil muda tetapi mempunyai penyakit jantung yang parah(kronik) yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya.Ketika dia datang memeriksakan dirinya pada seorang Dokter. Dokter pun sepakat kalau janin tersebut tetap dipertahankan menurut dugaan kuat atau hampir bisa dipastikan nyawa ibu tidak akan selamat atau mati.Dalam kondisi seperti ini,kehamilannya boleh dihentikan dengan cara menggugurkan kandungannya.Di gugurkan jika janin tersebut belum berusia enam bulan,tetapi kalau janin tersebut tetap dipertahankan dalam rahim ibunya,maka nyawa ibu tersebut akan terancam.Di samping itu,jika janin tersebut tidak digugurkan ibunya akan meninggal,janinnya pun samapadahal dengan janin tersebut,nyawa ibunya akan tertolong. Hal ini dilakukan untuk menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa ibunya.Sang calon ibu pun sangat takut dan bersedih dengan masalah yang dia alami.Tetapi ini semua sudah atas pertimbangan medis yang matang dan tidak ada jalan keluar lain lagi. Secara medis,penghentian kehamilan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan nyawa ibu tersebut.Sementara menurut hukum agama sendiri,hal ini sangat bertentangan. Menggugurkan kandungansama dengan membunuh jiwa.Secara umumpun pengguguran kandungan tersebut dinyatakan dalam konteks pembunuhan atau penyerangan terhadap janin. Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kita sebut di awal sesungguhnya berbicara tentang abortus.Pasal 60 ayat (1) RUU tersebut menyatakan, “Pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab, melalui peraturan perundang-undangan.”

Seperti apakah praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab itu, ayat berikutnya menguraikan, (a) yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, (b) yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, (c) yang dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku, dan (d) yang dilakukan secara diskriminatif dan lebih mengutamakan pembayaran daripada keselamatan perempuan yang bersangkutan.” Bagian penjelasannya menegaskan, “Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan kesehatan perempuan dari komplikasi buruk akibat pengguguran kandungan yang illegal dan tidak aman.

BUAT KASUS DULU

TEMPO.CO, Jakarta - Pasangan suami-istri pembuat vaksin palsu, Hidayat TaufiqurrahmanRita Agustina, dituntut hukuman penjara 12 tahun dalam sidang tuntutan kasus vaksin palsu di Pengadilan Negeri Bekasi, Senin, 6 Maret 2017. Jaksa penuntut umum Andi Adikawira dalam sidang pembacaan tuntutannya menyatakan Rita dan Hidayat bersalah melakukan tindak pidana kesehatan sesuai dengan Pasal 197 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. "Menyatakan terdakwa Hidayat Taufiqurrahman dan Rita Agustina telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kesehatan," kata Andi, Senin, 6 Maret 2017. Menurut dia, dua terdakwa itu dianggap dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar. Sebagaimana dakwaan primer, mereka dianggap melanggar Pasal 197 UU Nomor 36 Tahun 2009 juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.

Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa masing-masing dengan pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan hukuman penjara," ucapnya. Ia berujar, tuntutan sesuai dengan pertimbangan jaksa yang telah menghadirkan saksi-saksi untuk mengungkap fakta persidangan yang digelar sebelumnya. Para saksi itu di antaranya dari kepolisian, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Kesehatan, ahli pidana, PT Biofarma, PT Aventis, perusahaan swasta GSK, dan sejumlah terdakwa yang menjadi saksi. ADVERTISEMENT

Dalam dakwaan sebelumnya, Hidayat dan Rita didakwa memproduksi lima jenis vaksin palsu sejak 2010 hingga Juni 2016 di rumahnya di Perumahan Kemang Pratama Regency, Jalan Kumala II Blok M29, RT 9 RW 35, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi.

Adapun vaksin yang dipalsukan ialah jenis Pediacel, Tripacel, Engerix B, Havrix 720, dan Tuberculin. Keduanya ditangkap aparat Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada Juni 2016 di rumahnya. Penyidik juga menyita barang bukti berupa vaksin yang dipalsukan. ADI WARSONO Sebut saja Bintang dan istrinya Bulan tak menyangka bahwa perbuatannya mengangkat anak (dalam kenyataan sehari-hari sering juga disebut "memungut anak") dari hasil "membeli" dari seorang ibu ketika si anak dilahirkan pada seorang Bidan Praktek ternyata membawa petaka 15 tahun kemudian. Bintang dan Bulan menikah sudah hampir dua tahun namun tak juga memiliki keturunan. Bulan di vonis oleh dokter sebagai istri yang mandul, yang hampir tidak mungkin memiliki anak. Setelah mengganti semua biaya hasil persalinan dan biaya lainnya kepada orang tua kandung yang melahirkannya, dengan leluasa Bintang dan Bulan membawa sang jabang bayi tersebut kerumahnya, lalu diberikanlah sebuah nama diuruslah segala persyaratan administrasi seolaholah si jabang bayi keluar sebagai pertalian nasab dari seorang ayah yang bernama Bintang dan seorang ibu bernama Bulan. Tetangga disekitar pun heran, karena dalam sekejap Bintang dan Bulan bisa memiliki jabang bayi tanpa harus mengandung dan melahirkannya. Tak lebih dari 6 bulan setelah "mengangkat" anak lalu diuruslah Akte Kelahiran ke Dinas Kependudukan setempat dan terbitlah Akte Kelahiran bahwa si anak ini adalah anak pertama dari ayah bernama Bintang dan ibu bernama Bulan. Setelah itu terbit pula Kartu Keluarga dan dokumen-dokumen lainnya. Ketika bersekolah di tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Tingkat Atas sang anak ini didaftarkan dengan Akte Kelahiran, Kartu Keluarga dan dokumen kependudukan lainnya yang menyatakan bahwa sang anak adalah seolah-olah anak kandungnya. ADOPSI MENURUT HUKUM INDONESIA. Kata Adopsi berasal dari bahasa Inggris Adoptionyang merupakan kata benda dan bisa berarti 1. Pengangkatan; 2. Pemungutan; 3. Adopsi. Dalam terminologi hukum menurut Black's Law Dictionary (Seventh Edition), diistilahkan sebagai : "Adoption, n. 1. Family Law. The statutory process of terminating a child's legal rights and duties toward the natural parents and substituting similar rights and duties toward adoptive parents." Adopsi. Kata benda1. Hukum Keluarga. Proses mengakhiri menurut undang-undang terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum seorang anak dari orang tua kandungnya dan dialihkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang serupa kepada orang tua angkat. Dalam khazanah istilah perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kata Adopsi tidak dikenal. Hukum di Indonesia hanya mengenal adalah adalah Pengangkatan Anak. Pada dasarnya perbuatan Pengangkatan Anak merupakan perbuatan hukum perdata sebagaimana ditentukan prosedur dan tata caranya menurut undang-undang.

Dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa : "Pengangkatan anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan" Menurut Pasal 39 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1) Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya. (2a) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak. (3) Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak Angkat. (4) Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Dikemudian hari pun menurut Pasal 40 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, orang tua angkat mempunyai kewajiban : Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan. Pada asasnya Pengangkatan Anak menurut UU Perlindungan Anak harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi Anak. 2. Dilakukan berdasarkan adat kebiasan setempat dan ketentuan perundang-undangan. 3. Pengangkatan Anak tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. 4. Pengangkatan Anak wajib dicatatkan dalam pencatatan sipil dan tidak menghilangkan identitas awal Anak. 5. Pengangkatan Anak oleh warga negara asing merupakan ultimum remedium.

6. Orang tua angkat wajib memberitahukan asal-usul anak pada saat yang tepat. Syarat anak yang akan diangkat menurut Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yakni : Syarat anak yang akan diangkat, meliputi : a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan; c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan e. memerlukan perlindungan khusus. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi : a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama; b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Dalam hukum Islam maupun hukum Adat yang berlaku di Indonesia, syarat tidak menghapuskan nasab atau hubungan keluarga juga berlaku sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun prosedur hukum yang harus dijalani dalam pengangkatan anak ini adalah sebagai berikut : 1. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada instansi sosial kabupaten/kota dengan melampirkan : 2. Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial; 3. Surat penyerahan anak dari instansi sosial propinsi/kabupaten/kota kepada organisasi sosial; 4. Surat penyerahan anak dari organisasi sosial kepada calon orangtua angkat; 5. Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat; 6. Foto kopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;

7. Foto kopi surat nikah calon orang tua angkat; 8. Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari dokter pemerintah; 9. Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan dokter psikiater; 10. Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada Dinas Sosial/Instansi Sosial propinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup; 2. Ditandatangani sendiri oleh para pemohon (suami-istri); 3. Mencantumkan nama anak dan juga asal usul anak yang akan diangkat. 4. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan surat-surat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat kabupaten/kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal); 5. Proses penelitian kelayakan; 6. Sidang Tim Pertimbangan Izin Pengangkatan Anak (PIPA) daerah; 7. Surat Keputusan Kepala Dinas Sosial/Instansi Sosial Propinsi/Kabupaten/Kota bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat. 8. Penetapan Pengadilan; Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan tempat anak yang diangkat tersebut berada. Maksudnya adalah Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. Bagi yang beragama Islam berdasarkan asas personalitas keislaman seseorang, maka menjadi kewenangan Pengadilan Agama untuk memberikan penetapan berdasarkan UU No. 3 tahun 2006. Yang menjadi persoalan adalah apabila pengangkatan anak yang dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat formil dan materiil yang ditentukan, maka perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut dianggap tidak sah dan dapat dikatakan adalah pengangkatan anak ilegal (illegal adoption).

Menurut penulis apabila perbuatan perdata pengangkatan Anak namun tidak sah secara hukum maka perbuatan perdata tersebut bisa berubah menjadi perbuatan pidana bagi pelaku pengangkatan Anak secara illegalini. Bahkan apabila didahului oleh kesepakatan pembayaran untuk mengambil atau memungut anak tersebut maka dalam hukum kontemporer, pelakunya bisa dijerat dengan ketentuan pidana perdagangan anak sebagaimana penulis akan paparkan lebih lanjut. PELAPORAN CATATAN PENGANGKATAN ANAK. Menurut Pasal 3 UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan "Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil." Sementara itu menurut Pasal 47 UU No. 23 tahun 2006 tentang Adminsitrasi Kependudukan disebutkan : (1) Pencatatan pengangkatan anak dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan di tempat tinggal pemohon. (2) Pencatatan pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan penetapan pengadilan oleh Penduduk. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil membuat catatan pinggir pada Register Akta Kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran. Yang dimaksud dengan "pengangkatan anak", menurut UU No. 23 tahun 2006, adalah perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sementara yang dimaksud dengan "catatan pinggir" adalah catatan mengenai perubahan status atas terjadinya Peristiwa Penting dalam bentuk catatan yang diletakkan pada bagian pinggir akta atau bagian akta yang memungkinkan (di halaman/bagian muka atau belakang akta) oleh Pejabat Pencatatan Sipil. Bagi yang melanggar ketentuan-ketentuan mengenai pencatatan peristiwa kependudukan dan catatan sipil terutama dalam hal menyangkut pencatatan adopsi ilegal dalam pencatatan kependudukan dan catatan sipil tersebut tidak terkecuali dalam hal menyuruh memanipulasi data kependudukan dan kelahiran serta asal-usul anak maka hal itu merupakan sebuah perbuatan pidana yang dapat dijatuhkan sanksi pidana kepada para pelakunya. SANKSI PIDANA PELAKU ADOPSI ILEGAL.

Dalam kasus adopsi ilegal yang dilakukan oleh pasangan suami istri Bintang dan Bulan sebagaimana diuraikan diawal tulisan ini, maka didentifikasi setidaknya ada 4 (empat) perbuatan pidana yang dapat menjerat pelaku adopsi ilegal. 1. Tindak Pidana Adopsi Ilegal. Ketentuan tindak pidana ini terdapat dalam Pasal 79 UU No. 23 tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak yang berisi : "Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 100.000.000,(seratus juta rupiah)." Apabila terdapat peristiwa pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 39 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka pelakunya dapat dipidana dan dimintakan pertanggungjawaban pidananya. 2. Tindak Pidana Jual Beli Anak (Child Trafficking) Unsur materiil tindak pidana ini terdapat dalam ketentuan Pasal 76F UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak." Sementara sanksi pidananya terdapat dalam ketentuan Pasal 83 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : "Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).' 3. Tindak Pidana Menyuruh Menempatkan Keterangan Palsu Kedalam Akta Otentik. Memohon kepada Instansi Kependudukan dan Catatan Sipil untuk membuat Akta Kelahiran yang merupakan Akta Otentik merupakan tindak pidana. Ketentuan delik ini terdapat didalam Pasal 266 KUHPidana. "(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam sesuatu akte authentiek tentang suatu klejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolaholah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam

mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenanrnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian." 4. Tindak Pidana UU Administrasi Kependudukan. Ketentuan delik ini terdapat dalam ketentuan Pasal 93 UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan : "Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)." dan ketentuan Pasal 94 UU No. 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan "Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi Data Kependudukan dan/atau elemen data Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah)." Terhadap pihak-pihak ketiga lainnya yang turut serta membantu dan membiarkan adanya tindak pidana adopsi ilegal ini maka dianggap pula sebagai pelaku tindak ini. Jadi mulai saat ini peduli dengan lingkungan sekitar dari adanya perbuatan-perbuatan adopsi ilegal. Hal ini tidak lain untuk melindungi anak-anak kita dari perbuatan adopsi ilegal dan perdagangan anak demi kepentingan pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Demikian dan semoga bermanfaat.

Kewajiban tersebut antara lain memberikan informasi dan edukasi ASI Eksklusif kepada Ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi yang bersangkutan sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian ASI Eksklusif selesai. (Pasal 2 huruf c dan Pasal 3 huruf c Permenkes 15/2014).

Sedangkan larangan yang mesti dijauhi tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan misalnya tidak memberikan susu formula bayi dan/atau produk bayi lainnya. Larangan

tersebut dikecualikan atas indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi (Pasal 2 huruf d dan Pasal 3 huruf d Permenkes 15/2014).

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pada prinsipnya dokter, rumah sakit atau tenaga kesehatan seperti yang Anda tanyakan, tidak boleh memberikan susu formula kepada bayi. Walaupun ada pengecualiannya yaitu atas indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayi.

Hal ini juga terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 15 jo. Pasal 7 PP ASI, yang berbunyi:

Pasal 17 ayat (1) PP ASI:

“Setiap Tenaga Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”

Pasal 18 ayat (1) PP ASI:

“Penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang memberikan Susu Formula Bayi dan/atau produk bayi lainnya yang dapat menghambat program pemberian ASI Eksklusif kepada ibu Bayi dan/atau keluarganya, kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.”

Pasal 15 PP ASI: “Dalam hal pemberian ASI Eksklusif tidak dimungkinkan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bayi dapat diberikan Susu Formula Bayi.”

Pasal 7 PP ASI:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tidak berlaku dalam hal terdapat: a.

indikasi medis:

b.

ibu tidak ada; atau

c.

ibu terpisah dari Bayi.”

Indikasi medis yang memungkinkan susu formula diberikan kepada bayi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Permenkes 39/2013, yaitu:

a.

Bayi yang hanya dapat menerima susu dengan formula khusus;

b.

Bayi yang membutuhkan makanan lain selain ASI dengan jangka waktu terbatas;

c. kondisi medis ibu yang tidak dapat memberikan ASI Eksklusif karena harus mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar pelayanan medis;

d. kondisi medis ibu dengan HbsAg (+), dalam hal Bayi belum diberikan vaksinasi hepatitis yang pasif dan aktif dalam 12 (dua belas) jam; dan

e.

keadaan lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penentuan ada tidaknya indikasi medis seperti disebut di atas dilakukan oleh dokter (Pasal 7 ayat (2) Permenkes 39/2013). Dalam hal di daerah tertentu tidak terdapat dokter, penentuan adanya Indikasi Medis dapat dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (3) Permenkes 39/2013). Sedangkan keadaan ibu ‘tidak ada atau ibu terpisah dari bayi’ yang memungkinkan pemberian susu formula, meliputi: (lihat Pasal 13 Permenkes 39/2013)

a.

ibu meninggal dunia, sakit berat, sedang menderita gangguan jiwa berat;

b.

ibu tidak diketahui keberadaannya; atau

c. ibu terpisah dari Bayi karena adanya bencana atau kondisi lainnya dimana ibu terpisah dengan bayinya sehingga ibu tidak dapat memenuhi kewajibannya atau anak tidak memperoleh haknya. Dalam hal terjadi indikasi medis, dokter atau rumah sakit harus mendapat persetujuan Ibu bayi/keluarganya terlebih dulu untuk memberikan susu formula. Persetujuan itu diberikan setelah ibu bayi/keluarganya mendapatkan penjelasan dan peragaan terlebih dulu atas penggunaan dan penyajian susu formula. (Pasal 14 Permenkes 39/2013). Jika dokter, tenaga kesehatan dan rumah sakit tak mengindahkan ketentuan mengenai ASI eksklusif dan susu formula di atas, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi administratif. Sanksi tersebut dapat berupa: teguran lisan, teguran tertulis, dan/atau pencabutan izin. (Pasal 29 PP ASI dan Pasal 7 Permenkes 15/2014). Para pihak, baik pelapor dan terlapor, dapat mengajukan keberatan atas sanksi administratif yang dijatuhkan. Jangka waktu pengajuan keberatan adalah tujuh hari kerja setelah sanksi administratif diterima. (Pasal 26 Permenkes 15/2014).

Related Documents


More Documents from "Dini Mardhiyani"