ILMU ADMINISTRASI NEGARA Muhammad Akmal 2009.241.0.0122 1. Apakah suatu keputusan teknis merupakan keputusan yang impersonal dan tidak berbau politik? Sudah seharusnya keputusan teknis merupakan keputusan yang impersonal, namun dalam masyarakat dimana tradisi bernegara dan berpemerintahan belum tumbuh secara rasional dan impersonal, institusi politik dan hukumnya cenderung berhimpitan dengan konsep ketokohan yang bersifat personal. Maka dalam keadaan demikian, semua keputusan politik sebagian terbesar cenderung dipengaruhi oleh karakter persona atau kepribadian serta perilaku pemimpin yang menentukan keputusan tersebut. Namun, dalam rangka cita-cita Negara Hukum (Rechtsstaat), kecenderungan-kecenderungan mengenai praktek-praktek sistem kepemimpinan persona tersebut tidak dapat dipertahankan. Dalam doktrin Negara Hukum, berlaku prinsip bahwa pemimpin yang sebenarnya bukanlah orang, melainkan hukum yang dilihat sebagai suatu sistem. Karena itu, doktrin yang dikenal mengenai ini adalah “the rule of law, and not of man”. Karena itu, diperlukan perangkat peraturan perundangan-undangan
sebagai
instrumen
pengaturan
normatif
mengenai
pembatasan kekuasaan dalam negara. Dalam sistem kekuasaan modern, tidak dapat diterima logika dan akal sehat jika keputusan hanya diserahkan pada kehendak pribadi seorang yang menduduki sesuatu jabatan tertentu. Betapapun luhurnya budi seseorang, sekali ia menduduki jabatan kekuasaan umum, maka kepadanya terkena hukum besi dalam kekuasaan, yaitu: ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely’. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, dalam setiap negara modern, haruslah diadakan pengaturan dan pembatasan kekuasaan dengan hukum, dalam hal ini konstitusi. Bahkan hukumlah yang harus diterima sebagai satu-satunya pengertian mengenai sistem kepemimpinan yang paling objektif, rasional dan impersonal. Pemimpin kita yang sesungguhnya adalah ‘the rule of law, and not of man’. Dengan pengertian demikian, maka tokoh pemimpin boleh saja berganti, tetapi sistemnya tidak. Kepemimpinan sistem ini pulalah yang akan terus menjamin keberadaan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. (HUKUM KONSITUSI « Zuryawan Isvandiar Zoebir’s Blog.html)
2. Apakah memang tidak pernah ada kemungkinan untuk membedakan antara politik dan administrasi Negara, yang kenyataannya dalam dunia praktek pemerintahan, peran dan fungsinya berbeda? Upaya untuk membedakan keduanya sudah dilakukan sejak awal paradigma dan paradigma selanjutnya. Hal ini dapat kita lihat pada pada paradigma I yang memfokuskan pembedaan kedua ilmu tersebut pada locus dan focusnya. Puncak reputasi administrasi publik sebagai disiplin baru, ditandai oleh terbitnya buku Willoughby (1927), Principles of Public Administration yang tidak lagi mempermasalahkan lokus administrasi publik, namun mengklaim bahwa prinsipprinsip administrasi dapat diterapkan dalam seting administrasi apapun tanpa membedakan budaya, fungsi, lingkungan, misi, atau kerangka institusionalnya. Gulick dan Urwick (1937) melalui tulisan mereka, Papers on the Science of Administration, mengukuhkan klaim administrasi publik sebagai disiplin yang independen dengan memandang, bahwa fokus administrasi publik lebih penting daripada lokus. Periode tahun 1938-1947 merupakan periode menantang untuk disiplin administrasi publik, karena kemandiriannya sebagai suatu disiplin yang terpisah dari ilmu politik dan hukum, dipertanyakan kembali (Barnard, 1938; Dahl; 1947; dan Waldo,1948). Sejak itu, pendulum paradigma administrasi publik kembali bergerak ke pangkuan induknya, menjadi bagian ilmu politik. Hal tersebut berlangsung sampai dengan awal tahun 70-an. Pada periode ini terjadi pembaharuan dan penegasan tentang definisi lokus administrasi publik, birokrasi pemerintah, namun semakin menghilangnya fokus. Administrasi publik kembali kehilangan identitasnya sebagai disiplin yang mandiri, bahkan tahun 1960-an administrasi publik diperlakukan sebagai illegal aliens di beberapa fakultas ilmu politik di Amerika Serikat. Administrasi publik pernah bergerak kearah dan diwarnai oleh ilmu manajemen (1956-1970), bahkan pada pertengahan tahun 60-an teori organisasi sempat menjadi fokus administrasi publik. Pendirian School of Business and Public Administration di Cornell University, Ithaca, NY, merupakan salah satu tonggak akademik berjayanya paradigma ini. Perjuangan para pendukung administrasi publik untuk mencari identitas yang jelas sebagai sebuah disiplin ilmu masih terus berlangsung sampai saat ini. Di Amerika Serikat kepercayaan diri para pendukung administrasi publik muncul dengan berdirinya National Association of Schools of Public Affairs and Administration (NASPAA). Meski pemahaman dan rumusan-rumusan definisi administrasi publik setelah tahun 70-an masih diwarnai dengan warna ilmu politik, namun usaha pencarian identitas mandiri juga sangat tampak. Nicholas Henry (1975) misalnya, merumuskan identitas tersebut sebagai berikut: “Public administration differs from political science in its emphasis on bureaucratic structure and behavior and in its methodologies. Public administration differs from administrative science in the evaluative techniques used by nonprofit organizations, and because profit-seeking organizations are considerably less constrained in considering the public interest in their decision-making structures and the behavior of their administrators.”
(Administrasi publik berbeda dengan ilmu politik dalam penekanannya terhadap sikap dan struktur birokratik dan dalam metodologinya. Administrasi publik berbeda dari ilmu administrasi dalam teknik evaluatif yang digunakan oleh organisasi nirlaba, dan karena organisasi pencari-laba tidak begitu memperhatikan/mempertimbangkan kepentingan publik dalam struktur pengambilan keputusan mereka dan sikap dari administrator mereka). Di lihat dari satu sisi, pergeseran paradigmatik secara dinamik dapat dianggap sebagai sebuah kelemahan mendasar dan merupakan kesia-siaan. Berbicara tentang administrasi publik dari sisi akademik ibarat membicarakan seekor kucing hitam yang tidak ada di tengah pekatnya malam. Dilihat dari sisi lain yang lebih positif, eklektisisme dan dinamika paradigmatik administrasi publik adalah sebuah kekuatan utama. Sebuah disiplin ilmu, layaknya entitas sistem terbuka yang lain, mengalami perkembangan substantif melalui dan dalam keterbukaan dan interaksinya dengan lingkungan. Meminjam perangkat analisis dari bidang lain dapat dipandang bukan tanda sebuah kemiskinan, melainkan justru simbol dari kekayaan, bahkan pergeseran paradigmatik sepanjang sejarah administrasi publik, dapat dipandang sebagai sebuah dinamika konstruktif. Tidak semua penstudi administrasi publik merasa perlu untuk mendefinisikannya. Mosher misalnya, menyatakan: “…Perhaps it is best that it [public administration] not be defined. It is more an area of interest than a discipline, more a focus than a separate science … It is necessarily cross-disciplinary. The overlapping and vague boundaries should be viewed as a resource, even though they are irritating to some orderly minds” (Mungkin justru lebih baik bila administrasi publik itu tidak perlu didefinisikan secara khusus. Administrasi publik lebih merupakan suatu bidang minat daripada suatu disiplin, lebih merupakan fokus daripada suatu ilmu tersendiri. Bahkan administrasi publik perlu menjadi lintas disiplin. Tumpang tindih dan batasan yang kabur harus dilihat sebagai kekuatan, walaupun mungkin mengganggu bagi beberapa pemikiran baku). Para ahli berpandangan positif dan konstruktif tentang administrasi publik sebagai sebuah disiplin yang perlu memiliki identitas dan fokus yang jelas. Hal ini sangat diperlukan, terutama dalam usaha membangun pengetahuan yang valid, yang dapat diterapkan dalam dunia praksis. Salah satu pembeda utama yang khas dan sangat kuat dari disiplin administrasi publik dibanding dengan disiplin ilmu lain adalah karakter ke-publik-annya (publicness). Oleh karena itu ruang lingkup disiplin administrasi publik meliputi, pembuatan kebijakan untuk mengatur kepentingan publik, implementasi kebijakan publik dengan segala strategi pelaksanaannya, dan pelayanan publik sebagai satu-satunya alasan sah (reason d’etre) bagi eksistensi administrasi publik, baik sebagai ilmu apalagi sebagai seni untuk melayani. Konsekuensi logis dari menjadikan publicness sebagai karakter utama disiplin administrasi publik adalah perlunya pemahaman mendalam dan meluas tentang berbagai masalah publik seperti yang telah dirumuskan definisinya di bagian awal bab ini. Di sini pulalah kajian tentang masalah publik, menemukan relevansinya dalam studi administrasi publik.
Eran Vigoda seperti dikutip oleh Thoha yang mengidentifikasikan tiga core sources dari ilmu administrasi negara: (1) political science and policy analysis, (2) sosiologi dan cultural studies, dan (3) manajemen organisasi dan business science, included organization behavior science and human resources science (the human side of public sytem). Ketiga pokok tema itulah yang membingkai dan mewarnai terbentuk dan berkembangnya ilmu administrasi publik sebagai sebuah disiplin ilmu yang mempunyai legitimasi akademis. 3. Apakah tidak ada usaha yang bermakna untuk memilah antara politik dan administrasi Negara? Sudah banyak literatur-literatur yang bersifat avant garde karena mampu menawarkan
pranata-pranata
baru,
sebagai
jawaban
akan
kecenderungan
adminisitrasi publik yang semakin bersifat stagnan, tidak produktif, dan yang merupakan kritik paling utama: tidak mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat saat itu. Konsep mutakhir administrasi negara adalah good governance yang memberikan lebih banyak hal yang harus dihadirkan pemerintahan dalam pelayanan kepada masyarakat. Good governance lahir di tengah-tengah masyarakat yang kompleks, kritis, dan turunnya sumber daya yang dimiliki pemerintah jika dibandingkan permasalahan yang dihadapi, sehingga konsep ini menjadi sangat relevan untuk diadopsi dalam penyusunan kabinet jika memang benar presiden yang terpilih nantinya memiliki political will yang besar terhadap perbaikan bangsa. JIka sungguh-sungguh ingin melaksanakan good governance, dari penyusunan kabinet itu sudah tercermin. 4. Apakah timbulnya dikotomi menguntungkan atau tidak?
politik
dan
administrasi
dibidang
ilmu
ini
Dikotomi politik dan administrasi di bidang ilmu sangat menguntungkan. Hal ini dimaksudkan untuk memilah bidang kajian masing-masing ilmu yang berbeda antara satu sama lain tetapi saling membutuhkan untuk pengembangan ilmu itu sendiri.