Kesultanan Bacan Awal Mula Kerajaan Bacan Kedudukan awal Kerajaan Bacan bermula di Makian Timur, kemudian dipindahkan ke Kasiruta lantaran ancaman gunung berapi Kie Besi. Kebanyakan rakyat Bacan adalah orang Makian yang ikut dalam evakuasi bersama rajanya.1 Menurut perkiraan, Kerajaan Bacan didirikan pada 1322. Tidak jelas bagaimana proses pembentukannya, tetapi bisa ditaksir sama dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, yakni bermula dari pemukiman yang kemudian membesar dan tumbuh menjadi kerajaan. Raja pertama Bacan, menurut hikayat Bacan, adalah Said Muhammad Bakir, atau Said Husin, yang berkuasa di gunung Makian dengan gelar Maharaja Yang Bertakhta Kerajaan Moloku Astana Bacan, Negeri Komala Besi Limau Dolik. 2 Raja pertama ini berkuasa selama 10 tahun, dan meninggal di Makian. Pada 1343, bertakhta di Kerajaan Bacan Kolano Sida Hasan. Dengan bekerja sama dengan Tidore, Sida Hasan berhasil merebut kembali Pulau Makian dan beberapa desa di sekitar pulau Bacan dari tangan Raja Ternate, Tulu Malamo. Mata Rantai Penguasa Bacan Kronik Bacan menyebutkan bahwa Sida Hasan naik takhta menggantikan ayahnya Muhammad Hasan.3 Pada masa Sida Hasanlah terjadi evakuasi ke Bacan. Orang-orang Makian yang dievakuasi ke Bacan menempati kawasan Dolik, Talimau dan Imbu-imbu.4 Raja yang berkuasa di Bacan setelah itu adalah Zainal Abidin. Kronik Bacan tidak menjelaskan kapan Sida Hasan maupun Zainal Abidin berkuasa. Kemungkinan besar eksis raja atau raja-raja tertentu sebagai mata rantai yang hilang antara masa Sida Hasan dan Zainal Abidin, karena Sida Hasan dikabarkan bertakhta pada 1343, sementara Zainal Abidin pada 1522. Coolhaas5 hanya mencatat bahwa Zainal Abidin memiliki dua putera, masing-masing Kaicil Bolatu dan Kaicil Kuliba. Kaicil Bolatu dikatakan memerintah Negeri Besi (Makian). Ketika Zainal Abidin wafat, Bolatu kembali ke Kasiruta dan menjadi raja 1
W.Ph, “Medelingen Betrefende de onder afdelingen Batjan” KLTI, deel 82, afl III & IV,(1926), P.17 Coolhaas, “Kroniek van het RILJK Batjan.” Tijdschrift BKWG, deel LXIII, aflevering 2,p. 477 3 Ibid, p.495 4 Ibid, p. 495 5 Ibid., p. 495. 2
di sana dengan gelar Bayanu Sirullah, sementara Kuliba kembali ke Negeri Besi dan menjalankan pemerintahan di sana. Tetapi, pemerintahannya dirasakan kurang baik oleh rakyat dan, karena itu, mereka pindah ke Tidore serta diterima kerajaan tersebut. Bayanu Sirullah kemudian digantikan oleh Sultan Alauddin I, dan setelah itu tampuk Kesultanan Bacan dipegang Sultan Muhammad Ali, ayah angkat Sultan Babullah dari Ternate. Pemerintahan Muhammad Ali kemudian dilanjutkan Sultan Alauddin II (1660-1706). Sultan Awaluddin I dan II dikenal sebagai "Sultan Dubo-dubo", lantaran memiliki postur tubuh yang jangkung. Pada masa pemerintahan Alauddin II, Ternate mengembalikan seluruh pulau Makian kepada Bacan. Alauddin II lalu mengangkat adiknya, Kaicil Musa, untuk menjalankan pemerintahan Kesultanan Bacan di Makian. Tetapi, pada masa Alauddin II ini juga terjadi skandal yang menghebohkan: penjualan pulau Obi oleh Sultan Bacan kepada Kompeni seharga 800 ringgit.6 Dikabarkan bawah Alauddin II pernah berkunjung ke Ambon bersama Kapita Lautnya. Pada 25 Februari 1660, Sultan Alauddin II bersama Kapita Laut Panunusa menumpang dua juanga dan mendarat di Hila, Ambon. Di sini Alauddin II bertemu dengan Salahakan Ternate yang ditempatkan di Ambon serta penguasa Kompeni, Huistart. Ketika Alauddin II wafat, para bobato Kesultanan Bacan mengangkat Kaicil Musa sebagai penggantinya. Sultan Bacan ini bergelar Sultan Malikiddin. Pemerintahan Makian yang ditinggalkan Kaicil Musa, karena pengangkatannya sebagai Sultan Bacan, diserahkan kepada Kaicil Tojimlila, yang kemudian wafat di pulau tersebut. Setelah Sultan Malikiddin meninggal dunia, ia digantikan Kaicil Kie, yang ketika bertakhta menyandang gelar Sultan Nasruddin. Nasruddin mengangkat Kaicil Lewan untuk memerintah Makian. Tetapi, masa pemerintahan Kaicil Lewan merupakan masa pemerintahan Kesultanan Bacan yang terakhir di Makian. Sejak saat itu, Makian dianeksasi Ternate dan kekuasaan Bacan tidak pernah lagi kembali ke sana. Sumber lainnya menyebutkan bahwa setelah Sultan Alauddin II wafat, ia digantikan kakaknya Sultan Musom, yang kemudian digantikan oleh puteranya Mansur. Sultan Mansur dinobatkan pada 19 Juli 1683. Ia adalah seorang sultan yang cerdas dan memiliki kekuatan fisik yang luar biasa. Ia juga memiliki keterampilan pandai emas yang dimanfaatkan untuk membuat perhiasan emas perak bagi Kesultanan Bacan. Pemerintahannya dijalankan dengan ketat, dan ia berupaya mendidik rakyatnya untuk tidak bermalas-malasan.
Sultan Mansur digantikan adiknya Musom, yang sebelumnya menjabat
sebagai Jogugu (1709). Ketika bertakhta, Musom berusia 50 tahun. Tetapi, kualitas pribadi 6
Ibid, p. 499
Musom berbeda dari Mansur. Ia tidak secerdas Mansur serta berperangai pemarah dan pendendam. Pada masa pemerintahannya berjangkit wabah cacar yang menewaskan ribuan orang. Rakyat Bacan yang sebelumnya tercatat 12.000 jiwa, setelah wabah cacar tinggal 10.000 jiwa. Itulah sebabnya, Sultan Musom juga digelari "Raja tanpa rakyat." Yang diketahui sebagai pemegang tampuk kekuasaan Bacan setelah itu adalah Sultan Tarafannur. Di masa pemerintahan Tarafannur, Bacan memperoleh lima daerah baru yang masuk ke dalam wilayah kekuasaannya, masing-masing Gane, Saketa, Obi, Foya dan Mafa (Halmahera Barat). Pada masa ini pula, Sangaji Gane membawa puterinya bernama Talimal ke Bacan untuk menjadi Ngofamanyira. Talimal adalah perempuan pertama Maluku yang menjadi Ngofamanyira. Tarafannur kemudian digantikan oleh Muhammad Sahaddin. Bacan dan VOC Pada 7 Nopember 1653, Bacan membuat perjanjian dengan Kompeni tentang ekstirpasi cengkih. Pada 1660, Bacan bersama Ternate dan Tidore menandatangani sebuah perjanjian tentang batas-batas teritorial masing-masing kesultanan. Dalam perjanjian ini, Bacan diakui hak dan kedaulatannya atas Laiwui, Sembaki, Bacan Tua, Salap, Macoli, Wuiyama, Turongara, Piga Raja, Bariati dan Taspa. Kompeni sendiri mengakui batas-batas wilayah Bacan tersebut. Kesultanan Bacan, selain menguasai seluruh kepulauan Bacan dan Obi, juga memiliki daerah taklukan berupa beberapa desa di Seram – yakni Lisabata, Hatuwe, Saway, Laulata, Poputa, Bowur, Tulusy, Soleman dan Hatilen – serta di Papua. Pada 1672, penduduk desa-desa di Seram meminta kepada Gubernur Kompeni di Ambon agar mereka berada langsung di bawah pemerintahan Kompeni Belanda, karena buruknya pelayanan Kesultanan Bacan. Komisaris Kompeni Padtbrugge menyetujui usul tersebut dan selama 35 tahun berikutnya daerah kekuasaan Bacan di Seram itu langsung berada di bawah pemerintahan Kompeni. Baru pada 1707, Sultan Muhammad Sahiddin dari Bacan meminta agar Kompeni mengambalikan daerah ini. Gubernur Ambon mengabulkan permintaan tersebut dan kembalilah wilayah Seram itu ke pangkuan pemerintahan Bacan. Untuk keperluan serah terima wilayah ini, Sultan Muhammad Sahiddin mengutus putera mahkotanya. Pada 1676 Sultan Bacan membuat pernyataan tentang integrasi daerah Obi di bawah Kompeni. Hal ini tidaklah berarti bahwa Obi telah dilepaskan Bacan dan menjadi bagian dari administrasi Kompeni. Dalam kenyataannya, Obi tetap menjadi daerah Kesultanan Bacan, tetapi berada di bawah perlindungan Kompeni. Jadi, pada 6 Mei 1682, Sultan
Bacan menyetujui bantuan Kompeni atas beberapa kampung di Obi seperti Gamano, Belang Bilato dan Tapa Salila. Berbeda dengan Ternate, Bacan baru memberikan hak monopoli perdagangan rempahrempah kepada Kompeni pada 1667. Ketika Kompeni mengeluarkan perintah untuk menebang pohon-pohon cengkih guna mendongkrak harga di pasaran dunia, Bacan bersama Tidore agak ogah-ogahan menjalankan perintah tersebut. Itulah sebabnya, pada 17 Juli 1780 Pemerintah Kompeni mengeluarkan acte van investiture yang menuduh Bacan – demikian juga Tidore – telah "melawan" Kompeni dan melanggar berbagai perjanjian yang telah dibuat di antara keduanya.7 Kompeni juga menuduh Bacan terlibat berbagai kasus penyelundupan rempah-rempah ke Seram Timur dan bersekongkol dengan para perompak Mindanao.8 Akibatnya, Sultan Iskandar Alam dari Bacan dicopot dan digantikan dengan Kaicil Ahmad. Ketika Nuku mengancam seluruh Maluku Utara lewat perjuangannya untuk membebaskan diri dari penjajahan Belanda, Kompeni minta bantuan Bacan menahan kemajuan militer Nuku dan mempertahankan kepulauan Lata-lata, Obi serta Buru. Dengan setengah hati Sultan Iskandar Alam – sebelum pencopotannya – menyiapkan sebuah komisi peperangan yang dipimpinnya sendiri bersama Gezaghebber G.F. Durr sebagai sekretaris dan beranggotakan Jogugu Naim, Kapita Laut Malik, Hukum Atiatun, Mayor Abdul Halim, Kimalaha Marsaoli Haiyat, Sangaji Mandioli Totoho dan Kimalaha Sapangala Bahadin. Komisi ini menyiapkan 300 tentara yang dibiayai Kompeni. Namun, ketika Nuku menyerbu Bacan bersama armada Inggris pada 1781, Sultan Bacan dan komisi perangnya berbalik memihak Nuku. Itulah sebabnya Iskandar Alam segera dicopot dan digantikan dengan Kaicil Ahmad. Iskandar Alam dipandang tidak lagi dapat dipercaya. Sewaktu Belanda mensubordinasi Kesultanan Bacan dan kesultanan Maluku lainnya ke dalam sebuah keresidenan, Belanda menempatkan pejabat-pejabatnya di sana dalam jabatan berikut: Sejak 1883-1903 ditempatkan Controleur, sejak 1903-1915 ditempatkan Posthouder, dan sejak 1915-1942 kembali ditempatkan Controleur.9
7
Dr. F.W. Stapel, Op.cit., pp. 433 ff. Ibid., pp. 453 ff. 9 P.A. Leupe, "De Verdediging van Ternate onder den Gouverneur Johan Godfried Budach 1796-1799," Tijds. Kon. Instituut, deel VIII, pp. 290 ff. 8