RESTORASI LAHAN GAMBUT DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan Kota
Disusun oleh: Briantama Maulana
(125060607111019)
Nisrina F Shakia
(165060601111007)
Fakhri El Islami
(165060601111023)
Ella Ayu Pradita
(165060601111042)
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA OKTOBER 2017
RESTORASI LAHAN GAMBUT DI INDONESIA 1.
Pengertian Lahan Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam Bahasa Inggris, antara lain
disebut peat, bog, moor, mire, atau fen. Istilah-istilah ini berkenaan dengan perbedaan jenis atau sifat gambut antara satu tempat dan tempat lainnya. Istilah gambut diambil dari kosa kata bahasa daerah Kalimantan Selatan (Suku Banjar). Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Pengertian gambut di sini sebagai bahan onggokan dan secara umum diartikan sebagai bahan tambang, bahan bakar (non-minyak), bahan industri, bahan kompos, dan lain sebagainya (Noor, 2001). Menurut Andriesse (1992) dalam Noor (2001), gambut adalah tanah organik (organic soils), tetapi tidak berarti bahwa tanah organik adalah tanah gambut. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga bagian tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peaty muck, muck). Petani Kalimantan Barat menamakan tanah ini dengan sebutan sepuk, tetapi istilah gambut dan sepuk sering diidentikkan dengan pengertian tanah gambut. Maka, dalam istilah tanah gambut secara umum termasuk pula yang disebut dengan sepuk. Pengertian tentang gambut yang lebih menitikberatkan sebagai medium pertumbuhan tanaman sama sekali berbeda dengan pengertian gambut untuk tujuan industri atau energi. Dalam konteks ini, gambut diartikan sebagai suatu bentukan menurut konsep pedologi, yang morfologi dan sifat-sifat bentukan tersebut sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik yang dikandungnya (Notohadiprawiro, 1998 dalam Noor, 2001). Pengertian gambut yang lebih luas mencakup aspek kendala lahan dan lingkungan spesifik bagi pengembangan pertanian. Dalam hal ini, acapkali digunakan istilah lahan gambut (peatlands). Penggunaan istilah lahan dalam konteks gambut untuk menunjukkan tingkat kendala dan peluang jika dimanfaatkan sebagai wilayah pengembangan pertanian (Widjaja Adhi, 1986 dalam Noor, 2001). Istilah lain untuk lahan gambut juga sering digunakan yaitu rawa gambut (peatswamps, marsh) yang diartikan kadang-kadang sebagai
lahan basah (wetlands). Namun, tidak berarti semua lahan basah adalah lahan rawa atau lahan gambut. Dengan kata lain, lahan gambut mempunyai harkat secara umumsebagai lahan basah karena berkaitan dengan air dan harkat secara khusus yang berkaitan dengan gambut (Notohadinegoro, 1996 dalam Noor, 2001). Dalam pengertian terakhir ini, gambut diartikan sebagai kawasan budidaya pertanian (Noor, 2001). Dalam klasifikasi tanah (soil taxonomy), tanah gambut dikelompokkan ke dalam ordo histosol (histos dari Bahasa Yunani = jaringan) atau sebelumnya dinamakan organosol yang mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral umumnya. Tanah gamb ut mempunyai sifat beragam karena perbedaan bahan asal, proses pembentukan, dan lingkungannya (Noor, 2001).
2.
Manfaat Lahan Gambut Lahan gambut merupakan sumberdaya yang semakin penting untuk perluasan
budidaya tanaman, baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, karena penyediaan lahan yang berkesuburan relatif lebih tinggi semakin langka. Jenis-jenis tanaman tertentu tampaknya lebih adaptif pada tanah-tanah gambut, khususnya bila faktor yang utama dipertimbangkan adalah ketebalan gambut. Tanaman hortikultura tampaknya adalah yang paling sesuai disusul oleh tanaman keras dan tanaman industri. Tanaman-tanaman padi dan palawija tampaknya hanya cocok untuk gambut dangkal (Radjagukguk, 2000). Khusus untuk tanaman keras, untuk memperbaiki kapasitas menahan dan sekaligus meningkatkan persinggungan antara akar dan matriks tanah gambut, perlu dilakukan pemadatan zona perakaran pada jalur penenaman dengan alat-alat berat. Setelah pemadatan, laju subsidensi ternyata menjadi sangat rendah (Radjagukguk, 2000).
3.
Persebaran Lahan Gambut di Indonesia Lahan gambut di Indonesia terdapat di Indonesia terdapat di dataran rendah dan
dataran tinggi. Pada umumnya, lahan rawa gambut di dataran rendah terdapat di kawasan rawa pasang surut dan rawa pelembahan, terletak di antara dua sungai besar pada fisiografi/landform rawa belakang sungai (backswamp), rawa belakang pantai (swalle), dataran pelebahan (closed basin), dataran pantai (coastal plain). Lahan rawa gambut di dataran tinggi umumnya terdapat di cekungan (closed basin) seperti yang terdapat di Padang Sidempuan (Sumatera Utara), dan Danau Sentarum, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat). Sebagian besar lahan rawa gambut terdapat di dataran rendah dan hanya sebagian kecil yang terdapat di datara tinggi (Badan Restorasi Gambut, 2016).
Gambar 1 Lahan Gambut di Indonesia Sumber: Anonim (2013)
Ciri-ciri gambut Indonesia umumnya memiliki kubah gambut besar dan berhutan (woody peat) mencakup lahan gambut rawa dan hutan yang luas dan berada di daerah lanskap rendah. Terletak terutama di antara sungai-sungai besar. Lokasi gambut paling besar tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Gambut tropis Indonesia merupakan satu ekosistem penting di antara ekosistem lain (high carbon reservoir ecosystem) berkat peran vitalnya sebagai penampung karbon dan air serta daya dukungnya kepada sekosistem sungai dan pantai (BRG, 2016). Tabel 1 Persebaran Lahan Gambut di Indonesia Pulau Luas (ha) Sumatera 5.965.220 Kalimantan 5.036.164 Papua 4.931.054 15.932.438 Jumlah Sumber: BRG (2016)
Tabel 1 memuat mengenai persebaran lahan gambut yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki luas lahan gambut sebesar 15 juta ha yang tersebar di 3 pulau yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Luas lahan gambut terbesar dimiliki oleh Pulau Sumatera, kemudian disusul oleh Kalimantan dan Papua. Peta 1 menampilkan persebaran lahan gambut di Indonesia.
Peta 1 Peta Sebaran Gambut Indonesia Sumber: BRG (2016)
4.
Kerusakan Lahan Gambut Kerusakan lahan gambut di Indonesia disebabkan oleh 2 kegiatan yaitu drainase
terbuka dan kebakaran lahan. Lahan gambut merupakan lahan yang menyimpan karbon jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah mineral. Pada daerah tropis, kandungan karbon yang dimiliki lahan gambut mencapai 10 kali lipat daripada kandungan karbon yang disimpan oleh tanah mineral. Apabila tanaman pada lahan gambut terbakar, maka tidak hanya tanaman tersebut yang akan terbakar, tetapi juga beberapa cm lapisan gambut bagian atas yang berada dalam keadaan kering. Keadaan ini akan menyebabkan bara api pada lahan gambut dapat bertahan berminggu-minggu.
Gambar 2 Kerusakan Lahan Gambut Sumber: BRG (2016)
Perubahan akan fungsi lahan gambut ini menyebabkan kerugian ekologis yang besar. Kerusakan ekosistem gambut dapat berdampak lingkungan setempat maupun lingkungan sekelilingnya. Kejadian banjir di hilir sungai merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem gambut. Selain itu, hal ini juga menyebakan lahan gambut kering dan mudah terbakar.
Peta 2 Peta Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015 Sumber: BRG (2016)
5.
Rencana Restorasi Gambut Terjadinya kerusakan lahan gambut seluas 2.261.770 ha akibat kebakaran hutan pada
tahun 2015 di Indonesia menjadi penyebab harus dilakukannya restorasi lahan gambut secepatnya. Restorasi lahan gambut ini dilaksanakan oleh lembaga baru bentukan presiden. Lembaga baru tersebut adalah BRG (Badan Restorasi Gambut). Strategi yang dilakukan dalam rangka pemulihan ekosistem gambut adalah dengan pengembangan dan peningkatan tata kelola restorasi ekosistem gambut. peningkatan sosialisasi kepada masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pelaksanaan restorasi. Restorasi ini dilaksanakan selama 5 tahun yaitu terhitung mulai tahun 2016-2020. Tahun 2016 diharapkan luas lahan yang direstorasi adalah sebesar 30%. Tahun 2017 diharapkan luas lahan yang direstorasi adalah sebesar 20%. Tahun 2018 diharapkan luas lahan yang direstorasi adalah sebesar 20%. Tahun 2019 diharapkan luas lahan yang direstorasi adalah sebesar 20%. Tahun 2020 diharapkan luas lahan yang direstorasi adalah sebesar 10%. Tabel 2 Prioritas Restorasi Lahan Gambut di Indonesia Prioritas Restorasi Priorita restorasi pasca kebakaran 2015 Prioritas restorasi kubah gambut berkanal Prioritas restorasi kubah gambut tidak berkanal Prioritas restorasi gambut berkanal Jumlah
Sumatera Selatan
Luas Lahan (ha) Kalimantan Kalimantan Barat Tengah
Kalimantan Selatan
Riau
Jambi
Papua
104.290
64.722
88.821
31.810
334.907
12.739
38.066
1.397.033
243.319
548.757
257.176
291.138
45.593
8.042
942.046
208.134
142.600
888.098
1.409.416
32.775
2.537.640
1.413.382
101.386
226.018
502.345
770.987
12.444
43.264
3.856.753
617.562
1.206.195
1.679.430
2.806.448
103.551
2.627.011
Sumber: BRG (2016)
Tabel 2 memuat mengenai luas lahan gambut sesuai dengan prioritas restorasi yang harus dilakukan. Melalui tabel tersebut dapat diketahui bahwa untuk Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Kalimantan Selatan prioritas restorasi adalah restorasi terhadap kubah gambut berkanal. Sementara untuk Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Papua restorasi yang paling utama untuk dilakukan adalah restorasi terhadap kubah gambut tidak berkanal.
6.
Pelaksanaan Restorasi Lahan Gambut hingga Pertengahan 2017 BRG mencatat bahwa mulai tahun 2016 hingga pertengahan 2017, lahan gambut
yang telah direstorasi adalah seluas 680.000 ha dari jumlah target yang ditetapkan yaitu
sebesar 1.000.000 ha. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut mengatakan bahwa prioritas perencanaan dan pelaksanaan restorasi dimulai dari Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan serta Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Tabel 3 Prioritas Restorasi pasca Kebakaran 2015 Kabupaten Musi Banyuasin Ogan Komering Ilir Kepulauan Meranti Pulang Pisau Jumlah Sumber: BRG (2016)
Luas Lahan (ha) 291.054 1.087.938 363.476 519.320 2.261.770
Tabel 3 menjelaskan mengenai luas lahan yang harus direstorasi pasca kebakaran pada tahun 2015. Lahan gambut tersebut terletak di 4 kabupaten yaitu Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Kepulauan Meranti, dan Kabupaten Pulang Pisau. Luas lahan gambut terbesar yang harus direstorasi adalah lahan gambut yang berlokasi di Kabupaten Ogan Komering Ilir yaitu sebesar 1.087.938 ha.
Gambar 3 Lahan Gambut yang Telah Direstorasi Sumber: Anonim (2016)
Gambar 3 menampilkan lahan gambut yang telah direstorasi di Indonesia. Lahan gambut ini direstorasi oleh BRG dengan bantuan Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Restorasi lahan gambut di Indonesia menarik perhatian dunia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara pertama yang melaksanakan restorasi untuk lahan gambut. Melalui restorasi gambut yang telah dilaksanakan, Indonesia berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 1 giga ton, sehingga PBB menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara percontohan dunia dalam upaya restorasi gambut.
DAFTAR PUSTAKA Badan Restorasi Gambut. (2016). Rencana Strategis Badan Restorasi Gambut 2016-2020. Noor, M. (2011). Pertanian Lahan Gambut Potensi dan Kendala. Depok: Kanisius. Radjagukguk, B. (2000). Perubahan Sifat-sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut Akibat Reklamasi Lahan Gambut untuk Pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan II (1): 1-15. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php/11.pdf.