Regulasi Media Di Indonesia.docx

  • Uploaded by: Eleanor Rigby Raymondalexar
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Regulasi Media Di Indonesia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,305
  • Pages: 3
Regulasi Media di Indonesia Eleanor Rigby Raymondalexar 18/437429/PSP/06568 Regulasi terhadap media pada awalnya dilakukan secara terpisah yang menempatkan media sebagai entitas yang berdiri sendiri. Misalnya UU Pokok Pers untuk mengatur media cetak, mengenal UU Perfilman untuk mengatur tentang Film, UU Penyiaran untuk mengatur penyiaran dengan menempatkan masing-masing media sebagai sebuah entitas yang berdiri sendiri. Begitu pula yang terjadi di AS, negara memperlakukan media yang berbeda dengan doktrin yang berbeda. Pers, pos, penyiaran, dan telepon masing-masing mematuhi aturan yang berbeda (Bar and Sandvig, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa di negara maju seperti AS pun pembuat kebijakan sepertinya lebih menyukai adaptasi secara bertahap dari peraturan lama daripada mendesain ulang kebijakan secara mendasar. Mereka telah cenderung memilih untuk memperlakukan media baru dengan kebijakan yang sebelumnya diterapkan pada apa pun yang tampaknya mirip, atau untuk menyesuaikan melalui pertambahan pengecualian dan penambahan. Pada era konvergensi media saat ini, sudah seharusnya pemerintah selaku pembuat kebijakan beradaptasi dengan perkembangan. Regulasi yang berbeda atau bahkan lembaga pemerintah yang berbeda untuk setiap perangkat yang memberikan layanan sama mungikin sudah tidak relevan lagi. Mengingat bahwa konvergensi telah menyebabkan semuanya menyatu seiring pesatnya kemajuan teknologi komunikasi digital dan para penyedia layanan telekomunikasi sedang mengadopasi model bisnis yang didasarkan pada ‘multiple play’ ini (Singh dan Raja, 2010). ‘Multiple play’ merujuk pada situasi yang di dalamnya sebuah penyedia layanan menggunakan jaringan komunikasi tunggal. Kemunculan media-media online semakin tidak terbendung, keberadaannya, secara otomatis akan menjadi konsumsi masyarakat tanpa membedakan mana yang memenuhi kode etik jurnalistik, serta memenuhi syarat sebuah perusahaan media. Hal ini membuat siapa pun dapat membuat media, bisa ditutup dan dibuka lagi. Melihat perkembangan semacam ini, idealnya pemerintah selaku regulator mampu membuat regulasi yang relevan yang mengatur model bisnis baru dan perubahan yang terjadi dalam sektor teknologi informasi dan komunikasi. Regulasi media di Indonesia terus berganti seiring perubahan rezim kekuasaan. Pergantian penguasa dari Soekarno ke Soeharto mengubah ideologi pers Indonesia dari pers perjuangan menjadi pers industri. Perubahan paling radikal terjadi pasca rezim Soeharto runtuh. Terutama ketika presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan, lembaga terpenting yang sebelumnya dimanfaatkan pemerintah untuk mengontrol dan menguasai media. Hingga saat ini, media massa di Indonesia telah mengenal sejumlah peraturan perundangan. Regulasi-regulasi tersebut muncul dan kemudian mengalami revisi menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berlaku pada saat regulasi diundangkan. Beberapa regulasi media di Indonesia di antaranya: Pertama, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Pers yang dahulu mengatur media cetak, kini berlaku secara general untuk seluruh industri media termasuk media online. UndangUndang ini mengatur tentang perusahaan pers, dewan pers, kantor berita, wartawan, organisasi pers, pers nasional, pers asing, penyensoran, pembredelan, hak tolak, hak jawab, hak koreksi, kewajiban

koreksi, kode etik jurnalistik. Kedua, UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mengatur tentang telekomunikasi di Indonesia, yaitu alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi, pemancar radio, jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi, pemakai, pelanggan, pengguna. Ketiga, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang mengatur mengenai hak cipta, yaitu pencipta, ciptaan, dewan hak cipta, pemegang hak cipta, pengumuman, perbanyakan, potret, program komputer, pelaku, produser rekaman suara, lembaga penyiaran, lisensi Sedang untuk penyiaran, diatur melalui UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang diperjelas melalui serangkaian PP Penyiaran 2005, yang terdiri dari PP 49/2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing PP 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP 51/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP 52/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Munculnya UU Penyiaran tahun 2002 telah membuka jalan bagi demokratisasi penyiaran di Indonesia karena mampu menghadirkan lembaga baru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang berperan sebagai lembaga pengahur penyiaran yang independen. Selain itu, mendorong desentralisasi penyiaran dengan mengamanatkan pengembangan sistem penyiaran berjaringan bagi lembaga penyiaran yang ingin bersiaran secara nasional. Setidaknya, aturan ini temuat dalam pasal 6 (3), pasal 31 (1), dan pasal 31 (3). Serta berupaya mencegah monopoli kepemilikan dan demokratisasi informasi melalui memberagamkan kepemilikan dan konten isi siaran. Aturan ini tertuang dalam pasal 18 dan 20. Aturan-aturan tersebut, secara rincinya tertuang dalam peraturan pendukung yakni PP No. 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Implementasi sebagian amanat UU dan PP Penyiaran, khususnya pada aturan-aturan yang ditentang kelompok-kelompok media besar siaran berjaringan dan kepemilikan silang belum dapat terwujud. Hal ini karena KPI menilai beberapa aturan dalam PP bertentangan dengan UU Penyiaran. Dari segi media massa sendiri, aturan-aturan mengenai sistem siaran berjaringan dan larangan kepemilikan silang akan mengurangi keuntungan dari bisnis medianya, karena mereka harus melepas kepemilikan stasiun relainya di daerah dan melepas sebagian media yang dimilikinya. Sementara dari segi regulasi sendiri, masih banyak celah yang dapat dijadikan tameng bagi kelompok-kelompok media untuk melindungi diri. Larangan kepemilikan silang pada Pasal 33 PP No. 50/2005 misalnya, diberikan terhadap entitas LPS, bukan pada perseorangan atau badan hukum. Secara tidak langsung, ini membenarkan kepemilikan silang yang dilakukan oleh kelompok-kelompok media pengembangan sistem siaran berjaringan, pemerintah sendiri agaknya memang tidak tegas dalam menegakkan amanat undang-undang. Berdasarkan Pasal 60 UU Penyiaran, seharusnya siaran televisi nasional melalui stasiun relai tidak lagi diperbolehkan karena telah melewati tiga tahun masa penyesuaian (Ayat 2) dan tambahan toleransi dua tahun (Ayat 3). Namun pemerintah melalui Depkominfo (kini Kemenkominfo) justru mengeluarkan keputusan yang seolah mencederai semangat demokratisasi dan desentralisasi penyiaran serta mengabaikan amanat undang-undang melalui Permenkominfo No 32/Per MKOMINFO/12/2007. Dalam peraturan tersebut, Menkominfo, yang saat itu dijabat oleh Muhammad Nuh, menunda tenggat waktu pelaksanaan system siaran berjaringan hingga 28 Desember 2009. Berikutnya, sampai mendekat tenggat waktu itu, sistem siaran berjaringan tak juga terlaksana. Bahkan, Kemenkominfo yang baru Tifatul Sembiring, melalui Siaran

Pers No 201 /PIH/KOMINFO/10/2009 kembali menunda implementasi sistem siaran berjaringan hingga tenggat waktu yang tidak ditentukan. Sebagai respon terhadap tidak memadainya regulasi yang ada, pada Oktober 2011, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) mengajukan judicial review untuk Pasal 18 (1) dan Pasal 34 (4) UU Penyiaran 2002. KIDP beranggapan bahwa merjer dan akuisisi di antara perusahaan-perusahaan penyiaran sudah berjalan terlalu jauh dan telah melanggar esensi dari UU Penyiaran, yaitu mempertahankan karakter publik dari media. Pada November 2011, regulasi mengenai media, khususnya media penyiaran, bertambah. Untuk mempersiapkan dan mengatur siaran digital, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan Permenkominfo No. 22/Per/M.Kominfo/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Tele Berbayar dan Permenkominfo No. 23/Per/M.Kominfo/11/2011 tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial pada Pita Frekuensi Radio 478-694 Mhz. Peraturan itu, khususnya Permenkominfo No. 22, banyak mendapat tentangan karena dinilai bertentangan dengan UU Penyiaran 2002. Selanjutnya, regulasi terkait media juga datur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur tentang informasi elektronik, transaksi elektronik, dokumen elektronik, sistem elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik, jaringan sistem elektronik, agen elektronik, tandatangan elektronik. Sedangkan untuk Keterbukaan Infoemasi Publim diatur dalam UU No. 14 Tahun, yang mengatur mengenai informasi publik, badan publik, komisi informasi, sengketa informasi public, mediasi, pengguna informasi publik, pejabat pengelola informasi. Di era information society saat ini, dimana kebutuhan masyarakat atas informasi meningkat cukup signifikan menjadi salah satu latar belakang munculkanya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. Di satu sisi undang-undang ini menjadi jaminan atas informasi publik dan di sisi lain undang-undang ini menjadi payung hukum bagi lembaga publik dalam menjalankan fungsinya dalam menyediakan informasi dan menghindari sengketa informasi. Ada pula regulas terkait Perfilman yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2009 yang mengatur film di Indonesia yaitu perfilman, kegiatan perfilman, usaha perfilman, iklan film, insan film, sensor film. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini regulasi terhadap media di Indonesia masih cenderung terpisah-pisah. Meskipun sudah mengalami pergantian kekuasaan dan revisi terhadap regulasi. Namun proses perubahan regulasi yang terjadi sifatnya masih bertahap, cenderung lambat dan tidak efektif. Sedangkan perkembangan teknologi di era konvergensi sudah sangat cepa. Bahkan beberapa media besar sudah mulai mengarah pada konglomerasi. Ada kalanya regulasi yang dibuat justru tumpang tindih dan saling bertentangan. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah sebagai aktor utama regulasi melakukan intervensi, mencari cara baru dalam melakukan pengendalian terhadap informasi dan membuat regulasi yang terkait dengan jaminan adanya akses warga negara terhadap saluran komunikasi dan informasi.

Related Documents

Regulasi Ppra.docx
December 2019 26
Regulasi Hormon
August 2019 36
Regulasi Mfk.docx
June 2020 17
Regulasi Semen.docx
July 2020 12

More Documents from "Rizal Emangk Gantengz"

Proses Coding.docx
December 2019 3
December 2019 9
Fifth Quiz.docx
June 2020 11
05.23.18.docx
April 2020 0