Reformasi Di Persimpangan Jalan Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang Mahasiswa FISIP Unpad
Dalam Pidato Lahirnya Pancasila di Bandung, Bung Karno mengatakan bahwa kemerdekaan bukanlah kata akhir. Merdeka dimaknai sebagai sebuah “jembatas
emas”
dimana
hanya
sebagai
pintu
gerbang
untuk
menyempurnakan sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan. Begitu juga dengan reformasi yang menghasilkan kebebasan dan demokrasi. Kita tidak boleh menganggap demokrasi adalah tujuan final,sehingga kita lupa untuk mensejahterakan dan mengelola demokrasi tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apa yang mau disampaikan di sini adalah,bahwa alat dan tujuan itu berbeda. Bahwa reformasi hanyalah sebuah pintu gerbang dan demokrasi merupakan alat (tools). Namun,tendensi ke arah pengerdilan demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat semakin kental. Demokrasi memang bukan dijadikan tujuan,namun menjadi alat untuk celah berkuasanya para pembajak demokrasi. Kebebasan yang diwartakan demokrasi menjadi legitimasi elitelit untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Demokrasi kita hari ini adalah demokrasi semu,demokrasi yang makan-memakan dan cenderung proseduralistik namun miskin aspek substantif. Artinya,reformasi yang menelurkan demokrasi belum mampu dikelola secara efektif dalam
memajukan kesejahteraan umum.Kita masih jauh dari demokrasi politik yang menjamin hak-hak rakyat tersampaikan,kita masih bermimpi dengan demokrasi ekonomi dimana terkandung kesejahteraan yang berkeadilan sosial.Rakyat masih menjadi objek demokrasi dan belum bisa berdikari dalam ekonomi. Reformasi diartikan sebagai perubahan bertahap melalui perundangundangan, artinya melalui proses legislatif yang konstitusional-demokratis. Reformasi (Latin: reformare) berarti: (1) Perbaikan melalui perubahan bentuk atau dengan menghilangkan yang salah-salah, (2) Mengakhiri ketidakbaikan dengan menggunakan paradigma, cara, metoda baru yang baik, (3) Pembaruan instrumental-prosedural (nonprinsipal).Perubahan hubungan kelembagaan memang telah banyak berubah,amandemen UUD boleh saja dilakukan,puluhan regulasi (peraturan) telah terselesaikan. Namun,itu hanya perubahan dalam tataran permukaan dan belum menyentuh kepentingan rakyat. Di lapangan politik,rakyat masih menjadi penonton dagelan teater politik elit. Harusnya dalam demokrasi,menjadi subjek itu penting dan memang hakikatnya. Namun,partisipasi masyarakat hanya rutinitas lima tahunan dalam bilik-bilik suara.Bahkan tidak sedikit yang kemudian memilih “say no to politics”. Hari ini walau sudah ada sedikit kemajuan dalam memaknai demokrasi,rakyat secara keseluruhan masih buta politik. Dalam ruang ekonomi,kesenjangan sosial makin mengangga.Angka kemiskinan masih saja tinggi. Kata sejahtera mash menjadi mimpi di siang hari.Di meja makan kadang hanya tersedia lauk pauk “keluh kesah” akibat semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.Rakyat sebenarnya tidak minta
banyak.
Rakyat
mayoritas
ingin
cukup
sandang,pangan dan
papan.Bahkan terkadang hanya dengan bisa makan tig kali sehari pun sudah terasa bak “oase di padang tandus”. Reformasi tidak banyak bicara tentang ekonomi,namun asyik berkubang dalam lingkaran politik semata. Padahal
seperti
kita
ketahui,demokrasi
politik
saja
tidaklah
cukup.Kebijakan neoliberal pemerintah harus dirombak dengan pola-pola negara kesejahteraan (welfare state) agar pemerintah sadar bahwa tangung jawabnya besar dalam bidang pendidikan,ekonomi,politik dan sosial budaya. Reformasi Indonesia yang digaungkan sebelas tahun yang lalu oleh mahasiswa dan kelas menengah lainnya memang tidak punya road map yang
komprehensif.Reformasi
bukanlah
hal
yang
matang
direncanakan,namun masih tampak ibarat “mendapat durian runtuh”. Akibatnya elit-elit yang kemudian berganti jubah menjadi pendukung reformasi yang kemudia mengambil alih kemudi. Untuk mengembalikan reformasi pada rel-nya ada beberapa langkah yang bisa kita pertimbangkan. Pertama,mengamandemen UUD 45 secara radikal dengan menghapus pasal-pasal yang selama ini menjadi biang karut marutnya persoalan.Cara ini mungkin tampak beresiko tinggi.Namun, terkadang kita harus berani melakukan hal besar demi mendapat hasil yang maksimal pula. Kedua,memilih pemimpin yang pro agenda reformasi pro rakyat. Pemilu adalah momentum strategis untuk mewujudkan hal itu. Jangan pilih pemimpin yang mengingkari janji dan tidak pro rakyat. Ketiga,penguatan instrumen civil society ( LSM,Pendidikan tinggi,pers dan insitusi hukum). Hal ini sangat penting untuk menjembatani antara masyarakat dengan negara.Peran yang dambil instrument ini bisa bersifat komplementer,korektif
dan
mitra
bagi
pemerintah.Hal
ini
untuk
merangsang tingkat partisipasi rakyat dalam pembangunan yang bottom up.