Refleksi Kasus
1. IDENTITAS PASIEN Nama Pasien
: An. R
Umur
: 3 bulan 26 hari
Jenis Kelamin
: Laki- laki
Agama
: Islam
Alamat
: Semarang
Bangsal
: Nakula 4
No. CM
: 457XXX
Tanggal Masuk RS
: 16 Maret 2019
Nama Ayah
: Tn. R
Umur
: 28 tahun
Pekerjaan
: Koki
Nama Ibu
: Ny. S
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
:Guru
2. DATA DASAR 2.1. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS) Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal 18 Maret 2019 jam 16.00 WIB di PICU dan didukung dengan catatan medis. 2.1.1. Keluhan utama : Panas (+) 2.1.2. Keluhan tambahan : Batuk (+), sesak (+). 2.1.3. Riwayat Penyakit Sekarang 4 hari SMRS : ibu pasien mengeluhkan anaknya batuk yang dirasakan terus menerus, dan disertai pilek. Keluhan disertai demam dengan suhu
tubuh pasien mencapai 37℃ saat diukur di rumah. Ibu pasien sudah memeriksakan pasien ke bidan terdekat serta diberikan obat batuk sirup dan obat penurun panas. Setelah pemberian obat tersebut ibu mengatakan pasien sempat turun panasnya namun kembali naik sampai suhu 38℃ dan keluhan batuk tidak berkurang. Saat malam hari pasien tampak sulit tidur. Anak masih mau makan dan minum. Terdapat keluhan lain yaitu BAB cair 6 kali, sekali BAB jumlah kira-kira 1/3 gelas belimbing, ampas (+), lendir (+), darah (-). BAB berwarna kuning seperti air, tidak menyemprot, baunya tidak asam, tidak busuk, dan tidak berbuih. BAB cair, tidak disertai muntah. Pasien tampak lemah dan kurang aktif. BAK masih dalam batas normal, warna tidak pekat. Anak masih minum dan makan seperti biasa. 1 hari SMRS: ibu pasien mengeluhkan anaknya batuk lebih parah dari sebelumnya sampai terdengar bunyi grok-grok dan demam yang naik turun. Ibu masih memberikan obat yang sebelumnya diberikan. Pasien tampak sesak napas, sulit tidur dan nafsu untuk minum mulai berkurang. Pasien masih BAB cair 3x sehari. Warna kekuningan berampas sedikit, lendir (+), darah (-), bau tidak asam maupun busuk, tidak nyemprot dan tidak tampak seperti cucian beras. BAK masih dalam batas normal, warna tidak pekat. 4 jam SMRS: demam anak masih tetap dan batuk disertai suara grok-grok belum berkurang bahkan sampai anak terlihat sesak, pasien sulit makan dari sebelumnya, demam tinggi, kemudian ibu pasien memutuskan untuk membawa anaknya ke UGD RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro. 2.1.4. Riwayat Penyakit Dahulu -
Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya sering mengalami batuk sejak usia 15 hari dan pernah dirawat di NICU RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro
-
Riwayat alergi susu sapi (+)
-
Riwayat sesak (+).
2.1.5. Riwayat Penyakit Keluarga -
Tidak terdapat keluarga yang memiliki riwayat keluhan serupa.
-
Riwayat keluhan batuk lama pada keluarga disangkal.
-
Riwayat alergi pada keluarga disangkal.
2.1.6. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien tinggal bersama kedua orang tua. Total ada 3 orang yang tinggal bersama. Ayah pasien adalah seorang koki, dan ibu pasien adalah guru. Sehari-hari pasien diasuh oleh ayah, ibu, dan neneknya. Sumber biaya pengobatan ditanggung BPJS Non PBI Kesan : Sosial ekonomi cukup.
2.1.7. Riwayat Persalinan dan Kehamilan Saat hamil, ibu pasien tidak rutin memeriksakan kehamilannya ke bidan atau puskesmas. Pasien merupakan anak laki laki yang lahir dari ibu G1P1A0, usia 29 tahun, hamil 38 minggu, lahir secara spontan di bidan, anak lahir langsung menangis, warna ketuban jernih, berat badan lahir 2800 gram, panjang badan 49 cm, lingkar kepala dan lingkar dada saat lahir ibu tidak ingat, tidak ada kelainan bawaan. Kesan : neonatus aterm, lahir spontan, bayi berat lahir cukup, vigorous baby. 2.1.8. Riwayat Pemeliharaan Prenatal Ibu pasien tidak rutin memeriksakan kandungannya secara teratur ke bidan atau puskesmas terdekat dan mendapat suntikan TT 2 kali selama kehamilan. Ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan. Riwayat perdarahan dan trauma saat hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun minum jamu disangkal. Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal cukup. 2.1.9. Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan postnatal rutin dilakukan di bidan. Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal cukup.. 2.1.10. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak – Pertumbuhan •
BB lahir
: 2800 gram
•
BB saat ini
: 5,5 kg
•
PB lahir
: 49 cm
•
PB saat ini
: 65 cm
– Perkembangan Personal Sosial : Menatap muka Membalas senyum Senyum spontan Mengamati tangannya Motorik Halus : Menggenggam Memainkan kedua tangannya Memegang icik-icik Mengamati manik-manik Bahasa : Bereaksi terhadap suara Bersuara Oooahhhh Tertawa Berteriak Menoleh ke bunyi icik-icik Motorik Kasar : Mengangkat kepala Duduk kepala tegak Menumpu beban pada kaki Dada terangkat menumpu pada lengan Membalik
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan sesuai anak seusianya. 2.1.11. Riwayat Imunisasi HepB
: 3 kali, usia 0,2,3 bulan
Polio
: 3 kali, usia 0,2,3 bulan
BCG
: 1 kali, usia 1 bulan
DTP
: 1 kali, usia 2 bulan
Kesan : Imunisasi lengkap sesuai usia pasien hanya berdasarkan alloanamnesa dengan ibu pasien oleh karena buku KMS tidak dibawa. 2.1.12. Riwayat Lingkungan Sanitasi lingkungan tempat pasien tinggal cukup baik. Tetangga sekitar rumah tidak mengeluhkan hal serupa. Kesan : sanitasi baik. 2.1.13. Riwayat Makan dan Minum Anak Sejak lahir anak sudah mendapatkan ASI sampai sekarang. Sebelumnya pernah diberikan susu formula tetapi anak alergi kemudian diberikan susu soya tetapi anak tidak mau kemudian kembali meminum ASI sampai sekarang. Sebelum menyusui ibu selalu cuci tangan terlebih dahulu. Kesan : kualitas dan kuantitas makanan cukup, kebersihan baik. 2.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 18 Maret 2019 di bangsal Nakula 4 RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang. 2.2.1. Keadaan umum : Composmentis, tampak sakit sedang. 2.2.2. Tanda vital (IGD)
Heart Rate
: 135 x/menit
Pernapasan
: 20x/menit
Suhu
: 37,6 o C
SpO2
: 100%
2.2.3. Status Gizi Anak laki- laki, usia 3 bulan 26 hari. BB sekarang
: 5,5 kg
PB sekarang
: 65 cm
Kesan : Status gizi baik, perawakan tubuh normal, BB normal.
2.2.4. Status Internus - Kepala : Normosefal, Kulit kepala tidak ada kelainan, rambut hitam dan distribusi merata, ubun-ubun besar cekung (-). - Kulit
: Sianosis (-)
- Mata
: Cekung (+), refleks cahaya (+/+) normal, konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-). - Hidung : Bentuk normal, sekret (+/+), nafas cuping hidung (-) - Telinga : Bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri - Mulut
(-/-).
: Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-).
- Tenggorok: Tonsil T1-T1 hiperemis (-) kripte melebar (-), mukosa dinding faring hiperemis (-) granulasi (-). - Leher
: simetris, pembesaran kelenjar limfe mandibula (-).
- Thorax 1.
Pulmo
Inspeksi : Hemithoraks dextra et sinistra simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal, intercostal dan epigastrial (-). Palpasi : nyeri tekan (-), sterm fremitus dextra et sinistra simetris. Perkusi : sonor di seluruh lapang paru Auskultasi :
suara dasar : vesikuler (+/+) menurun suara tambahan : ronkhi basah (+/+), wheezing (-/-)
2.
Cor Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial linea mid clavicula sinistra, tidak kuat angkat. Perkusi batas jantung: Tidak dilakukan pemeriksaan Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-).
- Abdomen : Inspeksi
: Datar
Auskultasi
: BU (+)
Perkusi
: Timpani (+)
Palpasi
: Supel, cubitan kulit kembali cepat, nyeri
tekan (-) - Genitalia : laki- laki, tidak ada kelainan - Ekstremitas : Superior
Inferior
Akral Dingin
-/-
-/-
Akral Sianosis
-/-
-/-
<2"
<2"
Capillary Refill Time
2.3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Hematologi Jenis
Nilai
Pemeriksaan
Normal
16/3/2019
Satuan
11-15
10,7
(g/dL)
40-52
32,40
(%)
6,0-17
7,3
(/uL)
150 – 400
538
(/uL)
18/3/2019
Satuan
Hb
Ht
Leukosit
Trombosit
b. Kimia Klinik Jenis
Nilai
Pemeriksaan
Normal
GDS
70-110
108
(mg/dL)
135,0-147,0
136
Mmol/L
3,50- 5,0
4,4
Mmol/L
1,12- 1,32
1,35
Mmol/L
Natrium
Kalium
Calsium
c. Pemeriksaan fese rutin
Feses Rutin Konsistensi
Lembek
-
Bau
Khas
Lembek
Lendir
Negatif
Darah
Negatif
Negatif
Amoeba
Negatif
Negatif
Lemak
Negatif
Negatif
Telur cacing
Negatif
Negatif
Protein
Negatif
Negatif
Karbohidrat
Negatif
Negatif
Eritrosit
0-1/LPB
Negatif
Leukosit
0-1/LPB
Bakteri
Pos (+1)
Jamur
Negatif
Lain-lain
Negatif
d. X foto thorax AP Cor
: Ukuran, bentuk dan letak normal
Pulmo : Corakan bronkovaskuler meningkat, tampak bercak di perihiler, pericardial paru. Diafragma dan sinus kostofrenikus kanan kiri normal. Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang. Tulang dan soft tissue baik.
Kesan: gambaran Bronkopneumonia.
3. RESUME Anak laki- laki usia 3 bulan 26 hari dibawa ke UGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang dengan keluhan panas disertai batuk sampai terdengar bunyi grok grok yang dirasakan terus menerus dan sesak napas. Pasien juga demam yang naik turun, sulit makan dan tidur. . Keluhan tambahan yakni BAB cair dirasakan sejak 4 hari SMRS 6 kali dalam sehari, ampas (+), lendir (+). 4 jam SMRS BAB cair 3 kali, ampas (-), lendir (+), darah (-), menyemprot (-), bau asam (-). BAK dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan umum anak kompos mentis, tampak sakit sedang, konjungtiva palpebra anemis (-/-), auskultasi paru terdengar suara tambahan ronkhi basah (+/+) , tampak mata cekung, turgor kembali lambat, bibir kering, dan bising usus meningkat, kesan gizi baik, tanda vital : nadi 135 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 37,6 o C, dan SpO2 100%
Pada pemeriksaan hematologi didapatkan Hb: 10,7g/dL, Ht: 32,4%, Leukosit: 7,3/uL, trombosit: 538/uL. Pemeriksaan X Foto thorax AP didapatkan kesan gambaran bronkopneumonia.
4. DIAGNOSIS BANDING 1. Bronkopneumonia
Berdasarkan etiologi: Viral Bakterial Jamur
Berdasarkan WHO (Anak 2 bulan – 5 Tahun): Pneumonia ringan Pneumonia berat Pneumonia sangat berat
2. Bronkiolitis 3. TB paru 4. Diare -
Berdasarkan Durasi o Diare Akut o Diare Persisten o Diare Kronis
-
Berdasarkan Dehidrasi o Diare dehidrasi ringan-sedang o Diare dehidrasi berat o Diare tanpa dehidrasi
-
Berdasarkan Etiologi o Bakterial o Viral o Jamur o Parasit
5. Status Gizi
Gizi normal
Gizi lebih
Gizi Buruk
5. DIAGNOSIS KERJA Diagnosis utama
: Bronkopneumonia
Diagnosis komorbid
: GEDS, Diaper Rash
Diagnosis komplikasi
:-
Diagnosis gizi
: Gizi baik
Diagnosis sosial ekonomi
: Cukup
Diagnosis Imunisasi
: Imunisasi dasar lengkap
Diagnosis Pertumbuhan
: Tumbuh normal
Diagnosis Perkembangan
: Perkembangan sesuai usia
6. TERAPI a. (IGD) Nebul: flixiotide 1/3 , combivent 1/3, NaCL 2cc/8jam Infus RL 10 tpm Injeksi ranitidine 1/3 amp Injeksi Dexamethasone 3x1/3 amp Zinc 3x1/2 cth b. Terapi saat di PICU a. Infus RL 3cc/kgBB/jam b. Injeksi Cefotaxim 150mg/KgBB/12 jam c. Injeksi Gentamicin 30 mg/24 jam d. Injeksi methylprednisolone 2mg/8 jam e. Nebul flixo/12 jam f. Zinc 10 mg/24 jam g. Isoprenosin ¼ cth/ 8 jam h. Salep hidrokortison dan ketokonazol pagi/sore
6. PROGNOSIS Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanam
: Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: Dubia ad bonam
CATATAN KEMAJUAN
Hari ke-1 perawatan Hari ke-2 perawatan Hari ke-3 perawatan Tanggal
Keluhan
18/3/2019 (PICU)
19/3/2019 (PICU)
20/3/2019 (NAKULA 4)
Batuk (+)
Batuk (+)
Batuk (+)
Sesak (+)
Sesak (+)
Diare (+) 3x
Diare (+)
Keadaan Umum
Tampak sakit
Tampak sakit
sedang,
sedang,
composmentis, lemas composmentis (+)
TTV
Tampak sakit sedang, composmentis
Lemas (+)
HR : 137 x/menit HR : 151 x/menit HR
:
102
x/menit
RR : 29 x/menit
RR : 38 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Suhu : 36,7 0C
Suhu : 36,50C
- Kepala
Mesocephale
Mesocephale
Mesocephale
- Mata
CA -/-, SI -/-, cekung CA -/-, SI -/-, cekung CA -/-, SI -/-, cekung -
- Hidung
-/-
-/-
/-
- Telinga
Sekret -/-, dbn
Sekret -/-, dbn
Sekret -/-, dbn
- Bibir
Sekret -/-, dbn
Sekret -/-, dbn
Sekret -/-, dbn
- Mulut
Bibir kering -
Bibir kering -
Bibir kering -
PF
Lidah
kotor
-, Lidah
kotor
-, Lidah
kotor
- Leher
stomatitis -, tonsil stomatitis -, tonsil stomatitis
- Thorax
T1/T1,
faring T1/T1,
-,
tonsil
faring T1/T1,
hiperemis -
-,
faring
Inspeksi
hiperemis -
Palpasi
Dbn,
Perkusi
KGB -
KGB -
KGB -
Datar, retraksi (-)
Datar, retraksi (-)
Datar, retraksi (-)
pembesaran Dbn,
hiperemis -
pembesaran Dbn,
pembesaran
Auskultasi
Strem
fremitus Strem
fremitus Strem
fremitus
kanan=kiri
kanan=kiri
kanan=kiri
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Cor : BJ I-II reguler, Cor : BJ I-II reguler, Cor : BJ I-II reguler, m(-), g(-), bising (-)
m(-), g(-), bising (-)
m(-), g(-), bising (-)
Pulmo : Vesikuler Pulmo : Vesikuler Pulmo
:
Vesikuler
(+/+), Wheezing (-/-), (+/+), Wheezing -/-, (+/+), Wheezing -/-, ronki (+/+)
ronki (+/+)
ronki (+/+)
Datar
Datar
BU (+) normal
BU (+) normal
- Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi
timpani
seluruh timpani
lapang Palpasi
Datar
seluruh BU (+) normal
lapang
timpani seluruh lapang
Supel, nyeri tekan Supel, nyeri tekan Supel, epigastrium
-, epigastrium
-, epigastrium
hepatomegali (-)
hepatomegali (-)
hepatomegali (-)
-
-
-
< 2 detik
< 2 detik
< 2 detik
-Ekstremitas Akral dingin
Capillary reffil Edem
nyeri
tekan -,
Terapi
-
Infus
RL
10cc/kgBB/jam
Injeksi
Infus AFF
Injeksi
150mg/12 jam
150mg/12 jam
gentamisin
Injeksi
gentamisin
cefotaxime
cefotaxime
cefotaxime
30
150mg/12 jam Injeksi
Injeksi
gentamisin 30 30
mg/24 jam PO: zinc 10
mg/24 jam
mg/24 jam
flixo I + NaCl 2cc/
Nebulisasi:
Injeksi
Nebulisasi:
mg/24 jam Methylprednis on stop
flixo I + NaCl 2cc/
12 jam
12 jam
mg/24 jam
hidrokortison +
mg/24 jam
ketokonazol
¼ cth/8 jam
PO: zinc 10
Iso prenosin
PO: zinc 10
Iso prenosin
¼ cth/8 jam
hidrokortison
Salep
hidrokortison
+
pagi/sore
Salep
ketokonazol
ketokonazol
pagi/sore
pagi/sore
BLPR
Salep
+
TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering dijumpai pada anak – anak. 7,8
ETIOLOGI Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis.6,9 Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan. 1 Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9 Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar maju1 USIA Lahir – 20 hari
ETIOLOGI YANG SERING
ETIOLOGI YANG JARANG
BAKTERI
BAKTERI
E. colli
Bakteri anaerob
Streptococcus group B
Streptococcus group D
Listeria monocytogenes
Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum VIRUS Virus Sitomegalo Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan
BAKTERI
BAKTERI
Chlamydia trachomatis
Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenzae tipe B
VIRUS
Moraxella catharalis
4 bulan – 5 tahun
Virus Adeno
Staphylococcus aureus
Virus Influenza
Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3
VIRUS
Respitatory Syncytical Virus
Virus Sitomegalo
BAKTERI
BAKTERI
Chlamydia pneumoniae
Haemophillus influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae
Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae
Neisseria meningitidis
VIRUS
Staphylococcus aureus
Virus Adeno
VIRUS
Virus Influenza
Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Synncytial virus 5 tahun – remaja
BAKTERI
BAKTERI
Chlamydia pneumoniae
Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Legionella sp
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus VIRUS Virus Adeno
Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Syncytial Virus Virus Varisela-Zoster
FAKTOR RISIKO Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang, antara lain: pneumonia yang terjadi pada masa bayi berat badan lahir rendah ( BBLR ) tidak mendapat imunisasi tidak mendapat ASI yang adekuat malnutrisi defisiensi vitamin A tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok) imunodefisiensi dan imunosupresi ( HIV, penggunaan obat imunisupresif ) adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak intubasi, trakeostomi abnormalitas anatomi 1,8
PATOGENESIS Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal yang berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus dan mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas ( hidung, orofaring ) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan kesadaran. Sekret dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8 – 10 /mL, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran napas bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama. 1,6,8
PATOLOGI Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu tergantung pada agen etiologinya. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan eksudat intraalveolar supuratif disertai konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema
seluruh alveoli yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Kemudian, disusul dengan konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel – sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel – sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimaakan. Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium prodromal, stadium hepatisasi, dan stadium resolusi. Pada stadium prodromal, yaitu 4 – 12 jam pertama, alveolus – alveolus mulai terisi sekret dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor yang ditimbulkan infeksi dengan kuman patogen yang berhasil masuk. Pada 48 jam berikutnya, paru tampak merah dan bergranulasi, seperti hati, dimana alveoli terisi dengan sebukan sel – sel leukosit terutama sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman, yang disebut dengan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari, terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin dan leukosit yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu. Sebagai akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat menjalankan fungsi pernapasan ( jadi merupakan gangguan restriksi ). Di samping itu, pada saat yang bersamaan juga ada peningkatan kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang tinggi. Proses radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus tersebut. Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat. Nyeri dada ini juga akan menyebabkan ekspansi paru terhambat. Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita mengalami sesak napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan terdengar wheezing. Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada hari ke – 7 sampai 11 terjadi stadium resolusi dimana jumlah makrofag mingingkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus akan melunak untuk berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk, dan jaringan paru kembali kembali pada struktur semulanya. Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, dimanan pada pneumonia lobaris konsolidasi ditemuka pada seluruh lobus dan pada bronkopneumonia terjadi penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3 –
4 cm yang mengelilingi bronki. Pada pneumonia akibat virus atau Mycoplasma pneumoniae, gambaran patologi ditandai dengan peradangan interstisial yang disertai penimbunan infiltrat dalam dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari eksudat dan tidak ada konsolidasi. 1,6,7,8
KLASIFIKASI PNEUMONIA 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis: a. Pneumonia komuniti ( community – acquired pneumonia ) : pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram positif ( Pneumokokus, Staphylococcus ), basil Gram negatif ( Haemophillus influenzae ), dan bakteri atipik. b. Pneumonia nosokomial ( hospital – acquired pneumonia ) : pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering disebabkan oleh bakteri gram negatif ( Staphylococcus aureus ) dan jarang oleh pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae. c. Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain makanan dan asam lambung d. Pneumonia pada penderita immunocompramised 2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab a. Pneumonia bakterial / tipikal b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised ) 3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris b. Bronkopneumonia c. Pneumonia interstisial 6,10
MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: Gambaran infeksi umum : o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC o sakit kepala o gelisah o malaise o penurunan nafsu makan o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner Gambaran gangguan respiratori: o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif o sesak nafas o retraksi dada o takipnea o napas cuping hidung o penggunaan otat pernafasan tambahan o air hunger o merintih o sianosis Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas bronkial,
dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1,7,1 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Darah Perifer Lengkap Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah ( LED ) yang meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.1 2. C – Reaktive Protein ( CRP ) dan LED CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.1
3. Uji Serologis
Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1
4. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang berguna.
5. Analisa Gas Darah Analisa
gas
darah
(AGDA)
menunjukkan
hipoksemia
dan
hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
6. Pemeriksaan Rontgen Thorax Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar diagnosis untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat. Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran. Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama
di
lobus
bawah,
inflitrat
interstisial
retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular fokal pada satu
lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation.
DIAGNOSIS WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut: Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun Pneumonia berat bila ada sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotik Pneumonia bila tidak ada sesak napas ada napas cepat dengan laju napas o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral Bukan pneumonia bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut: Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.1 Bayi di bawah 2 bulan Pneumonia bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotik Bukan pneumonia bila tidak ada napas cepat dan sesak napas tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat: 1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah: a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit 2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: a. kepala terangguk – angguk b. pernapasan cuping hidung c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. ) Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: Napas cepat o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda Pada auskultasi terdengar o crackles ( ronki ) o suara pernapasan menurun o suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya kejang, letargi, atau tidak sadar sianosis distress pernapasan berat 12
DIAGNOSIS BANDING 12 1. Pneumonia lobaris Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Bronkioloitis Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.
3. Aspirasi benda asing Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba, wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.
4. Tuberkulosis Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu atau lebih, batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor TB.
5. Atelektasis Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi. TATALAKSANA 1,5,12 Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan
klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidiemiologis.
1. Pneumonia Rawat Jalan Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta – laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik. Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik ( melambat ), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia berat.
2. Pneumonia Rawat Inap Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta – laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi betalaktam / klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. WHO
menganjurkan
pemberian
ampisilin/amoksisilin
25
–
50
mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya. Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48 jam, maka bila mungkin foto toraks. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali
sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.
Terapi Oksigen Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
Terapi Penunjang Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama. Definisi Diare Diare ialah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, ≥ 3 kali per hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak. Diare dapat dibedakan menjadi tiga menurut waktunya yaitu diare akut (diare berlangsung paling lama 3-5 hari), diare berkepanjangan (diare berlangsung lebih dari 7 hari) dan diare kronis (diare berlangsung lebih dari 14 hari). (PDT UNAIR, 2006)
Etiologi
Penyebab diare akut pada anak secara garis besar dapat disebabkan oleh gastroenteritis (enternal) dan infeksi sistemik (parenteral). Penyebab diare akut pada anak paling sering disebabkan oleh infeksi enternal (Infeksi virus, bakteri dan parasit). Rotavirus merupakan penyebab utama (60-70%) diare infeksi pada anak, sedangkan sekitar 10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10% adalah parasit. (Hegar, 2014)
Tabel 1. Etiologi Diare Akut Infeksi 1. Enteral
Bakteri: Shigella sp, E. Coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia entreo colytica, Campylobacter jejuni, V. Parahaemoliticus, VNAG, Staphylococcus aureus, Streptococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteis, dll
Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus, cytomegalovirus (CMV), echovirus , virus HIV
Parasit – Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporadium parvum, Balantidium coli.
Worm: A. Lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichura, S. Sterocoralis, cestodiasis dll
Fungus: Kardia/moniliasis
2. Parenteral: Otitits media akut (OMA), pneumonia, Traveler’s diartthea: E.Coli, Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica, dll
Intoksikasi makanan: Makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung bakteri/toksin: Clostridium perfringens, B. Cereus, S. aureus, Streptococcus anhaemohytivus, dll
Alergi: susu sapi, makanan tertentu
Malabsorpsi/maldifesti: karbohidrat: monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa), disakarida(laktosa, maltosa, sakarosa), lemak: rantai panjang
trigliserida, protein: asam amino tertentu, celiacsprue gluten malabsorption, protein intolerance, cows milk, vitamin &mineral
3. Imunodefisiensi 4. Terapi obat, antibiotik, kemoterapi, antasid, dll 5. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi 6. Lain-lain: Sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik (neuropatik diabetik)
Patofisiologi Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofiologi, antara lain (PDT UNAIR, 2006) a. Osmolaritas intraluminal yang meningkat, disebut diare osmotik b. Sekresi cairan dan elektrolit meningkat, disebut diare sekretorik c. Gangguan motilitas usus Diare tipe osmotik disebabkan oleh peningkatan tekanan osmotik intralumen usus halus yang disebabkan oleh obat-obatan atau zat kimia yang hiperosmotik (MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum, dan defek dalam absorbsi mukosa usus misal pada defisiensi disararidase, malabsorbsi glukosa/galaktosa. (Weizman, 2008) Diare tipe sekretorik disebabkan oleh meningkatnya sekresi air maupun elektrolit dari usus, menurunnya absorbsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum. Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorbsi garam empedu), dan efek obat laksatif (dioctyl sodium sulfosuksinat, dll). Diare karena gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik,misal pada diabetik neuropathi, post vagotomi, post reseksi usus serta hipertiroid. (Weizman, 2008) Manifestasi Klinis
Tabel
2.
Klasifikasi
Tingkat
Dehidrasi
Anak
Dengan
Diare
Berdasarkan konsentrasi Natrium plasma tipe dehidrasi dibagi 3 yaitu: dehidrasi hiponatremia (<130 mEg/L), dehidrasi iso-natrema (130m – 150 mEg/L) dan dehidrasi hipernatremia (> 150 mEg/L). Pada umunya dehidrasi yang terjadi adalah tipe iso – natremia (80%) tanpa disertai gangguan osmolalitas cairan tubuh, sisanya 15 % adalah diare hipernatremia dan 5% adalah diare hiponatremia. (Sandhu, 2001) Anamnesa Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi
tinja, warna, bau, ada/tidak lendir, dan darah. Bila
disertai
muntahperlu ditanyakan volume dan frekuensinya. Jumlah kencing biasa, berkurang, jarang, atau tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir bila terjadi dehidrasi. Makanan dan
minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti batuk, pilek, otitis media, campak. Selain itu, tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare seperti memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya. . (Hegar, 2014)
Pemeriksaan Fisik Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare dari pada menentukan penyebab diare. Status volume cairan tubuh dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh, dan tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Adanya dan kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan tanda penting untuk menentukan etiologi diare akut. (Subagyo, 2011) Tabel 3. Gejala dan tanda khas diare akut akibat infeksi
2.7
Pemeriksaan Penunnjang 2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan tinja
o Makroskopis dan mikroskopis o pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet elinitest, bila diduga intoleransi gula. o Bila perlu lakukan pemeriksaan biakan / uji resistensi. b. Pemeriksaan Darah Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi sitemik (diare yang disebabkan parenteral) c. Pemeriksaan Urine Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi saluran kemih (diare yang disebabkan parenteral) d. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah (bila memungkinkan). e. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal. f. Pemeriksaan kadar elektrolit terutama natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum (terutama bila ada kejang).
2.8
Penatalaksanaan
Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: (WHO. 2011) 1. Rehidrasi 2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut 3. ASI dan makanan tetap diteruskan 4. Antibiotik selektif 5. Edukasi orang tua
2.8.1 Rehidrasi Pengantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare akut. Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan berat
badan yang hilang sebagai persentasi kehilangan total berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku emas. (Armon, 2001)
Tanpa Dehidrasi
Bagan 1. Pedoman WHO Rencana Penanganan Diare di
a. Dehidrasi Ringan – S Bagan 2. Pedoman WHO Rencana Penanganan Dehidrasi Sedang Ringan Dengan Oralit
b. Dehidrasi Berat
c. Pemilihan jenis cairan Cairan Parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan atau tanpa syok, sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume darahnya, serta memperbaiki renjatan hipovolemiknya. Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan dan mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan dimetabolisme menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah dan tidak mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat dipakai, tetapi tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Jenis cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi kebutuhan sebagai cairan pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B. Sejumlah cairan rehidrasi oral dengan osmolaliti 210 – 268 mmol/1 dengan Na berkisar 50 – 75
mEg/L, memperlihatkan efikasi pada diare anak dengan kolera atau tanpa kolera. (Bhan, 2003)
2.8.2 Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Zinc
mengurangi
lama dan beratnya
diare.
Zinc juga
dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memilik evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selam 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Dosis zinc untuk anak-anak Anak di bawah umur 6 bulan
: 10mg (½ tablet) per hari
Anak di atas umur 6 bulan
: 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit, Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. (Fontaine, 2008)
2.8.3 ASI dan makanan tetap diteruskan ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisis yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Jika anak menyusui, coba untuk meningkatkan frekuensi dan durasi menyusuinya. Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali jika muntah-muntah hebat. Jika curiga diare disebabkan karena intoleransi laktosa hindarkan susu sapi dan susu formula. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase penyembuhan. (WHO. 2011) 1.8.3
Antibiotik selektif
Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya selflimited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (1020%) yang disebabkan oleh bakteri pathogen. (WHO, 2006)
Tabel 4. Antibiotik selektif sesuai dengan pathogen penyebab diare Penyebab
Kolera
Antibiotik Pilihan
Antibiotik Alternative
Tetracyclin 12,5 mg/
Eritromicyn 12,5
KgBB
mg/KgBB
4x sehari selama 3 hari
4x sehari selama 3 hari Pivmecillinam 20 mg/KgBB 4x sehari selama 5 hari
Ciprofloxacin 15 Shigella Dysentri
mg/KgBB 2x sehari selama 3 hari
Ceftriaxone 50-100 mg/KgBB 1x sehari selama IM/IV 25 hari
Metronidazole 10 mg/KgBB Amoebiasis 3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus berat)
Metronidazole 10 mg/KgBB
Giardiasis
3x sehari selama 5 hari
2.8.3 Edukasi orang tua
Pengetahuan yang baik seorang ibu sangat menentukan kesehatan anak. Edukasi yang diberikan seperti cuci tangan sebelum memberi ASI, kebersihan payudara juga perlu diperhatikan, kebersihan makanan termasuk sarana air bersih, kebersihan peralatan makanan, dan lain-lain. (WHO, 2011) Selain itu Ibu harus membawa anaknya ke petugas kesehatan, jika anak: • Buang air besar cair sering terjadi • Muntah berulang-ulang • Sangat haus • Makan atau minum sedikit • Demam • Tinja Berdarah • Anak tidak membaik dalam tiga hari.
Definisi Meningitis Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan serebrospinal maupun selaput otak yang membungkus jaringan otak dan medula spinalis. Kuman-kuman masuk ke setiap bagian ruang subarakhnoidal dan dengan cepat menyebar ke bagian lain sehingga medula spinalis terkena, yang akhirnya menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa yang disebabkan oleh bakteri maupun virus. 6,12
Etiologi Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit yang menyebar dalam darah ke cairan otak. Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme tetapi kebanyakan pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang tengkorak, infeksi, operasi otak atau sumsum tulang belakang.5 Patofisiologi Mekanisme invasi bakteri ke selaput otak dan ruang arakhnoid belum diketahui secara pasti, namun banyak kasus meningitis diawali oleh infeksi primer seperti nasofaringitis, otitis media dan miokarditis yang menunjukakn bahwa meningitis adalah infeksi sekunder yang terjadi secara hematogen ataupun perkontinuitatum.12 Invasi kuman-kuman (meningokokus, pneumokokus, hemofilus influenza, streptokokus) ke dalam ruang subarakhnoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan arakhnoid, CSS dan sistem ventrikulus.12 Jika bakteri patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, berarti mekanisme pertahanan tubuh yang menurun. Pada umumnya didalam cairan serebrospinal yang normal tidak ditemukan bakteri dan komplemen lainnya. Namun paba meningitis atau peradangan pada selaput otak ditemukan bakteri dan peningkatan komplemen dalam cairan serebrospinal. Konsenterasi komplemen ini memegang peranan penting dalam opsoniasi dari Encapsuled Meningeal Patogen, suatu proses yang penting untuk terjadinya fagositosis.1 Mula-mula pembulu darah meningeal yang kecil dan seang mengalami hiperemi akibat inflamasi yang disebabkan oleh bakterimia, dan dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimormonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.12 Gejala Klinis Pada neonatus gejala klinis berbeda dengan anak yang lebih besar dan dewasa. Umumnya meningitis terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare, biiasanya disertai dengan septikemia
dan
pneumonitis. Kejang terjadi lebih kurang 44% anak dengan penyebab H. Influenza, 25% oleh streptokokus pneumoniae, 78% sterptokokus, dan 10% oleh meningokokus. Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda kernig, brudzinki dan fontanela menonjol untuk waktu awal belum muncul. Pada anak yang lebih besar, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot, nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan pernafasan bagian atas. 10 Gejala klinis jika dibagi menurut mur tercantum seperti dibawah ini. Pada neonatus : Gejala tidak khas Demam kadang-kadang, tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah dan kesadaran menurun Ubun-ubun besar kadang cembung Pernapasan tidak teratur Pada anak umur 2 bulan – 2 tahun Gambaran klasik tidak tampak
Demam, muntah, gelisah dan kejang berulang Kadang “high pitched cry” Pada anak > 2 tahun Demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala Kejang Gangguan kesadaran Tanda-tanda rangsang meningeal ada Diagnosis Adanya gejala-gejala seperti panas yang mendadak yang tidak diketahui etiologinya , letargi, muntah, kejang dan gejala lainnya harus dipikirkan kemungkinan meningitis. Diagnosis pasti untuk meningitis mutlak harus dengan pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal. Namun jika terdapat tanda peningkatan intra kranial berupa kesadaran menurun, sakit kepala, papil edem dan muntah maka harus penggunaan pungsi lumbal harus dengan hati-hati atau tidak sama sekali, karena akan menyebabkan herniasi serebelum dan batang otak akibat dekompresi dibawa foramen magnum.11 Pada meningitis bakterial stadium akut terdapat leukosit polimorfonuklear. Jumlah sel berkisar antara 1.000-10.000 dan pada kasus tertentu bisa mencapai 100.000/mm3, dapat disertai sedikit eritrosit. Bila jumlah sel di atas 50.000 mm3 maka kemungkinan abses otak yang pecah dan masuk ke dalam sistem ventrikulus. Pada meningitis tuberkulosa didapatkan CSF yang jernih kadang-kadang sedikit keruh. Bila CSF didiamkan maka akan terjadi pengendapan fibrin yang halus seperti sarang laba-laba. Jumlah sel antara 10-500/ml. Tes tuberkulin dilakukan pada bayi dan anak untuk memastikan meningitis tuberkulosa.11 Banding
Meningitis meningokokus harus dibedakan dengan penyebab utama lainya pada anak, yaitu haemophilus influenza dan streptokokus dapat ditegakkan. Bila rash pada anak tidak didapatkan, diagnosis harus didasarkan pada pewarnaan gram dari CSF dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pada keaadaan non epidemic, beberapa infeksi viral dan rickketsia harus dipertimbangkan dalam defferensial diagnosis. Rash dan arthralgia didapatkan pada infeksi rubella, pada infeksi picona virus (terutama coxsackie dan echo virus) dapat timbul rash dan sering menyebabkan meningitis aseptik. Leptospirosis mempunyai kemiripin dengan gambaran klinis dari infeksi meningokokus.5 Terdapat infeksi bakteri yang menyerupai infeksi meningokokus. Infeksi genokokus bakterimia pada umumnya lebih ringan dibandingkan dengan meningokokus. Karakteristik dari infeksi genokokus barupa erupsi makulopapular dan demam, namun gambaran purpura dan kolaps tidak ditemukan. Infeksi moraella urethralis dapat menyebabkan febris, erupsi kulit dan meningitis.5 Penatalaksanaan Meningitis termasuk penyakit gawat darurat, karena itu penderita harus menginap di rumah sakit untuk perawatan dan pengobatan intensif. Penderita perlu istirahat mutlak dan apabila infeksi cukup berat maka penderita perlu dirawat diruang isolasi. Penderita dengan demam dan renjatan atau koma harus dirawat intensif. Fungsi respirasi dan kebutuhan gizi dan cairan harus dipantau dengan ketat. Apabila telah ditegakkan diagnosis melalui biakan atau kultur CSF yang telah diambil, maka terapi dengan antibiotik harus segera diberikan. Tetapi untuk terapi permulaan diberikan ampicilin dengan gentamicin atau aminoglikosida lainnya melalui inra vena atau intra muscular. Pemilihan terhadap aminoglikosida dipengaruhi oleh tempat infeksi didapat dan tempat asal kuman enterik gram
negatif ditemukan, yaitu apakah di ruang rawat neonatus atau di ruang rawat neonatus intensif.infeksi gram negatif yang didapat dari ibu atau masyarakat sekitarnya sensitif terhadap kinamicin, sedangkan infeksi yang didapat di ruang rawat intensif lebih sensitif terhadap gentamicin. Pengobatan lesi kulit yang nekrotik dan diduga disebabkan oleh pseudomonas adalah dengan tikarsilin dan gentamicin.10p
DAFTAR PUSTAKA 1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365. 2. Hudoyo A. Anatomi Saluran Napas.. 2009 April http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a 77a24964c5c0a.pdf 3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior Doctors. 11th ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2006 4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole; 2007. hal. 451 - 455 5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004. hal. 351 - 354. 6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. 7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2000. Hal. 74 – 92 8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol 2. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 – 810 9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007 10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. Hal 984. 11. Iwantono HS. Bronkopneumoni2008 Mar. Available from: http:// /2008/03/bronkopneumonia.html 12. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113