Referat_miastenia_gravis.docx

  • Uploaded by: Angelina Tania Woda Lado
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat_miastenia_gravis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,962
  • Pages: 31
REFERAT MIASTENIA GRAVIS

PEMBIMBING : dr. Mifta Sp. S

PENYUSUN : Anggelina Tania Woda Lado 112017051

KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF ILMU PENYAKIT SARAF RUMAS SAKIT TNI ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA HALIM PERDANA KUSUMA JAKARTA

1.

Definisi Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis.Miastenia berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi oleh nukleusmotorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata, otot pengunyah (masticatory)dan otot wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata “grave” yang berarti buruk.1,2,3 Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan patologis yang berfluktuasi dengan remisi dan eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau beberapa rangka, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin (ACHR) di lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya gangguan sensorik.4Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, dan bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction.5,6 2. Epidemiologi Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimunyangjarang ditemukan. Kasus lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak onset pada usia dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan keenam (pria).7 Miastenia Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular.7 Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang dengan total kasus di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.5 3. Etiologi Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagianbagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada postsynaptic endplate regio neuromuscular junction.7Antibodi AChR memicu terjadinya degradasi imun dari AChR dan membran postsinaptik.7 Hilangnya AchRs fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot yang berdepolarisasi selama aktivasi terminal nervus motorik, mengakibatkan panurunan aksi potensial otot dan kontraksi serat otot yang penting.7 Adanya hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat menyebabkan kelemahan secara klinis apabila jumlah serat yang rusak besar.7 Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsiotot pada pasien ini 2

menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif MG untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti MuSK positif MGokulobulbar.8 Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG, seperti perempuan dan orang dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) memiliki kecenderungan genetik terhadap penyakit autoimun.Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8, HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan bentuk MGokular). Penyakit SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG.8Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan reseptor AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab miastenia gravis, tetapi antigen pemicu belum diidentifikasi.8 Berbagai obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala MG, termasuk yang berikut:8 a. Antibiotik (misalnya aminoglikosida, polymyxins, siprofloksasin, eritromisin, dan ampisilin) b. Penisilamin - Ini dapat menyebabkan miastenia sejati, dengan tingginya titer antibodi anti-ACHR terlihat pada 90% kasus, namun, kelemahan ringan dan pemulihan penuh dicapai seminggu sampai sebulan setelah penghentian obat c. Beta-adrenergik reseptor blocking agen (misalnya, propranolol dan oxprenolol) d. Lithium e. Magnesium f. Procainamide g. Verapamil h. Quinidine i. Klorokuin j. Prednisone k. Timolol (yaitu, agen beta-blocking topikal digunakan untuk glaukoma) l. Antikolinergik (misalnya, trihexyphenidyl) m. Agen blocking neuromuscular (misalnya, vecuronium dan curare) harus digunakan dengan hati-hati pada pasien MG untuk menghindari blokade neuromuskuler yang berkepanjangan n. Nitrofurantoin juga telah dikaitkan dengan perkembangan MG okular dalam 1 laporan kasus; penghentian pemberian obat mengakibatkan pemulihan lengkap. 3

4. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction a.

Anatomi Neuromuscular Junction Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan

yang

disebut

neuromuscular

junction

atau

sambungan

neuromuskular.9 Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran

otot)dan

celah

sinaps

merupakan

bagian-bagian

neuromuscular junction.9

Gambar 1. Somatic Neuromuscular Transmission7

4

pembentuk

b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi6,9. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)6,9. Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik6,9. Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6: 1) Sintesis asetilkolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: AsetilKoA -> Kolin à Asetilkolin + KoA 2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini. 3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini

5

memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps. 4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot. 5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut: Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps 6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.

6

5. Patofisiologi Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain8.

Gambar 2. Perbandingan Neuromuscular junction normal dan pada Miastenia Gravis10 Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor end plate, molekulasetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat ototdan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir.Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang didapatkan dari penelitian antara lain: auto antibodi terhadap reseptor AChR dan 7

menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situssitus tempat terikatnya asetilkolin dan autoantibodi menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.10

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran autoantibodi terhadap AChR11 Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka memiliki antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam pathogenesis myasthenia gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien myasthenia gravis (MG) memiliki beberapa derajat kelainan timus (misalnya, hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15% kasus). Mengingat fungsi kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan tindakan timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun, stimulus yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.7

Gambar 4.Salah satu penyebab timbulnya autoantibodi terhadap AChR11 8

Gambar 5. Mekanisme Patofisiologi Miastenia Gravis11 Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired miastenia gravis generalisata8. Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti

9

hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik5,8. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.8 6. Manifestasi Klinis Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas.1 Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat.4 Gejala klinis miastenia gravis antara lain:1,4,5,7 

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis.Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.7 Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.1



Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.7 Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya4.

10

Di antara pasien, 75% awalnya mengeluh gangguan mata, terutama ptosis dan diplopia.Akhirnya, 90% dari pasien dengan MG mengembangkan gejala-gejala okular. Mungkin ptosisunilateral atau bilateral, dan akan beralih dari mata ke mata. Okular MG dikategorikan sebagai kelemahan dan kelelahan yang tersembunyi dan membahayakan yang dapat terjadi pada satu atau kedua kelopak mata atau otot bola mata. Jika meliputi kelopak mata yang jatuh biasanya dikenal sebagai ptosis ; yang mengenai otot extraokular maka pasien akan melihat ganda pada arah otot yang lemah.3Kebanyakan pasien MG mempunyai keluhan diplopia pada saat

onset

penyakit mereka. Pasien merasakan penglihatan kabur yang berfluktuasi, biasanya tidak terlihat beberapa saat setelah bangun tidur. Diplopia terjadi saat pasien melihat ke arah lateral dan ke atas, biasanya memburuk saat pasien menyetir, menonton tv, atau saat sore hari. Gejala tersebut hilang apabila satu mata ditutup. Gejala terjadi mungkin disebabkan oleh kelemahan

pada satu otot ekstraokular atau beberapa

kombinasi otot. Ptosis biasanya yang palingmenonjol dan terjadi setelah berkedip beberapa kali. Dalam kasus ptosis unilateral, mata yangtidak ptosis akan mengalami ptosis jika mata yang ptosis dibuka dengan menggunakan jari(Hering fenomena). Keterlibatan otot luar mata tidak mengikuti pola tertentu. Setiap gangguanmotilitas okular yang didapatkan dengan ptosis dan reflek pupil didapatkan normal, harusmengarahkan kecurigaan pada myasthenia gravis MG.3 Kelemahan wajah dapat terjadi pada MG tanpa keterlibatan otot mata, tetapi biasanya kedua gejala terjadi bersama-sama.Jika sensasi wajah terganggu, lesi yang mempengaruhi saraf kranial seperti karsinoma nasofaring harus dicurigai.Dengan adanya sensasi wajah normal. Namun, terjadinya kedua kelemahan otot mata dan wajah sangat memperlihatkan gejala MG. Temuan mungkin akan sulit untuk dilihat.3 Kelemahan Orbicularis oculi merupakan sebuah tanda yang sangat umum dari MG yaitu ketidakmampuan pasien untuk mempertahankan kelopak mata tertutup atas terhadap upaya pemeriksa untuk membukanya. Sebuah usaha dari pasien meskipun terjadi kelemahan kelopak mata akan memperlihatkan adanya fenomena Bell, rotasi bola mata ke atas selama penutupan kelopak mata. Karena pasien dengan blefarospasme dari otot-otot orbicularis oculi mungkin mengeluh kesulitan menjaga mata

terbuka,

kondisi

ini

kadang-kadang

bingung

dengan

kelemahan

myasthenic.Biasanya tidak ada diplopia atau fotofobia dengan blefarospasme, dan penutupan kelopak mata adalah spasmodik dan dipaksa dengan elevasi simultan pada kelopak mata bawah. 11

Kelemahan Orbicularis Oris merupakan ketidakmampuan pasien untuk mencegah keluarnya udara melalui kerutan bibir ketika pemeriksa menekan pipi adalah pertanda kelemahan wajah. Tertawa mengungkapkan apa yang disebut "myasthenic sneer". Pasien tersebut tidak dapat bersiul, menyedot melalui sedotan, atau meledakkan balon.3Bicara cadel dan kesulitan menelan dapat disebabkan oleh kelemahan lidah, yang paling mudah dinilai oleh kekuatan mendorong lidah pada satu pipi bagian dalam.Dalam kasus ringan MG, bicara cadel dapat terdeteksi hanya selama berbicara berkepanjangan, seperti menjelang akhir wawancara dengan dokter. Suara serak atau berbisik tidak khas pada MG. Otot lidah rentan terhadap atrofi di MG dan lidah berkerut merupakan manifestasi dari atrofi ini.3 Beberapa pasien dengan MG mungkin mengalami kesulitan dalam mengunyah karena kelemahan penutupan rahang (terutama otot-otot masseter), sedangkan pembuka rahang tetap kuat.Ketika kelemahan parah, rahang mungkin tetap terbuka dan harus dimanipulasi dengan tangan selama mengunyah. Salah satu gejala paling serius dari myasthenia adalah disfagia karena kelemahan otot lidah dan faring posterior. Jika kelemahan otot faring muncul, cairan lebih sulit untuk ditelan dari yang padat, dan makanan panas lebih sulit daripada makanan dingin. Adakalanya pasien menggunakan es batu untuk meminum cairan yang dibutuhkan. Regurgitasi cairan ke hidung dapat menjadi masalah jika ada kelemahan otot palatal. Ketidakmampuan untuk menelan air liur adalah konsekuensi paling parah kelemahan faring dan membutuhkan suktion mulut. Setelah disfagia mencapai tingkat keparahan ini, sebuah sonde diperlukan tidak hanya untuk pemberian obat oral dan juga untuk suplemen gizi.3 Nyeri otot bukan merupakan gejala umum dari MG, tapi kekejangan otot yang menyakitkan dapat terjadi pada MG ketika otot leher yang lemah diminta untuk menahan kepala ke atas.Fleksor leher lebih sering terlibat dalam MG daripada ekstensor leher.Pasien telentang sangat mengalami kesulitan dalam mengangkat kepala dari bantal.Jalan napas dapat menjadi terhambat oleh penutupan glotis, yang disebabkan oleh kelemahan otot rangka yang memegang pita suara. Hal tersebut dapat dideteksi dengan adanya “stridor”, selama dalam usaha inspirasi dan dapat meramalkan keadaan darurat medis yang berkembang kearah pasien membutuhkan intubasi endotrakeal.3 Gejala yang paling serius dari MG adalah kesulitan bernafas. Pasien myasthenic

dengan

insufisiensi

pernapasan 12

atau

ketidakmampuan

untuk

mempertahankan jalan napas paten dikatakan crisis. Kelumpuhan vokal dapat menghambat jalan napas, tetapi lebih umum saluran udara terhambat oleh sekresi pasien yang tidak dapat dikeluarkan karena batuk terlalu lemah. Batuk membutuhkan penggunaan paksa otot-otot ekspirasi dan batuk berulang terutama dengan cepat dapat menjadi tidak efektif pada MG.Bahkan jika jalan napas paten, otot yang digunakan untuk inspirasi, seperti interkostalis dan diafragma, mungkin terlalu lemah untuk menciptakan sebuah kekuatan inspirasi yang cukup (-50 cm H20) atau kapasitas vital (> 20 ml/kg berat badan). Pasien tersebut harus diintubasi dan dibantu dengan respirasi mekanis. Karena kurangnya ekspresi wajah pasien, penderita MG dalam masa krisis tidak mungkin terlihat tertekan namun akan gelisah dengan nafas dangkal dan cepat. Biasanya, pasien duduk membungkuk ke depan untuk memaksimalkan efek gravitasi pada diafragma.Bahkan pasien yang tidak menyadari mempunyai masalah pernapasan mungkin memiliki kelemahan otot pernapasan yang mengganggu tidur mereka dan dengan demikian menyebabkan mereka menjadi lelah dan kurang perhatian pada siang hari.Terkadang sebuah penelitian tidur berguna dalam mengidentifikasi masalah tersebut.3 Kelemahan otot panggul adalah aspek yang sering diabaikan dari kelemahan otot pada MG. Namun, beberapa pasien MG wanita dengan inkontinensia urin mengklaim bahwa itu diringankan oleh obat antikolinesterase.Demikian juga, reseksi transurethral rutin jaringan prostat pada pria myasthenic sering menyebabkan inkontinensia. Jika, seperti biasanya dilakukan, sphincter proksimal akan dihapus selama operasi, suatu sfingter eksternal yang lemah mungkin tidak dapat melakukan kontraksi refleks selama batuk atau regangan.3 Mungkin karena otot lebih hangat memiliki cadangan yang kurang untuk transmisi neuromuskuler, otot proksimal cenderung lebih terlibat dari otot distal pada MG, meskipun beratnya keterlibatan biasanya asimetris.Kelemahan otot ekstrimitas atas proksimal di mana kesulitan dalam mengangkat lengan untuk mencuci atau menyikat rambut, berpakaian, memakai kosmetik, atau mencukur menunjukkan kelemahan bahu dan lengan. Kelelahan otot ekstremitas atas dapat diuji secara semikuantitatif dengankemampuan timing pasien untuk menahan lengan ke depan saat ekstensi. Atrofi otot skapula dan lengan bawah adalah karakteristik dari congenital slow-channel myasthenic syndrome.3 Kelemahan otot ektrimitas bawah dimana kesulitan dalam berjalan menaiki tangga atau berjalan jarak jauh juga sering terjadi pada MG. Kelelahan otot tungkai 13

dapat diuji dengan meminta pasien untuk mengangkat satu kaki di atas yang lain hingga 50 kali,

penilaian langsung dari kekuatan fleksor pinggul

akan

memperlihatkan peningkatan kelemahan dari otot-otot aktif pada MG, dibandingkan dengan sisi tidak aktif.3 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan yang terjadi pada otot-otot ekstremitas lebih menyerupai kelemahan padamiopati proksimal dari pada kelemahan otot distal.Kelemahan otot-otot ekstremitas padakhususnya yang timbul sebagai sebuah gejala jarang terjadi dan prevalensinya hanya 10% saja.3 Beberapa faktor berikut dapat membuat Miastenia Gravis memburuk: a. Kelelahan, kurang tidur b. Stres, kecemasan, depresi c. Kelelahan, gerakan berulang d. Rasa takut yang muncul secara tiba-tiba, kemarahan ekstrim e. Sinar matahari atau lampu terang (mempengaruhi mata) f. Beberapa obat, termasuk beta blocker, calcium channel blockers, dan beberapaantibiotik g. Minuman beralkohol h. Rendah kadar natrium atau tingkat tiroid yang rendah i. Infeksi dan penyakit pernafasan dapat memperburuk kelemahan dan mungkin tetaptimbul setelah penyakit / infeksi tersebut sembuh. j. Stres karena operasi juga dapat membuat MG memburuk.

Gambar 6. Manifestasi Klinis Miastenia Gravis7

14

Tabel 1. Manifestasi Klinis Pada Miastenia Gravis Dari Gejala Yang Sering Terjadi Sampai Pada Gejala yang Jarang Terjadi12 Sering terjadi

Otot-otot

Gejala

Ocular

Ptosis dan penglihatan ganda

Wajah

Kesulitan mengunyah, menelan, dan berbicara

Leher

Kesulitan mengangkat kepala saat posisi telentang

Ekstremitas proksimal

Kesulitan mengangkat lengan setinggi bahu dankesulitan berdiri dari posisi duduk dengan bantuantangan

Pernapasan

Gangguan pernapasan dan kesulitan untuk bangundari posisi tertidur

Ekstremitas distal

Kelemahan saat mengenggam

Jarang terjadi

dan kelemahan pada pergelangan dan kaki

7. Klasifikasi Miastenia Gravis Pada bulan Mei 1997, Medical Scientific Advisory Board (MSAB) dari Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA) membentuk satuan tugas untuk mengatasi kebutuhan untuk klasifikasi yang diterima secara universal, sistem grading, dan metode analitik untuk manajemen pasien yang menjalani terapi dan untuk digunakan dalam uji penelitian terapeutik. Sebagai hasilnya, Klasifikasi MGFA Klinis diciptakan.Klasifikasi ini membagi MG menjadi 5 kelas utama dan subclass sebagai berikut:2

15

Tabel 2.Klasifikasi miastenia gravis menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA)2 Kelas I

Kelas II

Kelas IIa

Adanya kelemahan otot-otot okullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelas IIb

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

Kelas III

Kelas III a

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

Kelas III b

predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

Kelas IV

Kelas IV a

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

Kelas IV b

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V

Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

16

Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi menjadi:12 1.

Ocular miastenia Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian

2.

Generalized myiasthenia a) Mild generalized myiasthenia Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System pernafasan tidak terkena.Respon terhadap otot baik. b) Moderate generalized myasthenia Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan.

3.

Severe generalized myasthenia Acute fulmating myasthenia, Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma

4.

Late severe myasthenia Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejalagejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.1 8. Diagnosis Miastenia Gravis Diagnosis pada miastenis gravis dapat dilakukan melalui: A. Anamnesis Pasien dapat ditanyakan beberapa hal seperti: 1.

Apakah munculnya kelemahan otot fluktuatif dan meningkat dengan aktivitas fisik?

2.

Apakah kelemahan meningkat sepanjang hari dan pulih dengan istirahat?

3.

Apakah muncul ptosis?

4.

Adakah kelemahan dari ekstensi dan fleksi kepala?

17

5.

Apakah kelemahan menyebar dari mata ke wajah untuk bulbar otot dan kemudian ke truncal dan anggota tubuh?

6.

Apakah pasien memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama?

B. Pemeriksaan Fisik Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut: 1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akanterdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderitamenjadi anartris dan afonis. 2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama kelamaanakan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. 3. Uji kelelahan otot Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan fenomena ptosis dapatditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan meninggikan dan menjagakelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap. Kelopak

mata

berlawanan perlahan

jatuh

dan

mungkin

akan

menutup

sepenuhnya.Tanda kedutan kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot. Pasiendiarahkan untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian kembali dengancepat dalam posisi semula.Pengamatan pada gerak kelopak mata yang lebih keatasditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke kondisi ptosis,mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan yang lambat dari otot. Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar setelah periode penutupankelopak mata secara volunter.1 Muscle Grading Chart Musle Gradation Description 5-normal ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan penuh 4-baik ROM lengkap melawan gravitasi dengan tahanan sedang 3-sedang ROM penuh melawan gravitasi 2-lemah ROM penuh, dieliminir oleh gravitasi

18

1-batas Kontraksi ringan, tanpa gerak sendi 0-nol Tanpa kontraksi Tes Lainnya:9 a. Tensilon atau Prostigmin tes Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejalagejala seperti misalnya ptosis, strabismusatau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.9 b. Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi(masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.9 C. Pemeriksaan Laboratorium a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimanaterdapat hasil yang positif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisatadan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan

hasil

tes

anti-asetilkolinreseptor

antibodi

yang

positif.Pada

pasienthymomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibodi. b. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderitathymomadalam usia kurang dari 40 tahun.Pada pasien tanpathymomadengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkanhasil positif. 19

c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk antiMuSK Ab.1 d. Antistriational antibodies Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).Antibodi ini selaludikaitkan dengan pasienthymomadengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinyatitin/RyR antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanyathymomapada pasienmuda dengan miastenia gravis.1 D. Imaging a. Chest x-ray Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.7Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma ukurankecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.7 b. MRI Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin.MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.7 E. Pendekatan Elektrodiagnostik Pendekatan

elektrodiagnostik

dapat

memperlihatkan

defek

pada

transmisi

neuromuscular melalui 2 teknik : a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

20

b.

Single-fiber Electromyography (SFEMG) Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

F. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.4,8 Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.8 Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan

21

fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.8 Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat

diperlukan.

menyebabkan

Kelemahan

retensi

otot-otot

karbondioksida

interkostal

sehingga

serta

akan

diafragma

berakibat

dapat

terjadinya

hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan.8 Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi8. G. Diagnosis Banding Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:8 1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain : a. Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika) b. Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii d. Paralisis pasca difteri e. Pseudoptosis pada trachoma f. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks. g. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome), penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detikdetik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma 22

pada paru.EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya

sampai ke

membran postdinaptik

tidak mencukupi

untuk

menimbulkan depolarisasi. h. Botulisme Efek dari racun ini terbatas untuk blokade terminal perifer saraf kolinergik, termasuk neuromuskuler junction, postganglionik ujung saraf parasimpatik, dan ganglia perifer.Blokade ini menghasilkan karakteristik penurunan kelumpuhan bilateral dari otot yang diinervasi oleh saraf otonom cranial, tulang spinal, dan kolinergik tetapi tidak terdapat penurunan saraf adrenergik atau sensoris.Botulisme memiliki pola berat, progresif, dan simetris.4 9. Penatalaksanaan Meskipun tidak ada penelitian tentang obat yang telah dilaporkan dan tidak ada konsensus yang jelas pada strategi pengobatan, myasthenia gravis (MG) adalah salah satu gangguan neurologis yang paling dapat diobati.Beberapa faktor (misalnya, tingkat

keparahan,

distribusi,

kecepatan

perkembangan

penyakit)

harus

dipertimbangkan sebelum terapi dimulai atau diubah.1 Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin intravena (IVIG).1

23

Bagan 1.Alur penatalaksanaan Miastenia Gravis8 Diagnosis MG

MG okular

MRI kepala (+)→reasses

Antikolinesterase (pyridostigmine)

Jika tidak memuaskan

MG generalisata

MG krisis

Antikolinesterase (pyridostigmine)

Intensive care unit

Evaluasi untuk thimektomi Indikasi : thimoma atau MG generalisata Evaluasi resiko operasi, FVC

Resiko bagus FVC bagus

Resiko jelek FVC jelek

Thimektomi

Plasmaparesis atau IVIg

perbaikan

Evaluasi status klinis, immunosupresan bila ada indikasi Imunosupresan

24

Tidak ada perbaikan

Gambar 7. Farmakologi Transmisi Neuromuskular7 a.

Antikolinesterase Pyridostigmine bekerja pada otot polos, sistem saraf pusat (SSP), dan kelenjar sekretori, kerjanya memblok AChE. Agen intermediate-acting, lebih disukai dalam penggunaan klinis daripada “short-acting” bromida neostigmine dan “long acting” klorida ambenonium. Bekerja dalam 30-60 menit, efek berlangsung 3-6 jam. MG tidak mempengaruhi semua otot rangka yang sama, dan semua gejala mungkin tidak dapat dikendalikan tanpa efek samping. Pada pasien kritis atau pasca operasi, obat diberikan secara intravena (IV). Di Amerika Serikat, pyridostigmine tersedia dalam 3 bentuk: 60-mg tab, 180-mg timespan tablet, dan 60 mg/5 ml sirup. Efek dari tablet timespan bertahan 2,5 kali lebih lama. Bentuk timespan adalah sebagai adjuvan pyridostigmine reguler untuk mengontrol gejala myasthenic pada malam hari. Penyerapan dan bioavailabilitas tablet timespan bervariasi antara pasien. Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin

25

bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat.Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. b.

Neostigmine Neostigmine menghambat penghancuran AcH oleh AChE, sehingga memfasilitasi transmisi impuls di NMJ.Ini adalah AChE inhibitor short-acting yang tersedia dalam bentuk oral (15 mg tablet) dan bentuk yang sesuai untuk jalur IV, intramuskular (IM), atau subkutan (SC).Waktu paruhnya 45-60 menit.Obat ini sulit diserap dalam saluran gastrointestinal (GI) dan harus digunakan hanya jika pyridostigmine tidak ada.1 Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula.Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek samping tersebut.

c.

Steroid Kortikosteroid adalah agen anti-inflamasi dan imunomodulasi digunakan untuk mengobati idiopatik dan gangguan autoimun.Obat ini termasuk di antara para agen imunomodulasi yang pertama kali digunakan untuk mengobati MG dan masih sering digunakan dan efektif.Obat ini biasanya digunakan dalam kasus sedang atau berat yang tidak merespon terhadap AChE inhibitor dan thymectomy.Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid efektif dan dapat menyebabkan remisi atau menyebabkan perbaikan pada kebanyakan pasien.Perburukan mungkin terjadi 26

awalnya, perbaikan klinis ditunjukkan setelah 2-4 minggu.Agen ini biasanya diberikan lebih dari 1 atau 2 tahun.Remisi didapatkan 30% dan perbaikan 40%.Kortikosteroid bekerja di kedua MG baik ocular MG maupun MG generalisata.Mereka dapat dikombinasikan dengan obat imunosupresif lainnya untuk efek yang lebih baik dengan dosis lebih rendah dan durasi yang lebih singkat.1 1. Prednisone Prednisone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan di Amerika Serikat. Beberapa ahli percaya bahwa administrasi jangka panjang dari prednison bermanfaat, tetapi yang lain menggunakan obat hanya selama eksaserbasi akut untuk membatasi efek yang merugikan dari penggunaan steroid lama. Prednisone efektif dalam mengurangi eksaserbasi MG dengan menekan pembentukan autoantibodi.Namun, efek klinis sering tidak terlihat selama beberapa minggu.Peningkatan signifikan, yang mungkin berhubungan dengan titer antibodi menurun, biasanya terjadi pada 1-4 bulan.1 2. Methylprednisolone Methylprednisolone dapat digunakan pada pasien yang diintubasi dan pada mereka tidak dapat mentoleransi asupan oral.Ini mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi sel polimorfonuklear (PMN) dan membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler.1 Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

27

d. Imunosupresan 1.

Azatioprin Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan. Karena efek samping kortikosteroid, klinisi dan dokter seringkali menggunakan steroidsparing medications, misalnya: azathioprine, dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap sampai 2-3 mg/KgBB/hari PO. Perbaikan maksimal dicapai dalam waktu 1-2 tahun, karena kerja azathioprine yang lebih lambat daripada kortikosteroid.Azathioprine digunakan bersama-sama dengan kortikosteroid, bukan sebagai monoterapi.1

2. Mycophenolate mofetil Digunakan sebagai suatu monoterapi

yang bersifat adjunctive atau

corticosteroid-sparing therapy, dengan dosis 1-1,5 g PO dua kali sehari. Selama mimum obat ini, disarankan untuk menghindari paparan sinar ultraviolet.Manfaat (perbaikan) klinis dapat dirasakan setelah 1-2 bulan, sedangkan

efek

maksimal

obat

ini

biasanya

dirasakan

sekitar

6

bulan.Penggunaan mycophenolate mofetil bersama-sama dengan azathioprine tidak dianjurkan.1 3. Cyclosporine Penggunaan cyclosporine (dosis: 2,5 mg/KgBB/hari PO dibagi 2 x sehari; setelah 4 minggu, dosis dapat dinaikkan 0,5 mg/KgBB/hari dengan interval 2 minggu, sampai dosis maksimum 4 mg/KgBB/hari) dan cyclophosphamide dapat digunakan oleh dokter yang benar-benar paham efek samping dan dapat memonitor (tekanan darah, CBC, asam urat, potassium, lipid, magnesium, serum creatinine dan BUN) pasien secara ketat (setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama terapi, lalu setiap bulan jika pasien sudah stabil).1 e. Imunoglobulin IVIG direkomendasikan untuk MG krisis, pada pasien dengan kelemahan berat yang kurang terkontrol dengan agen lainnya, atau sebagai pengganti dari 28

pertukaran plasma dengan dosis 1 g / kg.IVIG efektif dalam MG sedang atau berat yang memburuk menjadi krisis.Dosis tinggi IVIG berhasil pada MG, meskipun mekanisme kerja tidak diketahui.Hal ini digunakan dalam manajemen krisis (misalnya, myasthenic krisis dan periode perioperatif) bukan atau dalam kombinasi dengan plasmapheresis. Seperti plasmapheresis, ia memiliki onset yang cepat, tetapi efek berlangsung hanya dalam waktu singkat.1 f. Plasmaparesis Plasmaparesis (pertukaran plasma) dipercaya bekerja dengan menghilangkan faktor humoral (yaitu, anti-ACHR antibodi dan kompleks imun) dari sirkulasi. Hal ini digunakan sebagai tambahan untuk terapi imunomodulator lain dan sebagai alat untuk manajemen krisis. Seperti IVIG, plasmaferesis umumnya digunakan untuk myasthenic krisis dan kasus-kasus refrakter. Perbaikan terjadi dalam beberapa hari, tetapi tidak berlangsung lebih dari 2 bulan.Plasmaferesis merupakan terapi efektif untuk MG, terutama dalam persiapan untuk operasi atau jangka pendek pengelolaan eksaserbasi. Plasmapheresis jangka panjang teratur setiap minggu atau bulanan bisa digunakan bila pengobatan lain tidak dapat mengendalikan penyakit ini. Komplikasi terutama terbatas pada komplikasi intravena (IV) akses (misalnya, penempatan garis pusat) tetapi juga dapat mencakup gangguan hipotensi dan koagulasi (meskipun jarang).Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. g. Thimektomi Thimektomi merupakan pilihan pengobatan yang penting dalam myasthenia gravis (MG),terutama jika ditemukan adanya thymoma. Telah diusulkan sebagai terapi lini pertama pada kebanyakan pasien dengan myasthenia gravis (MG) umum.Thimectomi dapat menyebabkan remisi.American Association of Neurology merekomendasikan thimectomi untuk nonthymomatous pasien myasthenia gravis

29

(MG)

autoimun.Thimectomi

direkomendasikan

sebagai

pilihan

untuk

meningkatkan kemungkinan remisi atau perbaikan.1

10. Prognosis Miastenia Gravis a. Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31% b. MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4% c. 40% hanya gejala okuler. Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien inidisebut sebagai myasthenia gravis (MG) okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dandisebut sebagai generalized myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myastheniagravis (MG) menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.1

30

DAFTAR PUSTAKA 1. Goldenberg,

William.

Myasthenia

Gravis.

20

Januari

2012.

Diunduh

darihttp://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview, 09 December 2014. 2. Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction. In: Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victor’s : Principles of Neurology 8thed. McGraw Hill. 2005; 53:1264-1250. 3. Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical Journal. 2008; 101: 1: 69-63. 4. Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis: clinical, immunological,and therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 141-134. 5. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle& Nerve. 2004; 29:505-484. 6. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku Kedokteran Dorland. 25 ed.EGC. 1998: 723. 7. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology2nd Edition. 2012; 73: 684-702. 8. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular JunctionKasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s : Principle of Internal Medicine 18th ed. McGraw Hill. 2012; 366: 2523-2518. 9. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme. 2003: 239-238 10. Myasthenia

Gravis

&Neuromuscular

Junction

(NMJ)

Disorders.

Diunduh

darihttp://neuromuscular.wustl.edu/synmg.html#acquiredmg, 07 Juni 2012. 11. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.

12. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

31

More Documents from "Angelina Tania Woda Lado"

Lgk Tania.docx
October 2019 8
Hormone Tiroid.docx
October 2019 25
Hipertiroid.docx
October 2019 14
Konsep Dasar Etika.pptx
December 2019 9