Referat
OTITIS MEDIA SUPURATIF DAN KOMPLIKASI
Oleh: Devi Kartikasari, S.Ked
04084821820019
Marini Rachma Ghaisani, S.Ked
04084821820027
Ria Anindita Novarani, S.Ked
04084821820037
Pembimbing: dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T-K.L(K), FICS
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
OTITIS MEDIA SUPURATIF DAN KOMPLIKASI
Disusun oleh: Devi Kartikasari, S.Ked
04084821820019
Marini Rachma Ghaisani, S.Ked
04084821820027
Ria Anindita Novarani, S.Ked
04084821820037
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode periode 13 Agustus 2018–17 September 2018.
Palembang, Agustus 2018 Pembimbing,
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T-K.L(K), FICS
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Otitis Media Supuratif dan Komplikasi” untuk memenuhi tugas referat sebagai bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T-K.L(K), FICS selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus ini yang disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.
Palembang, Agustus 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii DAFTAR ISI............................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ v BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga ...................................................................................... 3 2.2 Otitis Media Supuratif Kronik ................................................................. 5 2.2.1 Definisi .......................................................................................... 5 2.2.2 Epidemiologi ................................................................................. 5 2.2.3 Etiologi .......................................................................................... 6 2.2.4 Patogenesis .................................................................................... 6 2.2.5 Klasifikasi ...................................................................................... 7 2.2.6 Manifestasi Klinis.......................................................................... 9 2.2.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................. 10 2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................. 12 2.3 Komplikasi OMSK .................................................................................. 15 2.3.1 Penyebaran Komplikasi ................................................................. 16 2.3.2 Diagnosis Komplikasi OMSK ....................................................... 17 2.3.3 Klasifikasi Komplikasi OMSK ..................................................... 18 BAB III. KESIMPULAN......................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 27
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Telinga ............................................................................. 3 Gambar 2. Membran timpani ............................................................................. 4 Gambar 3. Anatomi Tuba Eustachius Anak dan Dewasa .................................. 6
v
BAB I PENDAHULUAN Otitis media adalah peradangan yang terjadi pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis media serosa). Salah satu bentuk otitis media supuratif adalah otitis media supuratif kronik. Otitis media supuratif kronik (OMSK) atau dalam sebutan sehari-hari disebut congek adalah inflamasi kronis di telinga tengah dan kavitas mastoid, yang menimbulkan gejala keluarnya sekret yang encer atau kental, bening atau berupa nanah dari telinga secara terus-menerus, maupun hilang timbul akibat adanya perforasi membran timpani.1,2 OMSK seringkali dimulai saat masa anak-anak, yaitu saat perforasi spontan membran timpani saat terjadi infeksi akut di telinga tengah (Otitis Media Akut). Infeksi ini sering terjadi selama 6 tahun awal kehidupan dengan puncaknya pada usia 2 tahun. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK yaitu keterlambatan pemberian terapi, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien yang rendah atau higiene yang buruk.1,2 Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi.1 Umumnya, setiap penderita dengan perforasi membran timpani yang mengeluh keluar cairan kental (mukoid) dari telinga dalam periode waktu 6 minggu hingga 3 bulan terakhir dikategorikan sebagai OMSK.2 Namun menurut Djaafar (2012), proses peradangan tersebut disebut OMSK jika prosesnya sudah berlangsung lebih dari 2 bulan.1 OMSK dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu OMSK tipe aman dan OMSK tipe bahaya. OMSK tipe bahaya seringkali menimbulkan komplikasi yang bahaya atau fatal. Gejala yang dikeluhkan oleh penderita OMSK biasanya berupa keluar cairan dari telinga yang bersifat pirulen atau mukoid, gangguan pendengaran, nyeri telinga, hingga vertigo. Sedangkan tanda klinis OMSK tipe maligna dapat berupa abses atau fistel retroaurikular, adanya jaringan granulasi atau polip liang telinga, pus aktif, tampak gambaran kolesteatom pada foto rontgen mastoid.1,4 Komplikasi OMSK yang sering timbul terbagi menjadi dua macam yaitu komplikasi intratemporal dan komplikasi intrakranial. Komplikasi intrakranial dapat berupa abses otak, tromboflebitis, hidrosefalus otikus, empiema subdural dan abses subdural, sedangkan komplikasi intratemporal dapat erupa paresis nervus fasialis, petrositis, dan labrinitis.1,3
1
Maka dari itu, pengetahuan mengenai komplikasi OMSK sangat penting, karena dapat menurunkan angka mortalitas penderita OMSK, sehingga penting bagi dokter umum untuk dapat segera mendiagnosis OMSK dan menjelaskan mengenai komplikasi yang akan terjadi bila tidak dilakukan tatalaksana yang adekuat.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
ANATOMI TELINGA Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5-3 cm. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga kulit bagian dalam hanya sedikit djumpai kelenjar serumen. 1,2
Gambar 1. Anatomi Telinga1 Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar yaitu membran timpani, batas depan tuba eustachius, batas bawah vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas tegmen timpani (meningen/otak), batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. 1,2 Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
3
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pers tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.2
Gambar 2. Membran Timpani1 Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul 5 untuk membran timpani kanan. Refleks cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut itu. Secara klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba Eustachius. 2 Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani. Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Telinga pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulangtulang pendengaran merupakan persendian.2 Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dan antrum mastoid. Tuba Eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan 4
telinga tengah. Selanjutnya telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.2 Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah, dan skala media (duktus koklearis) berada diantaranya. Skala vestibuli dan skala timapni berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane), sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti.1 Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.2
2.2
Otitis Media Supuratif Kronik
2.2.1
Definisi Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan suatu radang kronis pada telinga
tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) yang lebih dari 2 bulan, baik terus menerus ataupun hilang timbul.6
2.2.2
Epidemiologi Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. OMSK
lebih sering dijumpai pada orang Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang kulit hitam di Afrika Selatan. Lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini terjadi pada negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh, status kesehatan serta gizi yang buruk merupakan faktor-faktor yang menjadi dasar terjadinya peningkatan prevalensi OMSK pada negara-negara yang sedang berkembang.6 Berdasarkan survei prevalensi di seluruh dunia, variasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling, serta mutu metodologi menunjukkan bahwa beban dunia akibat OMSK melibatkan 65–330 juta orang dengan keluhan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan. Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.6 5
2.2.3
Etiologi Penyebab terbesar otitis media supuratif kronis adalah infeksi campuran bakteri dari
meatus auditoris eksternal, yang dapat berasal dari nasofaring melalui tuba eustachius saat infeksi saluran nafas atas. Organisme-organisme dari meatus auditoris eksternal yaitu Staphylococcus, Pseudomonas Aeruginosa, B.Proteus, B.Coli dan Aspergillus. Organisme dari nasofaring diantaranya Streptococcus Viridans (Streptococcus A Hemolitikus, Streptococcus B Hemolitikus dan Pneumococcus).7
2.2.4
Patogenesis Beberapa penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan dan preparat tulang
temporal menunjukkan bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang menghubungkan rongga di belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah (kavum timpani), merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga tengah (otitis media, OM).6 Pada keadaan normal muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi saluran nafas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa.6
Gambar 3. Anatomi Tuba Eustachius Anak dan Dewasa8 Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga tengah, dan terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah
6
permiabilitas pembuluh darah dan menambah pengeluaran sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga tengah.6 Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory epithelium dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta pembuluh darah. Penyembuhan otitis media ditandai dengan hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.6
2.2.5
Klasifikasi OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu: 7 1. Tipe tubotimpani Disebut juga sebagai OMSK tipe jinak. Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek. Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: Fase aktif Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luar. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi diatas kuadran posterosuperior.
7
Fase tidak aktif/fase tenang Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala berupa tuli konduktif ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, atau rasa penuh dalam telinga.
2. Tipe atikoantral Disebut juga sebagai OMSK tipe ganas, tipe tidak aman atau tipe tulang. Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu: Kongenital Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan keseimbangan. Didapat Kolesteatoma yang didapat seringnya berkembang dari suatu kantong retraksi. Jika telah terbentuk adhesi antara permukaan bawah kantong retraksi dengan komponen telinga tengah, kantong tersebut sulit untuk mengalami perbaikan bahkan jika ventilasi telinga tengah kembali normal, dapat menjadi area kolaps pada segmen atik atau segmen posterior pars tensa membrane timpani. Epitel skuamosa pada membrane timpani normalnya membuang lapisan sel-sel mati dan tidak terjadi akumulasi debris, tapi jika terbentuk kantong retraksi dan proses pembersihan ini gagal, debris keratin akan terkumpul dan pada akhirnya membentuk kolesteatoma. Pengeluaran epitel melalui leher kantong yang sempit menjadi sangat sulit dan lesi tersebut membesar. Membran timpani tidak mengalami ‘perforasi’, tetapi lubang yang terlihat sangat kecil merupakan suatu lubang sempit yang tampak seperti suatu kantong retraksi yang berbentuk seperti botol yang penuh dengan debris epitel yang menyerupai lilin. Teori lain pembentukan kolesteatoma menyatakan bahwa metaplasia skuamosa pada mukosa telinga tengah terjadi sebagai respon terhadap infeksi kronik atau adanya suatu pertumbuhan ke dalam dari epitel skuamosa di sekitar pinggir perforasi, terutama
8
pada perforasi marginal. Destruksi tulang merupakan suatu gambaran dari kolesteatoma didapat, yang dapat terjadi akibat aktivitas enzimatik pada lapisan subepitel. Granuloma kolesterol tidak memiliki hubungan dengan kolesteatoma, meskipun namanya hampir mirip dan kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan pada telinga tengah atau mastoid. Granuloma kolesterol, disebabkan oleh adanya kristal kolesterol dari eksudat serosanguin yang ada sebelumnya. Kristal ini menyebabkan reaksi benda asing, dengan cirsi khas sel raksasa dan jaringan granulomatosa. 2.2.6 Manifestasi Klinis Tanda-tanda klinis pada otitis media kronik adalah: 1.
Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen (kental, putih) atau mukoid (seperti air dan encer) tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran napas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada OMK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau, berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2.
Gangguan pendengaran Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila tidak dijumpai kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan
9
fiksasi dari rantai tulang pendengaranmenghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatoma bertindak sebagai penghantar
suara
sehingga
ambang
pendengaran
yang
didapat
harus
diinterpretasikan secara hati-hati.9 3.
Nyeri telinga (otalgia) Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Pada OMK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4.
Vertigo Vertigo pada penderita OMK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatoma. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan mungkin berlanjut menjadi meningitis.
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan klinik yang dapat dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan yaitu: 1.
Pemeriksaan Audiometri Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim 10
penghantaran suara ditelinga tengah. Paparela, Brady dan Hoel (1970) melaporkan pada penderita OMSK ditemukan tuli sensorineural yang dihubungkan dengan difusi produk toksin ke dalam skala timpani melalui membran fenstra rotundum, sehingga menyebabkan penurunan ambang hantaran tulang secara temporer/permanen yang pada fase awal terbatas pada lengkung basal kohlea tapi dapat meluas kebagian apek kohlea. Gangguan pendengaran dapat dibagi dalam ketulian ringan, sedang, sedang berat, dan ketulian total, tergantung dari hasil pemeriksaan (audiometri atau test berbisik). Derajat ketulian ditentukan dengan membandingkan rata-rata kehilangan intensitas pendengaran pada frekuensi percakapan terhadap skala ISO 1964 yang ekivalen dengan skala ANSI 1969. Derajat ketulian dan nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969. Evaluasi audimetri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang serta penilaian tutur, biasanya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengaran. Derajat ketulian nilai ambang pendengaran:
2.
Normal
: -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan
: 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang
: 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat
: 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat
: 71 dB sampai 90 dB
Tuli total
: lebih dari 90 dB
Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis memiliki nilai diagnostik yang terbatas dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan audiometri. Pemerikasaan radiologi biasanya mengungkapkan mastoid yang tampak sklerotik, lebih kecil dengan pneumatisasi lebih sedikit dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang, terutama pada daerah atik memberi kesan kolesteatom. Proyeksi radiografi yang digunakan adalah:
Proyeksi Schuller Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas, yang berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan 11
tegmen. Pada keadaan mastoid yang skleritik, gambaran radiografi ini sangat membantu ahli bedah untuk menghindari dura atau sinus lateral.
Proyeksi Mayer atau Owen Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulangtulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur.
Proyeksi Stenver Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas memperlihatkan
kanalis
auditorius
interna,
vestibulum
dan
kanalis
semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat kolesteatom.
Proyeksi Chause III Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom, ada atau tidak tulang-tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada kanalis semisirkularis horizontal. -
Cholesteatoma Cholesteatoma yang terjadi pada daerah atik atau pars flasida. Banyak teori yang diajukan sebagai penyebab cholesteatoma didapat primer, tetapi sampai sekarang belum ada yang bisa menunjukan penyebab yang sebenarnya.
-
Secondary Acquired Cholesteatoma Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal pada bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong retraksi membran timpani pars tensa.
2.2.8
Penatalaksanaan Penatalaksanaan OMSK yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebab
dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta mengganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Bila
12
didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi. Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi yang dibagi atas konservatif dan operatif. 5
OMSK Benigna Tenang Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan disarankan untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran.10
OMSK Benigna Aktif: Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah10 : 1.
Pembersihan Liang Telinga dan Kavum Timpani (Aural Toilet) Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. Cara pembersihan liang telinga (aural toilet)10 :
Aural toilet secara kering (dry mopping) Telinga dibersihkan dengan kapas lidi steril, setelah dibersihkan dapat di beri antibiotik berbentuk serbuk. Cara ini sebaiknya dilakukan di klinik atau dapat juga dilakukan oleh anggota keluarga. Pembersihan liang telinga dapat dilakukan setiap hari sampai telinga kering.
Aural toilet secara basah (syringing) Telinga disemprot dengan cairan untuk membuang debris dan nanah, kemudian dengan kapas lidi steril dan diberi serbuk antibiotik. Meskipun cara ini sangat efektif untuk membersihkan telinga tengah, tetapi dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke bagian lain dan ke mastod. Pemberian serbuk antibiotik dalam jangka panjang dapat menimbulkan reaksi sensitifitas pada kulit. Dalam hal ini dapat diganti dengan serbuk antiseptik, misalnya asam boric dengan Iodine.
Aural toilet dengan pengisapan (suction toilet) Pembersihan dengan suction pada nanah, dengan bantuan mikroskopis operasi adalah metode yang paling populer saat ini. Kemudian dilakukan pengangkatan mukosa yang
13
berproliferasi dan polipoid sehingga sumber infeksi dapat dihilangkan. Akibatnya terjadi drainase yang baik dan resorbsi mukosa. Pada orang dewasa yang koperatif cara ini dilakukan tanpa anastesi tetapi pada anak-anak diperlukan anastesi. Pencucian telinga dengan H2O2 3% akan mencapai sasarannya bila dilakukan dengan “displacement methode” seperti yang dianjurkan oleh Mawson dan Ludmann.
2.
Pemberian antibiotika: a. Antibiotika/antimikroba topical Terdapat perbedaan pendapat mengenai manfaat penggunaan antibiotika topikal untuk OMSK. Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan secret yang banyak tanpa dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang buruk untuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi pada OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan, kecuali kasus dengan jaringan patologis yang menetap pada telinga tengah dan kavum mastoid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi. Obat-obatan topikal dapat berupa bubuk atau tetes telinga yang biasanya dipakai setelah telinga dibersihkan dahulu.10 Bubuk telinga yang digunakan yaitu: Acidum boricum dengan atau tanpa iodine, Terramycin, Acidum boricum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg. Pengobatan antibiotika topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif, dikombinasi dengan pembersihan telinga, baik pada anak maupun dewasa. Neomisin dapat melawan kuman Proteus dan Stafilokokus aureus tetapi tidak aktif melawan gram negatif anaerob dan mempunyai kerja yang terbatas melawan Pseudomonas karena meningkatnya resistensi. Polimiksin efektif melawan Pseudomonas aeruginosa dan beberapa gram negatif tetapi tidak efektif melawan organisme gram positif. Seperti aminoglikosida yang lain, Gentamisin dan Framisetin sulfat aktif melawan basil gram negative. Tidak ada satu pun aminoglikosida yang efektif melawan kuman anaerob.10 Biasanya tetes telinga mengandung kombinasi neomisin, polimiksin dan 14
hidrokortison, bila sensitif dengan obat ini dapat digunakan sulfanilaid-steroid tetes mataPemakaian jangka panjang lama obat tetes telinga yang mengandung aminoglikosida akan merusak foramen rotundum, yang akan menyebabkan ototoksik.10 b. Antibiotika sistemik Pemilihan antibiotika sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan , perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.10 Dalam penggunaan antimikroba, perlu diketahui daya bunuh antimikroba terhadap masing- masing jenis kuman penyebab, kadar hambat minimal terhadap masing-masing kuman penyebab, daya penetrasi antimikroba di masing-masing jaringan tubuh dan toksisitas obat terhadap kondisi tubuh. Berdasarkan konsentrasi obat dan daya bunuh terhadap mikroba, antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama antimikroba dengan daya bunuh yang tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.10 Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan diberikan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidim dan seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus diberikan secara parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob. Metronidazol dapat diberikan pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.10
OMSK Maligna Pengobatan yang tepat untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi. Tujuan operasi adalah menghentikan 15
infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.10 Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara lain10 :
Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
Mastoidektomi radikal
Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
Miringoplasti
Timpanoplasti
Pendekatan ganda timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty)
2.3
Komplikasi OMSK Otitis media supuratif kronis mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore. Pemberian antibiotika telah menurunkan insiden komplikasi. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi intrakranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK yang berhubungan dengan kolesteatom.7
2.3.1
Penyebaran Komplikasi Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barier) pertahanan telinga tengah
dilewati sehingga infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya.7 a. Pertahanan pertama Yaitu mukosa kavum timpani yang mampu melokalisasi infeksi. Bila sawar pertahanan ini runtuh masih ada sawar pertahanan yang kedua yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. b. Pertahanan kedua Yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel mastoid. Runtuhnya periosteum akan menyebabkan terjadinya abses subperiosteal (tidak berbahaya). Apabila infeksi mengarah kedalam yaitu ke tulang temporal akan menyebabkan paresis n.VII atau
16
labirinitis. Bila kearah kranial akan menyebabkan abses ekstradural, tromboflebitis sinus lateralis, meningitis, dan abses otak. c. Pertahanan ketiga Yaitu terbentuknya jaringan granulasi. Ini terjadi jika sawar tulang terlampaui. Pada otitis media supuratif akut penyebaran melalui hematogen atau osteotromboflebitis, sedangkan pada otitis media supuratif kronis penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya yaitu toksin masuk melalui jalan yang sudah ada misalnya melalui fenestra rotondum, meatus akustikus internus, duktus perilimfatik dan duktus endolimfatik. Dari gejala dan tanda yang ditemukan dapat diperkirakan jalan penyebaran suatu infeksi telinga tengah ke intrakranial. Penyebaran secara hematogen dapat diketahui dengan adanya:
Komplikasi terjadi pada awal infeksi atau eksaserbasi akut
Gejala prodromal tidak jelas
Pada operasi, didapatkan dinding tulang teling tengah utuh, dan tulang serta lapisan muko periosteal meradang dan mudah berdarah
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila:
Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit
Gejala prodromal mendahului gejala infeksi
Pada operasi ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi dengan struktur sekitarnya
Penyebaran melalui jalan yang sudah ada dapat diketahui bila:
Komplikasi terjadi pada awal penyakit
Serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin juga dapat ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang, atau riwayat otitis media yang sudah sembuh
Pada operasi ditemukan jalan penjalaran sawar tulang yang bukan karena erosi Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari
OMSK berhubungan dengan kolesteatom. Insidensi terjadinya komplikasi dari otitis media kronik dan kolesteatoma sudah menurun sejak semakin banyaknya antibiotik pada awal abad ke 20. Bagaimanapun, komplikasi ini dapat terus terjadi, dan bisa berakibat fatal apabila tidak diidentifikasi dan diterapi secara tepat. Otitis media kronik (OMK) dikenal sebagai infeksi atau inflamasi persisten dari telinga tengah dan mastoid. Kondisi ini melibatkan perforasi dari 17
membran timpani, dengan adanya cairan yang keluar dari telinga (otorrhea) secara intermiten atau terus-menerus. Dengan terjadinya otomastoiditis kronis dan disfungsi dari tuba eustachius yang persisten, membran timpani melemah, dapat meningkatkan kemungkinan atelektasis telinga atau pembentukan kolesteatoma. Kedekatan dari telinga tengah dan mastoid ke intratemporal dan intrakranial meningkatkan risiko infeksi terjadinya komplikasi dari struktur kompartemen yang berlokasi di sekitar daerah itu. Komplikasi untuk otitis media kronis dengan atau tanpa klesteatoma lebih sering terjadi pada anak dan dewasa.
2.3.2
Diagnosis Komplikasi OMSK Bila dengan pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi gejala, seperti
otorea terus terjadi, dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan, maka harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada stadium akut, yang dapat merupakan tanda bahaya antara lain; naiknya suhu tubuh, nyeri kepala, atau adanya malaise, drowsiness, somnolen, atau gelisah. Dapat juga timbulnya nyeri kepala di bagian parietal atau oksipital, dan adanya mual, muntah proyektil, serita kenaikan suhu badan yang menetap selama terapi, merupakan tanda komplikasi intrakranial. Pada OMSK, tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti, karena menandakan adanya sekret purulen yang terbendung. Pencitraan yang lebih akurat adalah pemeriksaan CT Scan, dimana dapat terlihat erosi tulang yang merupakan tanda nyata komplikasi dan memerlukan tindakan operasi segera. CT Scan juga berguna untuk menentukan letak anatomi lesi.
2.3.3
Klasifikasi Komplikasi OMSK Beberapa penulis mengemukakan klasifikasi komplikasi otitis media yang berlainan,
tetapi dasarnya tetap sama. Menurut Adams dkk (1989) klasifikasi OMSK yaitu: A. Komplikasi di telinga tengah: 1. Perforasi membran timpani persisten 2. Erosi tulang pendengaran 3. Paralisis nervus fasialis B. Komplikasi di telinga dalam: 1. Fistula labirin 2. Labirinitis supuratif 3. Tuli saraf (sensorineural)
18
C. Komplikasi ekstradural: 1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Petrositis D. Komplikasi ke susunan saraf pusat: 1. Meningitis 2. Abses otak 3. Hidrosefalus otitis Paparella dan Shumrick (1980) membagi klasifikasi sebagai berikut: A. Komplikasi otologik 1. Mastoiditis koalesen 2. Petrositis 3. Paresis fasialis 4. Labirinitis B. Komplikasi Intrakranial 1. Abses ekstradural 2. Trombosis sinus lateralis 3. Abses subdural 4. Meningitis 5. Abses otak 6. Hidrosefalus otitis Shambough (1980) membagi atas komplikasi meningeal dan non meningeal: A. Komplikasi meningeal 1. Abses ekstradural dan abses perisinus 2. Meningitis 3. Tromboflebitis sinus lateral 4. Hidrosefalus otitis 5. Otore likuor serebrospinal B. Komplikasi non meningeal 1. Abses otak 2. Labirinitis 3. Petrositis
19
4. Paresis fasial
Komplikasi secara umum dibagi menurut 4 pembagian yaitu: 1. Komplikasi di Telinga Tengah Akibat infeksi telinga tengah berupa tuli konduktif. Pada membran timpani yang masih utuh, tetapi rangkaian tulang pendengaran terputus akan menyebabkan tuli konduktif yang berat. Biasanya derajat tuli konduktif tidak selalu berhubungan dengan penyakitnya sebab jaringan patologis yang terdapat di kavum timpanipun misalnya kolesteatoma dapat menghantarkan suara ke telinga dalam.
Paresis nervus fasialis Pada otitis media akut nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung melalui kanalis fasialis. Pada otitis media kronis kerusakan terjadi oleh erosi tulang oleh kolesteatom atau oleh jaringan granulasi disusul oleh infeksi kedalam kanalis fasialis tersebut. Penatalaksanaannya yaitu pada otitis media akut, perlu diberikan antibiotika dosis tinggi dan drainase untuk menghilangkan tekanan didalam kavum timpani. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak ada perbaikan setelah diukur dengan elektromiografi barulah dilakukan dekompresi. Pada otitis media supuratif kronis, tindakan dekompresi harus segera dilakukan tanpa menunggu pemerikssaan elektrodiagnostik.
Mastoiditis Mastoiditis akut (MA) merupakan perluasan infeksi telinga tengah ke dalam pneumatic system selulae mastoid melalui antrum mastoid. Walau dalam praktek kejadian komplikasi ini rendah, pengobatan harus secepat dan seefektif mungkin untuk menghindari komplikasi. Gejala klinis OMSK yang dicurigai MA antara lain otore purulen kental dalam jumlah banyak dan bau, tak menunjukkan perbaikan setelah pengobatan antibiotika selama dua minggu, nyeri belakang telinga. Pada pemeriksaan fisik mungkin akan ditemukan granulasi di dinding superoposterior kanalis auditorius eksterna, perforasi membran timpani, abses/fistel retroaurikula. Pada beberapa kasus dapat dijumpai perluasan abses ke ruang/rongga dalam leher sekitar mastoid seperti m.digastrikus, m.sternokleidomastoideus (Bezold’s mastoiditis) dan paralisis nervus fasialis. Diagnosis mastoiditis ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang radiologi yang menunjukkan mastoiditis baik foto polos mastoid Schuller maupun CT scan mastoid. Pengobatan berupa antibiotika sistemik dan operasi mastoidektomi;
meliputi
dua
hal
penting:
20
pertama
pembersihan
telinga
(menyedot/mengeluarkan debris telinga dan sekret) kedua antibiotika baik peroral, sistemik ataupun topikal berdasarkan pengalaman empirik dari hasil kultur mikrobiologi. Pemilihan antibiotika umumnya berdasarkan efektifitas kemampuan mengeliminasi kuman (mujarab), resistensi, keamanan, risiko toksisitas dan harga.
2.
Komplikasi di Telinga Dalam Apabila terdapat peninggian tekanan di telinga tengah oleh produk infeksi ada kemungkinan produk infeksi itu akan menyebar ke telinga dalam melalui tingkap bulat (fenestra rotundum). Apabila kerusakan hanya sampai bagian basalnya biasanya tidak menimbukan keluhan pada pasien. Apabila kerusakan telah menyebar ke koklea akan dilakukan miringotomi segera pada pasien otitis media akut yang tidak membaik dalam empat puluh delapan jam dengan pengobatan medikamentosa. Penyebaran oleh proses destruksi seperti oleh kolesteatoma atau infeksi langsung ke labirin akan menyebabkan gangguan keseimbangan dan pendengaran misalnya vertigo, mual muntah, tuli saraf.
Fistula labirin dan labirinitis Otitis media supuratif kronis (OMSK) terutama dengan kolesteatoma dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada bagian vestibuler labirin sehingga terbentuk fistula. Pada keadaan ini infeksi dapat masuk sehingga terjadi labirinitis dan akhirnya terjadi tuli total atau meningitis. Fistula di labirin dapat diketahui dengan tes fistula yaitu dengan memberikan tekanan udara positif atau negative keliang telinga melalui otoskop Siegel dengan balon karet berbentuk elips pada ujugnya yang dimasukkan kedalam liang telinga. Balon karet dipencet dan udara didalamnya akan menyebabkan perubahan tekanan udara di liang telinga. Bila fistula ynag terjadi masih paten maka akan terjadi kompresi dan ekspansi labirin membran. Tes fistula positif akan menimbulkan nistagmus atau vertigo. Tes fistula negative bila fistulanya sudah tertutup oleh jaringan granulasi atau bila labirin sudah mati atau paresis kanal.
Labirinitis Labirinitis umum yaitu labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf berat. Labirinitis terbatas/labirinitis sirkumskripta menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja. Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Ada dua bentuk labirinitis yaitu:
21
a. Labirinitis serosa Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan sirkumskripta. Pada labirinitis serosa, toxin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang. b. Labirinitis supuratif Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan kronik difus. Pada labirinitis supuratif sel radang menginvasi labirin sehingga terjadi kerusakan yang ireversibel seperti fibrosis dan osifikasi. Penatalaksanaan: -
Operasi harus segera dilakukan pada kedua bentuk labirinitis itu untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah.
-
Drenase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis
-
Antibiotika adekuat untuk pengobatan otitis media kronik dengan atau tanpa kolesteatoma.
3.
Komplikasi ke Ekstradural
Abses Subperiosteal Abses subperiosteal adalah komplikasi extracranial dari OMK yang paling sering terjadi. Abses ini terjadi di korteks mastoid ketika proses infeksi dalam sel-sel udara mastoid meluas ke ruang subperiosteal. Perluasan ini paling sering terjadi sebagai akibat dari erosi korteks sekunder menjadi mastoiditis akut atau coalescent, tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari perluasan vaskular sekunder menjadi phlebitis dari vena mastoid. Abses subperiosteal terlihat lebih sering pada anak-anak muda dengan OMA, tetapi juga ditemukan pada otitis kronis dengan dan tanpa cholesteatoma. Cholesteatoma dapat menghalangi aditus ad antrum, mencegah terhubungnya dari isi dari mastoid yang terinfeksi dengan ruang telinga tengah dan tuba eustachius. Obstruksi ini meningkatkan kemungkinan dekompresi yang infeksius sampai korteks mastoid, menyajikan klinis sebagai abses subperiosteal atau abses Bezold. Seringkali, diagnosis abses subperiosteal dibuat atas dasar klinis. Umumnya, pasien akan datang dengan gejala sistemik, termasuk demam dan malaise, bersama dengan tanda-tanda lokal, termasuk daun telinga yang menonjol ke arah lateral dan inferior, dan juga terdapat daerah yang fluktuatif, eritematosa, dan nyeri di belakang telinga. Bila diagnosis tidak pasti pada evaluasi klinis, CT scan kontras dapat menunjukkan abses dan mungkin defek kortikal pada mastoid. Sebuah kasus dapat dibuat untuk CT scan kontras dari tulang temporal pada semua pasien dengan gejala-gejala ini, untuk 22
membantu dalam perencanaan terapi dan untuk menyingkirkan kemungkinan komplikasi lainnya. Mastoiditis tanpa abses, limfadenopati, abses superfisial, dan kista sebasea terinfeksi adalah kemungkinan lain yang harus disingkirkan.
Abses Bezold Merupakan abses cervical yang berkembang mirip dengan abses subperiosteal secara patologi. Dengan adanya mastoiditis coalescent, jika korteks mastoid terkena pada ujungnya, sebagai lawan dari korteks lateral, abses akan berkembang di leher, dalam sampai sternokleidomastoid. Abses ini dideskripsikan sebagai massa yang dalam dan lembut pada leher. Karena abses berkembang dari sel-sel udara di ujung mastoid, ini ditemukan pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, di mana pneumatisasi dari mastoid telah diperpanjang sampai ke ujung. Sebagian besar dari abses ini adalah hasil dari ekstensi langsung melalui korteks, selain itu adalah dari transmisi melalui korteks utuh dengan cara phlebitis vena mastoid. Meskipun abses Bezold adalah komplikasi dari OMA dengan mastoiditis yang lebih sering terjadi pada anak-anak, abses ini juga dikenal sebagai komplikasi dari OMK dengan cholesteatoma.Diagnosis ditegakkan dengan CT scan kontras dari leher dan mastoid dianjurkan untuk membuat diagnosis dari abses Bezold. Presentasi dari pembesaran massa yang dalam dan lembut di leher harus dibedakan dari inflamasi limfadenopati leher, yang sulit atas dasar klinis saja. CT scan abses Bezold yang menunjukkan abses melingkar yang meningkat dengan peradangan di sekitarnya, dapat menunjukkan dehiscence tulang di ujung mastoid, dan dapat membantu dalam perencanaan operasi.
Petrositis Adanya petrositis dicurigai apabila pada pasien terdapat sindroma Gradenigo yaitu: a. Diplopia karena kelemahan n.VI b. Rasa nyeri didaerah parietal, temporal, oksipital karena n.V terkena. c. Otore yang persisten Apabila terdapat nanah yang keluar terus menerus dan rasa nyeri yang menetap pasca mastoidektomi maka curigai petrositis. Pengobatan petrositis yaitu operasi dan pemberian antibiotika protocol komplikasi intra kranial.
Tromboflebitis sinus lateralis Invasi infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati tulang mastoid akan menyebabkan terjadinya thrombosis sinus lateralis. Komplikasi ini sudah jarang terjadi karena sudah ada antibiotika. Demam yang tidak dapat diterangkan penyebabnya merupakan tanda
23
pertama dari infeksi pembuluh darah. Pada mulanya suhu tubuh turun naik tetapi setelah penyakit menjadi berat didapatkan kurva suhu yang naik turun dengan sangat curam disertai dengan menggigil. Kurva suhu demikian menandakan adanya sepsis. Pengobatan haruslah dengan jalan bedah, membuang sumber nfeksi di sel-sel mastoid, membuang tulang yang berbatasan dengan sinus yang nekrotik. Jika sudah terbentuk thrombus harus dilakukan drenase sinus dan mengeluarkan trobus. Sebelumnya dilakukan dulu ligasi vena jugulare interna untuk mencegah thrombus terlepas ke paru dan ke dalam tubuh lain.
Abses ekstradural Abses ekstradural ialah terkumpulnya nanah di antara duramater dan tulang. Pada OMSK keadaan ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan kolesteatoma yang menyebabkan erosi tegmen timpani atau mastoid. Gejalanya terutama berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala.
Abses subdural Abses subdural jarang terjadi sebagai perluasan langsung dari abses ekstradural. Gejalanya dapat berupa demam, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang, hemiplegia , tanda kernig positif. Pungsi lumbal perlu untuk membedakan abses subdural dengan meningitis. Pada abses subdural,LCS mempunyai kadar protein yang normal dan tidak ditemukan bakteri. Kalau pada abses ekstradural nanah keluar pada operasi mastoidektomi, pada abses subdural nanah harus dikeluarkan secara bedah saraf sebelum dilakukan operasi mastoidektomi.
4.
Komplikasi ke Susunan Saraf Pusat
Meningitis Komplikasi otitis media ke susunan saraf pusat yang paling sering ialah meningitis. Meningitis dapat terjadi pada otitis media akut maupun kronis serta dapat terlokalisasi atau umum. Pada pemeriksaan likuor serebrospinal terdapat bakteri pada meningitis bentuk yang umum sedangkan pada meningitis bentuk yang terlokalisasi tidak ditemukan bakteri. Gambaran klinis:14 Gambatan klinis yang biasa ditemui adalah sakit kepala dan kaku kuduk. Awalnya sakit kepala terlokalisasi pada sisi kepala dengan telinga yang terinfeksi lalu sakit
24
kepala terjadi menyeluruh. Ditemukan malaise dan pireksia, suhu tubuh bias sampai 39°C, biasa disertai penurunan kesadaran
Pemeriksaan klinis: Terdapat kaku kuduk waktu difleksikan dan terdapat tanda kernig positif, pada LCS kadar gula menurun dan kadar protein meninggi. Pengobatan: a) Obati meningitisnya dengan antbiotik b) Mastoidektomi untuk infeksi di telinganya.
Abses otak Merupakan perluasan langsung dari infeksi telinga dan mastoid atau tromboflebitis. Umumnya didahului oleh suatu abses ekstra dural. Gejala abses serebelum lebih jelas daripada abses lobus temporal. Abses serebelum dapat ditandai dengan ataksia, disdiadokokinetis, tremor intensif dan tidak tepat menunjuk suatu objek. Afasia dapat terjadi pada abses lobus temporal. Abses dikelilingi oleh area edema serebral dan ensefalitis derajat rendah, yang ukurannya berfluktuasi dan mempengaruhi tingkat keparahan gejala. Gejala yang dapat timbul menunjukkan adanya toksisitas beupa nyeri kepala, demam, muntah, letargi, anoreksia. Tanda yang nyata abses otak ialah denyut nadi yang melambat, peningkatan tekanan intracranial, dan penurunan suhu tubuh. Gejala lain yang menyertai biasanya sakit kepala dan muntah. Pemeriksaan LCS memperlihatkan kadar protein yang meninggi serta kenaikan tekanan likuor. Pengobatan dengan diberikan Antibiotika parenteral dosis tinggi dengan atau tanpa operasi untuk melakukan drainase.
Hidrosefalus otitis Hidrosefalus otitis ditandai dengan peninggian tekanan LCS yang hebat tanpa adanya kelainan kimiawi. Pada pemeriksaan terdapat edema papil. Gejala berupa nyeri kepala hebat yang menetap, diplopia, kabur, mual, muntah. Keadaan ini karena tertekannya sinus lateralis yang mengakibatkan kegagalan absorbsi LCS oleh lapisan arahnoid. Pengobatan berupa pungsi lumbal berulang dan penatalaksanaan infeksi telinga yang menetap.
25
BAB III KESIMPULAN Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah inflamasi kronis di telinga tengah dan kavitas mastoid, yang menimbulkan gejala keluarnya sekret yang encer atau kental, bening atau berupa nanah dari telinga secara terus menerus maupun hilang timbul akibat adanya perforasi membran timpani. OMSK dapat dibagi menjadi atas dua jenis yaitu OMSK tipe aman dan OMSK tipe bahaya, dimana OMSK tipe bahaya adalah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Penatalaksanaan OMSK yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebab dan pada stadium penyakitnya. Dengan demikian haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi penyembuhan serta mengganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat ditelinga. Komplikasi OMSK yang sering timbul terbagi menjadi dua macam yaitu komplikasi intratemporal dan komplikasi intrakranial. Komplikasi intratemporal dapat berupa paresis nervus fasialis, petrositis, dan labrinitis, sedangkan komplikasi intrakranial yang sering dapat berupa abses otak, tromboflebitis, hidrosefalus otikus, empiema subdural dan abses subdural Komplikasi tersebut berbahaya bagi kesehatan bahkan dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan pengenalan yang baik terhadap perkembangan suatu penyakit pada telinga untuk mengetahui timbulnya komplikasi sehinga dapat ditatalaksana dengan segera.
26
DAFTAR PUSTAKA 1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dll. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012. P 66-8. 2. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. B. Bab IX Nyeri Tenggorok. Dalam: Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, dan Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta; 2007. H. 10-16. 3. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-62 4. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1997 5. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73 6. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118 7. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from URL: http://www.pediatrics.org/ 8. Thapa N, Shirastav RP. Intrakranial complication of chronic suppuratif otitis media, attico-antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-39 Available from URL: http://www.jneuro.org/ 9. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of ototopical antibiotics
for
chronic
suppurative
27
otitis
media
in
Aboriginal children: a
community-based, multicentre, double-blind randomised controlled trial. Medical Journal of Australia. 2003. Available from URL: http://www.mja.com.au/ 10. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media. Medical Journal of Australia. 2004. Available from URL: http://www.mja.com.au/ 11. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intrakranial complication of chronic suppuratif otitis media in children. Brazillian Journal of Otorhinolaringology. 2005. Available from URL: http://www.rborl.org.br/ 12. Vesterager V. Fortnightly review: tinnitus–investigation and management. BMJ. 1997. available from URL: http://www.bmj.org/
1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. 2014. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, dll. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2014. 2. WHO. 2004. Chronic Suppurative Otitis Media: Burden of Illness and Management Option. Geneva, Switzerland. Child and Adolescent Health Development Prevention of Blindness and Deafness. 3. Ballantyne J and Govers J: Scott Brown’s Disease of the Ear, Nose, and Throat.Publisher: Butthworth Co.Ltd. : 1987, vol. 5 4. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 1997 5. http://www.jludwick.com/Notes/Miscellaneous/Insurance.html 6. Moore,keith L. Anatomi Klinis Dasar.EGC. Jakarta .2002 7. Snell Richard: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Penerbit: EGC. Jakarta 2006. 8. Aboet, A. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher pada Fakultas Kedokteran USU. Medan; 2007. 9. Paparella et al. Otolaryngology. Volume II-Otology and Neuro-otology Third Edition. WB Saunders Company; 1991. p:1363. 10. Soetjipto, damayanti et.al. Komite Nasional Penaggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian. 11. Burton, Martin et al. Hall & Collman’s Diseases of The Ear, Nose and Throat Fifteenth Edition. Hartcourt Brace and Company Limited; 2000.p: 41-42
28
12. Nursiah, Siti. Pola Kuman Aerob Penyebab OMSK dan Kepekaan terhadap beberapa Antibiotika di bagian THT FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan. Medan; 2003. 13. Penatalaksanaan Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Cermin Dunia Kedokteran 163/vol.35 no.4/ Juli–Agustus 2008. 14. 15. Ludman, Harold: Scott Brown’s Disease of the Ear, Nose, and Throat. “Complication of Suppuratives Otitis Media”. Publisher: Butthworth-Heinneman : 1997, vol. 3, ed 6th.
29