BAB I PENDAHULUAN Kanker adalah penyakit genetik kompleks yang berasal dari akumulasi berbagai perubahan genetik. Perubahan genetik ini termasuk aktivasi protoonkogen dan inaktivasi gen supresor tumor. Lebih lanjut, inaktivasi dari fungsi gen supresor tumor memerlukan inaktivasi pada kedua alel, biasanya oleh mutasi titik dan delesi kromosom. Korelasi antara perubahan genetik spesifik ini digambarkan dalam perkembangan histopatologis dari kanker kolorektal yang menuju pada pembentukan model perkembangan molekul untuk penyakit ini. Sekarang, model perkembangan molekul ini bertindak sebagai paradigma untuk memandang perkembangan kanker lain secara molekular. Sejumlah
kejadian
genetik
spesifik
telah
diidentifikasikan
dalam
perkembangan karsinoma sel sekuamosa kepala dan leher. DNA tumor primer sekarang dapat diisolasi dan diperiksa keberadaan delesi dan amplifikasi kromosom, juga karakteristik dari onkogen yang dicurigai. Identifikasi dari perubahan penting genetik yang mendorong perkembangan neoplasma telah menyediakan model perkembanag nawal untuk kanker kepala dan leher. Model ini sekarang menyediakan alternatif teknik diagnostik, prognosiss dan terapi yang baru. Analisis dari kanker di saluran pernafasan dan pencernaan (aerodigestif) atas menunjukkan proses neolasma yang berankearagam. Setiap neoplasma memiliki serangkaian pertimbangan epidemiologis, anatomis, patologis dan penatalaksanaan yang unik. Akan tetapi terdapat prinsip umum mengenai kanker ini seperti struktur anatomi yang terlibat, patologi, staging dan skrining sebagaimana prinsip umum penatalaksanaan yang melibatkan baik terapi satu modalitas atau multimodal yang relevan untuk semua tempat.
1
BAB II NEOPLASMA PADA RONGGA HIDUNG, SINUS PARANASAL, NASOFARING, RONGGA MULUT DAN OROFARING 2.1. Neoplasma pada Rongga Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1. Epidemiologi Kanker di rongga hidung dan sinus paranasal jarang terjadi dengan insidens 0,75 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat. Lesi pada antrum maksilar dua klia lebih sering dibanding rongga hidung. Kanker di sinus ethmoid dan sfenoid adalah yang paling jarang ditemukan. Kanker ini umumnya terjadi lebih sering pada laki-laki dari pada wanita dengan rasio 2:1 dan umumnya terjadi pada dekade usia keenam. Kanker ini lebih banyak ditemukan pada orang Asia dan Afrika. Faktor etiologis umumnya multifaktor. Pajanan terhadap nikel telah ditunjukkan meningkatkan resiko perkembangan kanker ini. Pekerjaan yang dihubungka ndengan insidens yang tinggi dari kanker rongga hidung adalah perkerja di bidang tekstil, furnitur, dan sepatu. Pekerjaan lain yang dianggap memiliki resiko cukup bermakna adalah yang terlibat dalam produksi kromium, alkohol isopropil dan radium. Beberapa peneliti mengaitkan antara karsinoma sinus maksilar dengan sinusitis kronik. 2.1.2. Anatomi Relevan Rongga hidung terdiri dari vestibulum nasi, antrum nasi dan konka nasal. Rongga hidung dipisahkan oleh kartilago septum. Vestuibulum nasi adalah daerah triangular dari rongga hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina maksila di inferior, septum nasi di medial, dan alae nasi di lateral. Vestibulum nasi merupakan bagian dari rongga hidung yang tersusun dari epitel yang mirip kulit dengan folikel rambut dan kelenjar keringat. Bagian posteriornya merupak ndaerah transisional dari epitel kulit dengan mukosa. Antrum nasi merupakan daerah sisa dari rongga hidung dan terdiri dari konka inferior, media dan superior. Konka superior dan media terdiri dari proyeksi tulang yang diselubungi jaringan kaya pembuluh darah yang rapuh dan berawal dari jaringan rongga udara di tulang ethmoid. Konka inferior berasal dari tulang yang lain. Sinus paranasal terdiri dari sinus maksilaris, ethmoidalis, sfenoid dan frontalis.
2
Drainase limfatik primer dari sinus maksilaris adalah ke nodus submandibular. Sinus ethmoidalis juga ke submandibular selain ke nodus retrofaringeal. Rongga hidung juga terdrainase ke daerah ini sepanjang alur pembuluh darah fasial ke segitiga submandibular dan nodus periparotid. 2.1.3. Patologi Sebagian besar tumor dari kavum nasi dan sinus paranasal adalah karsinoma sel skuamosa. Berbeda dengan daerah lain di traktus aerodisgetif akrsinoma sel skuamosa tidak terlalu mendominasi. Terdapat banyak variasi kanker yang secara histopatologis berbeda yang dapat terjadi di daerah ini. Tumor yang ditemukan di bagian superior kavum nasi termasuk adenokarsinoma dan estesioneuroblastoma. Di sinus paranasal, neoplasma lainnya termasuk tumor yang berasal dari kelenjar ludah minor termasuk adenokarsinoma, karsinoma adenoid kistik, dan karsinoma mukoepidermoid. Tumor lain yang jarang di daerah ini adalah limfoma, melanoma mukosa, teratokarsinoma, angiosarkoma dan berbagai tumor odontogenik dan tulang lainnya. 2.1.4. Perjalanan Penyakit Kanker yang paling umum misalnya karsinoma sel skuamosa umumnya terdiferensiasi baik dan lambat tumbuh, serta kecenderungan metastasisnya rendah. Gejala yang paling umum adalah ulkus yang tidak sembuh-sembuh, epistaksis okasional dan onstruksi nasal bilateral. Karena keterbatasan anatomis dalam membuat diagnosis dini, kanker biasanya sudah lanjut sewaktu gejala awal timbul. Gejala lain yang menunjukkan pertumbuhan ke arah rongga mulut yang menyebabkan sakit gigi, gigi tanggal; atau ke orbit mata menyebabkan berbgaai gejala mata seperti diplopia, proptosis dan epifora. Nyeri hebat dan trismus juga terjadi dengan pertumbuhan ke arah fossa pterigoid. Tumor di meatus nasi superior dan sinus paranasal dapat menginvasi plat kribriformis dan berkembang ke arah fossa kranial anterior menyebabkan anosmia atau sakit kepala. Nodus limfe regional yang paling sering terlibat dengan metastasis kanker adalah nodus limfe di regio periparotid atau di segitiga submandibular. Kecenderungan untuk menyebar ke nodus limfe regional tergantung dari derah dimana tumor primer berasal. Sekita 20% pasien dengan kanker dari vestibulum nasi mempunyai tanda klinis penyebaran ke nodul limfatis yang jelas. Sekitar 15% dari 3
pasien ini mempunyai penyebaran kanker ke nodus limfatis bilateral. Nodus limfe regional menyebar lebih jarang pada tumor dari sinus ethmoid dan maksilar, sekitar 10%-15% pasien. Kemungkinana penyebaran ke nodus limfe akan menigkat seiring dengan pertumbuhan tumor keluar dari rongga hidung dan sinus paranasal, terutama dengan perkembangan ke arah rongga mulut. Prognosis dari lesi rongga hidung sebanding dengan ukuran dari lesi dan umumnya harapan hidup 5 tahunnya sekitar 60%. Prinsip utama yang menentukan harapan hidup adalah keberadaan rekurensi lokal, yang merupakan adalah penyebab seringnya kegagalan penatalaksanaan kanker. Prognosis untuk kanker snus paranasal tergantung dari penyebaran penyakit primer pada saat presentasi dan sekitar 30% untuk lesi T4 lanjut. 2.1.4. Staging dan Skrining Karena jarang ditemukan kanker primer di daerah ini, klasifikasi dari AJCC (American Joint in Cancer Comittee) hanya diadopsi untuk kanker sinus maksilaris saja. Definisi sistem TNM untuk sinbus maksilaris adalah sebagai berikut. TX T0 Tis T1 T2
: tumor primer tidak dapat dinilai : tidak ada tumor primer : karsinoma in situ : tumor terbatas pada mukosa antral tanpa erosi atau hancurnya tulang : tumor dengan eroasi dari infrastruktur termasuk palatum durum, meatus nasi medial, atau keduanya T3 : tumor menginvasi: kulit pipii, dinding posterior sinus maksila, lantai atau dinding medial rongga orbita, sinus ethmoidalis anterior T4 : tumor menginvasi isi orbita, lamina kribrosa, sinus etmoidalis posterior atau sfenoid, nasofaring, palatum molle, fossa pterigomaksilar atau temporal atau basis kranii Sedangkan kelenjar limfe regional (N) dan metastasi jauh (M) sama dengan kanker traktus aerodigestif lainnya. Pemeriksaan rinci dari pasien dengan gejala yang merujuk pada bagian tengah wajah dapat meminimalisasi jeda diagnosis dari kanker ini. Lebih lnjutm perkembangan yang berarti telah terjadi dalam diagnosis radiologi di bidang penilaian preoperasi kanker. CT scan dapat secara optimal menujukkan infiltasi tumor kedalam tulang. MRI membantu melihat invasi tumor ke struktur jaringan lunak seperti orbita, dura otak, dan sinus kavernosa.
4
2.1.5. Penatalaksanaan Untuk tumor di rongga hidung, radioterapi dan reseksi bedah meberikan hasil yang sama untuk lesi-lesi dini. Untuk menghindarkan rekurensi tumor di rongga hidung umumnya mengkombinasikan terapi bedah dengan radioterapi Untuk kanker di sinus maksilaris, maksilektomi adalah prosedur pilihan dan umumnya diiikuti oleh radiasi postoperasi. Untu kkanker yang menyebar ke arah orbita, jika masih T1 atau T2, mata dapat tetap dipertahankan, akan tetapi jika sudah mencapai lantai atau dinding rongga orbita sebaiknya dilakukan pembunagan dinding orbita atau enukleasi. Tantangan lain dalam pengobatan tumor sinus paranasal adalah rekonstruksi wajah. Umumnya dilakukan dengan sling otot temporal, graft kulit dan flap komposit dengan tulang. 2.2. Neoplasma pada Nasofaring 2.2.1. Epidemiologi Epidemiologi kanker nasofaring menunjukkan adanya berbagai faktor termasuk, agen viral dan kerentanan genetik. Area endemik termasuk Cina Selatan, Afrika Utara dan daerah di kutub utara. Hal ini dihubungkan dengan diet yang mengandung makanan yang diawetkan seperti ikan dan daging yang diasinkan. Memasak makanan ini meleaskan nitrosamin uang didistribusikan ke mukosa nasofaring. Selain itu, sebagain bukti menunjukkan perananan virus Eipstein-Barr (EBV)dalam perkembangan kanker nasofaring. Hal ini ditunjukkan dari fakta bahwa sebagian besar penderita kanker nasofaring mempunyai antibodi anti-EBV dalam darah mereka. Hal ini disebabkan oleh adanya peptida terkait EBV yang mampu menginduksi transformasi malignan dari jalur sel limfoblastoid in vitro. Penentu genetik potensial dari karsinoma nasofaring telah ditunjukkan oleh meningkatnya insidens kanker pada orang-orang dengan HLA tertentu. Umunya hal ini dihubungkan dengan lokus antigen H2. Juga sebuah antigen yang disebut antigen Singapura BW46 ayng dikaitkan dnegan resiko tinggi kanker nasofaring. Umumnya insidens kanker nasofaring memuncak pada dekade usia keempat dan kelima. Rasio laki-laki dengan perempuan adalah 2.2:1
5
2.2.2. Anatomi Relevan Nasofaring adalah struktur kuboid yang ditutupi oleh epitel kolumnar mukosiliar berlapis. Secara anterior merupaakn kelanjutan dari rongga hidung dari koana posterior. Atapnya terbentuk oleh basisfenoid, basioksiput dan lengkung anterior dari atlas. Atap ini secara bertahap melengkung ke arah inferior menjadi dinding belakang. Ini dibentuk dari vertebra servikal pertama dan kedua. Dinding lateral dari nasofaring terdapat muara tuba eustachii yang terletak di cekungan torus tubarii. Dibelakang torus terdapat resesus faring lateral atau fossa Rosenmüller, yang merupakan tempat paling sering dari perkembangan kanker nasofaring. Dasar lantai nasofaring adalah permukaan atas dari palatum molle. Drainase limfatik dari nasofaring melingkupi semua bagian di leher sepanjang vena jugular dan nervus aksesoris spinal. Jarinngan limfatik ekstensif di nasofaring juga mengalir ke nodus retrofaringeal di medial dari arteri karotis. Keterlibatan nodus ini jarang dapat dideteksi secara klinis. Penilaian radiologis, antara CT dan MRI, adalah metode diagnostik paling sensitif untuk mendeteksi pembesaran nodus retrofaringeal. 2.2.3. Patologi WHO membagi kanker nasofaring menjadi 3 tipe: tipe 1, karsinoma sel skuamosa berkeratin; tipe 2, karsinoma sel skuamosa nonkeratin; dan tipe 3, karsinoma tidak terdiferensiasi. Tipe 3 adalah karsinoma yang paling sering ditemukan. Ditandai dengan adanya infiltrat limfosit sehingga dulu disebut limfoepitelioma. Tipe kanker lain yang juga dapat ditemukan termasuk limfoma, angiofibroma belia, plasmasitoma dan adenokarsinoma yang berasal dari kelenjar liur minor. 2.2.4. Perjalanan Penyakit Kanker nasofaring tumbuh baik dengan infiltrasi maupun ekspansi, namun pola pertumbuhan infiltrasi lebih dominan. Umumnya, abnormalitas mukos adapat mencerminkan sebagian kecil dari perkembangan tumor. Pada keadaan tertentu, tidak ada abnormalitas mukosa yagn dapat ditemukan. Pada keadaan ini, tumor terdapat secara submukosa dan tumbuh ke daerah diluar daerah nasofaring. Gejala yang paling umum dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma nasofaring adalah adanya massa di leher pada 90% kasus. Gejala lain yang juga sering 6
ditemukan adalah gangguan pendengaran yang dikaitkan dengan otitis media serosa, tinitus, obstruksi nasal dan nyeri. Pasien dapat mempunyai gejala yang menunujukkan pertumbuhan ke struktur anatomi yang berdekatan. Tumor dapat tumbuh ke ruang parafaringeal melalui sinus Morgagni yang menyebabkan gangguan pada otot pterigoid dan trismus. Seringkali, keterlibatan saraf kranial menunjukkan adanya pertumbuhan ekstensif ke basis kranii. Pertumbuhan ke sinus kavernosa dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial II hingga VI. Selai nitu, kanker dapat menembus fasia faringobasilar dan menyebar sepanjang selubung pembuluh darah yang dapat berkembang di dalam basis kranii dan menyebabkan keterlibatan saraf kranial. WHO tipe 1 mempunyai kecenderungan tinggi untuk pertumbuhan lokal yang tidak terkendali dan epliang penyebaran metastasis yang lebih rendah dari pada WHO tipe 2 atau 3. Metastasis nodus limfe lanjut dari WHO tipe 1 sekitar 60%. Untuk WHO tipe 2 dan 3, metastasis berkisar antara 80%-90%. Berbeda dengan kanker di rongga mulut dan orofaring, metastasis umumnya terdapat di segitiga posterior. Nosul leher bilateral terdapat pada 53% pasien. Daerah lain yang umum menjadi tempat metastasis kanker adalah nodus limfe di ruang retrofaringeal yang disebut juga nodus Rouviere. Oleh karena itu, rantai nodus limfatik multipel dapat terlibat termasuk rantau sepanjang nervus aksesorius, vena jugular dan jalur retrofaringeal. Prognosis harapan hidup 5 tahun untuk kanker ini bervariasi muali dari sekitar 15% untuk lesi tipe 1 hingga 60% untuk lesi tipe 3 tergantung dari tingkatan penyakit. Harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sekitar 67% dan menurun hingga 15% untuk stadium IV. 2.2.5. Penatalaksanaan Radioterapi adalah pengobatan standar untuk semua kanker nasofaring. Bedah biasanya tidak dapat dilakukan dan tidak dapat memberikan batas reseksi yang jelas. Juga terdapat morbiditas yang cukup besar pada operasi nasofaring, bahkan pada pasien pilihan sekalipun. Dapat juga diberikan regimen berbasis cisplatin untuk mengendalikan rekurensi tumor atau untuk metastasis kanker.
7
2.3. Neoplasma pada Rongga Mulut 2.3.1. Epidemiologi Kanker rongga mulut merupakan kumpulan dari banyak kanker. Epidemiologi untuk setiap kanker berbeda-beda. akan tetapi mengingat bahwa karsinoma sel skuamosa adalah kanker yang paling dominan, maka akan dijadikan perhatian dalam sebagian besar pembahasan epidemiologi. Diperkirakan di Amerika Serikat, 30.000 kasus baru terjadi setiap tahun. Hal ini telah ditunjukkan berhubungan dengan faktor pajanan tembakau. Alkoho ljuga telah diidentifikasikan sebagai koagen. Daerah mukosa yang terpajan secara lama dengan alkohol memiliki resiko yang tinggi untuk menjadi kanker. Merokok tidak dapat menjadi penyebab satu-satunya kanker rongga mulut. Faktor genetik dipercaya juga memegang peranan penting, mungkin berhubungan dengan faktor defisiensi mekanisme perbaikan DNA. Faktor genetik lain yang dipercaya juga memepengaruhi adalah sistem enzim P-450. Faktor resiko lainnya adalah diet. Pasien dengan defisiensi vitamin A memiliki resiko yang lebih tinggi utnutk terjadi transformasi malignan pada mukosa mulut. Konsumsi sayur dan buah ditunjukkan memiliki efek protektif. Iritasi kronik di rongga mulut dari obat pencuci mulut, kesehatan gigi yang buruk dan sifilis juga dipercaya termasuk salah satu faktor resiko. Etiologi viral kanker mulut juga telah diselidiki dan dipercaya bahwa virus herpes simpleks tipe 1 memainkan peranan. Penelitian lain juga mencari kaitan dengan virus papiloma terutama tipe 2, 11 dan 16. 2.3.2. Patologi Kanker paling umum di rongga mulut adalah karsinoma sel skuamosa. Selain itu, kanker juga dapat berasal dari kelenjar liur minor yang berupa karsinoma adenoid kistik, karsinoma mukoepidermoid, dan adenokarsinoma. Neoplasma jaringan lunak jarang terjadi berupa melanoma mukosa, plasmasitoma dan sarkoma. Pada rongga mulut juga dapat ditemukan kanker yang berasal dari tualng termasuk osteosarkoma. Walalu bukan terhitung sebagai neoplasma dalam pengertian sesungguhnya namun ameloblastoma mempunyai potensi untuk menghancurkan jaringan yang sama dengan neoplasma oleh karena itu prinsip penanganan neoplastik juga berlaku untuk keadaan ini.
8
2.3.3. Perjalanan Penyakit Perubahan terdinni yang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa adalah eritema dan iregularitas permukaan mukosa ringan. Seringkali lesi pungtata juga ditemukan. Seiring dengan perkembangan kanker, dapat terjadi beberapa pola pertumbuhan kanker yang eksofitik atau infiltratif. Pola pertumbuhan infiltratif dihubungkan dengan rusaknya struktur anatomi disekitar lesi. Sedangkan pola pertumbuhan eksofitik lebih tidak agresif. Kedua pola pertumbuhan ini dapat bermetastasis. Karakterisitik dari penyakit ini ditunjukkan dari ciri histopatologis tertentu. Tumor terdiferensiasi buruk dianggap mempunyai resiko metastasis yang lebih tinggi dibanding dengan tumor yang terdiferensiasi baik. Akan tetap prinsip ini tidak selalu berlaku. 2.3.4. Penatalaksanaan Pada umumnya dilakukan reseksi radikal, terkadang bakhan hingga membuang organ atau sebagian dari tulang. Radioterapi dan kemoterapi disarankan namun dengan hasil bervariasi tergantung dari lokasi dan histopatologi dari kanker. Rehabilitasi perlu dilakukan untuk melatih fungsi menelan dan berbicara, apabila hasil operasi mengganggu fungsi menelan atau berbicara. 2.4. Neoplasma pada Orofaring 2.4.1. Epidemiologi Faring dibagi menjadi 3 bagian: nasofaring, orofaring dan hipofaring. Orofaring sendiri dapat dibagi menjadi 3 daerah: dasar lidah, tonsil, palatum molle dan dinding faring belakang. Kanker dari orofaring sering terjadi pada pasien di atas dekade kelima hingga ketujuh. Laki-laki memiliki resiko tiga hingga lima kali lebih besar dari wanita untuk terkena kanker ini. Etiologi dari kanker ini tidak berbeda dengan kanker rongga mulut. Rokok dan alkohol adalah faktor resiko utama. 2.4.2. Patologi Kanker di orofaring umumnya adalah karsinoma sel skuamosa, kanker lain yang mungkin terjadi adalah kanker kelenjar liur minor dan limfoma.
9
2.4.3. Perjalanan Penyakit Karena letaknya yang tidak terlalu terlihat dari luar dan hampir tidak menimbulkan gejala pada stadium awal seringkali diagnosis kanker orofaring ditegakkan pada saat kanker sudah memasuki stadium lanjut. Keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien adalah nyeri pada saat menelan, sakit tenggotokan, kesulitan untuk berbicara, dan massa pada leher. Dapat pula meyebabkan gangguan pada telinga karena dapat mempengaruhi tuba eustachius. metastasis yang tinggi karena drainase limfe yang tinggi. 2.4.4. Penatalaksanaan Pada umumnya radioterapi merupakan pilihan utama dengan pilihan bedah tergantung dari lokasi lesi dan luasnya lesi kanker. Kemoterapi juga dapat dijadikan terapi adjuvan bersamaan atau setelah radioterapi.
10
BAB III NEOPLASMA PADA LARING DAN HIPOFARING 3.1. Neoplasma pada Laring 3.1.1. Epidemiologi Secara epidemiologis kanker ini terjadi paling banyak pada orang usia pertengahan puncaknya apda dekade keenam dengan riwayat perokok berat atau mengkonsumsi alkohol rutin. Rasio laki-laki dengan wanita adalah 5:1. Faktor etiologis yang dikaitkan dnegan kanker ini adalah penyalahgunaan suara (vocal abuse), laringitis kronis, faktor diet, refluks lambung kronik dan pajanan terhadap debu kayu, asbes dan radiasi. Namun faktor terpenting adalah efek karsinogenik pada laring yang diakibatkan oleh rokok. Tampaknya virus papiloma manusia juga memainkan peranan penting juga dalam proses terbentuknya kanker. 3.1.2. Anatomi Relevan Laring terdiri dari 3 bagian: glotis, supraglotis dan subglotis. Hal ini didasarkan dari perkembangan embrional dan perbedaan pola limfatik. Laring terdiri dari 4 kartilago: krikoid, epiglotis, aritenoid dan tiroid. Pada glotis terdapat pita suara (plika vokalis). Supraglotis terdiri dari epiglotis, pita suara palsu dan lipatan ariepiglotis. Lipatan ini merupakan pembatas antara endolaring dan hipofaring. Subglotis terdapat di bawah laring dan berbatasan dengan tepi sefalis kartilago krikoid. Pembuluh limfe di laring supraglotis sangat banyak dan hal ini menyebabkan mudahnya terjadi metastasis di daerah ini. Drainase limfe terjadi secara lateral dan superior ke nodus limfe servikal. Pembuluh limfe dari laring infraglotik drainase terjadi secara lateral dan inferior ke nodus limfe servikal. Glotis unik karena hanya memiliki sedikit bahkan tidak ada drainase limfatik. Drainase limfatik juga unik karena antara kanan dan kiri mandiri satu sama lain dan tidak berhubungan. 3.1.3. Patologi Lebih dari 95% dari keganasan laring primer adalah karsinoma sel skuamosa. Kanker yang mungkin terjadi lainyya adalah sarkoma, adenokarsinoma, tumor neuroendokrin dan lainnya. Karsinoma sel skuamosa laring merupakan seperempat dari seluruh karsinoma sel skuamosa di kepala dan leher. 50% kasus kanker ini tidak
11
bermetastasis, 25% menyebar secara lokal, dan 15% bermetastasis ke jaringan lain yang jauh. Terkadang karsinoma sel skuamosa di tempat ini berasal dari daerah lain (tumor sekunder). 3.1.4. Perjalanan Penyakit Karena setiap bagian laring unik dan mempunyai karakterisitik masingmasing, perjalanan penyakit kanker tidak sama satu sama lain. Pada supraglotis, lesi umumnya menyebar secara lokal. Jika bermula dari epiglotis akan menyebar ke pita suara palsu dan ke ventrikel, juga dapat ke arah belakang ke ruang paraglotis dan akhirnya ke struktur leher lainnya. Sebagian besar kanker supraglotis terjadi di epigloits. Jika bermula dari bagian atas epiglotis umumnya bersifat eksofitik, jika terjadi di daerah bawah endofitik atau ulseratif. Karena hal ini, terkadang tumor sudah menyebar luas dalam jaringan walaupun jika dilihat dari luar tampak terlokalisasi. Hal ini dipermudah karena kanker ini mempunyai kemampuan untuk menghancurkan kartilago epiglotis, akan tetapi herannya tidak pernah merusak kartilago tiroid. Karena adanya jaringan limfatik yang luas di supralaring, karsinoma sering bermetastasis ke nodus limfe servikal dan menyebabkan tingginya angka kegagalan pengobatan. Insiden metastasis ini 23%-50% pada saat diagnosis pertama kali ditegakkan. 63% kasus kanker T1, 70% dari T2, 79% dari T3, and 73% dari T4 menunjukkan adamnya metastasis. Kanker di bagian glotias merupakan karsinoma yang paling banyak ditemukan. Walaupun terdiferensiasi baik namun sering menunjukkan pola pertumbuhan infiltratif. Karena drainase limfatik yang sangat rendah di glotis, metastasis dini dari kanker glotis jarang terjadi. Kanker di glotis sering menyebar ke daerah leher lainnya, juga dapat menyebar ke kartilago. Karisnoma dari laring subglotis jarang terjadi, hanya sekitar 1%-8% dari seluruh kanker laring. Lesi ini cenderung terdiferensiasi buruk dan menunjukkan pola infiltratif yang tida dibatasi oleh batas jaringan. Tumor ini dapat menyebar hingga ke trakea. Insidensi metastasis kanker ini dilaporkan berkisar 20%-30%. 3.1.5. Penatalaksanaan Dapat berupa bedah atau radioterapi, dengan hasil yang tidak jauh berbeda maupun digabungkan. Kontrol lokal sangat baik walalupun resiko rekurensi dapat 12
tinggi akibat dari metastasis yang tidak terdeteksi. Karena bedah dapat mengganggu struktur dan fungsi dari laring, kemoterapi dapat dilirik untuk digunakan sebagai terapi untuk mempertahankan fungsi laring. Regimen berbasis cisplatin dan flurourasil adalah yang paling banyak digunakan dan memebrikan hasil yang cukup baik. 3.2. Neoplasma pada Hipofaring 3.2.1. Anatomi Relevan Hipofaring adalah area faring yang terletak di belakang dan dibawah orofaring, di luar jarak pandang dari luar, sehingga tidak dapat dilihat pada peemriksaan rutin. Kanker hipofaring biasanya menunjukkan gejala dini dan sering terjadi pada orang dengan imun rendah atau kurang gizi, sehingga prognosis seringkali jelek dan sulit untuk diobati. 3.2.2. Patologi dan Perjalanan Penyakit Hampir semua keganasan di hipogafring adalah karsinoma sel skuamosa yang berkembang di antara mukosa yang terganggu. Efek dari berbagai agen karsinogenik dapat menyebabkan timbulnya berbagai fokus multipel di mukosa berupa gangguan epitelial seperti diskeratosis hingga kanker. Hal ini menjelaskan keberadaan fokus kanker multipel yang terdapat pada 12%-20% kasus. Kanker hipofaring umumnya agresif dan ditunjukkan dengan penyebaran lokal yang luas, metastasis dini dan tingginya tingkat penyebaran ke organ-organ jauh. Kanker di hipofaring sedemikian rupa sehingga pada saat telah menembus mukosa hanya ada sedikit hambatan untuk pertumbuhan tumor di submukosa. Ditambah dengan tingginya drainase limfatik di daerah ini membuat kanker hipofaring yang terlokalisir adalah hal yang luar biasa dan tidak diharapkan. Penyebaran
tumor
lokal
ke
jaringan
sekitar
menimbulkan
banyak
permasalahan terutama di daerah laring di mana massa tumor dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan gangguan bicara karena mengganggu pita suara, juga di esofagus menimbulkan disfagia. 3.2.3. Penatalaksanaan Mengingat kecenderungan tumor sudah s menyebar luas sebelum diagnosis sempat ditegakkan dan strategi pengobatan dibuat seringkali terapi dengan bedah 13
memiliki daya tarik untuk dipilih sebagai terapi utama. Bedah sering kali digunakan hanya untuk membebaskan jalan nafas dan esofagus dari massa tumor. Pengobatan untuk mempertahankan struktur orang seringkali merupakan pilihan utama dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.
14
BAB IV NEOPLASMA PADA KELENJAR LIUR 4.1. Neoplasma dari Kelenjar Liur Mayor 4.1.1. Patologi Penyebab kanker kelenjar liur sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor etiologi seperti radiasi, genetik, dan inhalasi serbuk kayu kronik telah dihubungkan dengan kanker kelenjar liur tertentu walalupun masih berupa dugaan. Sebagian
besar
neoplasma
kelenjar
liur
adalah
benigna.
Tidaklah
mengherankan jika sebagian besar tumot yang terjadi di parotid adalah jinak. Adapun tumor jinak yang sering ditemukan antara lain adalah adenoma pleomorfik yang merupakan tumor kelenjar liur yang paling sering terjadi. Selain itu, tumor jinak lain yang mungkin terjadi adalah: kistadenoma papiler limfomatosa atau dikenal juga dengan nama tumor Warthin yang sering terjadi pada orang tua. Selain itu terdapat juga adenoma monomorfik dan lesi limfoepitelial benigna yang insidensnya mulai meningkat terutama pada penderita HIV. Sedangkan untuk karsinoma ganas yang dapat timbul pada kelenjar liur mayor, pada kelenjar parotis yang paling umum adalah karsinoma mukoepidermoid, sedangkan untuk kelenjar submandibular adalah karsinoma adenoid kistik. Karsinoma lain yang dapat terdapat di kelenjar liy mayor adalah karsinoma sel asinar, adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa dan tumor malignan campuran, walalupun beberapa karsinoma dari jaringan lain dapat saja timbul di kelenjar liur mayor. 4.1.2. Perjalanan Penyakit Tumor malignan dari kelenjar liur mayor merupakan sebuah kumpulan penyakit heterogenik, 3 situs utama dan setidaknya 8 pola histologis berbeda telah diidentifikasi untuk kelompok kanker yang tidak umum ini. Sebagian besar pasien dengan tumor jinak, mempunyai keluhan dan gejala berupa pembengkakan asimptomatis di bibir atau di kelenjar parotid, submandibular atau sublingual. Tanda-tanda neurologis seperti kesebalan (numbness) pada mukosa atau lidah, yang disertai dengan massa di lantai mulut umumnya menandakan keganasan. Jika disertai dengan massa di bibir, bibir bawah yang sebal-sebal dapat berasal dari tumor yang mengganggu nervus trimental. Kelemahan nervus fasialis yang dihubungkan dengan massa parotid atau submandibular menandakan adanya
15
prognosis yang buruk, karena normalnya jika tumor parotid benigna tidak akan sampai mengganggu nervus fasialis. Oleh akrena itu jika ada tanda-tanda defisit neurologis umumnya dihubungkan dengan adanya suatu malignansi (keganasan). Sebagian besar tumor parotid, baik benigna maupun maligna ditandai dengan massa asimptomatis di kelenjar. 4.1.3. Pentalaksanaan Semua tumor yang berasal dari kelenjar liur umumnya dilakukan eksisi bedah, dan jika perlu membuang kelenjar yang terkena. Kontrol lokal setelah operasi umumnya baik dan demikian juga dengan prognosisnya. Beberapa penelitian menunjukkan radioterapi tidak memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan bedah untuk kasus tumor benigna dan mungkin mempunyai manfaat klinis yang lebih baik jika digunakan untuk penatalaksanaan metastasis kanker kelenjar liur. 4.2. Neoplasma dari Kelenjar Liur Minor Tumor kelenjar liur minor dapat terjadi pada semua kelompok usia dan tidak punya predileksi pada jenis kelamin tertentu. Kelenjar ini terdaipat diberbagai tempat di traktus aerodigestif atas, jadi tumor kelenjar liur minor dapat terjadi di manapun di kepala dan leher; akan tetapi, palatum adalah tempat paling umum untuk lesi benigna dan maligna. Dalam kasus yang jarang kelenjar liur minor ektopik dapat menyebabkan tumor di berbagai lokasi di area telinga tengah atau tiroid. Antara 65%-88% dari tumor kelenjar liur minor adalah malignan. Karsinoma adenoid kistik adalah tipe histologi paling umum, sebanyak 55% kasus pasien. Akan tetapi, tipe lainnya termasuk karsinoma mukoepidermoid, adenokarsinoma, tumor malignan campuran, dan karsinoma anaplastik. Tumor kelenjar liur minor cenderung terdapat sebagai massa submukosa yang tidak nyeri dan terdapat selama bertahuntahun tanpa perubahan. Semua massa submukosa di kepala atau leher harus dinggap sebagai tumor tumor kelenjar liur minor sampai dibuktikan bukan. Kanker dapat menyebar ke jaringan sekitarnya termasuk tulang dan saraf. Tumor di dasarmulut dan lidah dapat menyebar hingga ke leher dan mandibula. Karsinoma adenoid kistik dapat tumbuh berbarengan dengan ruang perineural dan menyebar hingga jauh sepanjang jalur saraf. Karsinoma adenoid kistik juga dapat menyebar melalui kanal Havers di tulang.
16
Kurang dari 20% pasien dengan kanker kelenjar liur minor mempunyai metastasis nodus limfe. Seperti tumor kelenjar liur mayor, insidens metastasis nodul limfe sebanding dengan ukuran dan besarnya tumor. Bedah adalah pilihan utama untuk pengobatan tumor kelenjar liur minor. Karena enukleasi biasa sering mengakibatkan angka rekurensi melebihi 93%, maka perlu dilakukan eksisi luas atau eksisi regional, bahkan jika harus membuang tulang sekalipun. Efektivitas radioterapi untuk tumor kelenjar liur ini belum meberikan hasil yang cukup memuaskan dan seringkali hanya menjadi terpai adjuvan dengan kemoterapi dalam keadaan tertentu sehabis operasi.
17
DAFTAR PUSTAKA Devita, VT. Hellman, S. Rosenberg, SA. Cancer: Principles anfd Practice of Oncology, 6th Edition. 2001. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Kufe, DW. Pollock, RE. Weichselbaumm, RR. Bast, RC. Gansler, TS. Holland, JF. Frei, E. Holland-Frei Cancer Medicine, , 6th Edition. 2003. BC Decker Inc. Goldman L. Cecil’s Textbook of Medicine, 21st Edition. 2000. W.B. Saunders Company. Kasper, DL. Fauci, AS. Longo, DL. Braunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL. Harrison’s Principle of Internal Medicine, 16th Edition. 2005. McGraw-Hill. Warrell, DA. Cox, TM. Firth, JD. Edward, J., JR. Benz, MD. Oxford Textbook of Medicine, 4th Edition. 2003. Oxford Press.
18