Ruang Prevertebral Ruang prevertebral adalah ruang potensial yang terletak pada anterior ke tulang belakang di garis tengah dan dibentuk oleh alar fascia di bagian anterior dan fascia prevertebral di bagian posterior. Infeksi ruang prevertebral biasanya karena infeksi yang berasal dari tulang belakang itu sendiri, contohnya pada osteomielitis tuberkulosis tulang belakang.1 Ruang Vaskular Viseral Ruang ini adalah ruang potensial dalam selubung karotis (carotis sheath). Ruang ini berisi arteri karotis, vena jugular interna dan N. Vagus (CN. X). Fasia mempunyai sedikiti jaringan areolar dan karenanya infeksi cenderung tetap terlokalisasi. Pada tahun 1929, Mosher menjuluki fasia ini dengan ” lincoln highway” leher karena ketiga lapisan fasia leher dalam berkontribusi pada selubung karotis.2 Ruang Peritonsilar Ruang potensial ini ditemukan pada kapsul tonsilar lateral dan media otot konstriktor superior. Palatoglossus dan palatofaringeal terdiri dari pilar anterior dan posterior, dimana masing-masing berbatasan pada bagian anterior dan posterior. Secara inferior, terbatas oleh sepertiga poterior lidah. Peradangan pada daerah ini menyebabkan peritonsilitis dan dengan purulen yang berkembang bisa membentuk abses atau quinsy. Nanah dapat menyebar melewati batas ruang ini sampai ke ruang parafaringeal.1 Etiologi. Kadang-kadang, infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsil meluas sampai palatum mole. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan awitan awal dari tonsilitis, atau akhir dari perjalanan penyakit tonsilitis akut. Hal ini dapat terjadi walaupun diberikan penisilin. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda.3
Gejala-gejala. Pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata, nyeri alih ke telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang meningkat, dan khususnya trismus. Pembengkakan mengganggu artikulasi dan, jika nyata, bicara menjadi sulit. Demam sekitar 100"F, meskipun adakalanya mungkin lebih tinggi. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan menyebabkan pasien merasa tidak enak. Diagnosis jarang sangsi jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan
edema dari palatum mole dan penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah. Tonsila sendiri nampak normal juga terdorong ke medial, dan pembengkakan terjadi lateral terhadap tonsila. Palpasi, jika mungkin, membantu membedakan abses dari selulitis.3
Gambaran abses peritonsilar kiri yang besar
Bakteriologi. Biakan tenggorokan diambil tetapi seringkali tidak membantu dalam mengetahui organisme penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi antibiotik terlebih dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenarnya dapat menunjukkan terutama Streptococcus pyogenes dan, yang agak jarang, Staphylococcus aureus. Sprinkle dan lainnya menemukan insidens yang tinggi dari bakteri anaerob, yang memberikan bau busuk pada drainase. Organisme-organisme tenebut biasanya ditemukan dalam rongga mulut termasuk anggota dari famili Bacteroidaceae.3
Pengobatan. Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Kesulitan dapat timbul dalam memastikan apakah berhubungan dengan selulitis akut atau pembentukan abses yang sebenarnya telah terjadi. Di samping pembedahan drainase, apakah dengan aspirasi jarum atau dengan insisi, pasien diobati dengan antibiotik dan irigasi cairan garam hangat. Walaupun biakan tidak menunjukkan adanya pertumbuhan karena pemberian antibiotik terlebih dahulu, antibiotik diberikan yang efektif melawan Streptokolan, Stafilokokus, dan anaerob oral. Pada individu dengan abses peritonsilaris ulangan atau riwayat episode faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka waktu enam minggu kemudian dilakukan torsilektomi.3
Diagnosis Presentasi gejala dapat bervariasi, tergantung perkembangan penyakit, dari nyeri tenggorokan, disfagia, dan odinofagi dan lebih lanjut dapat menimbulkan gejala gangguan jalan napas, syok septik, dan mediastinitis. Demam, rasa sakit, dan pembengkakan merupakan gejala yang paling umum. Pada bayi dan anak, jalan napas progresif secara cepat muncul bersamaan dengan demam dan massa di leher. Jumlah sel darah putih merupakan cara yang baik untuk memantau respons terhadap terapi antibiotik.2 a. Radiografi polos lateral dan anteroposterior berguna dalam mendiagnosis infeksi ruang leher. Kehadiran benda asing radioopak, deviasi trakea, udara subkutan, cairan dalam jaringan lunak, limfadenopati, pelebaran mediastinum seperti mediastinitis, edema paru, dan pneumomediastinum mungkin merupakan indikator pembentukan abses.2 b. CT-Scan dengan kontras lebih sensitif pada infeksi ruang leher dalam. Modalitas pencitraan ini memiliki keuntungan tambahan untuk membantu membedakan selulitis dari abses dan menggambarkan ruang-ruang yang terlibat dan proses perpanjangan superior-inferior. Karakteristik CT- abses meliputi peningkatan kontras dinding abses, edema jaringan di sekitar abses dan gambaran kistik atau multilokulasi.2 c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak diindikasikan secara rutin. MRI mempunyai keunggulan dalam memilih kasus antara peradangan dengan kongenital dan proses keganasan yang tidak jelas.2 d. MRA (Magnetic resonance angiography) dapat mendeteksi penyempitan arteri karotis dan trombosis vena jugularis.2 e. Ultrasound lebih invasif dan lebih murah dibandingkan dengan CT dan dapat membantu memandu aspirasi jarum.2 Pengobatan Preoperasi. Mengamankan jalan napas adalah pertimbangan yang utama dan paling penting. Intubasi dengan ETT (Endotrakeal Tube) dapat dilakukan tetapi harus hati-hati dan dilakukan oleh dokter yang berpengalaman karena prosedur ini dapat mengakibatkan spasme laring atau abses besar dapat pecah yang menyebabkan aspirasi nanah dan kontaminasi saluran udara bagian atas. Setelah jalan napas diamankan, kultur darah dan biakan abses diambil dengan aspirasi menggunakan jarum lebar atau dengan insisi dan drainase di ruang operasi. Penggunaan antibiotik secara empiris untuk menutupi patogen (polimikroba gram positif, gram negatif, aerob dan anaerob dan organisme penghasil beta laktamase). Antibiotik yang
digunakan seperti ampisilin-sulbaktam atau clindamycin dengan sefalosporin generasi ketiga seperti ceftazidime yang diberikan saat hasil kultur tertunda.2 Operasi. Drainase bedah diindikasikan jika pasien mengalami komplikasi. Kegagalan dalam meningkatkan terapi dalam 48 jam dengan antibiotik dan hidrasi yang adekuat menjadi alasan dilakukan tindakan operasi. Peningkatan terapi yang signifikan jika dapat mengatasi demam persisten, nyeri yang meningkat, pebengkakan, eritema, dan peningkatan jumlah sel darah putih dengan pergeseran ke kiri. Ruang utama leher yang terkena dan setiap ruang tambahan dimana abses telah menyebar harus diinsisi dan dikeringkan. Rongga abses harus dialiri secara berlebih dan ditutup dengan iodoform yang dibungkus dengan kain kassa. Kemasan iodoform diganti dengan kemasan kassa salin setelah 24 jam.2 Post-operasi. Antibiotik intravena dilanjutkan saat pasien pulih. Komunikasi dengan bagian laboratorium
untuk
mengidentifikasi
organisme
yang
menginfeksi
dan
kepekaan
antibiotiknya untuk memodifikasi antibiotik yang sesuai dengan kultur dan sensitivitas. Luka dan drainase diperiksa secara teratur. Kegagalan dalam mengeringkan semua daerah secara memadai dapat menyebabkan nyeri yang menetap, demam, leukositosis dan disfungsi. CT ulang untuk membantu mencari penyebab kegagalan. Perkembangan infeksi leher dalam menjadi mediastinitis merupakan komplikasi fatal dan secara klinis ditandai dengan demam, diaforesis, sesak napas, dan sepsis. Rawat inap di Rumah Sakit lebih dari 11 hari pada orang dewasa meskipun rawat inap lebih pendek diantisipasi pada anak-anak. Follow up dilakukan untuk mencari sumber infeksi seperti karies gigi atau infeksi tonsil. Sumber infeksi harus ditangani dan diobati untuk mencegah infeksi berulang.2
1. Myers, Eugene N. Operative Otolaryngology Head And Neck Surgery 2nd Edition Volume 1. Elsevier : 2008. 2. Bailey, Byron J and Jonas T Johnson. Head And Neck Surgery Otolaryngology 4th Edition Volume 1. Lippincott Williams and Wilkins : 2006. 3. Adams, George L, dkk. 1997. BOIES BUKU AJAR PENYAKIT THT EDISI 6. EGC : 1997