Analisa film : The intern dan hubungannya dengan teori efektivitas kepemimpinan
Menurut Dwight D. Eisenhower Kepemimpinan adalah kemampuan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan, dan kemudian membuat orang lain ingin melakukannya." The Intern merupakan film bergenre drama komedi yang disutradarai oleh Nancy Meyers. Film ini bercerita tentang kehidupan orang dewasa yang tidak lepas dari pekerjaan, bisnis, dan pernikahan. The intern Diperankan oleh Robert De Niro sebagai Ben Whittaker. Ben adalah seeorang kakek berusia 70 tahun, merupakan seeorang seorang pensiunan perusahaan pembuat buku telepon yang cukup sukses. Ben memiliki sifat disiplin, rapi, telaten, baik hati, dan juga perhatian. Namun kepergian sang istri membuat ben merasa kesepian dan yang merasa bosan dengan masa tuanya. Iya terus mencari kesibukan agar menjadi seorang pensiunan tidak membuatnya kekurangan aktifitas, seperti pergi ke tempat coffe setiap pagi baik saat hujan , mendung ataupun tidak. Hingga akhirnya iya melihat adanya tawaran magang di sebuah perusahaan e-commerce baru bernama About the Fit. Merupakan perusahaanfashion online yang dikelola oleh Jules Ostin (Anne Hathaway). Tidak perlu waktu lama untuk berfikir, Ben akhirnya memutuskan untuk kembali bekerja di dunia yang didominasi oleh anak muda tersebut. Film ini sediki beraliran feminis, menceritakan tentang kehidupan keluarga Jules Ostin dan suaminya matt yang diperankan oleh Andres Holm, di mana istri adalah pekerja, sementara suami menjadi pihak yang stay at home dan mengurus rumah tangga. jules adalah seorang wanita karir yang pekerja keras,modern, energik, multi-tasking, kritis, dan memiliki prinsip yang kuat. Ben rela menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi, dan berhasil berkawan dengan kolega yang usianya jauh lebih muda. Jules yang awalnya ragu dengan Ben, justru menjadi dekat dengan Ben, terutama ketika Ben selalu hadir untuknya dalam masalah pekerjaan maupun masalah dengan suaminya, Matt ( ). bahkan para pemeran pembantu seperti Jason (Adam DeVine), Davis (Zack Pearlman), Lewis (Jason Orley), Becky (Christina Scherer) memiliki chemistry yang kuat dan menghibur secara natural. Robert De Niro & Anne Heathaway, tapi fokus cerita yang didasarkan pada hubungan antar mereka bisa melebar dengan baik. Kombinasi antara topik pekerjaan, bisnis, dan pernikahan. Dalam bisnis, tidak selamanya founder tetap bisa mengelola perusahaannya yang berkembang dengan baik; tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa founder tetap adalah jiwa dari perusahaan itu, yang paling tahu apa dan bagaimana perusahaan itu berjalan — meskipun butuh bantuan orang lain. Pesan tentang pernikahan yang disampaikan pun cukup bagus: jika kita mencintai seseorang, kita tidak akan memaksa orang itu untuk berubah atau mengorbankan sesuatu yang dia cintai demi ego kita pribadi. Tidak meminta orang yang kita cintai untuk menjadi pribadi yang bukan dirinya. Make sense? Jika keduanya saling mencintai, maka yang perlu dirubah bukan orang lain, tapi diri sendiri. That’s love. I love this movie, so I give 8 of 10 stars. @ristiirawan You never wrong to do the right thing.” — Founder About the Fit adalah Jules Ostin (Anne Hathaway), wanita karir yang katanya tegas dan tanpa kompromi, namun rumor ini tak begitu terbukti dari apa yang diperlihatkan film ini pada
kita, selain dari sikap arogannya yang mengendarai sepeda di ruang kantor. Yang pasti, Jules punya passion yang besar terhadap perusahaan yang dibangunnya dari nol dan menjadi sukses hingga punya 200 karyawan dalam waktu 18 bulan saja ini.
Jules awalnya berkeberatan saat Ben ditugaskan untuk magang sebagai bawahannya langsung. Melihat orang yang terlalu baik memang mudah sekali membangkitkan sinisme, namun saat mulai menerima dan menyadari ketulusannya, Jules akhirnya tak bisa lepas dari Ben. Tak butuh waktu lama sampai Ben menjadi sopir pribadi dadakan Jules hingga berkenalan dengan suaminya, Matt (Anders Holm) serta anaknya yang menggemaskan (JoJo Kushner). Di lingkungan kerja yang dikelilingi anak-anak muda yang bekerja di balik layar komputer, Ben juga menjadi panutan. Mulanya Ben yang gagap teknologi banyak diajari mengenai cara memakai laptop, namun mereka lah yang banyak mengambil pelajaran hidup darinya, khususnya Jason (Adam DeVine), Davis (Zack Pearlman), dan Cameron (Andrew Rannels) tiga rekan dekat Ben yang juga menjadi comic relief disini. Diramu oleh Nancy Meyers (It's Complicated, Something's Gotta Give), film ini punya nuansa manis yang nyaris fantasi. Departemen tata produksinya memastikan bahwa set dirancang sesempurna mungkin sehingga seakan-akan para pemain berakting dalam iklan furnitur. Ini adalah dunia ideal dimana semua tampak nyaris sempurna. Bahkan para pemain tampil modis sepanjang waktu! Walau berdurasi cukup lama, ceritanya mengalir dengan lancar diselingi dengan komedi ringan khas Meyers. Salah satu momen yang sedikit komikal adalah saat Ben dkk menyelinap ke rumah orang dengan sedikit menyentil film Ocean Eleven — tentunya untuk tujuan yang "mulia". Tak banyak konflik yang terjadi meski Hathaway sempat memeras air matanya di bagian akhir. Problematika rumah tangga yang dialami oleh Jules yang menjadi klimaks film juga tak begitu dramatis. Namun, kita merasa terlibat secara emosional berkat Meyers yang membangun cerita dengan ritme yang tepat serta De Niro dan Hathaway yang tampil begitu natural. Pada akhirnya, film ini melaksanakan tugasnya dengan baik: menyampaikan pesan moral dan menghibur penonton. Mari duduk manis dan melahap sepotong fantasi dari Nancy Meyers. ■UP
Pernahkah Anda merasa sekian tahun, bahkan puluhan tahun pengalaman yang dimiliki akan kalah kompetisi dengan generasi muda digital sekarang? Ya, saya pernah, beberapa kali. Dan film ini seperti pengingat, jika pandangan itu keliru. Ben Whittaker (Robert De Niro) adalah pensiunan VP (Vice President) di perusahaan buku telepon berusia 70 tahun. Secara finansial, Ben nampaknya tidak memiliki kesulitan. Ia hanya merasa kesunyian, setelah memasuki usia pensiun dan istrinya tercinta telah meninggal dunia duluan. Sementara anak, menantu dan cucunya hidup di kota yang lain.
Di tengah masa kesunyian itu, tiba-tiba suatu waktu Ben melihat ada lowongan kerja untuk pria seusianya sebagai senior intern (semacam karyawan perbantuan) di sebuah perusahaan online fashion yang didirikan seorang perempuan muda, energik, cantik dan gila kerja bernama Jules Ostin (Anne Hathaway). Ben yang berkarakter tenang, bijak dan memiliki rasa humor yang tinggi awalnya tidak diperhatikan kehadirannya oleh boss cantiknya tersebut. Di sini, saya sempat merasa inilah potret realitas peralihan jaman, yang tua akan kalah dengan yang muda. Hingga potret-potret lain terungkap di film ini dan terasa nyata di adegan-adegan berikutnya… Jules Ostin yang sukses dalam karir, ternyata banyak kelemahan dalam sisi kehidupan yang lain. Suaminya yang memutuskan berhenti bekerja di tengah karir yang gemilang dan menjadi bapak rumah tangga untuk anak semata wayang mereka, kemudian waktu ternyata mulai berselingkuh. Ostin juga ternyata tidak memperhatikan waktu istirahat dan makan dengan dengan baik. Belum lagi ibunya yang super perfeksionis yang kerap menelponnya di berbagai kesempatan. Tantangan terberat, perkembangan perusahaan yang semakin berkembang pesat, membuat Jules Ostin dan rekannya mulai berpikir dan mencari CEO baru. Pasalnya sang investor yang menginginkan adanya CEO baru pengganti Jules Ostin yang dianggap kurang cakap untuk mengelola perusahaan untuk menjadi lebih besar. Di tengak kegalauan dan tekanan yang dirasakan, Jules Ostin akhirnya memutuskan mengontrak calon CEO baru dari San Fransisco. Hingga suatu waktu, Ben dan suaminya Matt (Anders Holm) menemuinya secara terpisah. Matt mengatakan dirinya meminta maaf dan berupaya memperbaiki hubungan pernikahan mereka. Sementara Ben mengatakan hal yang membuat Jules Ostin kembali bersemangat menjalankan semangat hidup dan pekerjaannya, tentu dengan cara yang lebih sehat. Ben kira-kira mengatakan, jika Jules Ostin adalah potret pekerja yang memiliki semangat, kewibawaan dan kreativitas terbaik yang pernah dilihatnya dalam membangun sebuah perusahaan. Hal yang saya tangkap adalah, setiap orang yang sukses butuh antusiasme, cinta, semangat dan kreativitas dalam menjalankan dunianya. Jika persyaratan ini semua terpenuhi, maka pengalaman tidak akan pernah menjadi tua. Yup, setuju dengan pesan moral film ini, “Experience never gets old”. Buat yang belum nonton, saya rekomendasikan nonton sebagai penyemangat hidup. Sementara buat yang sudah, ada komentar lain yang berbeda kah
Robert De Niro adalah orang terakhir yang Anda pikir akan membuat remake Amélie, tetapi jika surat cinta Nancy Meyers untuk workaholisme baik untuk apa pun, ia melihat bintang Taxi Driver dan Mean Streets sebagai seorang pemecah masalah orang lain yang teliti . Meskipun ada elevator elevator dan beberapa skenario yang benar-benar buruk, The Intern masih berhasil menjadi hal yang paling menarik yang telah dilakukan De Niro dalam beberapa waktu. Jika Anda tidak
mendapatkan kerusakan mata permanen dari terus memutar mata Anda selama 90 menit pertama, setengah jam terakhir akan mengingatkan Anda mengapa ia pernah dianggap sebagai aktor hebat. Robert De Niro keluar dari wawancara Radio Times Baca lebih banyak Kami bertemu Ben Whittaker, seorang duda berusia 70 tahun yang sudah pensiun di Brooklyn, melalui surat lamaran video. Bertarunglah dengan kebosanan, ia melamar sebagai magang senior (seperti di warga negara senior) untuk startup internet lokal, toko pakaian online yang dibuat oleh Jules Ostin (Anne Hathaway) yang telah berubah menjadi manic, sukses dalam semalam. Sementara Ostin adalah tipe bos yang memiliki tangan dalam setiap aspek bisnis - dan dengan zanily mengendarai sepedanya dari bank telepon layanan pelanggan di kantor rencana terbuka untuk pertemuan desainer - dia tidak memiliki ingatan untuk menyetujui penjangkauan baru ini program. Keparatnya yang cemas tetapi khawatir letnan Cameron (Andrew Rannells, sebagai perwujudan fisik eksposisi yang tersenyum) mendorong gagasan yang tidak mungkin. Semua orang di perusahaan sangat muda; mungkin beberapa pengalaman akan membantu mereka Pengalaman mengalir keluar dari pori-pori Whittaker. Dia bekerja selama 40 tahun merancang buku telepon, dan, sementara mereka mungkin tidak lagi membutuhkan, pria itu tahu bisnis. Setelah cukup lama hanya tersenyum dan menjauh dari cara semua orang, ia segera mendapatkan telinga bosnya, dan dengan ramah mulai membimbingnya menuju pengambilan keputusan yang lebih percaya diri, baik di tempat kerja maupun di rumah. Iklan Meyers dan Hathaway menangani subjek yang sulit: ibu muda dengan pekerjaan yang menuntut. Ostin adalah seorang wanita yang penuh perhatian dan cerdas, yang satu-satunya musuh sejati adalah kebutuhan manusia untuk menghabiskan beberapa jam setiap malam untuk tidur. Dia tinggal di rumah-suami Matt (Anders Holm) tampaknya, pada awalnya, menjadi pasangan yang sempurna untuk set-up ini. Tetapi untuk mengutip gambaran Meyers sebelumnya, ada sesuatu yang harus diberikan. Rasa frustrasi ini akhirnya muncul dalam tindakan ketiga emosional yang lembut dan bisa ditularkan. Masalahnya ada di sana.
Anne Hathaway akan membintangi drama TV The Ambassador's Wife Baca lebih banyak Bagian terbesar dari The Intern adalah lebih banyak wackiness, rangkaian urutan ditembak dengan cara yang datar dan dapat diprediksi yang berkisar dari membosankan hingga bodoh. Ada saat ketika salah satu karakter keliru mengira mereka melakukan tindakan seksual, lelucon yang lelah ketika Perusahaan Tiga Mengulanginya setiap minggu. Ada sedikit lagi di mana semua orang tibatiba menjadi pencuri kucing. Meyers boks dari sumber lebih buruk daripada komedi situasi: mondar-mandirnya lebih seperti televisi realitas, dan komposer Theodore Shapiro meningkatkan ini dengan isyarat transisi yang buruk seperti gulungan cymbal, membuat semuanya terasa seperti cuplikan murahan untuk film yang mungkin suatu hari Anda lihat.
Apa itu Kepemimpinan?
Kepemimpinan bukanlah kekuatan untuk memaksa orang lain, sifat bawaan, kebutuhan hidup kelompok, atau kapasitas misterius untuk menyembuhkan kelompok sakit. Sebaliknya, kepemimpinan adalah proses di mana seorang individu membimbing orang lain dalam pengejaran kolektifnya, seringkali dengan mengatur, mengarahkan, mengoordinasi, mendukung, dan memotivasi upaya mereka. Oleh karena itu, kepemimpinan bukanlah karakteristik statis dari individu atau kelompok, tetapi kompleks proses interpersonal di mana individu yang bekerja sama diizinkan untuk mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mempromosikan pencapaian tujuan kelompok dan individu. Proses-proses ini timbal balik, transaksional, transformasional, kooperatif, dan adaptif. ■ Kepemimpinan adalah proses timbal balik, melibatkan pemimpin, pengikut, dan situasi kelompok. Pemimpin tidak hanya mempengaruhi anggota kelompok; sebaliknya, hubungan pemimpinpengikut adalah timbal balik. Pandangan interaksional mengasumsikan bahwa kepemimpinan tidak dapat dipahami secara independen dari pengikut-keterampilan dan kualitas yang ditampilkan oleh nonleader (Hollander, 2006; Messick, 2005; lihat Fokus 9.1. ■ Kepemimpinan adalah proses transaksional, di mana para pemimpin dan pengikut bekerja bersama, bertukar waktu, tenaga, dan keterampilan mereka untuk meningkatkan imbalan bersama mereka (Avolio, 2004). Kepemimpinan adalah proses transformasional, karena para pemimpin meningkatkan motivasi, keyakinan, dan kepuasan anggota kelompok dengan menyatukan anggota dan mengubah keyakinan, nilai, dan kebutuhan mereka (Burns, 2003). Kepemimpinan adalah proses kooperatif dari pengaruh yang sah daripada kekuatan semata. Hak untuk memimpin adalah, dalam banyak hal, secara sukarela diberikan kepada pemimpin oleh sebagian atau seluruh anggota kelompok, dengan harapan bahwa pemimpin termotivasi oleh kebutuhan kolektif kelompok daripada kepentingannya sendiri (Avolio & Locke, 2002). ). Kepemimpinan adalah proses yang adaptif, mencari sasaran, untuk itu mengatur dan memotivasi upaya anggota kelompok untuk mencapai tujuan pribadi dan kelompok (Parks, 2005). tidak memegang posisi formal otoritas adalah pemimpin, karena mereka mempengaruhi orang lain ketika mereka mengumpulkan upaya mereka dalam mengejar tujuan bersama (Bedeian & Hunt, 2006; Kotter, 1990; lihat Rost, 2008, untuk diskusi tentang isu-isu yang terlibat dalam mendefinisikan kepemimpinan) . Apa yang Dilakukan Para Pemimpin? Wendy Kopp, sebagai pemimpin TFA, menyewa personel dan mengawasi mereka dengan ketat, memberi mereka umpan balik tentang kekuatan dan kelemahan mereka. Dia menghabiskan banyak waktunya untuk merencanakan dan mengorganisasi organisasi, dengan fokus pada operasi seharihari dan juga tujuan jangka panjang di masa depan. Dia membuat keputusan kecil dan besar setiap hari, mulai dari memilih perabot untuk kantor hingga pilihan sulit siapa yang harus dilepaskan ketika organisasi tidak lagi mampu membayar gaji semua anggota staf. Kopp juga mewakili TFA dalam berurusan dengan lembaga pendanaan dan sistem sekolah, mengoordinasikan pertemuan yang diadakan secara teratur di antara staf, dan menyampaikan pidato motivasi kepada anggota korps sebelum mereka memulai lokakarya tentang keterampilan mengajar. Memimpin, untuk Kopp, melibatkan sejumlah kegiatan yang saling terkait, termasuk analisis, konsultasi, pengendalian, koordinasi, memutuskan, pemantauan, negosiasi, pengorganisasian, perencanaan, penyajian kembali, dan pengawasan (Mintzberg, 1973).
Perbedaan sering digambarkan antara kepemimpinan dan bentuk pengaruh lain dalam kelompok dan organisasi, seperti manajemen dan pengawasan. Pemimpin sering memegang posisi pengawasan dalam kelompok, tetapi memegang posisi tidak selalu diterjemahkan ke dalam kepemimpinan; ada banyak bos, supervisor, dan manajer yang bukan pemimpin. Sebaliknya, banyak individu dalam kelompok dan organisasi yang melakukannya
dia memusatkan perhatiannya pada kelompok yang menghasilkan produk dan kinerja yang dapat dievaluasi, dan dia mengukur aspek pengaturan kelompok dan pemimpin mereka untuk melihat kombinasi apa yang secara konsisten mengarah pada hasil yang baik. Kesimpulan dasarnya adalah bahwa keefektifan seorang pemimpin tidak dapat diprediksi hanya dengan mempertimbangkan kualitas pemimpin. Juga tidak dapat diprediksi berdasarkan situasinya. Sebaliknya, teori kontingensi Fiedler mengasumsikan bahwa efektivitas kepemimpinan bergantung pada gaya motivasi kedua pemimpin dan kapasitas pemimpin untuk mengendalikan situasi kelompok (Fiedler, 1964, 1967, 1971, 1978, 1981, 1993, 1996). Gaya Motivasi Sesuai dengan model kepemimpinan tugas-hubungan, Fiedler menunjukkan bahwa para pemimpin secara alami cenderung mengadopsi salah satu dari dua gaya kepemimpinan, yang ia ukur dengan menggunakan Skala Koerser Least Preferred (LPC). Pertama-tama, para responden memikirkan satu individu yang paling sulit bekerja pada suatu saat. Mereka kemudian menilai orang ini, dijuluki rekan kerja paling tidak disukai, pada skala kata sifat bipolar seperti "menyenangkan-tidak menyenangkan," "ramah-ramah," dan "tegang-santai." Orang-orang dengan skor tinggi pada LPC diasumsikan hubungan- berorientasi; setelah semua, mereka bahkan menilai orang yang mereka tidak suka bekerja dengan positif. Skor LPC rendah diasumsikan berorientasi tugas. Kontrol Situasional Sama seperti gaya kepemimpinan adalah variabel pribadi kunci dalam teori kontingensi, kontrol adalah faktor situasional kunci dalam model. Jika pemimpin dapat mengendalikan situasi, mereka bisa yakin itu teori kontingensi Analisis konseptual Fred Fiedler tentang kepemimpinan yang menyatakan bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh gaya kepemimpinannya dan kesukaan situasi kelompok; lebih umum, setiap analisis kepemimpinan yang menunjukkan bahwa efektivitas pemimpin tergantung pada interaksi karakteristik pribadi mereka dan situasi kelompok. Least Preferred Co-Worker Scale (LPC) Ukuran tidak langsung, dikembangkan oleh Fred Fiedler, dari kecenderungan untuk memimpin dengan menekankan tugas (LPC rendah) atau hubungan (LPC tinggi). keputusan, tindakan, dan saran akan dilakukan oleh anggota kelompok. Pemimpin yang memiliki kontrol penguasaan, sebaliknya, tidak dapat memastikan bahwa anggota kelompok akan melaksanakan tugas yang mereka tandatangani. Faktor apa yang menentukan kontrol? Fiedler menyoroti hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuatan posisi. ■ ■ Hubungan pemimpin-anggota. Apa kualitas hubungan antara pemimpin dan kelompok? Jika kelompok itu sangat kohesif dan relatif bebas konflik, pemimpin akan kurang peduli dengan pemeliharaan perdamaian dan memantau perilaku. Struktur tugas. Apakah anggota kelompok jelas memahami apa yang diharapkan dari mereka? Ketika struktur tugas tinggi, tugas grup adalah lurus ke depan dan hanya memiliki satu solusi yang
tepat, yang kebenarannya mudah diverifikasi. Tugas yang tidak terstruktur, sebaliknya, ambigu, mengakui banyak solusi yang benar, dan tidak menawarkan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan. ■ Daya posisi. Berapa banyak otoritas yang dimiliki pemimpin? Pemimpin dengan kekuatan posisi tinggi dapat mengontrol penghargaan, hukuman, sala- ries, perekrutan, evaluasi, dan penugasan tugas. Di beberapa kelompok, di sisi lain, pemimpin mungkin memiliki kekuatan yang relatif kecil. Gambar 9.5 merangkum hubungan antara ketiga variabel dan kesukaan situasi kepemimpinan. Octant I dalam bagan adalah pengaturan yang paling baik — hubungan pemimpin-anggota adalah baik, tugas terstruktur, dan kekuatan pemimpinnya kuat. Octant VIII adalah situasi yang paling tidak menguntungkan, karena ketiga variabel bergabung dalam kelompok yang sulit dikendalikan oleh pemimpin. Memprediksi Efektivitas Kepemimpinan Fiedler tidak percaya bahwa tipe pemimpin yang baik — termotivasi tugas atau termotivasi hubungan — lebih baik secara keseluruhan. Sebaliknya, ia memperkirakan bahwa pemimpin yang berorientasi tugas (skor LPC rendah) akan paling efektif dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, sedangkan pemimpin berorientasi hubungan (skor LPC tinggi) akan paling efektif di tengah- berbagai situasi. Jika, misalnya, Kopp adalah pemimpin rendah-LPC (bermotivasi tugas), maka dia akan mendapatkan hasil maksimal dari grup di Octants I, II, dan III, di mana favorability situasional tinggi, serta di Octant VIII, situasi yang paling tidak menguntungkan. Apakah dia pemimpin LPC yang tinggi, kelompoknya akan berkinerja terbaik dalam situasi menengah - Oktants IV to VII. Mengapa? Fiedler menyarankan bahwa dalam kelompok-kelompok yang sulit (Octant VIII), para pemimpin yang memiliki motivasi tugas mendorong kelompok tersebut menuju tujuan-tujuannya, tetapi para pemimpin yang termotivasi hubungan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memperbaiki hubungan. Dalam situasi yang sangat menguntungkan (Octants I through III), sebaliknya, pemimpin berorientasi tugas menjadi lebih perhatian, menghasilkan workgroup yang lebih puas. Studi dari berbagai kelompok kerja mendukung prediksi kompleks yang dipetakan pada Gambar 9.5 (Ayman, Chemers, & Fiedler, 2007). Sebagai contoh, ketika Fiedler (1964) mempelajari awak artileri anti-pesawat, ia mengukur gaya kepemimpinan komandan (LPC tinggi atau rendah) dan kesukaan situasi. Di sebagian besar awak, para pemimpin menikmati posisi kekuatan yang kuat karena otoritas mereka ditentukan oleh pangkat. Selain itu, struktur tugas tinggi karena urutan keputusan yang sama harus dibuat untuk setiap target. Namun, di beberapa kru, komandan sangat disukai — menempatkan kru dalam situasi yang paling menguntungkan (Octant I), sedangkan di kru lain, komandan tidak disukai (Octant V). Dengan demikian, pemimpin LPC rendah harus lebih efektif untuk kru Octant I, tetapi kelompok di Octant V harus berkinerja lebih baik dengan pemimpin LPC tinggi. Mendukung prediksi ini, Fiedler (1955) menemukan bahwa skor LPC berkorelasi negatif dengan efektivitas untuk pasukan artileri di Octant I r = −0.34), tetapi berkorelasi positif dengan keefektifan dalam Octant V (r = 0.49). Efektivitas program pelatihan kepemimpinan yang unik, yang disebut Pencocokan Pemimpin, juga mendukung validitas teori kontingensi. Meskipun banyak program dan teknik yang berbeda telah dikembangkan untuk melatih para pemimpin, hasil dari prosedur ini biasanya mengecewakan (Stogdill, 1974). Fiedler, bagaimanapun, menyarankan bahwa program-program ini gagal karena mereka terlalu menekankan pada perubahan para pemimpin - membuat mereka lebih mendukung, lebih tegas, lebih demokratis, dan seterusnya. Dia menyarankan bahwa situasinya harus direkayasa agar sesuai dengan gaya motivasi pemimpin. Dia menyebut program pelatihannya LeaderMatch
karena dia mengajar peserta pelatihan untuk mengubah situasi kelompok mereka sampai cocok dengan gaya motivasi pribadi mereka (Fiedler, Chemers, & Mahar, 1976). Studi tentang keefektifan program pelatihan inovatif ini menunjukkan bahwa pemimpin yang terlatih mengalahkan pemimpin yang tidak terlatih (Burke & Day, 1986; Csoka & Bons, 1978; Fiedler, 1978). Pertanyaan dan Kesimpulan Teori kontijensi, seperti semua teori, memiliki kelemahan dan kekuatan. Meskipun sudah bertahun-tahun melakukan penelitian, para ahli menemukan keabsahan model, dengan beberapa berpendapat bahwa bukti mendukung model dan yang lain yang menentangnya (lihat Chemers, 1997, untuk peninjauan). Peneliti telah menantang tidak hanya kekuatan hubungan yang memberikan dasar prediksi dalam delapan oktan pada Gambar 9.5, tetapi mereka juga mempertanyakan metode yang digunakan Fiedler untuk mengukur gaya motivasi pemimpin. Dalam mempertahankan teori kontingensi, bagaimanapun, model kontinuitas adalah salah satu teori pertama efektivitas kepemimpinan yang sepenuhnya mempertimbangkan faktor pribadi (skor LPC) dan faktor situasional (kontrol situasi). Tidak banyak yang akan membantah pesan penting yang diambilnya — bahwa efektivitas seorang pemimpin tidak dapat diprediksi tanpa memperhitungkan persepsi pemimpin terhadap para pengikutnya dan tingkat kendali pemimpin dalam situasi tersebut (Chemers, 2000; Rice, 1979) . Pekerjaan itu juga mengarahkan Fiedler untuk memeriksa bagaimana para pemimpin menanggapi pengaturan kepemimpinan yang penuh tekanan (Fiedler, 1986).