Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf AlQur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan Rasm Al-Utsmani, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-Imam, dan membakar semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini karena pada zaman Usman bin Affan kekuasaaan Islam telah tersebar meliputi daerah-daerah selain Arab yang memiliki sosio-kultur berbeda. Hal ini menyebabkan percampuran kultur antar daerah. Sehingga ditakutkan budaya arab murni termasuk didalamnya lahjah dan cara bacaan menjadi rusak atau bahkan hilang tergilas budaya dari daerah lainnya. Implikasi yang paling ditakutkan adalah rusaknya budaya oral arab akan menyebabkan banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an. http://id.wikipedia.org/wiki/Rasm_al-Qur%27an B. AL-Qur'an Di Masa Abu Bakar ra. Setelah Rasulullah Saw. wafat kepemimpinan beliau digantikan oleh Abu Bakar ra. Di tengah-tengah pemerintahannya pernah terjadi Tragedi besar yang menimpa umat Islam, yaitu peperangan Yamamah di Bi'ru Ma'unah, peperangan tersebut telah merenggut tujuh puluh nyawa Qurra' (Penghafal Al-Qur'an).[10] Tragedi besar itu sungguh, membuat hati sahabat Umar Ibn Khathab tersentak kaget dan cemas akan "nasib Al-Qur'an di masa depan". Dengan penuh keberanian –tanpa menghiraukan Rasulullah tidak pernah melakukannya- Umar Ibn Khathab meminta kepada Abu Bakar agar mengumpulkan Firman-firman Tuhan yang ditulis di masa Rasulullah Saw. dalam satu mushaf.[11] Pada mulanya Abu Bakar menolak, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw. Namun, berkat sejuta rayuan Umar Ibn Khathab. Akhirnya Abu Bakar mengijabahi permintaan tersebut. Lalu keduanya sepakat untuk membuat Tim kodifikasi Al-Qur'an yang diketuai oleh Zaid Ibn Tsabit dan dibantu oleh sahabat-sahabat yang lain. Zaid pun pada mulanya menolak, karena di samping hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi, juga sungguh, tugas tersebut amatlah berat, sampai Zaid mengatakan “andai aku ditugasi memindah gunung, niscaya tugas tersebut tidaklah berat bagiku dari pada mengumpulkan Al-Qur’an”, namun pada akhirnya ia dapat diyakinkan juga oleh Abu Bakar. Abu Bakar berpesan kepada Zaid agar tidak menerima tulisan kecuali yang memenuhi dua syarat; Pertama, tulisan tersebut sesuai dengan hafalan para sahabat. Kedua, tulisan tersebut benar-benar ditulis atas perintah Rasulullah Saw. Pesan Abu Bakar tersebut merupakan suatu tindakan yang sangat hati-hati terhadap – demi menjaga keotentikan- Al-Qur’an, karena sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, bahwa ada sebagian sahabat yang menulis ayat Al-Qur’an atas inisiatif sendiri. Lalu Zaid dan kawan-kawannya pun memulai tugas suci itu di pintu masjid Nabawi, Sedangkan Abu Bakar menyuruh seluruh umat Islam yang merasa memiliki tulisan Ayatayat Al-Qur'an agar dibawa ke Masjid Nabawi untuk diseleksi oleh Zaid Ibn Tsabit dan
Timnya. Satu per satu Naskah Ayat Al-Qur,an diseleksi, ternyata Zaid Ibn Tsabit menemukan keganjalan dan keganjilan yang memusingkan, beliau dan sahabat-sahabat yang lain hafal ayat "Laqad ja'akum Rasul min anfusikum 'aziz 'alayh ma 'anittum harish 'alaikum bi almu'minina Ra'uf al-rahim"QS. 9:128, tapi naskah yang ditulis atas perintah Baginda Rasulullah Saw. tidak ditemukan, namun pada akhirnya ditemukan juga di tangan Abu Khuzaimah al-Anshari. Demikianlah tampak mekar bahwa Zaid mengumpulkan Al-Qur'an tidak hanya mengandalkan hafalan semata, tapi ditopang dengan tulisan yang teruji kevaliditasannya. Perlu disuguhkan kembali, bahwa pada saat itu Al-Qur'an masih menggunakan tujuh bahasa sebagaimana pada masa diturunkannya, sehingga Al-Qur'an hasil tulisan Zaid yang kini terkumpul dalam satu mushaf pun mencakup keseluruhannya. Sejak masa inilah kemudian Al-Qur'an dinamakan dengan mushaf. Mushaf ini kemudian dipegang oleh Abu Bakar ra. hingga beliau wafat, lalu berpindah ketangan Umar Ibn Khathab. Sepeninggal Umar, mushaf itu kemudian dipegang oleh putrinya yang bernama Hafsah binti Umar.[12] C. Al-Qur'an Di Masa Utsman Ibn 'Affan ra. Ketika ekspansi kekuasan Islam membentang luas, para sahabat berpencar diberbagai wilayah kekuasaan, pada umumnya mereka mengajarkan Al-Qur'an kepada masyarakatnya masing-masing. Namun bacaan Al-Qur'an yang mereka tularkan berbedabeda, antara satu sahabat dengan sahabat yang lainnya tidak sama, kendati masih dalam lingkaran sab'ah ahruf sebagaimana pada masa turunnya. Karenanya, tiap kali umat Islam berkumpul dalam satu pertemuan, sebagian mereka merasa heran terhadap bacaan AlQur'an yang didengungkan oleh sebagian yang lain. Beragamnya bacaan Al-Qur'an di masa ini ternyata bukannya menjadi fleksibilitas dialektis sebagaimana pada masa sebelumnya, tapi malah menjadi pemicu keributan yang pada puncaknya saling menuding kafir pada sesama muslim. Khudzaifah Ibn Yaman merasa sangat perihatin terhadap suasana keruh yang melanda umat Islam saat itu, akhirnya dengan penuh harapan beliau menghadap dan meminta kepada sahabat Utsman yang saat itu menjadi Khalifah untuk mendamaikan dan menyatukan umat Islam dengan cara memilih salah satu dari tujuh bacaan Al-Qur'an dan menyingkirkan bacaan yang lainnya. Ternyata tidak hanya Khudzaifah yang merasa perihatin, Khalifah Utsman Ibn 'Affan juga sedang gelisah mencari solusi pengikat kedamaian dan persatuan. Makanya usulan Khudzaifah langsung diterima secara positif. Kemudian Utsman Ibn 'Affan memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa'id Ibn 'Ash, dan Abdurrahman Ibn Harits untuk menyalin mushaf yang ada di tangan Hafsah binti Umar Ibn Khathab dan memodifnya dengan satu bacaan. Utsman berkata kepada mereka "jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid tentang sesuatu dari Al-Qur'an, maka
tulislah dengan bacaan (dilek) Quraish”. Sahabat Umar melakukan hal tersebut dengn tanpa ragu, karena beliau berpendapat bahwa Rasulullah memperbolehkan ragam bacaan dalam membaca Al-Qur'an tujuannya untuk mempermudah umat Islam yang tidak bisa dialek Quraish, sementara saat ini -mengingat Islam sudah besar- tujuan tersebut sudah tidak relevan, apalagi kini ragam bacaan menjadi pemicu perdebatan panas. Karenanya penulisan Al-Qur'an yang sesuai dengan bacaan Quraish mesti dilakukan agar umat Islam bersatu. Penulisan dan penyalinan mushaf yang dilakukan Zaid Ibn Tsabit ini telah menempuh metode khusus, yang disetujui oleh Utsman Ibn 'Affan dan diterima oleh seluruh umat Islam saat itu. Metode tersebut -oleh para Ulama- dinamakan dengan Rasm 'Utsmani, sebuah metode penulisan yang membentuk satu bacaan Al-Qur’an dengan dialek Quraish. Al-Qur'an Rasm 'Utsmani ini kemudian diperbanyak dan dikirim ke Makkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan satu dipegang oleh Utsman sendiri di Madinah, yang masyhur dengan sebutan Mushaf al-Imam. Berbarengan dengan penyebaran, Utsman memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan dan menghanguskan seluruh Al-Qur'an dokumentasi pribadi dan berpindah ke serta menggantikannya dengan mushaf Rasm Utsmani.[13] D. Hukum Metode Rasm Utsmani. Rasm Utsmani adalah Metode penulisan Al-Qur'an yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam sejak masa Khalifah Utsman Ibn 'Affan. Dalam hal ini umat Islam berbeda pendapat mengenai hukumnya. Pertama; Tauqifi (Langsung dari Nabi) dan wajib dipakai dalam setiap menulis Ayat AlQur'an. Pendapat ini berdasarkan Sabda Rasulullah Saw. kepada Mu'awiyah -salah satu pencatat Wahyu- "Goreskan tinta, tegakkan huruf ya, bedakan sin, janganlah kamu memiringkan mim, baguskan lafadz Allah, Panjangkan Al-Rahman, baguskan Al-Rahim, dan letakkanlah penamu di atas telinga kiri, karena hal tersebut lebih dapat mengingatkanmu". Kedua; Bukan Tauqifi, tapi wajib dipakai dalam setiap penulisan Ayat Al-Qur'an. Sebagian Ulama mengatakan bahwa Rasm Utsmani bukan ketetapan Rasulullah, Ia hanyalah metode penulisan yang disetujui oleh Khalifah Utsman Ibn Affan dan diterima Umat Islam dengan baik, Karenanya menjadi keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Ketiga; Bukan Tauqifi dan tidak wajib dipakai. Sebagian Ulama yang lain berpendapat bahwa Rasm Utsmani hanyalah sebuah nama metode, karenanya tidaklah mengapa tidak menggunakannya. Dalam kaitan ini Abu Bakar al-Baqillani mengatakan: Dalam menulis Mushaf, Allah tidak mewajibkan metode penulisan sama sekali, karenanya para penulis Firman Tuhan
tidak harus menggunakan Khat tertentu, dalam Al-Qur'an ataupun Al-Sunnah tidak ada keterangan satu pun yang mewajibkannya, malah yang ada diperbolehkan menulis AlQur'an dengan cara yang mudah, dengan bukti Nabi sendiri ketika memerintahkan para sahabatnya untuk menuliskan Al-Qur’an tidak mewajibkan untuk menggunakan metode khat tertentu.[14] E. Proses Penyandangan Rasm Utsmani. Tulisan Al-Qur'an sejak masa Nabi hingga masa penciutan dialeknya (masa Khalifah Utsman Ibn ‘Affan) tidak memiliki sandangan (tanda baca), tulisan Arab "telanjang" seperti itu memang sudah menjadi watak pembawaan orang-orang Arab murni. Namun ketika Bahasa Arab mengalami kerusakan yang disebabkan banyaknya percampuran dengan bahasa lain, Umat Islam banyak yang salah dalam membaca Al-Qur'an, terutama di Irak. Kondisi demikian mendorong Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan untuk memberikan sandangan pada Teks Al-Qur'an yang masih telanjang. Lalu sang Khalifah memerintahkan Abu al-Aswad al-Du'ali untuk memberikan sandangan (Syakal). Kemudian Abu Aswad memberi tanda Fathah dengan satu titik di atas huruf, tanda Kasrah dengan satu titik di bawah huruf, Dhammah dengan tanda satu titik di samping huruf, dan Sukun dengan dua titik. Sandangan-sandangan yang diberikan al-Du'ali tersebut, kemudian pada masa selanjutnya dirubah oleh al-Khalil, perubahan tersebut ialah Fathah dengan tanda sempang di atas huruf, Kasrah dengan tanda sempang di bawah huruf, Dhammah dengan tanda huruf Wawu kecil di atas huruf, dan Tanwin dengan mendobelkan tanda baca-tanda baca tersebut. Beliau juga memberi tanda pada Alif yang dibuang dengan Warna Merah, pada tempat Hamzah yang dibuang dengan Hamzah warna Merah tanpa Huruf, pada Nun dan Tanwin yang berhadapan dengan Huruf Halaq diberi tanda Sukun, Nun dan Tanwin ketika Idgham dan Ikhfa' tidak diberi tanda apa-apa, setiap huruf yang dibaca Sukun (Mati) diberi tanda Sukun, dan setiap Huruf yang diidghamkan tidak diberi tanda, tapi huruf setelahnya diberi tanda Syaddah, kecuali pengidghaman Ta' ke dalam Ta', tandanya tetap seperti tidak didghamkan, yaitu Sukun pada Ta' yang pertama. Kemudian pada masa selanjutnya terjadi perbaikan dan penyempurnaan sandangan lagi, yaitu dengan memberikan tanda seperti busur pada huruf yang ditasydid, tanda lekuk (semacam huruf Shad) di atas alif washal jika harakat sebelumnya Fathah, Di bawahnya jika harakat sebelumnya Kasrah, dan di tengahnya jika sebelumnya Dhammah. Kemudian secara bertahap lagi, Orang-orang meramaikan sandangan lagi pada Teks AlQur'an, dengan meletakkan nama-nama surat, bilangan ayat, membubuhkan huruf Mim pada waqaf lazim, huruf La pada waqaf mamnu', dan seterusnya hingga berjubah dan berudeng-udeng.[15] F. Isu mushaf Ibn Mas`ud.
Adalah Ibn Mas`ud -salah seorang yang selalu mendampingi Rasulullah Saw.- Sahabat yang di isukan mengingkari surat al-Fatihah, al-Falaq dan al-Nas (al-Muawwidzatain) sebagai bagian dari Al-Qur`an. Riwayat tersebut telah digaungkan oleh Fakhr al-Din alRazi, juga tertulis dalam shahih bukhori. Imam al-Nawawi Dalam Bukunya Syarh al-Muhadzdzab mengaanggap batil (tidak shahih) terhadap riwayat tersebut karena bertentangan dengan ijma` umat Islam. Selidah dengan al-Nawawi, Ibn Hazm juga berpendapat demikian, -menurutnya- riwayat tersebut merupakan kedustaan terhadap Ibn Mas`ud. Namun, Ibn Hajar dalam mengomentari riwayat di atas mengatakan riwayat tersebut shahih, orang-orang yang mengatakan riwayat di atas batil sama sekali tidak berdasar dan telah melukai kewarasan riwayat-riwayat shahih. Kendati demikian Ibn Hajar dan Pemikir-pemikir klasik yang lain tetap mengakuai surat al-Fatihah dan al-Muawwidzatain sebagai bagian dari Al-Qur`an. Dan mereka memberikan interpretasi terhadap riwayat di atas bahwa pengingkaran Ibn Mas`ud terhadap tiga surat di atas disebabkan beliau tidak pernah mendengar langsung dari Rasulullah Saw. Sehingga beliau tidak memberikan komentar mengenainya (tawaqquf). Selain itu pengingkaran Ibn Mas`ud tersebut tidak berpengaruh –apalagi membatalkan- konsensus umat Islam atas keal-Qur`anan surat alFatihah, al-Falaq dan al-Nas.[16] http://awankfarabi88.blogspot.com/2009/03/meninjau-kembali-keotentikan-alquran_3777.html