Nama : Ahmad Athoillah Sakandariy Azzakkiyy NIM
: 0220160033
Prodi : Mekatronika No HP : 082213587946
Rape Culture
PENDAHULUAN Latar belakang Apa itu rape culture ? Rape culture adalah sebuah fenomena dimana pemerkosaan, kekerasan serta pelecehan seksual dianggap sebagai hal yang wajar dimasyarakat. Teori ini berkembang pada 1970-an di Amerika Serikat. Dalam buku Against Our Will: Men, Women, and Rape (1975), Susan Brownmiller menggambarkan pemerkosaan sebagai proses intimidasi secara sadar oleh laki-laki kepada perempuan, lewat peran penting mereka yang ditopang patriarki. Tujuannya, agar perempuan terus berada dalam ketakutan. Banyak contoh dari rape culture itu sendiri seperti ; Tendensi menyalahkan korban. Victim blamming. Ada beberapa kasus mengenai pelecehan seksual yang terjadi di transportasi umum seperti commuter line ataupun busway. Pola kronologisnya pun sama yaitu, menyalahkan korban pelecehan karena bajunya terbuka, gerak – gerik bahasa tubuh secara tidak sadar yang “mengundang” dan lain-lain. Menganggap biasa pelecehan seksual. Kasus ini bisa ditemukan didunia maya maupun dunia nyata. Sebagai contoh didunia nyata, menggoda wanita yang berjalan dengan catcalling atau menggunakan “rape joke” secara sadar. Sedangkan didunia maya seperti mengeluarkan kata – kata toxic pada post tertentu. Seperti kasus Via Vallen tempo lalu. Menganggap lemah lelaki yang menjadi korban pelecehan. Bahkan seorang lelaki pun berhak untuk melapor apabila dilecehkan. Hal itu bukan karena kemauannya sendiri tapi ada
beberapa faktor yang mempengaruhi untuk tidak melapor. Bahkan ketika sekarang anda membaca ini dengan tersenyum, itu merupakan salah satu pelecehan secara tersirat. Logika seksis yang chaos. Semrawut. Tak berlandaskan. Kalang kabut. Sebagai contoh ada beberapa ungkapan seperti, “ Cowok itu ibarat kucing, gaada kucing yang nolak ikan kalo dikasih” atau “ceweknya juga keenakan itu. Pasti !”. dari ungkapan diatas bisa diambil benang merah bahwa logika rendah seperti itu harus dihilangkan. Stigma para korban pelecehan seksual sering kali lebih besar dibandingkan dengan para pelaku. Akhirnya, banyak korban yang memilih diam, memaklumi pelecehan yang mereka alami dan memendam trauma. Sungguh kenyataan yang miris.
PEMBAHASAN Sigmund Freud, seorang tokoh psikologi mengungkapkan bahwa setiap manusia memiliki tiga komponen utama didalam jiwannya yang mempengaruhi perilaku. Komponen pertama adalah Id, Ego dan Super Ego. Id adalah sebuah dorongan, libido, hasrat dan keinginan – keinginan tertentu. Ego sendiri merupakan realita yang rasional berdasarkan status individu. Sedangkan Super Ego mencangkup norma – norma yang ada. Umumnya para pelaku rape culture mengedepankan Id dibandingkan dengan kedua komponen yang lain. Libido yang tinggi memicu seseorang mengalahkan kesadaran statusnya serta norma – norma yang berlaku, dengan begitu secara tidak sadar Id mengambil alih kehendak seseorang. Pola perilaku diatas dapat dibuktikan melalui kronologis – kronologis pelecehan seksual yang terjadi di trasnportasi umum, khususnya commuter line. Hal tersebut bisa kita lihat melalui unggahan – unggahan viral didunia maya. Umumnya pelaku pelecehan seksual adalah laki – laki. Pada unggahan tertentu biasanya lelaki memulai dengan mencari target korban, berusaha mendekati, ketika sudah pada waktu yang tepat, posisi, situasi dan kondisi. Pelaku mulai melancarkan aksinya dengan menggesekkan penis ke bagian tubuh korban yang sedang berdiri didepannya.
Pada pembahasan ilmu psikologi, perilaku diatas merupakan penyimpangan seksual yang disebut dengan frotteuristic disorder. Parahnya pelaku tersebut akan melakukan aksi nya berkali – kali karena perilaku beralih fungsi menjadi sebuah kebiasaan.
Melatih Body Awareness Terlepas dari fenomena rape culture, banyak dari orang – orang mengabaikan pentingnya body awareness, yaitu kesadaran penuh terhadap tubuh. Termasuk keseluruhan lima indera. Body awareness dapat dilatih dengan menyadari ruang personal, yaitu jarak antara personal dengan orang disekitar. Poin saya adalah banyaknya orang – orang yang mengabaikan ruang private mereka ditempat umum. Seperti tidak terlalu terganggu apabila tersenggol, baik disengaja maupun tidak. Karena awal dari pelecehan adalah meremehkan hal kecil. Padahal dengan menyadari sedini mungkin dengan apa yang dirasakan seluruh anggota tubuh, mampu meng-impluse otak untuk lebih waspada agar terhindar dari rape culture maupun kejahatan yang lain. Pada fenomena pelecehan seksual di commuter line, acapkali target korban pelecehan tidak menyadari apa yang dilakukan oleh pelaku bahkan terkadang diam tidak bergerak. Maka apabila anda berada digerbong yang padat, mulailah untuk mencari posisi teraman menurut anda, sadari posisi serta ruang disekitar. Pilih posisi yang berdekatan dengan sesama gender. Terus amati dan sadari situasi disekitar. Obervasi ruang. Pindahlah ke ruang yang kosong dimana ruang personal anda aman.
Keputusan Korban Harus Dihormati Sebuah lembaga HopeHelps memaparkan bahwa banyak korban yang enggan untuk memperpanjang perkara pelecehan karena takut dianggap lebay dan berlebihan. Keputusan tersebut tidak bisa dikucilkan, sebab dampak yang dihasilkan tidak bisa diremehkan begitu saja. “Kadang tanggapan orang – orang bisa membuat dampak yang lebih traumatis dibanding pengalaman pelecehan tersebut” kata Salsa, salah satu koordinator di HopeHelps. Sehingga ketakukan korban untuk menceritakan pengalamannya perlu dihormati.
Sophia Hage dari Lentera menekankan bahwa keputusan korban untuk tidak menceritakan pengalamannya juga perlu dihormati. Sebab memaksa korban untuk menceritakan hal traumatis bukanlah sebuah tindakan yang bijak. Sama halnya melakukan kekesaran kepada mereka. Itulah sebabnya, cara pendekatan kepada korban bukan memaksa, melainkan memberdayakan korban untuk bicara tanpa paksaan. Semua keputusan berada ditangan korban. Respect that.
KESIMPULAN Dari sekian banyak pembahasan ada hal penting yang dilupakan masyarakat, yaitu sex education. Dengan adanya edukasi seks lebih dini, anak – anak mampu mengenali ruang pribadi ditubuhnya. Alhasil ketika dewasa nanti mereka bisa lebih aware terhadap diri sendiri, menyadari ruang privasi dan bisa membentengi diri dengan kokoh. Pada dasarnya, langkah sederhana untuk menghindari diri dari pelecehan seksual atau tindak kejahatan dapat dimulai dari kepekaan diri sendiri. Pelaku kejahatan biasanya mengincar orang-orang yang tidak waspada dan tidak peka, termasuk pelaku pelecehan seksual yang menyadari adanya kesempatan sebelum kita dapat mengidentifikasinya. At the end of the day, please remember that being observant is the only way to survive. Terlepas dari itu semua, rape culture akan berdiri tegak apabila kita masih menganggap remeh sebuah pelecehan seksual walau dalam bentuk sekecil apapun. Karena pelecehan seksual menimbulkan trauma berkepanjangan untuk korban entah ia pria maupun wanita.