Ran

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ran as PDF for free.

More details

  • Words: 3,524
  • Pages: 7
5 Bekal Istri Aktivis Dakwah dakwatuna.com - Seorang aktivis dakwah membutuhkan istri yang ‘tidak biasa’. Kenapa? Karena mereka tidak hanya memerlukan istri yang pandai merawat tubuh, pandai memasak, pandai mengurus rumah, pandai mengelola keuangan, trampil dalam hal-hal seputar urusan kerumahtanggaan dan piawai di tempat tidur. Maaf, tanpa bermaksud mengecilkan, berbagai kepandaian dan ketrampilan itu adalah bekalan ‘standar’ yang memang harus dimiliki oleh seorang istri, tanpa memandang apakah suaminya seorang aktivis atau bukan. Atau dengan kalimat lain, seorang perempuan dikatakan siap untuk menikah dan menjadi seorang istri jika dia memiliki berbagai bekalan yang standar itu. Lalu bagaimana jika sudah jadi istri, tapi tidak punya bekalan itu? Ya, jangan hanya diam, belajar dong. Istilah populernya learning by doing. Kembali kepada pokok bahasan kita. Menjadi istri aktivis berarti bersedia untuk mempelajari dan memiliki bekalan ‘di atas standar’. Seperti apa? Berikut ini adalah bekalan yang diperlukan oleh istri aktivis atau yang ingin menikah dengan aktivis dakwah: 1. Bekalan Yang Bersifat Pemahaman (fikrah). Hal penting yang harus dipahami oleh istri seorang aktivis dakwah, bahwa suaminya tak sama dengan ‘model’ suami pada umumnya. Seorang aktivis dakwah adalah orang yang mempersembahkan waktunya, gerak amalnya, getar hatinya, dan seluruh hidupnya demi tegaknya dakwah Islam dalam rangka meraih ridha Allah. Mendampingi seorang aktivis adalah mendampingi seorang prajurit Allah. Tak ada yang dicintai seorang aktivis dakwah melebihi cintanya kepada Allah, Rasul, dan berjihad di jalan-Nya. Jadi, siapkan dan ikhlaskan diri kita untuk menjadi cinta ‘kedua’ bagi suami kita, karena cinta pertamanya adalah untuk dakwah dan jihad! 2. Bekalan Yang Bersifat Ruhiyah. Berusahalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Jadikan hanya Dia tempat bergantung semua harapan. Miliki keyakinan bahwa ada Kehendak, Qadha, dan Qadar Allah yang berlaku dan pasti terjadi, sehingga tak perlu takut atau khawatir melepas suami pergi berdakwah ke manapun. Miliki keyakinan bahwa Dialah Sang Pemilik dan Pemberi Rezeki, yang berkuasa melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki. Bekalan ini akan sangat membantu kita untuk bersikap ikhlas dan qana’ah ketika harus menjalani hidup bersahaja tanpa limpahan materi. Dan tetap sadar diri, tak menjadi takabur dan lalai ketika Dia melapangkan rezeki-Nya untuk kita. 3. Bekalan Yang bersifat Ma’nawiyah (mentalitas). Inilah di antara bekalan berupa sikap mental yang diperlukan untuk menjadi istri seorang aktivis: kuat, tegar, gigih, kokoh, sabar, tidak cengeng, tidak manja (kecuali dalam batasan tertentu) dan mandiri. Teman saya mengistilahkan semua sikap mental ini dengan ungkapan yang singkat: tahan banting! 4. Bekalan Yang bersifat Aqliyah (intelektualitas). Ternyata, seorang aktivis tidak hanya butuh pendengar setia. Ia butuh istri yang ‘nyambung’ untuk diajak ngobrol, tukar pikiran, musyawarah, atau diskusi tentang kesibukan dan minatnya. Karena itu, banyaklah membaca, rajin mendatangi majelis-majelis ilmu supaya tidak ‘tulalit’! 5. Bekalan Yang Bersifat Jasadiyah (fisik). Minimal sehat, bugar, dan tidak sakit-sakitan. Jika fisik kita sehat, kita bisa melakukan banyak hal, termasuk mengurusi suami yang sibuk berdakwah. Karena itu, penting bagi kita untuk menjaga kesehatan, membiasakan pola hidup sehat, rajin olah raga dan lain-lain. Selain itu, jangan lupakan masalah merawat wajah dan tubuh. Ingatlah, salah satu ciri istri shalihat adalah ‘menyenangkan ketika dipandang’. Akhirnya, ada bekalan yang lain yang tak kalah penting. Itulah sikap mudah memaafkan. Bagaimanapun saleh dan takwanya seorang aktivis, tak akan mengubah dia menjadi malaikat yang tak punya kesalahan. Seorang aktivis dakwah tetaplah manusia biasa yang bisa dan mungkin untuk melakukan kesalahan. Bukankah tak ada yang ma’shum di dunia ini selain Baginda Rasulullah?

13 Hal Yang Disukai Pria Dari Wanita Oleh: Mochamad Bugi

Cinta adalah fitrah manusia. Cinta juga salah satu bentuk kesempurnaan penciptaan yang Allah berikan kepada manusia. Allah menghiasi hati manusia dengan perasaan cinta pada banyak hal. Salah satunya cinta seorang lelaki kepada seorang wanita, demikian juga sebaliknya. Rasa cinta bisa menjadi anugerah jika luapkan sesuai dengan bingkai nilai-nilai ilahiyah. Namun, perasaan cinta dapat membawa manusia ke jurang kenistaan bila diumbar demi kesenangan semata dan dikendalikan nafsu liar. Islam sebagai syariat yang sempurna, memberi koridor bagi penyaluran fitrah ini. Apalagi cinta yang kuat adalah salah satu energi yang bisa melanggengkan hubungan seorang pria dan wanita dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Karena itu, seorang pria shalih tidak asal dapat dalam memilih wanita untuk dijadikan pendamping hidupnya. Ada banyak faktor yang bisa menjadi sebab munculnya rasa cinta seorang pria kepada wanita untuk diperistri. Setidak-tidaknya seperti di bawah ini. 1. Karena akidahnya yang Shahih Keluarga adalah salah satu benteng akidah. Sebagai benteng akidah, keluarga harus benar-benar kokoh dan tidak bisa ditembus. Jika rapuh, maka rusaklah segala-galanya dan seluruh anggota keluarga tidak mungkin selamat dunia-akhirat. Dan faktor penting yang bisa membantu seorang lelaki menjaga kekokohan benteng rumah tangganya adalah istri shalihah yang berakidah shahih serta paham betul akan peran dan fungsinya sebagai madrasah bagi calon pemimpin umat generasi mendatang. Allah menekankah hal ini dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayatayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (AlBaqarah: 221) 2. Karena paham agama dan mengamalkannya Ada banyak hal yang membuat seorang lelaki mencintai wanita. Ada yang karena kemolekannya semata. Ada juga karena status sosialnya. Tidak sedikit lelaki menikahi wanita karena wanita itu kaya. Tapi, kata Rasulullah yang beruntung adalah lelaki yang mendapatkan wanita yang faqih dalam urusan agamanya. Itulah wanita dambaan yang lelaki shalih. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, ambillah wanita yang memiliki agama (wanita shalihah), kamu akan beruntung.” (Bukhari dan Muslim) Rasulullah saw. juga menegaskan, “Dunia adalah perhiasan, dan perhiasan dunia yang paling baik adalah wanita yang shalihah.” (Muslim, Ibnu Majah, dan Nasa’i). Jadi, hanya lelaki yang tidak berakal yang tidak mencintai wanita shalihah. 3. Dari keturunan yang baik Rasulullah saw. mewanti-wanti kaum lelaki yang shalih untuk tidak asal menikahi wanita. “Jauhilah rumput hijau sampah!” Mereka bertanya, “Apakah rumput hijau sampah itu, ya Rasulullah?” Nabi

menjawab, “Wanita yang baik tetapi tinggal di tempat yang buruk.” (Daruquthni, Askari, dan Ibnu ‘Adi) Karena itu Rasulullah saw. memberi tuntunan kepada kaum lelaki yang beriman untuk selektif dalam mencari istri. Bukan saja harus mencari wanita yang tinggal di tempat yang baik, tapi juga yang punya paman dan saudara-saudara yang baik kualitasnya. “Pilihlah yang terbaik untuk nutfahnutfah kalian, dan nikahilah orang-orang yang sepadan (wanita-wanita) dan nikahilah (wanitawanitamu) kepada mereka (laki-laki yang sepadan),” kata Rasulullah. (Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim, dan Baihaqi). “Carilah tempat-tempat yang cukup baik untuk benih kamu, karena seorang lelaki itu mungkin menyerupai paman-pamannya,” begitu perintah Rasulullah saw. lagi. “Nikahilah di dalam “kamar” yang shalih, karena perangai orang tua (keturunan) itu menurun kepada anak.” (Ibnu ‘Adi) Karena itu, Utsman bin Abi Al-’Ash Ats-Tsaqafi menasihati anak-anaknya agar memilih benih yang baik dan menghindari keturunan yang jelek. “Wahai anakku, orang menikah itu laksana orang menanam. Karena itu hendaklah seseorang melihat dulu tempat penanamannya. Keturunan yang jelek itu jarang sekali melahirkan (anak), maka pilihlah yang baik meskipun agak lama.” 4. Masih gadis Siapapun tahu, gadis yang belum pernah dinikahi masih punya sifat-sifat alami seorang wanita. Penuh rasa malu, manis dalam berbahasa dan bertutur, manja, takut berbuat khianat, dan tidak pernah ada ikatan perasaan dalam hatinya. Cinta dari seorang gadis lebih murni karena tidak pernah dibagi dengan orang lain, kecuali suaminya. Karena itu, Rasulullah saw. menganjurkan menikah dengan gadis. “Hendaklah kalian menikah dengan gadis, karena mereka lebih manis tutur katanya, lebih mudah mempunyai keturunan, lebih sedikit kamarnya dan lebih mudah menerima yang sedikit,” begitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi. Tentang hal ini A’isyah pernah menanyakan langsung ke Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika engkau turun di sebuah lembah lalu pada lembah itu ada pohon yang belum pernah digembalai, dan ada pula pohon yang sudah pernah digembalai; di manakah engkau akan menggembalakan untamu?” Nabi menjawab, “Pada yang belum pernah digembalai.” Lalu A’isyah berkata, “Itulah aku.” Menikahi gadis perawan akan melahirkan cinta yang kuat dan mengukuhkan pertahanan dan kesucian. Namun, dalam kondisi tertentu menikahi janda kadang lebih baik daripada menikahi seorang gadis. Ini terjadi pada kasus seorang sahabat bernama Jabir. Rasulullah saw. sepulang dari Perang Dzat al-Riqa bertanya Jabir, “Ya Jabir, apakah engkau sudah menikah?” Jabir menjawab, “Sudah, ya Rasulullah.” Beliau bertanya, “Janda atau perawan?” Jabir menjawab, “Janda.” Beliau bersabda, “Kenapa tidak gadis yang engkau dapat saling mesra bersamanya?” Jabir menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah gugur di medan Uhud dan meninggalkan tujuh anak perempuan. Karena itu aku menikahi wanita yang dapat mengurus mereka.” Nabi bersabda, “Engkau benar, insya Allah.” 5. Sehat jasmani dan penyayang Sahabat Ma’qal bin Yasar berkata, “Seorang lelaki datang menghadap Nabi saw. seraya berkata, “Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang baik dan cantik, namun ia tidak bisa melahirkan. Apa sebaiknya aku menikahinya?” Beliau menjawab, “Jangan.” Selanjutnya ia pun menghadap Nabi saw. untuk kedua kalinya, dan ternyata Nabi saw. tetap mencegahnya. Kemudian ia pun datang untuk ketiga kalinya, lalu Nabi saw. bersabda, “Nikahilah wanita yang banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain.” (Abu Dawud dan Nasa’i). Karena itu, Rasulullah menegaskan, “Nikahilah wanita-wanita yang subur dan penyayang. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian dari umat lain.” (Abu Daud dan An-Nasa’i)

6. Berakhlak mulia Abu Hasan Al-Mawardi dalam Kitab Nasihat Al-Muluk mengutip perkataan Umar bin Khattab tentang memilih istri baik merupakan hak anak atas ayahnya, “Hak seorang anak yang pertamatama adalah mendapatkan seorang ibu yang sesuai dengan pilihannya, memilih wanita yang akan melahirkannya. Yaitu seorang wanita yang mempunyai kecantikan, mulia, beragama, menjaga kesuciannya, pandai mengatur urusan rumah tangga, berakhlak mulia, mempunyai mentalitas yang baik dan sempurna serta mematuhi suaminya dalam segala keadaan.” 7. Lemah-lembut Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari A’isyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai A’isyah, bersikap lemah lembutlah, karena sesungguhnya Allah itu jika menghendaki kebaikan kepada sebuah keluarga, maka Allah menunjukkan mereka kepada sifat lembah lembut ini.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah memasukkan sifat lemah lembut ke dalam diri mereka.” 8. Menyejukkan pandangan Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dari seorang wanita? (Yaitu) wanita shalihah adalah wanita yang jika dilihat oleh suaminya menyenangkan, jika diperintah ia mentaatinya, dan jika suaminya meninggalkannya ia menjaga diri dan harta suaminya.” (Abu daud dan An-Nasa’i) “Sesungguhnya sebaik-baik wanitamu adalah yang beranak, besar cintanya, pemegang rahasia, berjiwa tegar terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri terhadap lelaki lain, taat kepada ucapan dan perintah suaminya dan bila berdua dengan suami dia pasrahkan dirinya kepada kehendak suaminya serta tidak berlaku seolah seperti lelaki terhadap suaminya,” begitu kata Rasulullah saw. lagi. Maka tak heran jika Asma’ binti Kharijah mewasiatkan beberapa hal kepada putrinya yang hendak menikah. “Engkau akan keluar dari kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat keturunan. Engkau akan pergi ke tempat tidur, di mana kami tidak mengenalinya dan teman yang belum tentu menyayangimu. Jadilah kamu seperti bumi bagi suamimu, maka ia laksana langit. Jadilah kamu seperti tanah yang datar baginya, maka ia akan menjadi penyangga bagimu. Jadilah kamu di hadapannya seperti budah perempuan, maka ia akan menjadi seorang hamba bagimu. Janganlah kamu menutupi diri darinya, akibatnya ia bisa melemparmu. Jangan pula kamu menjauhinya yang bisa mengakibatkan ia melupakanmu. Jika ia mendekat kepadamu, maka kamu harus lebih mengakrabinya. Jika ia menjauh, maka hendaklah kamu menjauh darinya. Janganlah kami menilainya kecuali dalam hal-hal yang baik saja. Dan janganlah kamu mendengarkannya kecuali kamu menyimak dengan baik dan jangan kamu melihatnya kecuali dengan pandangan yang menyejukan.” 9. Realistis dalam menuntut hak dan melaksanakan kewajiban Salah satu sifat terpuji seorang wanita yang patut dicintai seorang lelaki shalih adalah qana’ah. Bukan saja qana’ah atas segala ketentuan yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an, tetapi juga qana’ah dalam menerima pemberian suami. “Sebaik-baik istri adalah apabila diberi, dia bersyukur; dan bila tak diberi, dia bersabar. Engkau senang bisa memandangnya dan dia taat bila engkau menyuruhnya.” Karena itu tak heran jika acapkali melepas suaminya di depan pintu untuk pergi mencari rezeki, mereka berkata, “Jangan engkau mencari nafkah dari barang yang haram, karena kami masih sanggup menahan lapar, tapi kami tidak sanggup menahan panasnya api jahanam.” Kata Rasulullah, “Istri yang paling berkah adalah yang paling sedikit biayanya.” (Ahmad, AlHakim, dan Baihaqi dari A’isyah r.a.) Tapi, “Para wanita mempunyai hak sebagaimana mereka mempunyai kewajiban menurut kepantasan dan kewajaran,” begitu firman Allah swt. di surah Al-Baqarah ayat 228. Pelayanan yang diberikan seorang istri sebanding dengan jaminan dan nafkah yang diberikan suaminya. Ini perintah Allah kepada para suami, “Berilah tempat tinggal bagi perempuan-perempuan seperti yang kau

tempati. Jangan kamu sakiti mereka dengan maksud menekan.” (At-Thalaq: 6) 10. Menolong suami dan mendorong keluarga untuk bertakwa Istri yang shalihah adalah harta simpanan yang sesungguhnya yang bisa kita jadikan tabungan di dunia dan akhirat. Iman Tirmidzi meriwayatkan bahwa sahabat Tsauban mengatakan, “Ketika turun ayat ‘walladzina yaknizuna… (orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah), kami sedang bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan. Lalu, sebagian dari sahabat berkata, “Ayat ini turun mengenai emas dan perak. Andaikan kami tahu ada harta yang lebih baik, tentu akan kami ambil”. Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Yang lebih utama lagi adalah lidah yang berdzikir, hati yang bersyukur, dan istri shalihah yang akan membantu seorang mukmin untuk memelihara keimanannya.” 11. Mengerti kelebihan dan kekurangan suaminya Nailah binti Al-Fafishah Al-Kalbiyah adalah seorang gadis muda yang dinikahkan keluarganya dengan Utsman bin Affan yang berusia sekitar 80 tahun. Ketika itu Utsman bertanya, “Apakah kamu senang dengan ketuaanku ini?” “Saya adalah wanita yang menyukai lelaki dengan ketuaannya,” jawab Nailah. “Tapi ketuaanku ini terlalu renta.” Nailah menjawab, “Engkau telah habiskan masa mudamu bersama Rasulullah saw. dan itu lebih aku sukai dari segala-galanya.” 12. Pandai bersyukur kepada suami Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada suaminya, sedang ia sangat membutuhkannya.” (An-Nasa’i). 13. Cerdas dan bijak dalam menyampaikan pendapat Siapa yang tidak suka dengan wanita bijak seperti Ummu Salamah? Setelah Perjanjian Hudhaibiyah ditandatangani, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk bertahallul, menyembelih kambing, dan bercukur, lalu menyiapkan onta untuk kembali pulang ke Madinah. Tetapi, para sabahat tidak merespon perintah itu karena kecewa dengan isi perjanjian yang sepertinya merugikan pihak kaum muslimin. Rasulullah saw. menemui Ummu Salamah dan berkata, “Orang Islam telah rusak, wahai Ummu Salamah. Aku memerintahkan mereka, tetapi mereka tidak mau mengikuti.” Dengan kecerdasan dalam menganalisis kejadian, Ummu Salamah mengungkapkan pendapatnya dengan fasih dan bijak, “Ya Rasulullah, di hadapan mereka Rasul merupakan contoh dan teladan yang baik. Keluarlah Rasul, temui mereka, sembelihlah kambing, dan bercukurlah. Aku tidak ragu bahwa mereka akan mengikuti Rasul dan meniru apa yang Rasul kerjakan.” Subhanallah, Ummu Salamah benar. Rasulullah keluar, bercukur, menyembelih kambing, dan melepas baju ihram. Para sahabat meniru apa yang Rasulullah kerjakan. Inilah berkah dari wanita cerdas lagi bijak dalam menyampaikan pendapat. Wanita seperti inilah yang patut mendapat cinta dari seorang lelaki yang shalih.

Makna dan Esensi Taqwa Senin, 07/04/2008 Akumulasi berbagai serbuan yang menghantam umat Islam secara bertubi-tubi Sepanjang sejarah kontemporernya melahirkan sejumlah kehancuran di segala bidang kehiduan umat. Akibatnya, kondisi umat seakan-akan terus menerus berada di dalam lingkaran ‘tanpa bobot’ dan tanpa peran yang berarti”. Dalam masa-masa kehancuran itu sosok peradaban Islam terkapar dalam pusaran arogansi peradaban materealistik. Akhirnya tingkat kualitas intelektual, kehidupan

sosial budaya dan sikap mental orang Islam berada pada titik terendah, ”masuk lubang biawak”. Oleh sebab itu, agenda mengembalikan eksistensi umat dan merekontruksi peradaban harus menjadi prioritas utama dalam agenda gerakan perubahan yang dilakukannya. Perubahan ini harus bertitik tolak dari pembangunan manusia yang mampu berprestasi dalam amal hadhari (gerakan peradaban) secara nyata. Patut diakui, gerakan-gerakan kontemporer umat harus menyadari tentang prioritas proyek peradabannya yang terus menerus berada di bawah bayang-bayang kolonialisme baru dan menghadapi berbagai tantangan pertarungan peradaban dan konspirasi yang berat. Masyru’ Alhadhari Al-Islami (proyek peradaban Islami) itu tidak lain adalah proyek kemanusiaan universal yang bertujuan mencapai kebaikan manusia secara umum sebagai refleksi dan implikasi dan sosiologis rahmatan lil’alamin. Ia adalah proyek yang sangat luas, yang membentang di ufuk-ufuk luas tanpa batas. Dalam proyek ini diperlukan semangat kerja dan inovasi tinggi yang selaras dengan gerak tata kosmos (nawamis al-kaun). Dalam proyek ini dituntut juga adanya keseimbangan (tawazun) antara tuntutan ruh, akal dan jasad. Ia adalah proyek yang harus didasarkan pada fondasi iman yang menghubungakan “bumi” dan “langit”. Tegasnya, masyru’al-hadhari adalah sebuah proyek besar yang menuntut perwujudan taqwa –sebagai dasar pembentukan peradaban dalam tingkat individu dan masyarakat. Makna dan Esensi Taqwa (bentuk invinitive berarti: “wiqayyah” ) dalam pengertian bahasa adalah menjaga sesuatu dari yang menyakiti dan yang membahayakannya. Dalam kaitan kehidupan manusia berarti sebuah upaya untuk menjadikan diri seseorang dalam keadaan selalu terpelihara dari sesuatu yang menakutkan. Pengertian ini sekaligus menggambarkan tentang hakikat dan esensi taqwa. Dalam kondisi tertentu “takut” di sebut taqwa. Juga sebaliknya, sesuai dengan konteksnya, taqwa disebut takut. Maka dalam istilah syar’i taqwa di lukiskan sebagai upaya menjaga diri dari sesuatu yang menimbulkan dosa, yaitu dengan jalan menimbulkan apa saja yang dilarang Allah, bahkan meninggalkan sesuatu, yang sebenarnya tidak di larang, karena semata mata takut terjerumus ke dalam sesuatu yang di larang atau dosa.(Al-Raghib Al-Ashfani, Mu’jam Mufradat Alfazh AlQur’an). Memang perbuatan dosa bukan hanya membahayakan pelakunya tetapi juga membahayakan orang lain. Sedangkan Al-Jurjani (Kitab Al-Ta’rifat) menyebutkan Taqwa diartikan sebagai tindakan melindungi. Berarti Taqwa itu merupakan upaya pembentengan diri, dengan ketaatan yang total kepada Allah, dari segala bentuk hukuman – Nya. Disini posisi taqwa menjadi benteng yang dapat melindungi dari segala sesuatu yang menyebabkan seseorang terkena hukuman (uqubah), baik yang menyangkut sesuatu yang harus dilakukan atau sesuatu yang harus ditinggalkan. Selanjutnya Al-Jurjani menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan taqwa dalam taat adalah ikhlas. Sedangkan yang dimaksud dengan taqwa terhadap ma’siat adalah meninggalkan ma’siat dan waspada terhadapnya. Atas dasar pengertian–pengertian tersebut, maka taqwa yang biasa diartikan sebagai proses menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah, merupakan sebuah upaya manusia dalam menyelaraskan seluruh dimensi kehidupannya dengan pola dasar kehendak Allah yang dimanifestasikan dalam bentuk “hukum transeden” yang ditentukan dalam keseluruhan ayat-ayat dalam kandungan Al-Qur’an dan kemenyeluruhan sunnah Rasulullah SAW beserta ajarannya. Konsistensi dengan 'Hukum-Hukum Allah' Dengan demikian taqwa berarti konsistensi perilaku manusia dengan wahyu dan nawamis al-kaun (tata kosmos) yang dapat memastikannya meraih kehidupan ideal serta menjadi bekal hidup terbaik. Firman Allah: “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang beriman”. (Al-Baqarah:197). Konsistensi itu mengandung makna kepatuhan kepada kehendak Allah SWT. Tercapainya tujuan-tujuan Islam dalam masyarakat manusia tergantung pada sejauh mana individu dan masyarakat itu mematuhi kehendak Allah sesuai dengan sifat-sifat, kesanggupan-kesanggupan dan realitas-realitas materiil dalam lingkungan mereka (An-Nisaa’:97-99, Al-Israa’:84, AlBaqarah:233). Ini menuntut optimalisasi keseriusan manusia dalam menghadapi dan memanfaatkan

ruang dan waktu tersebut. Pemenuhan kehendak Ilahi itu merupakan “ amanah” yang telah disanggupi oleh manusia. Konsekuensinya, seluruh perilaku individu dan sosial manusia harus selalu menerapkan “hukumhukum Allah” tersebut sehingga menjadi sebuah “malakah”, karakter dan sikap mental yang melekat. Taqwa merupakan “malakah” yang memancarkan perilaku yang dapat wujud dalam diri seseorang. Kualitas taqwa akan terus meningkat apabila ajaran-ajaran Islam mampu membentuk pribadi dan perilakunya. Oleh Allah SWT, Taqwa dilukiskan sebagai puncak prestasi hidup yang dapat dilakukan manusia (Al-Hujuraat:13). Dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa ayat yang menjelaskan ciri orang yang bertaqwa. Ciri-ciri ini sekaligus merupakan pendefinisian praktis dan aktual bagi taqwa misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 3 dan 4, taqwa didefinisikan sebagai beriman kepada yang ghaib (iman kepada yang ghaib merupakan dasar yang kokoh bagi kehidupan manusia) dan menyadari serta menghayati terhadap tujuan eksistensial, misi keberadaannya di bumi, dan keyakinan serta konsistensinya dengan nilai-nilai dan aturan yang datang dari Allah. Selain itu taqwa juga dilukiskan sebagai suatu kebajikan yang mencangkup berbagai dimensi kehidupan (AlBaqarah:177). Taqwa juga digambarkan sebagai upaya peningkatan diri menjadi hamba Allah yang benar-benar menyadari eksistensi dirinya (Ali-Imran:15-17). Karena itu orang bertaqwa selalu berlaku ihsan terhadap segala sesuatu selain selalu berpandangan jauh (Al-Hasyr:18). Perbuatan ihsan yang dilakukannya itu merupakan pencerminan kesadarannya bahwa setiap perbuatan baik selain dapat meningkatkan kualitas dirinya juga dapat melahirkan keluhuran akhlaknya. Perbuatan itu pula sebagai refleksi dari keyakinan bahwa seluruh perbuatannya akan dipertanggungjawabkan diakhirat nanti (Ali-Imran:133-136 dan Al-Anbiyaa’:48-49). Orang yang bertaqwa semua perbuatan yang di lakukan dilandasi oleh nilai kebenaran dengan setulus-tulusnya (Az-Zumar:33). Karena itu taqwa yang merupakan buah ibadah (pengabdian hanya kepada Allah SWT yang menjadi tujuan eksistensial penciptaannya) dijadikan sebagai misi kenabian yang bersifat langgeng (Nuh:3, Al-‘Ankabuut:16, Huud:78, Asy-Syu’araa’:161-163, Ali-Imran:102). Seluruh dimensi ibadah merupakan tangga maju ketaqwaan. Sedangkan ibadah yang membuahkan taqwa adalah ibadah yang dilandasi tauhid, sebuah keyakinan dan kesaksian bahwa ”tidak ada Ilah, yang patut disembah selain Allah”. Keyakinan ini merupakan pandangan umum tentang realitas wujud, Al-Khaliq yaitu Allah SWT yang kekal, pencipta alam semesta beserta aturan dan permainannya. Al-Khaliq dan Almakhluq mutlak berbeda dalam wujud maupun dalam eksistensinya. Seorang Muslim yang telah mengikrarkan kesaksiannya bahwa “tidak ada Ilah, yang patut disembah, selain Allah”, meyakini bahwa finalitas terdiri dari tatanan transendental dan tatanan alamiah (al-Ta’lim al-Islamiyah dan al-Nawamis al-Kauniyah). Tatanan transendental dengan segala nilai yang ada didalamnya dijadikan pedoman untuk mengatur tata kehidupan. Tauhid seorang Muslim bermakna penolakan untuk menundukan kehidupan manusia kepada setiap tuntunan yang bersumber dari Allah SWT dan kesediaan yang total untuk diatur oleh hukum-hukum-Nya. Iman dan Taqwa yang bersemayam kokoh dalam lubuk hati manusia dapat memancarkan segala mata air kebaikan, melahirkan segala daya dan upaya, memupuk ketinggian cita-cita, memperkokoh tekad dan kemauan, memudahkan segala gerak dan langkah, meringankan beban dan rintangan, menjauhi semua bentuk kesalahan dan menerangi perjalanan kehidupan, serta melahirkan jiwa yang ikhlas. Puncaknya, orang-orang yang bertaqwa, akan memperoleh kepemihakan Allah SWT dalam seluruh dimensi kesejarahan (An-Nahl:127-128, Al-Anfaal:19, At-taubah:36).

Related Documents

Ran
May 2020 29
Homework Yang Ran Ran
June 2020 19
Ran Ma
April 2020 1
Ya Ran
June 2020 7
Gamba Ran
August 2019 17
Lama Ran
June 2020 13